Kupang, www.sinodegmit.or.id, Kamis, 4/5-2017, Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), sebuah lembaga sosial yang bergerak di bidang riset dan publikasi study perempuan, agama dan budaya yang berkantor di Kupang, menggelar Rapat Umum Anggota (RUA) yang pertama. Kegiatan diawali dengan diskusi panel bertema “Perempuan dan Radikalisme” dengan menghadirkan tiga orang pembicara yakni: Prof. Dr. Muzda Mulia, MA, dosen UIN Syarif Hidayahtullah, Pdt. Dr. Mery Kolimon, Ketua Majelis Sinode GMIT dan Dr. Maria Theresia Geme, dosen unika sekaligus Ketua FKUB NTT.
Prof. Muzda Mulia, yang banyak berkecimpung dalam riset tentang radikalisme dan terorisme global, mengemukakan bahwa dalam 5 tahun terakhir, para teroris menyasar kaum perempuan untuk bergabung dalam kelompok radikal sekaligus pelaku teror. Contoh paling nyata adalah pelaku bom bunuh diri, Dian Yulia Novi yang pada Desember 2016 lalu ditangkap dengan barang bukti berupa bom panci yang rencana akan diledakkan di istana negara.
Menurut Prof. Musda Mulia, ada tiga alasan perempuan menjadi target: Pertama, Perempuan adalah kelompok yang paling diandalkan dalam kepatuhan dan loyalitas. Kedua, dalam urusan agama perempuan paling cepat tergoda dan mudah pasrah. Meskipun katanya, dalam banyak agama termasuk agama Islam, banyak teks kitab suci yang tidak ramah pada perempuan. Ketiga, hampir 80% perempuan yang terjebak dalam radikalisme adalah pekerja migran sebab mereka punya uang, mandiri, sudah biasa jalan-jalan, dan terbiasa menggunakan sosial media.
“Dari penelitian kami lebih dari 80% perempuan terpapar dgn ideologi radikal melalui sosial media. Bahkan mereka bertemu suami yang juga kelompok radikal melalui medsos,” ujar penerima penghargaan Yap Thiem Hiem 2008 ini.
Menurutnya, media sosial merupakan alat paling ampuh untuk menyebar ideologi radikal. Dari 2700-an website, sekitar 2000 milik kelompok radikal atau teroris. Meskipun upaya pemerintah melalui kemenkominfo tak habis-habisnya memblokir situs-situs mereka namun situs-situs baru tumbuh lebih dasyat. Karena itu ia menghimbau masyarakat terutama kaum perempuan agar tidak menjadi pengguna sosial media yang malas memberitakan pesan-pesan perdamaian, kebaikan dan hal-hal positif lainnya. “Kita kalah sama kelompok radikal dalam penggunaan sosial media. Situs-situs dari kaum moderat dan liberal yang punya pikiran kristis tidak banyak. Aktifnya pun sekali seminggu. Kita ini pengguna yang malas. Sementara mereka pengguna 24 jam. Ini sangat berbahaya. Karena itu mari kita ubah pola pikir kita, gunakan sosial media untuk pesan-pesan perdamaian dan kebaikan, supaya anak-anak kita tidak terpapar. Saya berharap pemerintah termasuk kita mulai menyisir kelompok-kelompok perempuan yang mencurigakan di sekitar kita. Jangan anggap enteng kehadiran mereka,” tuturnya.
Sementara itu, Pdt. Dr. Mery Kolimon yang juga penggagas berdirinya JPIT 8 tahun lalu mengingatkan, meski NTT mendapat penghargaan sebagai provinsi paling toleran, namun ada sinyalemen kuat bahwa sebenarnya NTT ibarat api dalam sekam dalam hal konflik apalagi dalam skala nasional gerakan-gerakan intoleransi yang terjadi di luar NTT perlahan akan menyulut munculnya gerakan-gerakan yang sama di NTT.
Dalam sejarah gereja, kata Pdt Mery Kolimon, radikalisme juga punya akar dalam kekristenan. Namun radikalisme modern jauh lebih berbahaya karena berbaju agama.
“Belajar dari sejarah gereja, radikalisme bukan fenomena yang baru. Di kalangan Yudaisme dan kekristenan dan kemudian reformasi di Eropa melalui proses yang berdarah-darah. Ada inkuisisi, pembakaran gereja, pembunuhan terhadap imam, pendeta, perang salib dst-nya. Namun perkembangan radikalisme sekarang jauh lebih berbahaya. Para memimpin kharismatik dari organisasi-organisasi radikal memanipulasi agama dengan berbagai cara. Mereka memanfaatkan agama demi kepentingan politik mereka. Sebagai perempuan pemimpin agama dan beragama mesti berhati-hati dengan politisi berbaju agama. Ketika mereka berkunjung ke kantor sinode, gereja, mesjid kita merasa orang penting, tetapi hati-hati karena radikalisme persis dimulai dari situ; ketika agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik.”
Pdt. Mery Kolimon, berharap peran agama dan tokoh agama penting untuk kerukunan dan perdamian. Menurutnya, tokoh agama harus membaca kitab suci secara kritis terutama teks-teks yang menyumbang bagi kekerasan dan radikalisme. Sebagai dosen teologi dan juga ketua sinode ia bahkan mengaku merasa frustasi dengan para pendeta yang nyaris tidak berteologi.
“Saya punya frustrasi tersendiri dengan gereja saya. Para pendeta hampir tidak berteologi lagi. Selesai sekolah teologi mereka tututp seluruh buku dan tenggelam di dalam teologi umat. Bagaimana mungkin anda teolog profesonal tapi anda berhenti berteologi. Saya sangat kecewa dengan status facebook seorang pendeta yang masih sangat muda yang mengatakan, “lebih baik saya mempertahankan iman saya daripada berteologi.” Bagaimana anda mempertentangkan antara iman dan teologi? Padahal teologi adalah upaya bersama untuk menemukan kehendak Tuhan,”demikian keprihatinan Pdt. Mery Kolimon.