Pentahbisan TAHBIS GEREJA SION BABUIN – Sebuah Cerita Perjalanan

Pengalaman pelayanan bercerita, bahwa kalau mau jujur, kebanyakan pelayan Tuhan memilih untuk ditempatkan di kota. Barangkali supaya jalur komunikasi mudah, mudah bertemu keluarga, banyak pusat perbelanjaan. Hidup akan terasa lebih mudah kalau melayani dan tinggal di kota. Maka banyak vikaris maupun pendeta yang bersusah hati kalau ditempatkan di kampung. Padahal di dalam kekurangan, Tuhan menempatkan sukacita yang besar dan di dalam kesenangan pun, terselib duka. Hal yang pasti Tuhan ada di setiap perjalanan pelayanan.

Sabtu, 8 Juni 2013, saya bersama Yafet Nenoliu, saudara yang setiap hari menolong saya membawa mobil sebagai sopir, bersama dua orang mahasiswa STAKEN (Sekolah Tinggi Agama Kristen) Kupang yakni Yusuf Natonis dan Simon Selan melakukan perjalanan ke Babuin. Saya diminta untuk memimpin Kebaktian Pentahbisan Gedung Gereja Sion Babuin, Klasis Amanuban Tengah Utara.

Kami berangkat dari Kupang seusai makan siang. Saya memilih tidur sepanjang perjalanan dari kota Kupang. Sesekali saya bangun untuk bertanya sudah sampai dimana kami. Setelah sekitar dua jam perjalanan, saya dikejutkan oleh goyangan mobil yang hebat. Rupanya mobil Grand Extra yang kami tumpangi telah memasuki jalan menuju Babuin, Amanuban Tengah Utara.

Kondisi jalan yang rusak parah membuat mobil harus berjalan sangat pelan. Di mana-mana terdapat lubang-lubang besar di jalan dan batu-batu lepas yang berserakan. Kalaupun ada beberapa bagian jalan diaspal namun aspalnya sudah rusak dan itu semakin menyulitkan perjalanan. Kebanyakan bagian jalan belum diaspal sama sekali. Curah hujan membuat jalan berlumpur. Akan tetapi perhatian lebih kami tujukan pada tawaran panorama alam yang indah. Paparan pohon-pohon hijau dan rerumputan yang indah memanjakan mata kami. Semuanya seperti dengan sengaja ditata supaya indah dan sempurna. Simon, dengan antusias berkata, “Bapa nanti beta mau foto pre-wedding di sini. Talalu bagus ini tempat.”

Dalam hati saya menyatakan pujian kepada Allah, yang menenun alam dengan begitu indah. Bagaimana Ia bisa memikirkan untuk mengatur paparan alam yang indah, saat manusia tak memikirkan untuk menolong dirinya dengan memperbaiki jalan yang dilewati setiap hari. Allah masih mau menolong manusia sehingga saat berjalan melewati jalan yang rusak dan berbahaya, Allah menawarkan panorama yang indah sehingga manusia bisa menikmati perjalanan dan tetap bersukacita.

Berulang-ulang mobil berhenti karena terperosok ke dalam lumpur dan kami harus turun lalu mendorongnya. Beruntungnya saya karena Simon dan Yusuf ikut dalam perjalanan itu sehingga mereka dengan sigap mendorong mobil. Mobil juga harus melewati kali yang besar dan kami kesulitan untuk menyeberang. Betapa sukacita kami karena jemaat-jemaat datang untuk membantu. Ada yang malah menawarkan untuk beramai-ramai mengangkat mobil kami ke seberang kali. Saya melihat tatapan keiklasan dan sukacita di mata mereka.

Perjalanan normal seharusnya hanya memakan waktu sekitar 4 jam, ternyata harus kami tempuh selama 10 jam. Kami tiba di Babuin jam 8 malam. Saat itu hujan rintik membasahi bumi dan menambah dinginnya malam. Kami telah ditunggu oleh ibu Pdt. Ana Salukh Feto dan beberapa orang Majelis Jemaat serta tokoh jemaat di rumah pelayan. Saya tahu bahwa mereka telah menunggu kedatangan kami  sejak sore. Tidak ada satu pun orang yang suka menunggu terlalu lama tapi saya tidak menemukan rasa bosan di wajah mereka.

Kami disambut dengan salaman dan ciuman hidung. Suguhan sirih pinang segera diletakkan di atas meja begitu kami duduk. Sepertinya tuan rumah tahu bahwa kami lapar dan membutuhkan makanan hangat. Segera mereka menyajikan teh panas dan pisang Luan rebus serta sambal luat. Betapa nikmatnya makanan itu dilidah kami. Rasa mual karena perjalanan yang jauh terobati. Selang beberapa menit, seorang ibu membawakan kami satu piring penuh roti kukus yang masih mengepulkan asap. Ia baru mengeluarkannya dari kukusan. Saya ingat bahwa roti itu begitu panas di tangan saya tapi segera menjadi dingin di mulut.

Kami menghabiskan semua hidangan yang ada, lalu kami diantar ke rumah jemaat, tempat kami menginap selama di Babuin. Tuan rumah mengaku bahwa itu kali pertama ada seorang pendeta yang menginap di rumahnya. Ia mengungkapkan sukacitanya atas kedatangan kami. Mereka telah menyiapkan air panas untuk kami mandi malam itu, tanpa kami minta.

Setelah beristirahat sebentar, kami dijemput untuk melakukan glady demi persiapan kebaktian pentahbisan gedung gereja. Glady bersih yang dimulai sekitar jam 11 malam, baru berakhir jam setengah 2 dini hari. Melelahkan memang tapi suasana latihan yang dipenuhi canda tawa di antara kami membuat waktu berjalan tanpa terasa.

Saya tidur jam 2 dini hari. Dinginnya malam sama sekali tidak terasa karena tuan rumah memberi masing-masing kami 3 buah selimut untuk dipakai. Tubuh yang lelah dan kehangatan kasih embuat saya tertidur lelap.

Paginya kami harus kembali melakukan glady bersih. Semua jemaat terlihat antusias dalam setiap proses glady.  Waktu baru menunjukkan pukul 09.00 wita tapi mereka sudah bersiap dengan pakaian adat yang rapih dan gagah padahal kebaktian baru akan dimulai pukul 12.00 Wita.

Para penari dengan pakaian lengkap, para penyanyi mengulangi latihan. Beberapa orang bapak mengatur kursi dan memilih setiap sampah di halaman. Sementara ibu-ibu dengan riang mempersiapkan makanan. Panitia terlihat sibuk memastikan bahwa semua persiapan dilakukan dengan baik.

Panitia pembangunan maupun panitia pentahbisan gereja, semuanya adalah orang asli Babuin, termasuk yang berdomisili di Kupang. Sudah seminggu lamanya mereka pergi ke Babuin untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Dari cerita, orang Babuin yang tinggal di Kupang, tidak tinggal terpisah-pisah. Sebagian besar, tinggal di wilayah Jemaat Yarden Labat, Klasis Kota Kupang. Di jemaat itu ada dua rayon yang semua anggotanya adalah orang asal Babuin. Mereka membawa seluruh anggota keluarganya untuk mengikuti perayaan itu.

Ketua Sinode GMIT yang turut hadir bersama Pdt. Agustina Oematan-Litelnoni dan suami, adalah juga orang asli Babuin. Mereka menyatakan sukacita karena bisa menginjakkan kaki di Babuin untuk pertama kali dan menikmati kasih dan kebersamaan bersama jemaat di sana.

Gedung Gereja sebenarnya berada di lembah. Tapi di lembah ada sebuah bukit kecil dan gedung gereja didirikan di atas bukit itu. Saat berdiri di depan gedung gereja, mata saya dimanjakan oleh paparan pemandangan hijau yang sangat indah. Gereja berdiri di atas hamparan rumput hijau, dikelilingi pohon advokat dan jeruk. Saat dalam perjalanan pulang, kami sempat berhenti di satu bukit dan saya memandang ke arah gereja. Sungguh pemandangan yang indah dan memanjakan mata. Didukung oleh cuaca yang sejuk menimbulkan rasa romantisme dalam diri saya. Dan benar bahwa jemaat itu dinamai Sion karena ia didirikan di atas bukit.

Siang itu para undangan mulai berdatangan. Ketua Sinode GMIT, Pdt. Robert St. Litelnoni dan rombongan, juga Bupati TTS dan rombongan sampai tepat waktu dan disambut meriah dengan tarian. Semua tamu yang datang diberikan pengalungan  selimut. Kalau di tempat lain, biasanya dikalungkan selendang kecil sebagai tanda penerimaan namun di Babuin kami diberi selimut besar, motif Amanuban. Hasil tenunan tangan jemaat.

Kebaktian dimulai pukul 12.00 wita. Prosesi liturgis dimulai dengan pengguntingan pita dan penandatanganan prasasti oleh Bupati dan Ketua Sinode didampingi Ketua Majelis Klasis dan Ketua Majelis Jemaat. Pada saat pintu gereja dibuka, tarian Okomama mengiringi prosesi para abdi Allah melangkah ke dalam rumah Tuhan diiringi jemaat yang melangkah dengan bangga.

Saya memimpin kebaktian siang itu dengan melibatkan seluruh jemaat. Paduan Suara dan Vocal Group melantunkan nada pujian yang merdu. Petugas liturgi melakukan bahagiannya dengan penuh penghayatan. Betapa khusyuk jalannya kebaktian sehingga saya tak melihat satupun jemaat yang gelisah, sekalipun kebaktian memakan waktu 3 jam lebih.

Saat yang menyentuh adalah prosesi persembahan jemaat. Persembahan dihantar dengan cucuran air mata jemaat. Berbagai jenis hasil bumi berupa jagung, pisang, sayur, kelapa, jeruk, advokat dan lainnya, juga pekerjaan tangan perempuan Timor berupa tenunan diantar ke altar dengan penuh penyerahan diri. Sambil diiringi lantunan lagu E Usi Apakaet, yang dinyanyikan oleh Paduan Suara Gabungan Jemaat Sion Babuin. Tak terasa air mata mengalir di pipi. Para tamu yang ada turut meneteskan air mata. Sebuah ketulusan dalam memberi bagi Tuhan lahir dari penyerahan diri yang sungguh. Dan itu tidak hanya dinikmati sendiri tapi turut melahirkan kesaksian yang indah bagi banyak orang. Jemaat Babuin telah memberi yang terbaik bagi Tuhan.

Seusai kebaktian, ada kata sambutan yang disampaikan oleh Bupati TTS, ungkapan hati jemaat dan suara gembala dari MS GMIT disampaikan oleh Ketua Sinode GMIT. Semuanya menyatakan syukur atas persekutuan yang indah di Jemaat Sion Babuin dan harapan agar persekutuan terus dibangun.

Rangkaian kegiatan diakhiri dengan perjamuan kasih bersama semua jemaat dan undangan. Saya mendengar cerita bahwa hari itu mereka membunuh 4 ekor sapi, babi tidak terhitung banyaknya dan ayam yang berasal dari pemberian jemaat-jemaat. Pdt. Delfi Snae, yang adalah anak asal Babuin, memimpin doa syukur untuk berakhirnya perayaan hari itu.

Kami pulang sore harinya dalam rombongan yang besar. Banyak sekali titipan pisang, jagung, dan berbagai hasil bumi lainnya yang diberikan kepada kami untuk dibawa pulang. Saya menemukan sukacita yang terlihat jelas di wajah para undangan yang pulang dan juga jemaat yang mengantar kami. Betapa hari itu, bukan hanya gedung gereja yang ditahbiskan. Hari itu juga sebuah persekutuan yang indah telah dirayakan.

Cerita perjalanan pelayanan hari itu tidak akan pernah saya lupakan. Betapa pembangunan sebuah gedung kebaktian bukan sekedar untuk mendirikan batu-batu. Pembangunan gedung kebaktian adalah kesempatan untuk menunjukkan cinta kepada Tuhan. Saya kira saat gereja dibangun, tidak ada yang merencanakan untuk memakai kesempatan itu demi mempersatukan semua orang Babuin yang telah tersebar kemana-mana. Namun pembangunan itu berhasil mempersatukan mereka.

Banyak kali saya dengar pernyataan bahwa yang penting dalam pelayanan bukan pembangunan fisik tapi pembangunan orang. Itu pernyataan yang benar. Tapi hari itu saya melihat bahwa dalam pembangunan fisik sebuah gedung gereja, dapat sekaligus mengerjakan panggilan gereja yang lain yakni mempersatukan semua orang percaya.

Pembangunan fisik gereja dapat mendorong dimungkinkannya pembangunan orang dan iman terjadi. Tidak boleh memisahkan satu pelayanan dari  pelayanan lainnya. Satu pelayanan punya hubungan dengan bentuk yang lain. Allah dapat bekerja di dalam segala segala sesuatu sehingga pelayanan jemaat menjadi sempurna.

Sepanjang perjalanan pulang, saya berjanji dalam hati untuk kembali ke Babuin suatu hari nanti. Kembali bukan hanya untuk berbakti di sana. Saya ingin memanjakan kerinduan akan alam yang indah dan tentu saja untuk menikmati kasih dan persaudaraan yang nyata dan tulus.

Tak ada yang percuma dalam suatu perjalanan pelayanan. Allah pasti menyempurnakan sukacita dengan rupa-rupa hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Saat harus melintasi jalan yang rusak dan sulit, Allah menutup pengalaman tidak mengenakkan itu dengan harga panorama alam yang indah. Tak harus bayar apapun untuk menikmati alam hasil tenunan tangan Allah itu.

Tak ada lelah dalam perjalanan pelayanan. Allah akan menutupnya dengan sukacita dan cinta. Saya bangga untuk pengalaman hari itu. ••• Diceritakan oleh Pdt. Hengky Abineno kepada Pdt. Leny Mansopu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *