KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Saya bersyukur dan menyambut dengan gembira kesempatan untuk dapat menyampaikan orasi sehubungan dengan sebuah tema penting yang menjadi konteks pergumulan gereja yakni, “Peran Misi GMIT terhadap Pemuda Urban GMIT dan Relevansinya dengan Perdamaian di Kota Kupang”. Tema ini merupakan topik dari disertasi saya pada Prodi S3 Fakultas Teologia UKDW yang telah diselesaikan pada Nopember 2019. Untuk kepentingan orasi ini maka saya hanya menyampaikan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
- Urbanisasi dan Problematikanya
Urbanisasi merupakan sebuah realitas yang dialami oleh semua negara-negara di dunia, di mana arus perpindahan masyarakat dari waktu ke waktu semakin mengalami perkembangan yang signifikan.Jumlah penduduk dunia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, di mana hampir seluruh sejarah spesies manusia merupakan perjuangan untuk bertahan hidup, bertambah banyak dan memenuhi bumi. Diperkirakan jumlah penduduk dunia paling sedikit 8 milyar orang pada tahun 2025, dan arus urbanisasi penduduk dari desa ke kota pun semakin meningkat.[1] Salah satu problema sangat penting yang telah dihadapi negara-negara dunia ketiga sejak awal abad ini adalah merebaknya kontradiksi ekonomi politik evolusi pertumbuhan perkotaan. Pada saat yang sama, pertumbuhan kota-kota tersebut ternyata tidak diikuti dengan kecepatan yang sebanding oleh pertumbuhan industrialisasi.[2]
Pertumbuhan kota-kota di dunia sesudah perang dunia ke-2 telah mengejutkan banyak orang, sebab setelah peristiwa itu di mana kehidupan di kota-kota mulai tertib, teratur dan aman, serta memberi peluang dan harapan. Seiring dengan proses industrialisasi pasca-perang, terjadi gejala berduyun-duyunnya penduduk dari desa-desa ke kota-kota dengan tujuan mencari kehidupan yang lebih layak. Situasi perpindahan dari daerah pedesaan (rural) ke daerah perkotaan (urban) atau yang dikenal sebagai urbanisasi itu lebih dominan terjadi di Negara-negara berkembang, di mana terjadi jurang perbedaan yang mencolok antara pembangunan di kota-kota dengan kondisi dan pembangunan di desa-desa.
Oleh karena itu, ledakan penduduk perkotaan merupakan tantangan serius di seluruh dunia baik di Negara maju dan lebih-lebih di Negara yang berkembang, khususnya dalam era globalisasi. Dalam laporan PBB, yang berjudul, “Prospect of World Urbanization” (1987) disebutkan bahwa pada tahun 2000 akan terdapat 23 kota-kota “Metropolis” dengan penduduk di atas 10 juta orang. Pada tahun 1990 PBB pernah mengeluarkan laporan kegiatannya selama 45 tahun (1945-1990),[3] yang dalam laporan tersebut menonjolkan masalah-masalah global yang cukup serius yang menantang umat manusia. Di antara tantangan-tantangan yang menonjol tersebut disebut masalah urbanisasi sebagai yang berjalan sama cepatnya dengan kemajuan era informasi di akhir abad ke-20. Bahkan dalam ‘Kongres Metropolis Sedunia’ dibahas 6 masalah pokok yang umum dihadapi oleh kota-kota besar dunia, seperti:
- Pertumbuhan penduduk kota yang tidak terkendali.
- Perumahan rakyat dan sarana fisik dan sosial yang makin tidak memadai.
- Lingkungan hidup dan kesehatan yang makin merosot.
- Ekonomi kota dan kesempatan kerja yang makin tidak seimbang
- Persoslan alu lintas dan transportasi
- Organisasi dan manejemen perkotaan.
Masalah-masalah tersebut di atas menjadi pergumulan di kota-kota modern, disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan penyediaan sarana dan prasarana selalu lebih lambat daripada tuntutan kebutuhan penduduk kotayang terus menerus meningkat dan berjalan cepat. Hal ini akan menimbulkan munculnya berbagai persoalan tentu berpengaruh terhadap dinamika kehidupan di kota.
Di Indonesia persoalan urbanisasi sudah di mulai dengan digulirkannya beberapa kebijakan orde baru. Pertama, adanya kebijakan ekonomi makro (1967-1980), di mana kota sebagai pusat ekonomi. Kedua, kombinasi antara kebijaksanaan substitusi impor dan investasi asing disektor perpabrikan (manufacturing) yang justru memicu polarisasi pembangunan terpusat pada kota. Ketiga, penyebaran yang cepat dari proses mekanisme sektor pertanian pada awal dasawarsa 1980an yang menyebabkan kaum muda dan para sarjana, enggan menggeluti dunia pertanian atau kembali ke daerah asal.[4]
Seperti kota-kota lainnya di Indonesia, Kota Kupang sebagai pusat ibu kota propensi Nusa Tenggara Timur (NTT), selalu menjadi tujuan urbanisasi masyarakat dari berbagai daerah, baik yang berasal dari kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur maupun dari luar NTT. Secara khusus arus urbanisasi yang berasal dari kabupaten lebih banyak di dominasi oleh kaum remaja dan pemuda. Pada umumnya alasan utama melakukan urbanisasi karena alasan ekonomi, kurangnya lapangan pekerjaan di desa, sementara tuntutan ekonomi keluarga harus dicukupi, maka merantau adalah sebuah pilihan. Selain itu urbanisasi juga dipicu adanya perbedaan pertumbuhan atau ketidak merataan fasilitas pembangunan, khususnya antara daerah pedesaan dan perkotaan. Akibatnya wilayah perkotaan menjadi magnet menarik bagi kaum urban untuk mencari pekerjaan.
Secara khusus urbanisasi pemuda yang berasal dari desa ke Kota Kupang pada umumnya karena melanjutkan studi, mencari pekerjaan baik sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), buruh, tukang ojek, pendorong gerobak dipasar-pasar, tertarik dengan gaya hidup di perkotaan yang didukung oleh fasilitas dan sarana pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.Berdasakan data dari Dinas Kependudukan Kota Kupang arus urbanisasi penduduk ke Kota Kupang selalu meningkat setiap tahun. Pada tahun 2018 arus penduduk dari desa ke Kota Kupang dengan tujuan mencari pekerjaan dan melanjutkan studi meningkat menjadi 40% dari tahun-tahun sebelumnya 20%.[5] Peningkatan ini pada satu sisi berdampak positif tetapi pada sisi yang lain terdapat juga dampak negatif, seperti meningkatnya angka pengangguran karena banyak pemuda yang melakukan urbanisasi ke kota tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai sehingga bekerja sebagai buruh, tukang ojek, penjaga tokoh, pembantu rumah tangga, bekerja di warung/rumah makan orang-orang Jawa, Cina dst, serta jenis pekerjaan lainnya. Bahkan ada juga yang tidak memiliki pekerjaan sehingga menjadi pengangguran saja. Kelompok ini rawan atau berpotensi menimbulkan persoalan dalam masyarakat.
Selain itu, akan muncul persoalan yang lain yakni berkaitan dengan tidak tertatanya penggunaan lahan di Kota Kupang. Penduduk Kota Kupang sekarang berjumlah 528.121 (Lima Ratus Dua puluh Delapan Ribu, Seratus Duapuluh Satu) jiwa, sedangkan luas wilayah Kota Kupang adalah 180,27 Km2. Kalau dibandingkan antara perkembangan penduduk yang terus bertambah dengan luasan wilahnya yang tidak bertambah maka dibayangkan problem sosial dan ekonomi serta masalah lainnya akan memperpuruk kondisi Kota Kupang ke depan. Pertanyaan penting dan menantang adalah: Bisakah masyarakat Kota Kupang menciptakan Kota Kupang sebagai kota yang aman dan membahagiakan? Dalam artian kehidupan masyarakatnya terus mengalami perubahan yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Beberapa persoalan mendasar yang terjadi di Kota Kupang sekarang ini adalah sebagai berikut[6] :
- Keterbatasan lahan dan penataannya.
- Masalah pendidikan
- Kesehatan
- Pengangguran
- Sarana air bersih
- Infrastruktur
Semua persoalan yang disebutkan di atas juga menjadi bagian dari pergumulan gereja (Baca: Gereja Masehi Injili di Timor), yang adalah bahagian dari masyarakat. Sudah seharusnya segala persoalan ini juga menjadi konteks pergumulan gereja, terutama dalam mewujudkan visi dan misi pelayanan yang relevan dengan pergumulan masyarakat. Pertanyaan penting bagi geraja adalah,”Sudah relevankah misi gereja dalam hubungannya konteks pergumulan yang demikian, terutama di Kota Kupang”?
Berhubungan dengan perhatian gereja, khususnya Gereja-gereja GMIT di Kota Kupang terhadap pemuda urban, belum berjalan dengan baik. Sebagian besar belum terjangkau dalam pelayanan gereja baik secara umum maupun secara khusus melalui Badan Pengurus Pemuda. Padahal pemuda memiliki potensi yang bila diberi perhatian yang baik oleh gereja, mereka bisa menjadi generasi masa kini dan masa depan gereja, masyarakat, bangsa dan Negara. Sebaliknya, bila diabaikan maka para pemuda ini bisa rentan terhadap persoalan yang di hadapi dalam masyarakat ketika mereka berada di kota ataupun ketika suatu waktu kembali ke daerah asal dapat membawa persoalan baru. Dalam kenyataannya, terjadi kesenjangan atau ‘gap’ antara pemuda kota dan pemuda yang berasal dari desa. Fokus pelayanan gereja lebih banyak terarah pada pemuda yang sudah bergabung dalam persekutuan kepemudaan yang pada umumnya berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa, sementara itu banyak pemuda yang datang dari desa ke kota belum tersentuh dengan baik dalam pelayanan gereja, yang pada umumnya bekerja pada sektor-sektor informal, seperti buruh, tukang ojek, pembantu rumah tangga, bekerja di toko, dsb.
Pada umumnya, keberadaan pemuda urban di Kota Kupang masih luput dari perhatian gereja karena beberapa alasan, yakni:
- Keberadaan mereka tidak diketahui oleh pihak gereja karena tidak melapor. Kalaupun ada yang teridentifikasi tidak mendapat pelayanan dari gereja karena tidak memiliki surat “atestasi’ (surat keterangan dari jemaat asal).
- Keberadaan pemuda urban selalu berpindah-pindah sehingga menyulitkan gereja untuk melakukan pelayanan. Oleh kerena itu, mereka tidak terdaftar secara resmi sebagai anggota jemaat.
- Padatnya pelayanan di jemaat kota sehingga keberadaan pemuda urban belum mendapat prioritas perhatian dari gereja. Orientasi pelayanan gereja masih dominan pada pembangunan gedung sehingga belum ada perhatian yang signifikan bagi pemuda.
- Jumlah anggota jemaat di kota yang besar membuat fokus pelayanan masih lebih pada pelayanan rutinitas menjadi salah satu penyebab kurangnya perhatian gereja terhadap pemuda.
Berdasarkan gambaran ini, dalam hubungannya dengan persoalan pemudah urban di Kota Kupang, jelas bahwa peran gereja (GMIT) melalui misi pelayanannya belum menjangkau keberadaan pemuda urban dengan segala eksisitensinya.
- Landasan Teori
Untuk membedah pokok ini maka saya mengunakan beberapa konsep teori berhubungan dengan misi, pemuda dan perdamaian:
Misi: david J Bosch. Melalui karyanya yang sangat terkenal, Transformasi Misi Kristen, Bosch memberi penekanan yang sangat kuat dan mendasar tentang missio Dei, yakni bahwa msisi pertama-tama adalah karya Allah Tri Tunggal, bukan gereja. dalam pengertian ini, gereja mendapatkan hak istimewa untuk terlibat dalam karya Allah. Dalam keterlibatannya untuk mngemban misi Allah tersebut, gereja harus senantiasa membaharui diri agar kehadirannya relevan dengan konteks pergumulan masyarakatnya. Pemikiran yang hampir sama juga disampaikan oleh Theo Sundermeier, yang memberi penekanan yang kuat pada arah misi gereja yang tertuju pada dunia dengan konteks pergumulannya. Mengapa demikian? Karena dunia memang mendapat perhatian dari kasih Allah. Oleh karena itu, misi gereja adalah memenuhi dunia dengan harapan-harapan berdasarkan kasih Allah dan dilakukan dalam semangat aksi bersama. Oleh karena itu titik pusat kehidupan Kristiani bukanlah gereja (eklesiosentris) melainkan menjadikan Kerajaan Allah (regnosentri). Misi gereja adalah menjadikan dirinya sebagai tanda dan alat yang efektif untuk menegakan Kerajaan Allah yang di dalamnya tercipta keadilan, perdamaian dan kasih.
Transforming World View (Paul G Hiebert)
Dalam kerangka pemikiran tentang misi, maka karya Paul G Hiebert tentang transforming world view sangat relevan. Alasan mendasarnya adalah bahwa sebuah misi yang relevan dan kontekstual mesti berangkat dari sebuah cara pandang yang benar tentang konteks pergumulan masyarakat yang bersifat dinamis. World view yang dimiliki gereja terhadap konteks pergumulan jemaat/masyarakatnya penting untuk memahami hakekat pergumulannnya sehingga dapat merumuskan pola/metode pelayanan yang strategis sesuai dengan konteksnya. Dalam hal ini Hiebert sangat memberi penekanan yang kuat pada world view yang berlandasaskan Alkitab sebagai ‘cetak biru”. Bagi Hiebert, melalui Alkitab sebagai sumber kebenaran yang dengannya manusai dapat mengenal apa kehendak Allah bagi manusia dan dunia ini. Misi gereja hanya akan bermanfaat kalau berangkat dari dasar yang benar.
Misi Perdamaian/Rekonsiliasi
KaryaWillard M Swartley, “Covenant of Peace’ sangat menolong untuk memhami konsep misi berhubungan dengan perdamaian. Swartley membahas tiga tema penting dalam karyanya ini yakni Kerajaan Allah, Injil dan Damai yang dibahas dalam Kitab-kitab Injil Sinoptik, serta beberapa surat Paulus, Yakobus, Petrus dan Yohanes. Dalam pembahasannya tersebut, Yesus menjadi tokoh sentral pembawa damai melalui kehidupan dan karya pelayananNya yang menyentuh kemanusiaan secara holistik. Dalam perspektif janji damai, Swartley melihat perdamaian bukan hanya sekedar sebagai ketiadaan konflik/perang tetapi juga sangat berhubungan dengan totalitas kehidupan kemanusiaan secara holistik. Perjuangan Allah untuk menyelamatkan manusia bersifat holistik. Bahkan dalam kitab-kitab Injil Sinoptik, Yesus menghubungkan Kerajaan Allah dengan kaum marginal.
III. GMIT dan Misinya-Pemuda –Perdamaian (Refleksi)
Titik berangkat kita untuk melihat misi GMIT terhadap pemuda dan relevansinya dengan perdamaian mesti di mulai dari perspektif Alkitab, baik Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB).
Persepektif PL tentang Perdamaian
Kata damai dalam PL adalah shalom(Ibrani), berati kedamaian, kesatuan, keselamatan, kesejahteraan, kesehatan dan persekutuan. Shalom juga berarti semua kekacauan dalam kehidupan manusia diatur, semua penyakit disembuhkan, semua gangguan diatasi , semua perpecahan dipesatukan kembali. Oleh karena itu, shalom bukan hanya berhubungan dengan ketiadaan musuh saja. Shalom juga berarti menikmati hubungan yang baik dengan diri sendiri, sesama dan lingkungan alam.
Perdamaian menurut PB
Damai dalam PB damai dikenal dengan istilah eirene (bahasa Yunani), yang memiliki banyak kesamaan dengan shalom dalam PL dan berhubungan dengan hal-hal yang material maupun fisikal seperti kesejahteraan, relasi yang baik dan karakter moral. Dalam PB eirene mendapatkan makna secara penuh dalam peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus, di mana melalui Kristus terjadi rekonsiliasi antara Allah dan manusia serta manusia dan sesama. Oleh karena itu, tema perdamaian dalam konteks PB tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan pelayanan Yesus pada jemaat perdana.
Dalam surat-surat Paulus istilah eirene terdapat 44 kali.dan berhubungan dengan sapaan/salam damai yang dutujukan kepada pribadi maupun jemaat. Ungkapan salam damai Paulus tersebut selalu berhubungan dengan pengertian eirene atau shalom yakni kehidupan yang utuh, harmonis antara manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya. Berulangkali dalam suratnya Paulus menegaskan tentang makna damai yang nyata melalui relasi yang harmonis antara manusia yang berbeda latar belakang, yang diikat dalam kasih Kristus (Ef 2:14:17;I Kor 14:33). Berdasarkan damai itu maka setiap orang hidup dengan sesamanya dalam semangat belas kasih, kemurahan hati, kelemahlembutan, ledabaran, saling mengampuni (Kol 3:15).
Dalam Pokok-pokok eklesiologi GMIT telah dirumuskan GMIT sebagai gereja milik Tuhan yang digambarkan sebagai keluarga Allah (Famili Dei). Konsep ini hendak mengaskan hakekat GMIT sebagai persekutuan persaudaraan sebagai anak-anak dari satu Bapa ditebus oleh darah Yesus, dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Metafora ini hendak mengaskan karakter persekutuan dan persaudaraan yang intim antara sesame anggotanya yang berasal dari berbagai latar belakang .meskipun demikian disadari bahwa untuk mewujudkan semangat keluarga Allah tersebut ada beberapa tantangan yang dihadapi seperti:
- Masih kuatnya budaya patenarlistik.
- Masih kuatnya orientasi pembangunan fisik daripada pembangunan manusia
- Keseimbangan antara ibadah serimornial, liturgis, formalitas dan aksi sosial masih perlu diperhatikan
Itu berarti spirit keluarga Allah mesti menjiwai seluruh kehidupan dan pelayanan gereja agar bisa dirasakan kehadirannya bagi semua anggota gereja tanpa terkecuali. Dalam hubungannya dengan misi GMIT terhadap Pemuda Urban sipirit ini penting, mengingat keberadaan pemuda dalam gereja penting memiliki potensi bagi pembangunan jemaat dan juga masyarakat. Secara historis organisasi pemuda GMIT pada semua lingkup pelayanan sudah ada sejak GMIT berdiri tetapi belum optimal diberdayakan potensinya. Secara khusus misi GMIT terhadap pemuda urban belum mendapat perhatian yang signifikankarena berbagai kendala internal maupun ekternal.
Ada empat model pengembangan pemuda urban yang dapat dilakukan GMIT:
- Pola pendekatan dengan mengoptimalkan potensi yang ada pada mereka.
- Pola pendampingan dengan memperhatikan konteks pergumulan pemuda urban
- Membangunan kapisitas untuk mendukung potensi yang ada pada mereka
- Kemauan yang kuat dari gereja untuk keluar dari “tembok gereja” dan menjumpai pemuda urban agar dapat memahami ‘ceritera hidup’ mereka. Ruang keterbukaan harus dibukakan bagi pemuda untuk dapat teraktualisasi potensi mereka.
Apa yang saya sampaikan ini berangkat dari sebuah kesadaran bahwa GMIT ingin menjadikan gereja sebagai rumah yang ramah dan damai bagi pemuda urban.
Bagaimana GMIT menjadi rumah yang ramah dan damai bagi pemuda urban
Bila Nabeel Jabour menggunakan ungkapan umat yang berserak dan Romo Mangunwijaya menyebut Gereja Diaspora,maka penulis mempergunakan ungkapan, GMIT menjadi Rumah yang ramah dan damai bagi Pemuda Urban. Konsep GMIT menjadi rumah bagi pemuda urban memberi tekanan pada kesadaran GMIT tentang realitas pemuda urban dan upaya konkrit yang dilakukan GMIT untuk mengakomodasi pergumulan pemuda urban dalam konteks saat ini maupun menuju masa depan yang terus mengalami perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Konsep GMIT menjadi Rumah bagi Pemuda Urban mengisyaratkan kesadaran gereja akan konteks misinya dan mau melakukan perubahan diri yang memberi penekanan kuat pada aspek nilai yang berdasarkan pada ajaran Yesus sehingga berdampak secara kualitatif bagi gereja dan masyarakat, khususnya bagi pemuda urban.
Konsep ini dengan sendirinya mendorong GMIT untuk tidak memahami diri sebatas sebagai masyarakat beragama Kristen yang terkungkung dalam dogma, aturan, tradisi, dan sebagainya, tetapi menjadi gereja yang bergerak menjumpai realitas dan melakukan karya pelayanan nyata yang menyentuh dan berdampak bagi dunia. Tantangan yang dihadapi oleh gereja di zaman teknologi semakin kompleks, di mana gaya hidup metropolitan merebak ke dalam seluruh sendi kehidupan manusia, termasuk pemuda urban. Panggilan misi GMIT bukan sekedar mempersiapkan pemuda urban untuk menguasai “pasar” tetapi terutama mempersiapkan pemuda urban dari sisi nilai, karakter yang menjadi fondasi etika, moral dan sipiritualitas, dan menjadi dasar bagi seorang pembawa damai (agent of peace). Hal ini membutuhkan kemauan dan keberanian untuk “masuk lebih ke dalam” untuk menjumpai pemuda urban dengan realitasnya agar tercipta relasi dan komunikasi yang bersifat dialogis dalam rangka saling memahami demi terciptanya sebuah paradigm misi yang relevan bagi pemuda urban dan berdampak bagi gereja maupun masyarakat.
Bila demikan maka GMIT mesti menggeser identitas eklesialnya dari komunitas iman ritual dan seremonial ke komunitas iman yang melayani kehidupan sehari hari. Bergeser dari gereja yang bersekutu di sekitar altar gereja di dalam gedung-gedung gereja yang tertutup ke gereja yang menjumpai realitas pergumulan pemuda urban untuk menopang kehidupan mereka. Dengan demikian maka GMIT dapat memberi makna yang baru kepada hakekat gereja sebagai tubuh Kristus (bnd Efesus 4:1-16; I Korintus 12:12-30; Kolose 3:5-11) dan keluarga Allah (Efesus 2:19; I Timotius 3:15). GMIT bukan sekedar untuk memperkuat identitas eklesialnya sebagai umat Kristen, tetapi juga identitas sosial kemasyarakatannya yang sedang menghadapi kekuatan ekonomi global dan semakin melemahnya modal sosial kemasyarakatan serta kecendrungan semakin memudarnya nilai-nilai kegamaan dan budaya. Pergeseran paradigma ini menolong GMIT untuk dapat menjangkau pemuda urban dan mengoptimalkan potensi mereka menjadi duta-duta perdamaian.
Konteks dunia di mana GMIT berada terus mengalami perubahan dalam skala yang begitu cepat dan massif, yang juga di alami pemuda urban. Melalui perkembangan teknologi dan komunikasi yang begitu cepat kehidupan pemuda urban dikuasai oleh kebebasan untuk memilih. Kehidupan seorang pemuda urban mengalami perubahan total sebagai akibat dari perubahan tersebut, dimana lebih cenderung untuk ‘diatur oleh pasar’ dan berpotensi untuk kehilangan jati dirinya sebagai seorang pemuda Kristen. Hal ini menjadi pergumulan bagi GMIT untuk melihat ini sebagai sebuah tantangan yang mendorong GMIT agar semakin ‘masuk ke dalam’ menjumpai dan memahami realitas pergumulan pemuda urban dan melakukan karya nyata yang relevan. Peran misi GMIT terhadap pemuda urban tidak sekedar berhubungan dengan kebutuhan material saja, tetapi juga memberi nilai-nilai etika, moral dan spiritualitas sesuai teladan Yesus Kristus.
Dalam upaya ke arah itu, penulis setuju dengan pikiran Eben Nuban Timo, yakni bahwa gereja perlu meninggalkan paham lama tentang dirinya sebagai institusi keselamatan dan mulai melihat dirinya sebagai sakramen keselamatan. Ini sisi pertama dari pembaruan pemahaman diri gereja. Gereja bukan lagi sekedar sebuah lembaga dengan organisasi, struktur dan aturan-aturan. Gereja harus lebih menampilkan diri sebagai tanda yang menghadirkan citra rasa kehidupan yang baru dan memancarkan terang sukacita di dalam masyarakat. Artinya gereja bukan pemilik atau sumber keselamatan. Ia adalah tanda yang merujuk kepada keselamatan.[7] Bila GMIT ingin menjadi gereja bagi pemuda urban, ia harus menyadari diri sebagai salah satu tanda keselamatan itu. GMIT perlu mengembangkan pendekatan transformatif bagi pemuda urban dengan obyektif melihat potensi mereka. Dalam hal ini, GMIT perlu mewartakan Injil sebagai berita tentang keselamatan masa kini, bukan sekedar melulu Injil sebagai berita tentang keselamatan masa depan.
GMIT sudah seharusnya menjadi rumah bagi semua yang ada di dalamnya karena iman kepada Yesus Kristus. Dan untuk menjadi rumah bagi semua anggotanya yang datang dari berbagai latar belakang, ia harus menjadi gereja yang terbuka. Dan keterbukaan itu membutuhkan kebesaran hati menerima perbedaan dan membiarkan setiap insan yang berada di dalamnya menjadi diri sendiri. Menjadi gereja yang terbuka juga membutuhkan komitmen yang kuat untuk konsisten memperjuangkan kebenaran, keadilan dan perdamaian bagi setiap manusia seperti yang diajarkan Kristus.
Dalam pengertian bahasa Inggris rumah memiliki arti house dan home. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, kata ‘rumah’ identik dengan tempat tinggal, tempat berteduh, bangunan fisik dari seseorang atau kelompok orang tinggal di dalamnya. Rumah sebagai tempat, gedung diartikan sebagai house. Sedangkan home, bermakna suasana, perasaan, kehidupan dari setiap orang yang tinggal di dalam rumah (baca: house). Orang bisa mempunyai house yang mewah, megah dan mahal, tetapi belum tentu dia mendapatkan home di dalamnya. Begitu pula sebaliknya, seseorang mungkin tidak punya rumah yang bagus, tetapi dia memiliki home yang membuatnya betah tinggal di rumah tersebut. Home tidak dibatasi oleh tempat atau gedung tertentu. Home dapat dinikmati dan dirasakan dalam komunitas.
Gereja bukan hanya gedung, gereja utamanya adalah orangnya, komunitasnya. Lebih tepatnya gereja adalah komunitas spiritual yang membentuk manusia dalam iman, seperti yang didefinisikan oleh Bass, “Gereja sebagai homemerupakan komunitas yang berproses, sebuah tempat di mana manusia belajar seni hidup melalui doa, discernment, keraifan, dan ceritera kehidupan Kristen seiring dengan karunia Allah. Komunitas ini merupakan implementasi iman yang penuh kasih, sebuah kehidupan yang tidak ditentukan oleh doktrin yang ketat dan kepastian moral namun yang hidup melalui persahabatan sejati dan implementasi iman setiap hari.[8]
Dalam konteks seperti gambaran di atas, GMIT mesti mengembangkan diri melalui misinya menjadi rumah bagi pemuda urban. Dalam mewujudkan GMIT menjadi home bagi pemuda urban tentu perlu diusahakan, dihadirkan dan dipelihara. Dan bagi penulis, untuk mewujudkan hal ini GMIT perlu melihat kembali semangat misinya yang didasari pada nilai-nilai Kristen seperti yang diajarkan dan dihidupi oleh Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja. GMIT menjadi home bagi pemuda urban artinya mengembangkan sikap keterbukaan dengan kesadaran bahwa pemuda urban adalah bahagian yang tak terpisahkan dari pesekutuan sebagai keluarga Allah yang berhak memperoleh pelayanan yang setara tanpa dibeda-bedakan serta turut berperan dalam pembangunan tubuh Kristus melalui karyanya dalam gereja dan masyarakat.
Bagaimana GMIT dapat menjadi rumah bagi kehidupan pemuda urban? Jawabannya adalah bila GMIT menjadi menjadi rumah yang terbuka, mengembangkan keramahtamahan dalam menyambut kaum muda urban yang datang dan membuat mereka merasa at home, mewujudkan rekonsiliasi dan katoliksitas, dan memberdayakan mereka untuk terlibat dalam persekutuan gereja. Dalam bukunya Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition (1999), Christine D Pohl,[9] memperlihatkan bahwa hospitalitas atau keramatahan adalah cara hidup yang mendasar bagi identitas kekristenan. Keramatamahan juga sangat dibutuhkan oleh setiap orang, seperti gereja mula-mula yang sangat mementingkan praktik keramatamahan dalam kehidupan sehari-hari. Hospitality dimengerti sebagai “expressed in personal relationship of a human life”, melalui tindakan “open herat and church”[10] Dalam konteks GMIT konsep keramatamahan ini sangat relevan dengan budaya “ketimoran” yang sangat menjunjung tinggi nilai persahabatan dan persaudaraan.
Keramatamahan yang dikembangkan GMIT bagi pemuda urban dengan sendirinya merangkul mereka dalam persekutuan gereja sebagai rumah bersama yang memberi kedamaian dan memungkinkan untuk merasakan cinta kasih dan persaudaraan yang penuh damai. Dan selanjutnya nilai-nilai persudaraan yang telah dialami dari dalam gereja sebagai rumah bersama dikembangkan lebih luas dalam kehidupan masyarakat. Dalam keramatamahan tersebut GMIT menjumpai dan merangkul kaum muda urban yang mengalami penolakan, diskriminasi, dan persoalan lainnya. Mereka dapat saja ditolak oleh siapa saja, tetapi satu-satunya tempat yang tidak menolak mereka yaitu gereja. Dalam segala bentuk keterbatasan mereka diterima sebagai pribadi-pribadi yang berharga untuk membangun kehidupan bersama-sama. Dalam persekutuan mereka merasakan homelike (suasana seperti rumah sendiri). Merasa nyaman dan aman sehingga dapat bertumbuh dalam persekutuan untuk menjadi pribadi-pribadi yang cinta damai dan menjadi pembawa damai.
Pada sisi lain, keramatamahan tidak hanya membuat pemuda urban disambut dan diterima, tetapi juga membuat para pemimpin gereja menyadari bahwa mereka tidak terpisah dari pemuda urban karena jabatan yang dimiliki. Justru, jabatan membuat mereka berada di tengah-tengah realitas pemuda urban. Amanat yang mereka terima dari Tuhan dan umat semakin memperjelas bahwa yang membuat mereka berbeda dari pemuda urban sebagai umat bukan karena posisi, tetapi fungsi. Dengan demikian relasi yang terbangun di antara pemuda urban dan pemimpin bukan relasi subyek-obyek, tetapi relasi subjek-subjek.
Dalam keterbukaan seperti ini gereja mengalami betapa indahnya berbagi dan solider dengan kaum muda urban, yang benar-benar dimulai dengan hati yang mengasihi. Pada akhirnya, keramatahan gereja membuat hierarki dipahami dalam perspektif yang baru. Sesungguhnya ada relasi hierarkis antara Allah dan manusia. Kasih membuat Allah berinkarnasi dalam diri Yesus Kristus. Ia berkenan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Relasi hierakis ini membuat Allah hadir di antara manusi, tetapi sebagai kesediaan berkorban untuk manusia. Karya Allah ini membuat hierarki ditransformasi, tidak lagi dengan tingkatan, jarak, atau jurang antara Allah dan manusia, tetapi sebagai kesediaan untuk berkorban untuk manusia. Inilah yang membuat manusia mengalami hospitalitas Allah yang tanpa batas karena Ia telah menembusi batas. Dalam perspektif keramatamahan Allah, hierarki dapat dipahami sebagai kesediaan berkorban atau pun berpartisipasi dalam karya-karya nyata yang menghidupkan. Dalam pemahaman yang demikian GMIT menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi kaum muda urban bahkan bagi siapa saja tanpa memandang perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lain. Justru dalam perbedaan tersebut, terjadi keterhubungan satu sama yang lain untuk terus menerus berbagi.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, eklesiologi keramatahan membuat kaum muda urban yang keberadaannya seringkali tidak begitu dihargai akan mengalami penerimaan yang bertolak dari apresiasi terhadap setiap pribadi. Eklesiologi keramataahan GMIT pada akhirnya mengembangkan cara bergereja yang tidak bertolak dari kuasa yang terus menerus membangun dan mempertebal batas sehingga menjadi “tembok” yang tinggi dan tebal dan kuat. Eklesiologi keramatamahan GMIT mengembangkan cara bergereja yang berpusat pada kasih Kristus sehingga GMIT menjadi persekutuan yang terbuka untuk menyambut dan menghargai setiap perbedaan, dan memiliki solidaritas bagi kaum muda urban. Dengan mengembangkan keramatamahan terhadap kaum muda urban, GMIT menjadi persekutuan yang terbuka, setara, dan berkomitmen untuk mencari anggota-anggota tubuh yang menderita karena berbagai persoalan dan membuat keramatahan Allah dialami secara nyata oleh pemuda urban dengan segala realitasnya.
- Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Urbanisasi adalah sebuah realitas sosial yang dialami oleh masyarakat dari waktu ke waktu dengan segala dampaknya. Urbanisasi tidak saja memicu meningkatnya pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, tetapi sekaligus menimbulkan berbagai dampak ikutan yang bersifat postif maupun negatif. Dampak positif dari urbanisasi adalah kemudahan memperoleh lapangan pekerjaan di daerah perkotaan dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Selain itu, memudahkan bagi masyarakat perkotaan untuk memperoleh tenaga kerja berdasarkan kebutuhannya. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa urbanisasi juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat perkotaan, seperti terjadinya ledakan pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, terbatasnya sarana perumahan yang kemudian menghasilkan perkampungan-perkampungan kumuh yang berpengaruh kepada keindahan kota dan juga kesehatan, meningkatnya angka pengangguran, munculnya persoalan-persoalan sosial seperti, premanisme, pergaulan bebas, polusi, dsb.
Kota Kupang adalah ibukota provinsi NTT yang menjadi ‘magnet’ bagi penduduk dari berbagai daerah di NTT dan luar NTT dengan berbagai tujuan, seperti melanjutkan pendidikan, mencari pekerjaan, dst. Arus urban ini terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu dan banyak berdampak bagi kehidupan masyarakat di Kota Kupang. Secara khusus urbanisasi kaum muda ke Kota Kupang mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Hal tersebut selain dipicuh oleh keinginan untuk melanjutkan pendidikan, faktor ekonomi, tetapi juga karena tuntutan gaya hidup sebagai akibat dari modernisasi. Dalam hubungannya dengan urbanisasi kaum urban ke Kota Kupang lebih banyak didominasi oleh kaum muda yang putus sekolah dan minim pengetahuan dan ketrampilan. Pada umumnya bekerja sebagai buruh, tukang ojek, berjualan di pasar, penjaga toko, bekerja di kafe, hotel. dsb. Bahkan ada pula yang tidak memiliki pekerjaan dan menjadi pengangguran di kota, sehingga sangat berpotensi menimbulkan persoalan di kota.
Berdasarkan hasil penilitian penulis dengan mempergunakan penelitian kualitatif, yakni menggunakan instrument observasi dan wawancara serta kajian literatur, memperlihatkan bahwa peran GMIT melalui misinya terhadap realitas kaum muda urban di Kota Kupang dan relevansinya dengan perdamaian masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan kunci sehubungan dengan topik penelitian ini memperlihatkan bahwa kurangnya perhatian misi GMIT terhadap pemuda urban GMIT di Kota Kupang selain karena persoalan-persoalan praktis seperti padatnya pelayanan para pelaku pelayanan di jemaat kota karena besarnya jumlah jemaat di kota tetapi persoalan yang paling mendasar menurut penulis adalah pemahaman terhadap konteks pelayanan gereja yang masih terbatas. Akibatnya, gereja masih dipahami secara tradisional dan konfensional, seperti orientasi pemahaman yang masih kuat pada pembangunan fisik daripada pembangunan manusia, gereja masih “berbangga” bila saldo keuangan gereja dapat disimpan di bank dalam jumlah yang besar daripada diperuntuhkaan bagi pengembangan sumber daya manusianya.
Melihat situasi dan kondisi seperti yang penulis gambarkan di atas, beberapa teori yang berhubungan dengan peran misi gereja dan realitas pemuda dan perdamaian menolong GMIT untuk melakukan evaluasi dan refleksi kembali terhadap konsep misinya agar relevan menjawab tuntutan pergumulan masyarakat, khususnya kaum urban. Beberapa pemikiran yang sangat kontekstual dan relevan seperti Bosch, Sundermeier, Volf, Bof, Kolimon, Hiebert, Widjaja, dan lainnya sangat bermanfaat untuk melakukan transformasi sehubungan dengan peran misi GMIT bagi kaum urban dan relevansinya dengan perdamaian.
Realitas kaum muda urban di Kota Kupang menjadi sebuah konteks pergumulan bagi Gereja (GMIT) yang dalam kenyataannya belum memberi perhatian yang memadai melalui misi pelayanannya. Munculnya persoalan-persoalan di sekitar kaum muda urban di Kota Kupang tidak terlepas pula dari terbatasnya perhatian gereja, seperti pendampingan gereja bagi kaum muda urban. Pada umumnya, gereja-gereja di wilayah perkotaan yang memiliki kecukupan sumber daya manusia dan sumber daya dana belum memberi perhatian secara signifikan oleh karena masih kuatnya orientasi pembangunan fisik gereja, dan kecendrungan untuk menyimpan keuangan gereja di bank dalam jumlah yang besar. Hal tersebut juag dipengaruhi oleh masih terbatasnya pemahaman dan penghayatan terhadap konteks pergumulan gereja, terutama dalam menjawab persoalan-persoalan gereja dan masyarakat yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pola pelayanan jemaat perkotaan masih lebih banyak dominan pada pelayanan-pelayanan rutinitas yang banyak menghabiskan waktu, tenaga, daya dan dana. Sebagai akibatnya, pelayanan yang menyentuh atau relevan dengan konteks pergumulan gereja dan masyarakat masih lambat, khususnya bagi kaum muda urban. Sebagai gereja yang warga jemaatnya mayoritas di Kota Kupang, yakni terdiri dari satu wilayah Klasis, 68 jemaat dan dilayani oleh 46 tenaga pendeta, banyak waktu dan tenaga diperuntukan untuk pelayanan-pelayanan rutinitas seperti ibadah minggu, ibadah keluarga, kategorial fungsional dan jenis ibadah lainnya.
Secara khusus, beberapa faktor penyebab masih terbatasnya perhatian gereja terhadap pelayanan kaum muda urban GMIT karena, tidak teridentifikasinya keberadaan pemuda urban di Kota Kupang karena tidak melapor ke pihak gereja, terkecuali bagi yang melanjutkan pendidikan atau bekerja dalam waktu yang relatif lama dan tinggal bersama keluarga atau pengampuh yang berlatar belakang warga GMIT. Sementara itu, yang tinggal di koskosan, kontrakan pada umumnya tidak diketahui oleh pihak gereja, terkecuali bila ada perkunjungan dan pendataan atas inisiatif gereja. Mereka yang tidak terindentifikasi ini paling berpotensi terhadap persoalan-persoalan sosial karena tidak adanya control, baik dari pemerintah maupun gereja.
Atas berbagai realitas pergumulan berhubungan dengan pemuda urban, maka menurut penulis GMIT sudah seharusnya mengembangkan kepekaan konteks pergumulannya terhadap realitas pemuda agar dapat mengembangan misi yang relevan terhadap pemuda urban sehingga dapat menjadi duta-duta perdamaian. Kesadaran akan konteks misi GMIT ini berlandaskan pada perspektif teologis yang baik dan benar yang menjadi dasar bagi misi GMIT bagi pemuda urban. GMIT mesti menjadi representasi Allah dalam menyatakan salom Allah bagi pemuda urban melalui karya-karya nyata pelayanannya. GMIT berada pada konteks masyarakat yang mengalami perubahan yang cepat dan pesat yang juga dialami oleh pemuda urban. Perubahan zaman telah mengubah tatanan masyarakat yang selama ini dianggap sudah mapan. Beberapa kalangan meyebut fenomena ini sebagai disrupsi (disruption). Hal ini mesti membuat GMIT serius memikirkan ulang akan misinya sesuai spirit “ecclesia semper reformanda est”. Setiap transisi dan perubahan selalu ada dalam kehidupan bergereja
GMIT menjadi gereja yang merangkul. Pada abad ke-21 ini disebut sebagai the era of the greatest human mobility, dimana perpindahan orang-orang dari satu tempat ke tempat lainnya telah menjadi fenomena zaman ini yang harus disadari dan dipertimbangkan oleh GMIT dalam menjalankan misinya. Derasnya arus migran telah mengubah wajah gereja dari gereja yang dulunya bersifat kesukuan menjadi gereja yang kini anggotanya lebih hetrogen atau multietnis. Gereja mengalami pemajemukan dan karenanya gereja didorong untuk merumuskan kembali eklesiologi yang mengakomodasi fenomena migran ini.
Konteks perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dalam skala yang begitu cepat dan massif, khususnya bagi kaum muda urban mengharuskan GMIT merumuskan kembali pola pelayanannya agar relevan dalam menjawab pergumulan kaum muda urban sehingga dapat menjadi duta-duta perdamaian. Dalam hubungannya dengan hal ini, orientasi misi GMIT yang selama ini masih sangat kuat pada pembangunan fisik gereja perlu dilihat kembali dalam rangka memberi keseimbangan pada pembangunan sumber daya manusianya.
Dalam rangka peran misinya bagi kaum muda urban agar dapat menjadi duta-duta perdamaian dalam gereja maupun masyarakat maka GMIT perlu mengembangkan perannya sebagai rumah yang ramah dan damai bagi kaum urban. Dalam hal ini GMIT menjadi ‘home’ dan bukan sekedar ‘house’. Menjadi home artinya menjadi rumah yang terbuka dan mengembangkan keramatamahan yang memungkinkan semua orang yang datang ke rumah GMIT merasakan cinta kasih, persaudaraan, kedamaian yang pada akhirnya melahirkan spirit damai yang bertumbuh dari dalam rumah bersama dan memberi dampak lebih luas dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Suasana yang penuh damai yang dirasakan oleh kaum muda urban di dalam gereja sebagai rumah bersama akan memberi dampak besar dalam membentuk kehidupan kaum muda urban yang cinta damai dan suka berbagai cinta kasih dan damai pula dalam kehidupan mereka secara pribadi maupun persekutuan.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan beberapa usul saran dan rekomendasi yang dapat diperhatikan, yakni:
Pertama,Persoalan urbanisasi sudah seharusnya menjadi pergumulan GMIT yang mesti diberi perhatian serius, sebab sudah menjadi realitas dari konteks pelayanan gereja. Kesadaran akan konteks pergumulan GMIT dalam hubungannya dengan kaum muda urban membuat gereja dapat melakukan langkah-langkah strategis di dalam merespon realitas ini, melalui visi dan misi pelayanannya. Urbanisasi dan segala dampaknya tidak bisa dipahami gereja hanya sebagai sebuah fenomena sosial semata tetapi gereja harus menyikapinya secara startegis pula, terutama dampaknya terhadap kaum muda urban GMIT. Seiring dengan berkembangnya kehidupan dalam berbagai bidang di era milineal ini tantangan yang dihadapi oleh kaum muda urban juga semakin kompleks. Gereja memiliki peran yang strategis untuk dapat mendampingi kaum muda urban agar tidak terjebak dengan tantangan zaman tetapi dapat ‘menguasainya’ dengan tetap memegang teguh prinsip-pronsip hidup kristiani sebagai landasan yang kuat. Dalam hubungannya dengan pikiran di atas, GMIT mesti terus mengembangkan diri menjadi gereja yang inklusif, inovatif, dan transformatif. Menjadi gereja yang “inklusif’ artinya GMIT diajak untuk mewujudkan gereja yang semakin (membuka diri dan memeluk) dan terbuka terhadap keterlibatan banyak pihak, sekaligus ikut terlibat dengan usaha-usaha bersama membangun gereja dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan terlibat dalam aneka kegiatan masyarakat dalam menangani persoalan-persoalan sosial seperti, narkoba, ketidakadilan, membangun kerukunan masyarakat, ekologi, dsb. Inovatif menunjuk pada keberanian untuk mencari bentuk-bentuk pastoral yang baru dan nyata dalam membawa kesejahteraan bagi jemaat dan masyarakat. Sedangkan transformatif adalah upaya untuk membawa perubahan yang baik demi kemajuan masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, maka gereja harus membangun relasi dan kerjasama yang baik dengan pihak-pihak lain lintas SARA. Singkatnya GMIT harus terbuka dan membuka diri bagi perkembangan masyarakat yang sangat majemuk.
Kedua, Mempertegas posisi Pemuda dalam struktur organisasi GMIT. Hal ini menjadi salah satu faktor penting yang mesti diperhatikan agar posisi pemuda dalam struktur bisa menjadi lebih jelas dan terutama fungsi dan wewenangnya, mulai dari lingkup jemaat, klasis dan sinode. Sebagai gereja yang kuat menekankan organisasi, posisi struktural pemuda sangat penting dalam rangka mempertegas fungsi dan wewenangnya dalam gereja dalam rangka meningkatkan perannya dalam gereja maupun masyarakat.
Ketiga, Mengakomodir keberadaan Pemuda Urban dalam struktur kepengurusan Pemuda, Maksudnya adalah dengan adanya representasi kehadiran pemuda urban dalam badan kepengurusan pemuda yang tentu berdampak pada terakomodasinya pergumulan pemuda urban dalam program-program kepemudaan. Dalam realitas kepengurusan Pemuda, baik di lingkup jemaat maupun klasis di Kota Kupang masih sangat terbatas mengakomodir pemuda urban sehingga mereka sangat terbatas keterlibatannya dalam pelayanan gereja.
Keempat, Menjadi gereja yang terbuka dan merangkul. Konteks jemaat kota yang bersifat hetrogen karena dikunjungi oleh orang dari berbagai suku, budaya dan denominasi harus membuat GMIT menjadi gereja yang terbuka. Berbagai perbedaan seringkali masih menjadi penghambat keterlibatan pendatang dalam gereja ataupun kesempatan yang diberikan bagi pemuda urban untuk terlibat dalam pelayanan gereja. Ditambah lagi dengan masih adanya peraturan gereja yang masih terlalu fokus pada member only untuk terlibat dalam pelayanan, seperti pemuda urban yang pada umumnya tidak memiliki surat atestasi dari jemaat asal mereka. Bagaimana gereja dapat berperan dalam kehidupan pemuda urban, juga bagaimana pemuda urban dapat berperan dalam kehidupan gereja di kota? Keramatamahan menjadi kunci utnuk menyambut pemuda urban agar mereka merasa diterima, dihargai bahkan diapresiasi potensi mereka. Keramatamahan sebagai ekspresi menghargai, menerima, peduli terhadap sesama yang berbeda dan membuat mereka merasa at home, terbuka kemungkinan bagi mereka untuk berperan dalam kehidupan dan pelayanan jemaat. Penerimaan yang penuh keramatamahan menjadi tanda hidupnya sebuah komunitas atau persekutuan.
Kelima,Program pertukaran pemuda lintas SARA. Demi mewujudkan wawasan damai pemuda yang lintas SARA maka sangat penting adanya program pertukaran pemuda. Dalam konteks Kota Kupang yang masyarakatnya sangat heterogen pemuda GMIT perlu di dorong untuk mengalami perjumpaan dan belajar juga dari komunitas yang lintas SARA. Hal ini penting untuk mengembangkan wawasan perdamaian yang lebih luas bagi generasi muda. Program tersebut sangat penting untuk terus ditingkatkan dengan melibatkan komunitas kaum muda urban yang ada agar dapat meningkatkan wawasan mereka, khususnya yang berhubungan dengan perdamaian. Dalam hubungan dengan gagasan ini, keberadaan Komunitas Orang Muda Lintas Agama (KOMPAK) sudah bisa dijadikan sebagai wadah bagi orang muda untuk membina dan membentuk wawasan damai mereka.
Keenam,Program yang relevan dengan kebutuhan pemuda urban. Gereja mesti mengembangkan relasi yang bersifat dialogis dengan pemuda urban agar dapat memahami apa sesungguhnya yang menjadi pergumulan mereka dan merealisasikannya dalam program gereja. Selain itu gereja mesti berperan menjadi sumber informasi bagi pemuda dalam rangka membuka peluang dan kesempatan dalam mengembangkan potensi pemuda. Dalam konteks jemaat kota, hal ini semestinya tidak menjadi persoalan sebab sangat didukung oleh potensi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya.
Ketujuh,GMIT perlu mengembangkan kurikulum pembinaan pemuda yang berbasis perdamaian dalam rangka mengembangkan wawasan pemuda agar dapat menjadi duta-duta perdamaian dalam kehidupan pribadi, keluarga, gereja dan masyarakat. Kurikulum tersebut dapat dikomparasikan dengan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat dan relevan dengan perdamaian. Untuk mewujudkan hal ini tentu dibutuhkan kajian dan analisis yang komprehenship agar kurikulum dan materi yang berhubungan dengan bina damai pemuda relevan.
Kedelapan,Perlu dibangunnya sebuah sistem keanggotan jemaat yang ramah terhadap kaum urban sebab selama ini keanggotaan kaum urban di jemaat perkotaan belum diatur dengan jelas karena pada umumnya mereka tidak membawa surat rekomendasi/ atestasi ketika datang ke Kota Kupang. Hal ini menjadi salah satu penyebab kurangnya pelayanan gereja terhadap kaum muda urban. Pada umumnya yang membawa rekomendasi dari jemnaat asal di desa adalah karena melanjutkan pendidikan atau bekerja secara tetap dan tinggal di kota dalam jangka waktu yang lama. Sementara itu bagi pemuda urban yang bukan pelajar atau mahasiswa praktis tidak teridentifikasi dengan baik dan berdampak pada hal-hal lainnya. Dalam hubungannya dengan hal ini, maka perlu adanya kerjasama antar gereja di kota dan desa dalam lingkungan GMIT berhubungan dengan arus migrasi anggota jemaat dengan memperhatikan pemberian surat keterangan atau rekomendasi sehingga dapat di ketahui identitasnya ketika berada di kota demi kepentingan pelayanan.
Kesembilan,Kerjasama GMIT dan pemerintah dalam hubungan dengan pemberdayaan potensi kaum muda urban harus terus ditingkatkan. Salah satu peluang kerjasama yang dapat dikembangkan adalah dengan adanya program pemerintah melalui UU RI no.6 tahun 2014 tentang dana desa di mana GMIT sendiri sejak tahun 2017 telah melakukan MOU dengan Kementrian Desa Tertinggal dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Regulasi ini, menjadi jembatan bagi gereja untuk masuk lebih dalam lagi dalam upaya gereja hadir di tengah-tengah masayarakat untuk bersama-sama pemerintah menggumuli persoalan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan sebuah cita-cita dalam rangka mewujudkan peradaban kasih bagi umat dan masyarakat.
[1]World Resources Institute, World Resources 2000-2001 (New York: Oxford University Press, 2011), 62.
[2] Alan Gilbertb & Josef Gugler, Urbanisasi dan Kemiskinan Di Dunia Ketiga (PT. Tiara Wacana Yogya, 1996), xiii.
[3]Prospect of World Urbanization (Melborne: International Congres of The World Association of major Metropolis, 1990).
[4]Agus Wibowo, Mengatasi Problem Urbanisasi, diakses dari http://aguswibowo82.blogspot/2008/10/mengatasi problem urbanisasi
[5]Buku Profil Kota Kupang Tahun 2018, Pemerintah Kota Kupang.
[6]Lay Djaranjoera, Kitong Punya Kupang, Kupang Punya Kitong(Sebuah Makalah yang dipresentasikan dalam Seminar Dialog Publik oleh Pemda Kota Kupang tahun 2010). 10-15.
[7] Ibid,147-148.
[8] Bass, Dinna Butler, Christianity for the Rest of Us, (San Fransisco: Harper Collins Publisher, 2006), 36
[9] Pohl, Christine D, Making Room: Recovering Hospitality as a Christian Tradition,(Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing.1999),35
[10] Andrew Hamilton, The Other Bits Ministry as Hospitality”, Majalah The Way: Contemporary Christian Spiritality, Januari 1999,79.