Pulang Kampung, Mudik, Nostalgia – Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

www.sinodegmit.or.id, Tiba-tiba topik ini menjadi viral ketika Najwa dalam acara Mata Najwa mengajukan pertanyaan ini kepada Presiden Jokowi. Kira-kira pertanyaannya seperti ini: “Mengapa baru keluar larangan mudik sekarang sementara yang pulang kampung sudah jutaan”? Presiden merespon, mudik itu tidak sama dengan pulang kampung. Mudik hanya terjadi pada hari raya Idulfitri oleh mereka yang sebahagian besarnya sudah sukses di Jakarta. Sementara pulang kampung bisa saja sewaktu-waktu dilakukan justru oleh mereka yang kurang sukses dan yang rumahnya memang di kampung. Tentu saja realitasnya sama saja yakni kedua-duanya tokh ke kampung juga, namun motivasinya berbeda.

Dengan mengajukan pertanyaan macam itu kita kuatir masalah penularan Covid-19 jikalau terjadi gerakan besar-besaran akan tergeser ke samping. Namun Presiden sudah punya jawaban. Kalau mereka yang tidak sukses itu tetap tinggal di Jakarta pada waktu pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dikuatirkan masalah sosial yang lain akan timbul. Misalnya mereka bisa mati kelaparan sebab tidak ada kesempatan mencari makan. Kalau pulang ke kampung mereka bisa memasuki karantina sehingga resiko penularan bisa direduksikan.

“Pulang kampung”, “mudik”, “nostalgia”. Sepintas kilas sama saja. Tokh ujung-ujungnya ke kampung juga. Namun maknanya sangat berbeda. Kalau kita sedikit memperhatikan sejarah ternyata tradisi mudik telah berlangsung cukup lama. Inilah tradisi primordial masyarakat petani Jawa sejak era Majapahit. Pada waktu itu setiap tahun mereka mudik guna membersihkan makam leluhur mereka. Tentu dengan maksud memperoleh restu dan berkat dari para leluhur yang telah wafat itu.

Ini mengindikasikan bahwa mudik tidak bisa dilakukan sewaktu-waktu, melainkan pada saat tertentu saja dan biasanya pada waktu yang dianggap sakral. Konon, “mudik” terdiri dari dua patah kata (bhs Jawa), “mulih dilik” yang berarti pulang kampung sementara. Ada pula yang mengaitkannya dengan “udik” yang berarti “ilir” atau “hulu”. Dulu biasanya orang berperahu menuju hulu atau menuju “sumber”. Karena itu mudik punya sangkut-pautnya juga dengan kembali ke “sumber” di mana orang memperoleh enerji baru guna melanjutkan kehidupan.

Bagaimana dengan “nostalgia”. Dalam bahasa Belanda dipakai istilah “heimwee” yang berarti kerinduan yang sangat mendalam terhadap rumah. Maknanya mirip-mirip dengan “mudik”. Sesungguhnya istilah nostalgia terdiri dari dua patah kata Yunani: “nostos”=kepulangan; “algos”= luka. Ini lazim dalam era yang di Eropa disebut Era Romantisisme. Konon, pada waktu itu ada seseorang yang menderita sakit yang cukup berat. Dokter-dokter tidak berhasil menyembuhkannya. Tetapi ada seorang dokter menasihatkannya untuk kembali ke kampung. Ternyata ia sembuh. Itu berarti bahwa nostalgia (baca: mudik) mempunyai makna “pemulihan”. Maka mudik tidak sekadar pulang ke kampung tetapi juga untuk memperoleh pemulihan.

Demikianlah kata-kata ini secara sepintas kedengarannya sama saja, namun secara hakiki mempunyai perbedaan makna yang mendalam. Tergantung dari konteks yang di dalamnya kita ada dan motivasi yang berada di belakangnya.

Di dalam musim Corona sekarang ini janganlah kita terjebak dalam perdebatan tentang kata-kata, tetapi kembalilah kepada tujuan, yaitu apapun kata yang dipilih, janganlah kita lupa untuk menjauhkan diri dari penularan virus yang berbahaya ini. Saya yakin Pemerintah sudah tepat melarang mudik karena resikonya jauh lebih besar ketimbang “pulang kampung”. Saya sadar pilihan ini tidak mudah bagi Pemerintah, bahkan menyakitkan sebagaimana terlihat dalam bahasa tubuh dan raut muka Presiden yang sangat sedih pada waktu beliau mengumumkan hal itu. “Kita memilih bukan yang baik dari yang buruk, melainkan yang kurang buruk dari yang buruk”, kata Presiden. Maka marilah kita dukung Presiden dan Pemerintah agar virus berbahaya ini lenyap dari negeri kita bahkan dari dunia. Tuhan melindungi kita. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *