KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Selama dua minggu penuh 27 orang peserta Nusantara School of Difference yang berasal dari lima negara dan 8 provinsi bersama-sama belajar tentang Understanding Minority-Majority Relations: Lessons from the Indonesian Archipelago. Kegiatan ini merupakan kerjasama yang dilakukan oleh IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change) dan CEDAR (Communities Engage with Difference and Religions).
IRGSC adalah lembaga riset aksi yang berbasis di Kupang, NTT dan CEDAR merupakan lembaga yang berbasis di Boston, Amerika Serikat. Nusantara School of Difference merupakan insiatif IRGSC dan CEDAR yang didukung oleh MUI Provinsi NTT, Sinode GMIT, dan Keuskupan Agung Kupang.
Para peserta berasal dari empat negara Amerika Serikat, Vietnam, Moldova, Kyrgyzstan, Indonesia. Sedangkan di Indonesia para peserta berasal dari 8 provinsi masing-masing Aceh, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Dari NTT diwakili oleh empat orang masing-masing Pdt. Irwan Matoneng dan Pdt. Merry Kosapilawan dari GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor), Romo Januario Gonzaga dari Keuskupan Agung Kupang, Siti Hajar (dosen Univ.Muhammadiyah Kupang), dan Yohanes Victor Lasi Usbobo.
Dalam workshop panjang yang dilakukan di tiga provinsi yakin DKI Jakarta, Jawa Barat dan NTT, para peserta diajak untuk melihat, mengalami, merasakan, dan menganalisa tentang dampak kategori minoritas/mayoritas dalam hidup sehari-hari dalam berbagai komunitas.
Jawa Barat
Di Jawa Barat para peserta diajak belajar bersama warga yang terkena penggusuran di Taman Sari, para pegiat pemberdaya ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) di Rumah Cemara, komunitas Syiah, warga Jamaah Ahmadiyah, Komunitas Sunda Wiwitan, Gereja Kristen Pasundan, dan Komunitas Katholik Cigugur.
Di Bandung, para peserta Nusantara School of Difference yang kedua yang berasal dari berbagai negara, juga berupaya menginterpretasikan ulang tentang Kongres Asia Afrika dalam konteks kontemporer. Salah satu pembicara, Hendro Sangkoyo mengungkapkan dalam era terkini kekuatan finansial berbagai lembagai internasional semakin membuat janji-janji kemerdekaan maupun impian negara-negara Asia Afrika di awal kemerdekaan terasa semakin kosong.
Selain itu, Eva salah seorang warga Taman Sari Bandung yang juga dikunjungi oleh rombongan belajar ini mengungkapkan bahwa ia berharap lewat kunjungan ini pemerintah kota Bandung mau memberikan informasi yang lebih terbuka tentang rencana pengembangan ruang. Menurutnya pengembangan kota perlu memperhatikan keberadaan warga yang sudah berpuluh tahun di sini.
Kunjungan ke Rumah Cemara memberikan perspektif baru dalam penanganan kasus HIV/AIDS yang prevalensinya semakin meningkat di Bandung. Didirikan oleh lima (mantan) konsumen NAPZA ilegal pada 2003. Organisasi komunitas ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV-AIDS, konsumen narkoba, serta kaum marginal lainnya di Indonesia melalui pendekatan dukungan sebaya.
Rumah Cemara memimpikan Indonesia tanpa stigma dan diskriminasi di mana semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk maju, memperoleh layanan HIV dan NAPZA yang bermutu, serta dilindungi sesuai konstitusi. Untuk dapat mewujudkannya, Rumah Cemara akan turut serta dalam upaya penanggulangan AIDS dan pengendalian NAPZA nasional beserta perumusan kebijakannya yang berpihak pada pemenuhan HAM dan kesetaraan.
Para peserta yang berasal dari lima negara ini juga berkunjung ke Kuningan. Mereka berdialog dengan warga Sunda Wiwitan di Cigugur dan Jamaah Ahmadiyah di Manis Lor. “Saya sangat bersemangat mengikuti pertemuan ini di Jawa Barat, meskipun karena waktunya amat pendek, keinginan untuk berdialog dengan warga biasa masih sangat terbatas, saya berharap bisa tinggal lebih lama untuk belajar, mudah-mudahan di Timor Barat bisa saya dapatkan,” kata Rosnida Sari, dosen UIN Arr Raniri Banda Aceh.
Di Cigugur misalnya Pangeran Gumira dari Sunda Wiwitan mengingatkan tentang pentingnya kekuasaan untuk kembali pada filosofi budaya lokal. “Di singasana misalnya dalam budaya Sunda Wiwitan, kaki dari singasana disimbolkan dengan naga, sedangkan kepala kijang ada di atasnya, hal ini menandakan bahwa kekuasaan tak hanya mengandalkan kekerasan, tetapi juga berlandaskan pada kebijaksanaan untuk warga, kebijaksanaan haruslah didahulukan, dan bukan kekerasan,” kata Pangeran Gumira.
Para warga Jamaah Amadiyah di Manis Lor yang di Kuningan pun juga berharap bahwa hidup berdampingan secara damai perlu menjadi usaha semua pihak. “Kunjungan ke Jawa Barat ini membuat saya banyak belajar tentang warna-warni di dalam agama, prasangka yang saya punya gugur ketika saya berkunjung ke Jawa Barat, orang-orangnya begitu ramah,” kata Januario Gonzaga seorang pastor dari Keuskupan Agung Kupang yang bekerja di Oipoli, daerah yang berbatasan dengan Timor Leste.
Kegiatan Nusantara School of Differencejuga memberikan kesan membangun persahabatan yang baik. Setiap peserta saling berkenalan. Tidak saja memperkenalkan dirinya tetapi juga negara, budaya dan kebiasaan kebiasaan setempat. Khazanah para peserta dibuka untuk memiliki pemahaman yang lebih luas. Persahabatan yang dibangun di antara peserta menjadikan kegiatan ini berwarna dan bernuansa.
“Melalui Nusantara School of Different, saya mendapatkan suatu kesadaran bahwa perjumpaan dengan orang lain yang berbeda dapat menepis suatu kecurigaan, menghilangkan batas tanpa kehilangan identitas diri,” kata Merry Kosapilawan salah seorang pendeta GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) yang bekerja di Lembor, Flores.
Nusa Tenggara Timur
Sedangkan di NTT, para peserta belajar dari berbagai komunitas diantaranya, Komunitas Film Kupang (KFK), Jamaah Al Islah Al Islamiyah Lasiana, Komunitas Muslim di Desa Tliu (OeEkam), warga desa OhAem, Amfoang, para pekerja seks komersil di Karang Dempel.
“Saya tidak bisa berkata-kata tentang tentang sambutan yang kami terima, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih atas kebersamaan dan penerimaan yang begitu baik,” ujar Prof. Adam Seligman ketika menutup kunjungan di Desa OhAem, Amfoang, Kabupaten Kupang tanggal 9 Agustus 2019. Dalam kunjungan ke berbagai komunitas, para peserta diajak untuk memahami persoalan sehari-hari yang dialami oleh berbagai komunitas.
Sedangkan Kepala Desa OhAem, Matheos Tanaem, dalam sambutannya ia mengungkapkan bahwa hari ini kami merasa bagian dari Indonesia. “Selama ini orang hanya tahu Indonesia itu lebih di Jawa dan Bali, hari kami bisa merasakan Indonesia di OhAem, karena dikunjungi saudara-saudara kami dari provinsi lain, dan negara lain,” kata Matheos.
Para pengajar yang terlibat dalam Nusantara School of Difference yang kedua ini adalah Prof. Adam Seligman, Hendro Sangkoyo PhD, Wawan Gunawan, Risa Permanadeli PhD, Dr.Philipus Tule SVD, John Campbell Nelson PhD, Nia Syarifudin (ANBTI), Savic Alielha (NU On line), Emmy Sahertian (BPP Advokasi dan Perdamaian Sinode GMIT) , David Fina (Yayasan Alfa Omega), dan Adelina (OPSI).
Kegiatan ini terlaksana berkat dukungan dari komunitas-komunitas yang dikunjungi antara lain Gereja Kristen Pasundan, Sekolah Damai Bandung, LBH Bandung, IJABI, Jamaah Ahmadiyah Manis Lor, Gereja Katolik OeEkam (Amanuban Timur), OPSI NTT, KFK Kupang, warga Desa OhAem (Amfoang), dan Klasis Amfoang .
Para peserta yang mengikuti perjalanan workshop panjang ini pun mempunyai berbagai tanggapan dari para peserta yang berasal dari daerah-daerah perbatasan. “Saya berharap pemerintah memberikan perhatian lebih untuk daerah-daerah pedalaman di Nusa Tenggara Timur khususnya di Desa Tliu dan OhAem, kekeringan di sini jauh daripada apa yang dirasakan di daerah Gunung Kidul sekali pun,” ujar Dewi Praswida, dari Jaringan GusDurian, Semarang.
Kesan Peserta lain yang berasal dari Kyrgztan, Emil Natridinov, seorang antropolog dari American University of Central Asia di Bishkek, Kygrzstan mengungkapkan bahwa sejak hari pertama ia sudah terpukau karena secara maraton disuguhkan dengan beragam budaya lokal dan kelompok sosial. “Saya belajar banyak tentang masyarakat Indonesia dan persoalan yang kompleks yang melingkupi hubungan antara kelompok-kelompok minoritas dan mayoritas.
Nusantara School of Difference (NSD) kali ini merupakan kegiatan kedua. Biasanya dilakukan setiap dua tahun. Kegiatan NSD yang pertama dilakukan tahun 2017. “Tema kali ini dipilih untuk mengingatkan bahwa perjalanan Indonesia adalah perjalanan untuk saling memahami dan mengerti, kekuasaan saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan kita, karena kita harus paham persoalannya, selain itu pertemuan dengan bangsa-bangsa lain di dunia menjadi penting karena persoalan geopolitik terkini tidak mungkin dipecahkan jika kita tidak memahami persoalan di berbagai belahan dunia yang lain,” ujar Elcid Li dari IRGSC.***