
www.sinodegmit.or.id, Setelah gedung darurat siap kami mulai belajar dengan tenang. Tenang? Ngga juga. Kalau hujan lantainya diresapi air. Maklum tanah sawah. Waikabubak adalah daerah yang curah hujannya cukup tinggi. Tetapi jauh lebih lumayan ketimbang tidak ada ruang kelas.
Jauh sebelum OSIS terbentuk di era Orde Baru kami sendiri sudah punya organisasi intern siswa. Nama persisnya saya sudah lupa. Yang menarik ketuanya adalah seorang muslim yaitu sdr. Abdul Aziz dari Bima. Tidak ada rasa diskriminasi apapun berdasarkan agama atau suku. Kalau ada rapat-rapat ia mempersilahkan rekan-rekan lain yang beragama Kristen untuk doa pembuka dan penutup. Selanjutnya ia mengambil alih pimpinan untuk melanjutkan rapat. Guru-guru sama sekali tidak mengintervensi rapat-rapat kami kecuali diminta. Demikianlah kami belajar berorganisasi dan berpikir/bertindak secara dewasa.
Selebihnya semua berjalan sebagaimana adanya. Namun kadang-kadang juga muncul keisengan kami. Kalau ada jam pause atau guru tidak mengajar kami duduk-duduk bergerombolan di pintu-pintu gerbang menghadap jalan raya. Biasanya banyak pedagang kecil-kecilan yang memikul dagangannya dari arah Elopada ke kota. Suatu ketika pada waktu musim nangka kami membeli nangka dan memakannya di situ juga. Tiba-tiba Pak John muncul di kelas. Maka berlarianlah kami ke kelas meninggalkan nangka begitu saja yang belum selesai dimakan. Seluruh ruang berbau nangka. Tentu saja kami diingatkan bahwa selama jam belajar dilarang untuk makan.
Berbicara tentang disiplin, Pak John Umbu Riada sangat menjunjung tinggi. Sore-sore biasanya beliau berkeliling kota Waikabubak bersepeda atau jalan kaki. Awas kalau dia melihat siswa yang lontang-lantung tidak keruan di kota, esoknya di kelas pasti mendapat teguran. Kawan-kawan siswa Muslim selalu minta ijin pada setiap hari Jumat siang untuk sholat Jumat. Sudah pasti diizinkan. Tetapi Pak John biasanya menyusul secara diam-diam. Awas kalau mereka tidak ke mesjid. Lalu ke pasar. Waktu itu mesjid di Waikabubak dekat dengan pasar. Esoknya pasti ditegur: “Bilang mau sembahyang, tahu-tahu berkeliaran di Pasar.”
Guru-guru kami, kendati dengan fasilitas yang pas-pasan mengajar dengan setia, tentu dengan watak masing-masing. Pak John mengasuh Tata Hukum dan Tata Negara dgn baik. Saya masih ingat buku pegangan untuk Tata Hukum adalah karangan Mr. J. C. T. Simorangkir. Pak W.H. Siregar mengajar Sejarah Barat. Tidak pernah membawa buku. Ia berceritera begitu saja dan semua data ada dalam otaknya. Pak Melki selain mengajar sejarah juga geografi. Menarik apalagi kalau dia menirukan tokoh sejarah misalnya. Suatu kali dia menirukan tokoh M. Yamin. Seakan-akan kita melihat Moh. Yamin sendiri di situ. Pak Sam Kii sangat bersemangat kalau dia berceritera tentang Laksamana Nadim. Pak Filipus Pada sangat pintar ilmu pasti tetapi juga agak “pemalu”. Dia mengajarkan berhitung kepada kami karena ini nanti punya kaitan dengan Tata Buku. Dia tidak pernah menatap kami. Kalau terpaksa melihat ke arah kami, dia akan memandang ke atas. Pak Suhadi mengajar Ilmu Ekonomi. Lidahnya yang sangat “njawani” disukai kami untuk nanti ditiru-tiru. Saya sendiri pernah “dikejar” sampai ke Asrama karena bolos pelajaran bahasa Jerman oleh Pak Anakonda. Demikianlah kehidupan rutin kami selama kurang-lebih tiga tahun itu.
Akhirnya saat-saat yang menentukan tiba juga. Ujian Akhir Negara. Kali ini kami tidak dititipkan seperti pada waktu Ujian Pelengkap setahun sebelumnya. Pengawasnya datang dari Kupang. Hasil-hasil kerja juga diperiksa di Kupang. Tentu saja kami tegang. Saya lihat Pak John juga tegang. Ini sangat menentukan. Kalau berhasil baik, status SMA akan diuntungkan dan diperjelas. Kalau tidak, berarti prosesnya masih akan panjang.
Ujianpun berlangsung. Kalau tidak salah ingat selama lima hari. Hasilnya yang diperiksa di Kupang ditunggu selama 3 atau 4 minggu. Selama itu kami nebeng di toko-toko Cina yang punya radio untuk mendengar siaran RRI Kupang mengenai hasil ujian tersebut. Kwalitas siaran Kupang tidak selalu baik di Waikabubak. Apa lagi kalau hari hujan.
Akhirnya berita yang ditunggu-tunggu datang. Dan…. hasilnya? 75-80% lulus. Saya termasuk yang lulus. Kami sangat bergembira. Pak John dan para pengajar yang lain ikut bergembira-ria. SMA Kristen Waikabubak tidak bisa dipandang remeh. Tentu dengan angka kelulusan ini proses untuk menaikkan status makin lapang dan lancar.
Kami sebagai murid sangat gembira. Tetapi juga sedih karena harus berpisah dengan guru-guru dan sesama. Saya sendiri melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Kawan-kawan yang lain memilih bidang studinya masing-masing sesuai pilihan. Saya yakin semuanya sudah jadi “ORANG”. Ini semua berkat jasa SMA Kristen Waikabubak yang sederhana itu. Dirgahayu dan Tuhan memberkati. (Selesai)
*Kisah ini dikutip dan diedit seperlunya dengan ijin penulis dari akun Facebook Andreas Anangguru Yewangoe