Perjalanan Pelayanan di Masa Pandemi (Cerita Kunjungan ke Batam) – Pdt. Mery Kolimon

Sidang Pengadilan di Batam

Gedung Kebaktian Jemaat GMIT Ekklesia Batam

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Awal bulan September 2020 ini kami di Majelis Sinode Harian (MSH) GMIT mendapat permohonan dari Majelis Jemaat Eklesia Batam untuk hadir dalam sidang pengadilan yang digelar di Batam, terkait sengketa tanah milik GMIT yang diklaim pihak lain. Di minggu kedua September, perkara itu sudah tiba pada tahap sidang di lokasi sengketa untuk memastikan obyek perkara. Untuk itu pihak Pengadilan Negeri di sana mewajibkan pimpinan lembaga yang bersengketa untuk hadir. Kedua pendeta GMIT, suami isteri, yang melayani di sana, Pdt. November Obhetan dan Pdt. Feby Lulan, mengatakan mereka sangat mengharapkan kehadiran kami dari MSH GMIT.

Terus terang ketika mendapat permohonan seperti itu di tengah makin tingginya ancaman pandemi Covid-19, saya sungguh merasa cemas. Namun setelah menimbang banyak hal bersama kawan-kawan MSH dan dengan suami dan anak-anak, terutama karena pentingnya dukungan bagi perjuangan jemaat di sana atas aset tanah GMIT, maka kami putuskan untuk saya berangkat. Sebelum berangkat kami sudah menyiapkan diri dengan beberapa masker medis, beberapa masker kain berlapis, face shield, tissue basah, tissue kering, dan hand sanitizer. Selain itu kami melakukan rapid tes.

Di grup-grup internal pendeta GMIT, saya menulis demikian: “Kawan-kawan, beta tak pernah setakut ini untuk berjalan keluar daerah. Namun jemaat Batam butuh dukungan untuk perjuangan panjang kita demi hak atas tanah GMIT di sana. Kami seperti jalan di tengah badai pandemi. Mohon doa untuk kami yang menuju Batam sekarang.” Saya ke sana dengan beberapa pengacara GMIT.

Kami tiba di Batam sore hari. Begitu tiba, kami segera menuju lokasi lahan tanah GMIT, yang disebut lahan Cendana. Di sana kurang lebih 20 anggota jemaat sedang bekerja bakti membersihkan lahan yang luasnya lebih dari 2.200 meter yang disengketakan itu. Kedua kawan pendeta yang menjemput kami di bandara mengatakan bahwa anggota jemaat sudah kerja bakti beberapa hari terakhir membersihkan lahan tersebut, termasuk membuat jalan setapak agar para hakim bisa dengan lebih mudah masuk ke dalam, jika itu dibutuhkan. Di sana telah berdiri juga sebuah tenda tempat mereka meletakkan air minum dan kue, serta sirih pinang. Ya, sirih pinang. Walau di rantauan jemaat GMIT di sana yang kebanyakan berasal dari Alor dan Timor tetap memelihara tradisi makan sirih pinang.

Keesokan harinya masih pagi-pagi kami sarapan di hotel dan dijemput kedua pendeta menuju Kantor Pengadilan Negeri Batam, dan selanjutnya ke lokasi lahan sengketa. Tugas saya sebagai pimpinan GMIT adalah menunjukkan kepada hakim batas-batas lokasi yang diperkarakan. Selanjutnya hakim bertanya kepada pihak tergugat mengenai kebenaran lokasi tersebut. Sidang di lahan sengketa itu hanya berlangsung sekitar 20 menit. Menarik sekali bahwa hakim sangat ketat dengan menyuruh semua memakai masker secara benar dan menjaga jarak. Lebih dari itu pemerintah Batam memberi denda uang kepada semua yang tidak bermasker di ruang publik. Untuk individu masyarakat yang tidak memakai masker dikenakan denda Rp. 150.000,- sedangkan untuk perusahaan/pelaku usaha yang tidak serius melaksanakan protokol kesehatan dendanya lebih besar lagi.

Penerbangan yang Menegangkan

Selama penerbangan, terus terang saya lumayan stres. Karena memilih penerbangan murah, maka kami pakai Lion Air. Ternyata di pesawat Lion Air tak ada jarak sama sekali, padahal protokol pemerintah mewajibkan seluruh maskapai mengatur jarak duduk dalam penerbangan. Penumpang sangat penuh: dari semua usia termasuk bayi. Saya hampir menangis. Sedih sekali. Tidak ada jarak duduk. Waktu dari Batam ke Surabaya dengan City Link mereka cukup ketat dengan protokol. Duduk berjarak. Namun tidak dengan Lion Air.

Saya sempat mengomel kepada petugas check in Lion Air di Surabaya, kenapa mereka terima penumpang banyak-banyak, padahal menurut protokol harus ada jarak duduk di pesawat. Namun petugas bilang soal banyaknya penumpang itu bukan kewenangan mereka. Jadi sepertinya memang ada aspek “kelas” dalam penerapan protokol-protokol. Rakyat kecil dengan ekonomi kelas ke bawah protokolnya lebih longgar. Sepertinya tiket lebih murah mencerminkan nilai terhadap kehidupan manusia. Saya pakai tiga buah masker berlapis dan face shield di pesawat. Namun tetap kuatir terhadap penularan virus, karena tak ada jarak sama sekali di pesawat. Apalagi di ruangan tertutup dengan AC seperti itu.

Di Bandara El Tari Penfui, semua penumpang penerbangan keluar NTT wajib menunjukkan hasil rapid test. Juga di semua bandara lain. Sedangkan untuk penumpang penerbangan dalam NTT (minggu lalu beta ke Alor) cukup mengisi kartu kuning. Rapid test hanya butuh 20 menit untuk dapat hasilnya. Kita bisa buat rapid test di rumah sakit atau di laboratorium kesehatan. Untuk rapid test, ujung jari kita ditusuk untuk diambil darah yang akan diperiksa. Setelah 20 menit hasil keluar, reaktif atau non-reaktif. Biaya rapid tes bervariasi antara 150-350 ribu rupiah. Kartu Rapid Tes itu berlaku 14 hari. Jadi di Batam dan Surabaya dicek validitasnya. Jika masih berlaku tak perlu diperiksa lagi.

Apresiasi kepada Dinas Kesehatan Kota Kupang

Sebelum berangkat ke Batam, karena sadar akan ancaman pandemi, beta selalu konsultasi dengan beberapa kawan sarjana kesehatan. Beta misalnya bertanya hal apa yang harus kami lakukan dalam perjalanan supaya tetap aman dan berapa hari dibutuhkan untuk isolasi mandiri ketika beta pulang nanti. Mereka memberikan saran-saran yang berarti. Bahkan setelah pulang dan ada indikasi kawan se-Tim terpapar Covid, mereka selalu sangat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan. Beta misalnya bertanya berapa lama masa isolasi. Ada kawan mengatakan minimal 10 hari dan begitu ada gejala harus segera ke rumah sakit. Lebih dari 10 hari lebih baik. Dia juga berkata kalau ada urusan yang sangat penting dan harus dihadiri bisa pergi namun dengan protokol ketat: selama pertemuan memakai masker berlapis (disarankan masker medis), memakai face shield, selalu memakai hand sanitizer dan jaga jarak dengan orang lain. 10 hari dalam masa isolasi, ketika harus memimpin kebaktian emeritasi sejumlah pendeta GMIT di Kupang, beta keluar rumah beberapa jam namun selalu dengan protokol yang ketat itu. Selama acara itu beta tidak membuka masker, bahkan untuk foto pun beta selalu memakai.

Melalui ruang ini beta ingin menyampaikan apresiasi yang tulus kepada pihak Dinas Kesehatan Kota Kupang yang bergerak cepat untuk tracking, tracing, dan testing. Juga terima kasih untuk seorang warga GMIT di Tim Covid 19 NTT yang selalu beta sibukkan dengan pertanyaan.

Ketika kami tiba di Kupang, ada kawan se-Tim yang merasa sakit. Begitu tahu hasil swab test Covid-19nya positif, saya tanya kepada beliau apa yang harus saya lakukan. Beliau memberi saran agar semua yang ada kontak erat dengan kawan se-Tim untuk segera menghubungi pihak Dinas Kesehatan, Ibu Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (Kabid P2P) Dinkes Kota Kupang, Ibu Sri Wahyuni. Beberapa saat kemudian, kawan yang lain (Ibu Yanti) dari Dinas Kesehatan Kota Kupang lalu menelpon saya meminta riwayat kontak.

Selanjutnya jadwal untuk swab test disampaikan Bu Yanti. Ternyata yang dapat jadwal tes pada hari yang sama cukup banyak, sekitar 50 orang. Kami diminta datang jam 9 pagi. Pengambilan sampel dimulai jam 10. Saya orang pertama yang diambil swab. Dengan sungguh-sungguh saya minta didahulukan sebab saya ada jadwal pelayanan penahbisan di Alor. Saya juga minta agar hasil tes saya tidak harus menunggu 3-5 hari. Mereka mengatakan: “Kami upayakan ibu, namun kami tak dapat menjamin sebab terlalu banyak sampel yang harus diuji.”

Tes Swab

Berbeda dengan rapid test, swab test atau tes usap mengambil lendir di rongga hidung (nasofaring) dan mulut/kerongkongan (orofarings) menggunakan alat seperti kapas lidi khusus. Memang tes swab ini menyebabkan sedikit sakit di hidung dan kerongkongan sebab ada benda asing dimasukkan cukup dalam ke hidung dan mulut kita. Namun setelah kurang lebih lima menit rasa sakit sudah berkurang. Bahkan setelah satu jam sudah tidak terasa lagi.

Petugas yang melaksanakan tes memakai perlengkapan alat pelindung diri (APD) lengkap. Ketika melihat mereka memakai pakaian berlapis, saya hampir menangis. Membayangkan di Kupang yang sedang sangat panas, mereka tak bisa minum air beberapa jam, tak boleh ke kamar kecil. Mereka rela melakukannya untuk memutus mata rantai penularan yang sedang menggila sekarang.

Tes swab tidak lama, sekitar tiga menit. Namun yang lama adalah proses sebelum hasilnya didapat. Sampel harus dimasukkan ke dalam mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) selama sembilan jam. Namun karena banyaknya antrian sampel yang harus diperiksa, biasanya tiga sampai lima hari baru hasil keluar. Hingga sekarang NTT hanya memiliki satu alat tes PCR, sedangkan sampel yang antri sudah hampir 1000, padahal mesin hanya bisa memuat 180an sampel sehari.

Kita semua mesti mendukung upaya membangun Laboratorium Biomolekuler yang digagas oleh kawan-kawan Forum Akademia NTT (FAN) dan yang kini didukung oleh Pemrov NTT dan berbagai pihak. Dengan trend meningkatnya jumlah orang terpapar dan kebutuhan test yang makin mendesak, adanya lab biomolekuler yang diprakarsai Ibu Fima Inabuy (doktor ahli biomolekuler asal NTT, lulus PhD dari Amerika), Pak Elcid Lie, dan sejumlah kawan lain itu akan sangat membantu.

Biaya untuk tes swab berdasarkan pelacakan dan penelusuran (tracking dan tracing) gratis. Artinya biaya ditanggung pemerintah. Sedangkan kalau kita melakukan tes mandiri, biayanya bervariasi antara 1,5 juta dan 2,5 juta rupiah. Saya tak perlu membayar untuk tes, sebab kami termasuk yang ditelusuri sebab ada kontak erat dengan pasien.

Hasil Tes Negatif

Tadi siang (24 September) saya mendapat pemberitahuan bahwa hasil tes swab saya negatif. Betapa lega hati saya. Dengan haru saya memeluk anak bungsu kami. Dengan bertelut kami berdoa sambil menangis. Tuhan baik. Selama 12 hari di masa isolasi ini, dia menahan diri untuk menyentuh saya. Padahal kami dua punya ritual khusus untuk selalu saling memberi “big hugs” dalam jadwal tertentu. Tidak mudah bagi dia. Kadang-kadang dia marah karena tak bisa memeluk mama.

Saya bisa membayangkan sulitnya saudara-saudara yang menjalani masa isolasi. Tidak saja mereka tetapi juga keluarga mereka. Di rumah anak-anak juga resah. Kalau saya positif mereka juga akan di-swab dan bisa jadi juga diisolasi. Puji Tuhan, kami bisa melalui semuanya bersama.

Saya mengajak semua pembaca, berilah dukungan kepada saudara-saudara kita sedang menjalani masa isolasi. Baik itu isolasi mandiri di rumah, terutama untuk mereka yang diisolasi di fasilitas kesehatan.

Sejak pagi hingga malam pada tanggal 24 September ada  beberapa kawan yang whatsapp dan bertanya: “Kami mendengar mama positif?” Saya bilang dengar dari mana? Katanya ada berita berkembang begitu. Saya katakan demikian: “Sejauh ini sudah ada kepastian bahwa salah satu tim yang pergi bersama ke Batam, positif statusnya. Karena ada yang terpapar, maka kami semua tim yang sama-sama pergi wajib swab test. Saya masih tunggu hasil swab. Tapi puji Tuhan sejauh ini keadaan beta baik, bahkan SANGAT BAIK. Tidak ada gejala sama sekali. Selama di sana kami sangat ketat pakai masker dan face shield. Namun apapun bisa terjadi. Jadi beta masih tunggu hasil sambil isolasi mandiri di rumah. Kalau sudah ada hasil swab pasti kami sampaikan ke kawan-kawan.”

Saya juga heran ada yang bisa membuat berita seperti itu, tanpa ada data. Bukankah itu sangat tidak etis? Semoga kita semua bisa belajar menjadi lebih dewasa untuk tidak menyebarkan berita yang belum terbukti kebenarannya. Namun di pihak lain saya dapat mengerti bahwa kabar itu bisa berkembang oleh karena kekuatiran saya terpapar karena ada kawan se-Tim yang sudah dikonfirmasi positif Covid-19. Jadi di kesempatan ini saya ingin sampaikan bahwa puji Tuhan, hasil tes swab saya dinyatakan negatif. Terpujilah Tuhan. Saya sudah mendapat surat resmi dari Dinas Kesehatan Kota Kupang mengenai hasil tes swab yang negatif itu.

Kalau Sungguh-Sungguh Disiplin Kita Bisa Lebih Terlindung

Ada yang bertanya, kenapa sudah tahu ada pandemi masih keluar daerah? Saya katakan kita semua ingin tetap tinggal di rumah dalam masa-masa seperti ini. Tapi kadang-kadang ada keadaan yang menuntut kita untuk pergi, seperti sidang pengadilan baru-baru di Batam. Kalau ikut mau sendiri, kami juga tak mau ambil risiko karena ada anak-anak di rumah yang rentan pada penularan.

Namun dari pengalaman beta, kalau kita sungguh taat protokol secara tepat, maka kita lebih terlindungi, walaupun belum ada jaminan kita benar-benar aman. Kalau kita sungguh-sungguh berdisiplin dengan makser dilapis face shield, jaga jarak, dan selalu pakai hand sanitizer (beta dinasihati adik beta yang perawat untuk memakai hand sanitizer tiap 20 menit saat perjalanan pergi dan pulang Batam), kita bisa lebih terlindung. Yang juga sangat penting adalah menjaga stamina tubuh: selalu konsumsi makanan yang sehat, rutin berolah raga, dan menjaga agar mental dan jiwa kita tetap sehat. Kalau kita keluar rumah, entah keluar daerah atau di dalam daerah, harus tetap benar-benar disiplin. Dengan meningkatnya penularan/transmisi lokal, maka kita semua harus makin hati-hati dan sungguh-sungguh melaksanakan protokol kesehatan. Selalu pakai masker yang bersih secara benar, jaga jarak, dan mencuci tangan/pakai hand sanitizer.

Pada saat yang sama janganlah kita terlalu cepat menghakimi mereka yang terpapar sebagai yang tidak disiplin. Sebab kenyataannya ada anggota keluarga yang sakit parah ataupun meninggal dan tidak tahu sama sekali dari mana kena penyakit, padahal orang yang sakit/meninggal juga rajin dengan protokol. Kita belajar dari konteks lain bahwa walaupun seseorang super rajin dengan protokol, yang tentu membantu, belum ada jaminan bisa lolos dari penyakit. Buktinya banyak tenaga medis yg memakai APD lengkap, tapi ada yang sakit dan meninggal juga. Covid-19 masih memiliki banyak aspek yang belum benar-benar dipahami oleh umat manusia hingga sekarang. Kita tak boleh terlalu cepat saling menghakimi dengan ukuran-ukuran kita yang belum tentu relevan.

Doa untuk Kawan-Kawan yang Masih Berjuang untuk GMIT di Batam

Malam ini puteri saya mengatakan, “Mama kita harus merayakan hari ini.” Jadi suami saya pergi beli makanan sederhana yang kami semua suka dan menikmatinya bersama di rumah. Terpujilah Tuhan yang memberi kelegaan kepada kami. Saya segera bersiap untuk esok terbang ke Alor untuk penahbisan pendeta di Alor Timur Laut.

Dalam doa keluarga malam ini kami ingat kawan-kawan yang masih bergumul di ruang isolasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun yang diisolasi di fasilitas kesehatan. Mohon dukungan doa untuk kawan se-Tim yang masih dirawat. “Tetap semangat, kawan.” Sebelum ada vaksin, satu-satunya yang dapat membantu adalah semangat dalam diri. Tetap optimis, penuh keyakinan iman bahwa Tuhan menolong kita. Terus berjuang dengan semangat positif.

Doa kami juga untuk jemaat GMIT di Batam yang sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan terkait kepemilikan GMIT atas lahan sengketa di sana. Mohon dukungan doa dari semua jemaat GMIT. Terima kasih untuk jemaat-jemaat di Klasis Kota Kupang yang telah membantu juga dengan dana. Itu sangat berarti untuk proses yang panjang dan melelahkan ini.

Akhirnya tetap jaga kesehatan. Dalam susah dan senang, dalam sehat dan sakit, Tuhan memelihara kita semua. Dia Allah Imanuel.

Kupang, 24 September 2020

(tulisan diselesaikan dalam penerbangan ke Alor untukpenahbisan pendeta di Taramana, Klasis Alor Timur Laut)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *