
Pengantar
Penderitaan merupakan tantangan paling serius bagi manusia. Itulah sebabnya tak ada manusia yang dengan rela menghendaki hidupnya penuh derita dan sengsara. Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggeris abad 17 menyelidiki/membedah jiwa (diri) manusia dan menyimpulkan bahwa pada dasarnya manusia itu egois. Egoisme manusia itu nampak dalam sikapnya yang selalu mengejar kepentingan diri (self-interest). Kepentingan diri manusia yang paling dasar adalah pemeliharaan hidupnya, dan karena itu, ia akan cenderung mengejar kenikmatan, dan berusaha mengelak/menolak/menghindari rasa sakit/penderitaan. Penderitaan dinilai sebagai hal yang buruk/sesuatu yang tidak baik secara moral, yang harus dijauhi. Hobbes tiba pada kesimpulan bahwa kematian sebagai klimaks dari penderitaan adalah hal yang paling ditakutkan manusia. Oleh karena itu, manusia akan berjuang sekuat tenaga untuk menjauhi penderitaan dan kematian agar ia bisa tetap survive (bertahan hidup).
Tetapi nampaknya sikap hidup asal survive seperti itu tidak berlaku bagi Yesus. Yesus rela menderita bahkan siap kehilangan nyawa-Nya sendiri demi misi-Nya di dalam dunia. Padahal andaikata Yesus mau sedikit “berkompromi” mungkin saja Ia tidak mengalami penderitaan dan kematian. Tetapi Yesus teguh pada prinsip-Nya, dan karena itu Ia rela menanggung penderitaan yang sangat berat. Keempat injil memberi kesaksian tentang penderitaan Yesus yang sungguh mengerikan, yang dimulai dari tuduhan-tuduhan palsu terhadap-Nya, penangkapan, peradilan, kekerasan, hingga kematian-Nya di atas kayu salib. Dalam bacaan tadi Lukas mengisahkan penderitaan Yesus di tangan orang-orang Yahudi, mahkamah agama dan Pilatus.
Pendalaman teks
Dari keseluruhan perjalanan hidup dan karya Yesus, injil-injil menarasikan sekitar 20-30 persen berkaitan dengan kisah penderitaan-Nya. Para penulis Injil sangat sedikit memberi perhatian pada kisah kelahiran-Nya. Hanya Matius dan Lukas yang menulis peristiwa kelahiran Yesus, itu pun sangat minim, sedangkan Markus dan Yohanes tidak menyinggungnya sama sekali. (Hal ini mesti menjadi catatan bagi kita, agar perayaan natal tidak lagi berlebihan sedangkan perayaan-perasaan minggu sengsara-paskah cenderung disepelehkan. Tentu setiap minggu adalah paskah, namun paskah sebagai momen khusus yang dimulai dari masa sengsara, nampak kurang dirayakan. Kita cenderung lebih merayakan natal dibanding Paskah. Mestinya dibalik, perayaan paskah lebih mendapat perhatian dan dilaksanakan lebih sungguh-sungguh untuk menumbuhkan iman kita karena paskahlah yang menentukan iman kepada Yesus sebagai juruselamat. Secara teologis, kita bukan beriman kepada seorang bayi bernama Yesus, tetapi kepada Kristus yang hidup pasca kebangkitan dari kematian setelah Ia melewati penderitaan panjang).
Keempat Injil banyak berkisah tentang ajaran dan karya Yesus, dan puncaknya adalah menyangkut penderitaan Kristus. Kisah penderitaan Yesus diawali, terutama dalam masa-masa pengadilan atas diri-Nya. Proses peradilan terhadap Yesus sangat menentukan nasib-Nya. Dan Lukas, dibanding tiga injil yang lain, lebih detail gambarannya tentang proses peradilan Yesus.
Penderitaan Yesus berlapis di tiga pihak. Pihak pertama adalah orang-orang dalam lingkaran Yesus sendiri. Yudas dan Petrus sebagai orang-orang paling dekat Yesus, justru membuat Yesus sangat sedih. Yudas mengkhianati Yesus dengan menjual-Nya kepada para imam dan tua-tua bangsa Yahudi yang memang sudah membenci Yesus. Secara psikologis, pengkhianatan adalah tindakan pengecut yang paling menyedihkan, karena kepercayaan kita disia-siakan bahkan kita ditikam dari belakang. Dengan menjual Yesus, Yudas justru menikam Yesus dari belakang demi meraup uang bagi dirinya. Tindakan Yudas sungguh memilukan hati Yesus.
Di sisi lain, ketika Yesus ditangkap, Petrus tiga kali menyangkal Dia, bahkan dengan sumpah bahwa ia tidak mengenal Yesus sama sekali. Penyangkalan Petrus membuat Yesus sedih. Tindakan Petrus membuat Yesus merasa seorang diri dalam menghadapi penderitaan, padahal Petrus pernah bersumpah bahwa walaupun semua murid meninggalkan Dia, ia tidak akan pergi. Mother Teresa mengatakan, kemiskinan terbesar manusia adalah bukan ketika seseorang tidak memiliki apa-apa, tetapi ketika ia disangkal dan ditolak, atau tidak diakui dan diterima oleh sesama.
Di lapisan kedua, Yesus menderita oleh tindakan orang-orang Yahudi dan makamah agama Israel. Penderitaan Yesus berlangsung sebelum proses peradilan maupun ketika Ia sedang diadili. Pertama, para imam, tua-tua Yahudi dan ahli-ahli Taurat menangkap Yesus secara paksa atas sebuah tuduhan yang tidak berdasar. Kebencian mereka terhadap Yesus membuat mereka menangkap Dia bagaikan seorang penjahat.
Kedua, setelah Yesus ditangkap, Ia diperlakukan secara tidak manusiawi. Ps. 22:67-68 memberi kesaksian bahwa orang banyak itu menahan Yesus, mengolok-olok Dia, memukuli-Nya, bahkan mempermainkan-Nya seperti badut. 1) Menahan seseorang tanpa sebuah proses pra-peradilan termasuk kejahatan yang melanggar kebebasan hidup orang. 2) Dalam bahasa sekarang, mengolok seseorang termasuk tindakan bullying. Membuli termasuk tindakan kekerasan dan pelecehan terhadap sesama. Dalam narasi Lukas, tindakan bullying terhadap Yesus nampak dalam sikap mereka menutupi wajah-Nya dan menyuruh-Nya menerka siapa yang memukul-Nya. 3) Yesus disesah dan dipukul sebelum pengadilan memutuskan kesalahan Yesus. Banyak pula hujatan lain diarahkan kepada Yesus. Ia dianggap menghujat Allah karena menganggap diri sebagai Mesias dan anak Allah. Narasi ini memberi kesaksian bahwa Yesus sungguh menderita karena mengalami kekerasan verbal maupun non-verbal, psikis maupun fisik, batin maupun lahir. Ia menderita secara holistik, baik spiritual maupun jasmani. Penderitaan-Nya sungguh kompleks dan berat.
Ketiga, proses peradilan terhadap Yesus sangat manipulatif. Sistem Peradilan Yahudi pada saat Yesus hidup disebut Sanhedrin. Sanhedrin terdiri dari 70 orang yang mewakili unsur ahli-ahli taurat, para imam, orang-orang Farisi, Saduki, tua-tua Yahudi, dan berbagai golongan keagamaan. Satu orang bertindak sebagai ketua yang disebut imam besar. Pada masa itu, Kayafas menjadi imam besar. Sanhedrin dianggap sebagai kekuasaan paling tinggi pada sistem hukum Yahudi karena ia mengatur semua masalah keagamaan, mulai dari pemujaan hingga membuat kalender peribadatan di Bait Allah, dan juga mengadili para pelanggar hukum.
Persidangan di Sanhedrin biasanya didahului dengan pengumuman di Bait Allah serta pemberitahuan tertulis yang dikirimkan ke Benteng Antonia, tempat Pilatus berada. Lalu, seorang assesore atau penilai akan dikirimkan untuk memutuskan apakah perlu intervensi persidangan dari Pilatus. Nama-nama hakim yang hadir dalam persidangan harus dibacakan. Apabila hakim mengenal terdakwa secara pribadi, ia harus mundur agar proses peradilan tetap berlangsung netral dan objektif.
Secara ideal, Imam besar akan menanyai setiap hakim apakah sebelumnya mereka mengetahui kasus yang akan diputus dan mengenal terdakwa. Tetapi, hakim-hakim yang mengadili Yesus sudah pernah mengadakan pertemuan dan mendukung Kayafas dalam usahanya untuk menangkap Yesus (band. Matius 26:3-4:Pada waktu itu berkumpullah imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi di Istana Imam Besar yang bernama Kayafas, dan mereka merundingkan suatu rencana untuk menangkap Yesus dengan tipu muslihat dan untuk membunuh Dia)
Dengan kata lain, semua prosedur hukum itu diabaikan. Mengapa? Karena sesungguhnya, jauh sebelum Yesus diadili untuk membuktikan apa kesalahan-Nya, para pemuka agama Yahudi sudah bernafsu membunuh Yesus. Niat untuk membunuh Yesus sudah ada lebih dahulu, barulah alasan-alasan dicari untuk membenarkan keinginan mereka. Tuduhan terhadap Yesus baru dicari melalui pertanyaan para hakim terhadap Yesus. Pertanyaan dalam ayat 67 “jikalau Engkau Mesias, katakanlah kepada kami”, atau dalam ayat 70: “apakah Engkau Anak Allah”? adalah jebakan untuk menyalahkan Yesus.
Hukum Yahudi juga melarang pengadilan menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang menjelang hari raya keagamaan. Tetapi makamah agama menuntut Yesus dihukum mati pada masa-masa raya paskah itu. Aturan hukum juga menekankan bahwa untuk sebuah keputusan hukuman mati, tidak boleh dilakukan pada hari yang sama dengan hari seseorang diadili. Keputusan seperti itu baru berlangsung setelah satu hari proses peradilan, agar para hakim berpikir kembali pada esok harinya, apakah seseorang wajib dihukum mati atau dapat diampuni. Tetapi makamah agama Yahudi sudah bulat hati untuk menghukum mati Yesus pada hari itu juga. Hanya karena Sanhendrin tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman mati bagi seseorang, maka mereka membawa Yesus kepada Gubernur Yudea waktu itu, yakni Pilatus agar segera mengeksekusi hasrat mereka.
Keempat, tindakan manipulatif para pemuka agama Yahudi makin nampak ketika Yesus diadili di pengadilan Romawi. Di hadapan Pilatus, orang-orang Yahudi menambah tuduhan terhadap Yesus. Selain menuduh Yesus menyesatkan mereka, para pemuka agama Yahudi itu memprovokasi Pilatus sebagai wakil Roma di Yudea, bahwa Yesus melarang mereka membayar pajak kepada Kaisar Roma (Ps.7:2). Mereka berharap Pilatus segera menjatuhkan hukuman pada Yesus karena mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan Roma, yakni masalah pajak.
Tuduhan itu tidak benar sama sekali. Pilatus sendiri tidak mendapat kesalahan Yesus. Namun untuk mendukung tuduhan mereka, mereka menyebut Yesus memulai penyesatan dari Galilea. Galilea waktu itu terkenal sebagai sarang para pemberontak. Oleh karena itu orang-orang Yahudi berharap dengan mengaitkan Yesus dengan Galilea, Pilatus menjadi yakin bahwa tuduhan mereka benar. Tetapi Pilatus tidak mau terprovokasi oleh hasutan orang-orang Yahudi. Ia mau memeriksa perkara itu seadil-adilnya. Karena itu, ketika ia tidak menemukan kesalahan Yesus, ia ingin membebaskan-Nya. Bahkan Ia mendapat celah untuk mencuci tangan dengan cara mengirim Yesus kepada Herodes untuk diadili.
Namun orang-orang Yahudi sudah bulat hati untuk membunuh Yesus, sehingga mereka terus mencari alasan untuk meyakinkan Pilatus. Maka bila kita membandingkan dengan narasi Injil Yohanes, orang-orang Yahudi melakukan penyesatan yang luar biasa dalam proses peradilan Yesus. Yohanes 18:28-27 bercerita bahwa ketika Pilatus bertanya kepada orang-orang Yahudi, apa kesalahan Yesus sehingga Ia patut dihukum mati? Mereka bukannya menyebut jenis kejahatan Yesus, tetapi mereka menjawab Pilatus: “jikalau Ia bukan penjahat, kami tidak menyerahkan-Nya kepadamu”. Dalam logika, di sini terjadi kerancuan berpikir (logical fallacy) yang dalam istilah latinnya disebut Ignoratio elenchi atau dalam bahasa inggris adalah irrelevant conclusion(kesimpulan yang tidak sesuai). Kerancuan berpikir ini terjadi apabila antara premis (pertanyaan) dan kesimpulan (jawaban) tidak terdapat hubungan yang sesuai. Atau secara sederhana, kerancuan berpikir ini terjadi jika seseorang (sekelompok orang) menyatakan orang lain bersalah bukan dari apa yang dilakukannya, melainkan dengan memberikan gambaran tentang betapa buruk seseorang atau perbuatan yang dituduhkan padanya. Ini terjadi dalam kasus Yesus.
Pada lapisan kedua dan ketiga ini, nampak Yesus sungguh-sungguh menderita. Ia mengalami hinaan, olokkan, pelecehan, kekerasan psikis dan fisik yang mengerikan, tuduhan palsu, hingga proses pengadilan yang manipulatif dan penuh pemaksaan kehendak dari penguasa Yahudi, sehingga alih-alih Yesus mendapat keadilan, Ia malah dijatuhi hukuman mati. Salib akhirnya menjadi bagian dari hidup Yesus. Namun terhadap semua penderitaan yang bertubi-tubi itu, Yesus sedikit pun tidak undur. Ia dengan lapang dada dan berani menerima dan memikul semua beban sengsara itu sampai tuntas. Itu dilakukannya dengan sukarela dan kemantapan hati.
Catatan aplikatif
Dari bacaan di atas, sejumlah hal bisa dipelajari. Pertama, penderitaan tidak dapat dihindari oleh manusia. Ada penderitaan yang sifatnya konstitutif sebagai manusia, berupa kelaparan, rasa sakit, sakit penyakit dan kematian. Tetapi ada pula pederitaan yang adalah akibat iman kita. Iman kita menuntut sikap hidup yag berbeda dari dunia, yakni sikap hidup yang benar, jujur, adil, dan baik. Ketika kita mau hidup sesuai nilai-nilai kerajaan Allah ini, kita bisa dimusuhi, ditolak, dibenci. Tetapi terhadap semua jenis penderitaan itu, belajar dari Yesus, kita perlu bersabar, tabah, memegang teguh iman, setia pada kebenaran, dan tidak mau mengorbankan iman dan kebenaran hanya untuk memperoleh kesenangan dan lepas dari penderitaan. Socrates, seorang bijak Yunani kuno mengatakan: kebenaran lebih berharga dari nyawanya sendiri. Itulah yang dipraktekan Yesus. Ia rela mempertaruhkan nyawa-Nya demi mewujudkan kasih dan kebenaran Allah.
Kedua, Yesus akhirnya menderita, menjadi korban karena kebencian, iri hati, dan berbagai rasa tidak suka yang dipupuk oleh orang-orang Yahudi terhadap Dia. Kita belajar untuk memelihara hati dan pikiran yang positif terhadap sesama agar tidak lahir perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain. Kalau perasaan-perasaan negatif terhadap sesama dipupuk, lama-kelamaan kita menyalibkan mereka. Perasaan-perasaan cemburu, iri hati, dengki, benci, tidak suka pada orang lain, adalah racun yang dapat membunuh diri maupun sesama, sehingga mesti dimatikan. Sebaliknya, peliharalah kasih dan kebaikan dalam hati, agar dapat menyegarkan kehidupan bersama orang lain. Hubungan-hubungan kita menjadi harmonis dan bergairah bila diisi dengan kebaikan.
Ketiga, di sekitar kita, terutama di tengah jemaat, banyak penderitaan masih nampak, entah karena bencana alam, akibat struktur kekuasaan yang tidak adil, sebagai “jalan hidup” mereka, atau akibat relasi-relasi yang retak. Ada penderitaan-penderitaan fisik/jasmani maupun penderitaan psikis, batin, spiritual. Apa pun jenisnya, belajar dari Yesus, kita terpanggil untuk melakukan sesuatu untuk mengatasi penderitaan sesama. Kalau Yesus sanggup menanggung penderitaan demi keselamatan manusia, orang percaya dipanggil untuk melakukan hal yang sama. Masalah stunting, kemiskinan jemaat, tidak mampu menyekolahkan anak-anak, kesengsaraan hidup mereka, adalah panggilan bagi kita untuk menolong mereka. Dalam mingggu segsara keenam ini, kita diingatkan bahwa Yesus sungguh-sungguh menderita untuk kita, karena itu, mari kita hayati sungguh-sungguh pengorbanan Kristus, dan kita berkomitmen untuk mengatasi masalah penderitaan umat secara serius. Perayaan minggu sengsara tidak hanya mengajak kita untuk merenungkan penderitaan Yesus, tetapi juga mengajak kita untuk melakukan sesuatu dengan penderitaan sesama. Kita perlu peduli terhadap penderitaan sesama, dan mau mengurus kesengsaraan mereka agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Dengan tindakan menolong penderitaan sesama, kita sudah bersaksi tentang Kristus yang menderita bagi kita. ***