Pengalaman Menjadi Murid Pertama SMA Kristen Waikabubak (1) – Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

www.sinodegmit.or.id, Saya menyelesaikan studi di SMP Kristen Waikabubak pada 1960. Pada waktu itu biasanya anak-anak yang mau melanjutkan studi ke SMA atau SLTA lainnya pergi ke Jawa, entahkah di Surabaya, Malang atau Jogyakarta. Tetapi yang favorit biasanya Salatiga. Mungkin karena di Salatiga juga ada PTPG Kristen sehingga orang berpendapat kalau tamat SLTA tidak perlu ke mana-mana lagi. PTPG itu adalah Perguruan Tinggi Pendidikan Guru yang belakangan menjadi cikal-bakal UKSW. Alasan lain, katanya harga-harga di Salatiga tidak terlalu mahal.

Begitu juga saya, siap-siap mau ke Salatiga. Bapak saya juga sudaeh merencanakan menjual kerbau di Waikabubak pada pedagang Cina. Kerbau kami tidak seberapa, biasanya dipakai untuk mengolah sawah. Istilahnya, “merencah sawah”. Jadi berbeda dengan di Jawa yang memakai bajak, di Sumba kerbau-kerbau itu beramai-ramai dimasukkan ke sawah untuk menginjak-injak lumpur dan nanti siap ditanami padi. Biasanya dua atau tiga kali tergantung kondisi tanah persawahan.

Untuk maksud itu ada “pawang”nya yang berjalan di depan kerbau-kerbau itu. Kalau kerbau yang “pintar” biasanya tanpa cincong mengikuti pawang. Tetapi biasanya ada juga yang suka melawan. Keluar dari kawanan. Nah yang begini ini harus dikejar dan dimasukkan kembali ke dalam kawanan. Itulah tugas kita yang mengiringi dari belakang. Untuk memukul kerbau yang kulitnya tebal itu tidak bisa dengan rotan biasa. Kita mencari kayu yang ujungnya berbonggol. Hanya dengan rotan macam inilah kerbau-kerbau itu bisa merasakan. Namun tidak selalu juga rotan dipakai kalau kerbaunya penurut. Cukup dengan mengiringinya saja.

Musim rencah itu adalah saat yang menyenangkan bagi kami anak-anak. Ada semacam rekreasi namun sekaligus bekerja. Biasanya sesudah bekerja kami tidak segera mandi membersihkan lumpur yang menutupi seluruh badan bahkan sampai ke rambut. Kami biarkan saja dulu untuk di”pamer”kan kepada semua orang. Seolah-olah mau dikatakan: “Lihat kami baru saja bekerja. Kami bukan orang malas kan”. Ternyata “bekerja” itu adalah nilai yang dijunjung tinggi dalam komunitas petani.

Kembali kepada kerbau kami yang jumlahnya tidak seberapa, tentu berat juga menjualnya seekor. Itu berarti berkurangnya tenaga kerja. Namun karena kebutuhan yang sangat mendesak itu bapak saya berikhtiar menjual seekor sebagaimana tadi saya sampaikan.

Di tengah-tengah ikhtiar ini tiba-tiba kami mendengar kabar tentang dibukanya SMA Kristen di Waikabubak. SMA itu jurusan C, artinya jurusan sosek. Waktu itu di Waikabubak baru ada SGA (Sekolah Guru Atas) Kristen sebagai pindahan dari Payeti. Bangunannya sebagai sumbangan dari gereja-gereja Belanda yang cukup “mewah” menurut ukuran waktu itu disiapkan di Pari Motu. Sebelumnya di Payeti ada SGB (Sekolah Guru Bawah). Kebanyakan guru-guru SD (dulu: SR) adalah tamatan SGB. Sebelumnya lagi sebagai warisan pemerintah kolonial Belanda ada yang disebut OVO (Opleiding voor Onderwjizers). Pendidikan guru-guru itu mungkin sederhana, namun kesetiaan dan dedikasi mereka tinggi sekali. Kemanapun di pelosok Sumba mereka ditempatkan bahkan tanpa fasilitas yang memadai mereka pergi.

Mendengar kabar tentang dibukanya SMA itu bapak saya mengusulkan agar saya masuk di situ saja. Saya sebenarnya agak segan karena mental saya sudah disiapkan untuk ke Salatiga. Lagi pula SMA itu jurusan C sedangkan saya tamatan SMP jurusan B (eksakta). Namun demikian saya mengikuti nasihat bapak saya. Saya memasuki SMA Kristen Waikabubak.

Setelah keputusan diambil bahwa saya akan memasuki SMA di Waikabubak saya segera menuju kota itu. Dulu belum ada angkutan umum. Jadi dengan berkuda saja. Hal yang pertama dibuat adalah mencari tempat tinggal. Pada waktu saya sebelumnya menjadi murid SMP saya tinggal di asrama SMP. Asrama itu sederhana saja. Ada 4 kamar besar yang bisa memuat puluhan orang. Kamar-kamar itu diberi nama A, B, C, dan D. Tempat tidurnya merupakan hamparan papan yang biasa dipilah berdasarkan lebar tikar yang dibawa sendiri. Yang sedikit “kaya” membawa kasur. Piring, mangkuk dan sendok dibawa sendiri. Karena saya sudah terbiasa di asrama tersebut, maka saya meminta Bapa asrama apakah saya diizinkan lagi tinggal di situ. Waktu itu Bapa asramanya adalah Bapak Pendeta K. Hamma. Beliau sekaligus adalah Guru Agama di SMP Kristen Waikabubak. Tadinya beliau adalah Pendeta GKS Wanukaka. Kebetulan putra ketiganya, Laya Paji adalah sahabat saya. Saya diizinkan tinggal di situ. Itu berarti setiap hari berjalan kaki pulang pergi dari Asrama ke Pari Motu sekitar 1-2 km.

Langkah kedua adalah mendaftar secara resmi di SMA Kristen. Karena ini sekolah baru, maka tidak terlalu sulit untuk memperoleh tempat. Kalau tidak salah jumlah murid baru waktu itu sekitar 40-an orang. Direkturnya adalah Pak John Umbu Riada, tamatan PTPG (sekarang UKSW) Salatiga. Waktu itu beliau masih bergelar BA. Belakangan ketika menambah lagi pendidikannya lalu menjadi Drs. Saya tidak ingat semua kawan-kawan sekelas saya. Seberapa yang saya ingat: Dapa Sapu, Ishak Inangele, Yakob Langgar, Yakoba Langgar, Hamadoku, Rambu Tawunga, Ishak Huru Radjah, Udin, Saleha Elo, Melly Tsang, Dapa Milla, Sarlota Data, Willem Djari, dll. Maaf tidak ingat lagi yang lain. Ada juga kawan-kawan dari Bima antara lain Abdul Aziz, Abdul Wahab.

Suasana belajar cukup kondusif, kendati fasilitas tidak memadai. Kami dipinjamkan satu ruang kelas oleh SGA Kristen karena memang belum punya gedung sendiri. Buku-buku pegangan cukup memadai. Sekolah memesannya dan kemudian dibagikan karena kami membayar uang buku. Tenaga pengajar cukup memadai. Guru-guru untuk SGA sekaligus juga mengajar di SMA. Selain Pak John Umbu Riada yang mengajar Tata Hukum dan Tata Negara ada Pak Anakonda yg mengajar bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Lalu Pak Suhadi mengajar Pengantar Ilmu Ekonomi. Pak Siregar mengajar Sejarah, Ibu Mia Noach mengajar Sejarah Ekonomi, Pak Filipus Pada mengajar ilmu Pasti, Pak Here mengajar Ilmu Kesehatan, Pak Melki Umbu Nganggu mengajar Sejarah dan Ilmu Bumi, Pak Sam Kii juga mengajar Sejarah. Pendeknya tidak mengecewakan. Suasana meriah saja.

Jangan dibayangkan cara berpakaian kami waktu itu sama dengan anak-anak SMA sekarang. Kalau sekarang murid-murid memakai seragam. Celana panjang abu-abu dengan atasan putih. Ditambah dengan dasi. Kami dulu memakai pakaian “sesuka hati”. Bukan karena suka-suka tetapi memang itulah yang mampu diperoleh. Celana pendek dan tanpa sepatu. Paling banter sandal. Bahkan sandal yang terbuat dari ban mobil. Saya sendiri kaki ayam alias tidak pakai sepatu. Saya ingat untuk kali pertama saya memakai sepatu ketika kami mengikuti “ujian pelengkap” di SMA Katolik Anda Luri di Wara Waingapu. Karenae SMA Kristen Waikabubak belum punya status maka kami “dititipkan” di SMA Katolik tersebut. Waktu itu kami kelas 2. Yang diuji adalah bahasa Jerman, Berhitung, Menggambar. Jadi semua kami ke Waingapu dengan menumpang “Oto Pos”. Drivernya seorang Jawa bernama Jono. Driver ini melegenda di antara penduduk karena “jago kasi lari oto”. Bagi orang Sumba waktu itu mempunyai ketrampilan melarikan mobil di jalan yang berbatu-batu dan sempit serta berkelok-kelok merupakan keahlian tersendiri. Selalu menjadi buah bibir. Masih ada lagi orang-orang lain yang punya ketrampilan yang sama: Oom Hasan (driver polisi), Oom Minggus Lomi, Oom Timbul (dari Kodi).

Kembali ke soal sepatu. Karena kami akan ke “kota besar” (jadi Waingapu waktu itu adalah kota besar dibanding Waikabubak), Pak John Umbu Riada mengharuskan pakai sepatu. Kalau tidak punya pinjam saja, kata Pak John. Jadi saya meminjam sepatu kawan. Rupanya sepatu itu tidak pas betul. Agak kekecilan. Karena itu waktu berjalan kaki dari Kampung Sabu tempat saya nginap ke Wara, kaki saya melepuh. Sakit sekali sehingga pada hari kedua tidak bisa lagi memakainya. Terpaksa “kaki ayam” lagi. Tetapi ada “siksaan” lain. Aspal jalan di Waingapu waktu itu belum hotmix. Masih aspal yang disiram-siram saja. Jadi kalau siang tengah hari aspal itu mendidih. Bayangkan berjalan tanpa sepatu di atas aspal yang sedang mendidih. Namun kita enjoy saja karena memang jalan ramai-ramai berombongan.

Kendati pada umumnya kami tidak bersepatu namun kami tetap menata rambut. “Basolek” istilahnya pada waktu itu. Rambut biasanya dilumuri pomade (minyak rambut). Saya masih ingat merk yang populer waktu itu “cap Lampu” yang ditempatkan dalam kaleng. Rambut juga tidak seluruhnya dilumuri. Hanya pinggir kiri-kanan yang dilumuri, sedangkan di tengah-tengahnya dibiarkan saja. Jadi pinggiran kiri-kanan rambut mengkilat. Itu juga yang disisir, sedangkan yang di bahagian tengah tidak disisir. Konon itu gayanya Elvis Presley atau Marlon Brando kendati kita tidak pernah tahu siapa mereka sebenarnya.

“Kejahatan” yang umum di asrama waktu itu adalah “pencurian” minyak rambut. Bukan seluruh kalengnya tetapi isinya yang dicolek. Tahu-tahu isinya sudah berkurang banyak tanpa mengetahui siapa yang memakainya… (bersambung)

*Kisah ini dikutip dan diedit seperlunya dari akun Facebook Andreas Anangguru Yewangoe, atas izin penulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *