
“Karena Pendidikan adalah Senjata Paling Ampuh untuk Mengubah Dunia”
www.sinodegmit.or.id, Demikianlah kalimat bijak dari Nelson Mandela, salah satu tokoh dunia yang berjuang melawan penindasan rasial di negaranya, Afrika Selatan. Apa yang dikatakan oleh Mandela adalah benar adanya. Tanpa pendidikan seseorang atau suatu bangsa akan terus terjajah dan terbelakang. Pendidikan tidak hanya mengubah pribadi seseorang, namun juga mengubah lingkungan dan komunitas tempat ia berada. Lihatlah pada sejarah umat manusia, bukankah orang-orang yang berpendidikan selalu mampu mengubah dunia? Al-Farabi, Al-Ghazali, Simone Weil, Iris Murdoch, Karl Max, Imanuel Kant, Rosa Luxemburg, Martin Luther, Albert Enstein, Kong Hu Cu, mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan.
Dalam konteks Timor Barat, pendidikan bukanlah sesuatu yang baru muncul ketika bangsa-bangsa Eropa tiba, melainkan sudah ada dan merupakan bagian integral dari peradaban manusia Timor Barat. Pendidikan tersebut terwujud dalam berbagai bentuk seperti mitos, nyanyian, puisi, hukum adat, dll. Kemudian ketika bangsa-bangsa Eropa tiba, khususnya Belanda, mereka mulai memperkenalkan sistem pendidikan modern, di mana anak-anak dididik melalui suatu institusi (sekolah) yang tersistematisasi.
Jika demikian, maka sekarang timbul beberapa pertanyaan: “bagaimanakah sekolah pertama tersebut didirikan?”, “siapakah pendirinya?”, dan “bagaimana proses belajar-mengajar berlangsung?” Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam tulisan kali ini.
Dalam konteks Timor Barat, catatan tertua mengenai adanya sekolah ditemukan dalam Surat Majelis Jemaat Batavia tertanggal 16 Desember 1689. Dalam surat itu disebutkan bahwa di Timor, khususnya Kupang, sudah terdapat satu sekolah yang dipimpin dan diajar oleh seorang guru. Berdasarkan surat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sekolah di Kupang sudah harus didirikan sebelum tanggal 16 Desember 1689.[1] Inilah sekolah pertama di Kupang
Keterangan dari Surat Majelis Jemaat Batavia memperbaharui serta mengoreksi informasi sejumlah penulis terdahulu yang menyebutkan kalau sekolah di Kupang didirikan pada tahun 1701.[2] Lagipula, di samping Surat Majelis Jemaat Batavia tanggal 16 Desember 1689, sejumlah dokumen lain juga menunjukkan bahwa sekolah telah didirikan di Kupang sebelum tahun 1701. Dokumen yang pertama adalah Surat Majelis Jemaat Batavia tertanggal 26 Januari 1692. Dalam surat tersebut, Majelis Jemaat Batavia menyebutkan bahwa terdapat seorang guru di Kupang bernama Paulus.[3] Kalau Paulus sudah menjadi guru, maka tentu sekolah pun sudah didirikan. Dokumen kedua adalah Archive of the Vereenidge Oost-Indische Compagnie, access number 1.04.02 yang telah dikutip oleh Hans Hägerdal dalam bukunya Lords of the land, lords of the sea. Hägerdal menginformasikan bahwa pada tahun 1692 terdapat seorang pegawai VOC di Kupang bernama Willem Morman yang memarahi orang-orang Kristen pribumi karena jarang sekali mengikuti kebaktian. Ia lantas memerintahkan mereka pergi menghadap guru sekolah agar pengetahuan mereka mengenai iman Kristen diuji.[4] Di sini terlihat jelas bahwa sekolah sudah didirikan, sebab sudah terdapat seorang guru. Dokumen ketiga adalah buku Francois Valentyn yang terbit tahun 1726. Dalam bukunya tersebut, Valentyn menjelaskan bahwa pada tahun 1695, Jemaat Kupang dikunjungi oleh Lodovicus de Mey, seorang pendeta pengunjung. Dalam kunjungan tersebut De Mey menyaksikan bila Jemaat Kupang ditangani oleh satu orang Penghibur Orang Sakit (POS) dan satu orang guru.[5] Dokumen keempat adalah Arsip Gereja Hervormd Belanda yang dikutip oleh G.M.J.M. Koolen dalam bukunya Onderwijs en Kerk Onder de Zeventiende-Eeuwse VOC. Dalam dokumen ini disebutkan jika pada tahun 1698 sudah terdapat 34 anak yang terdaftar pada sekolah di Kupang.[6] Bukti-bukti di atas memperlihatkan bahwa sekolah di Kupang sudah berdiri sebelum tahun 1701 atau 1702 sebagaimana disebutkan sejumlah penulis sebelumnya.
Kembali kepada pertanyaan-pertanyaa utama: “bagaimanakah sekolah ini didirikan dan siapakah pendirinya.” Sejauh ini, saya tidak mendapat informasi lebih mendetail mengenai kapan sekolah tersebut didirikan dan siapakah pendirinya. Namun berdasarkan sejumlah analisis, saya menyimpulkan jikalau sekolah itu didirikan sekitar tahun 1687-1688, pada masa pelayanan Pdt. Alexander Carpius.
Terdapat tiga alasan mengapa saya sampai pada kesimpulan ini. Pertama, sebelum Pdt. Alexander Carpius melayani pada tahun 1687, Jemaat Kupang telah mengalami kekosongan pelayanan selama kurang lebih delapan tahun. Pendeta terakhir sebelum Pdt. Carpius melayani dari tahun 1678-1679.[7] Dalam konteks kekristenan yang baru bertumbuh di Kupang, rasanya tidak mungkin bila suatu sekolah dapat terus beroperasi selama delapan tahun dengan tiada pengawasan dan perhatian dari pendeta. Apalagi pada waktu itu pendidikan merupakan bagian integral dari gereja.[8] Kedua, Pdt. Carpius terkenal karena semangat dan perhatiannya untuk mendidik dan mengajar orang-orang. Mengenai Caripus, tertulis demikian:
“Ia adalah seorang yang luar biasa yang pertama kali memulai pelayanannya dalam gereja Hindia sebagai POS di kapal de Goede Hoop. Selama pelayaran Carpius seringkali menyampaikan khotbah. Dia adalah orang saleh dan beradab yang selama pelayaran selalu memberikan pengajaran kepada budak-budak Kompeni [VOC]… Kita kembali ke Carpius. Saya ingin memperlihatkan bahwa gereja Hindia (Indsiche Kerk) memiliki salah satu POS terbaik dalam dirinya.”[9]
Sikap Carpius yang suka mengajar dan mendidik menjadikannya sangat berpotensi sebagai pendiri sekolah. Ketiga, setelah Pdt. Carpius melayani, terdapat seorang POS bernama Jan Dirkzoon yang melanjutkan pelayanannya (1689-1691). Akan tetapi, sangat tidak mungkin Jan Dirkzoon menjadi pendiri sekolah tersebut, sebab selama melayani di Kupang ia sering berkonflik dengan para pegawai VOC. Perlu untuk diketahui bahwa VOC diberikan kewenangan mutlak oleh Kerajaan Belanda untuk memegang kendali atas jalannya pekabaran Injil di Timor – dan juga wilayah-wilayah lainnya yang mereka kuasai. Karenanya, segala hal yang berkaitan dengan penyebaran kekristenan seperti penempatan pendeta, pendirian jemaat, pendirian sekolah, pengangkatan majelis, dan berbagai hal lainnya, harus mendapat izin dari VOC. Berangkat dari kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa sangat sulit bagi Jan Dirkzoon untuk mendapatkan izin mendirikan sekolah, sebab ia sering kali berkonflik dengan para pegawai VOC di Kupang.
Tadi sudah disebutkan bahwa dalam surat tanggal 16 Desember 1689, Majelis Jemaat Batavia menyebutkan bahwa di Kupang sudah terdapat sekolah dan diajar oleh seorang guru. Pertanyaan yang lantas muncul adalah “siapakah guru yang dimaksud”. Menurut saya, guru yang dimaksud adalah seorang pribumi bernama Paulus Coupang[10]
Terdapat empat argumentasi mengapa saya mengambil kesimpulan bahwa guru yang dimaksud dalam surat Majelis Jemaat Batavia pada 16 Desember 1689 adalah Paulus. Pertama, menurut data arsip VOC (1460 [1688-89], Dagregister, sub 2-10-1688), yang kemudian dikutip oleh Hägerdal, Paulus adalah salah satu dari sejumlah kecil orang di Kupang yang pada waktu itu mampu membaca dan menulis. Ia bahkan mahir melakukannya baik dalam bahasa Melayu maupun Belanda. Fakta ini memperlihatkan bahwa Paulus telah memenuhi syarat serta indikator awal seorang guru, yakni mahir dalam menulis dan membaca.[11]
Kedua, dari segi sosial-kultural, Paulus adalah bangsawan dari Kerajaan Kupang (Helong). Dalam konteks Kupang waktu itu, di mana feodalisme masih kuat memengaruhi kehidupan masyarakat, hampir tidak mungkin bila seorang rakyat kelas bawah atau menengah menjadi guru. Sebab, guru merupakan pekerjaan yang bergengsi. Karenanya, tentu seorang guru harus datang dari masyarakat kelas atas. Sebagai seorang bangwasan, sangat mungkin bila Paulus menjadi guru.[12]
Ketiga, dalam surat Majelis Jemaat Batavia tanggal 26 Januari 1692, Paulus dikatakan sudah menjadi guru di Kupang.[13] Itu berarti ia sudah harus menjadi guru sebelum surat tersebut di tulis. Mempertimbangkan jarak yang dekat antara tahun 1689 hingga sebelum 26 Januari 1692 (hanya berjarak kurang lebih dua tahun), maka sekali lagi sangat besar kemungkinan bila guru yang disebut dalam surat tanggal 16 Desember 1689 adalah Paulus.[14] Keempat, jikalau guru yang disebutkan dalam surat Majelis Jemaat Batavia tanggal 16 Desember 1689 bukan Paulus, maka tentu namanya sudah akan muncul dalam berbagai arsip dan dokumen VOC lainnya. Pasalnya, pada waktu itu, guru merupakan tokoh penting dalam masyarakat. Malah sangat aneh bila nama dari sang guru tidak disebutkan. Sayangnya, berbagai dokumen dan arsip, entah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda, hanya menyebutkan nama Paulus. Itu berarti Paulus lah satu-satunya guru pada tahun-tahun tersebut.[15]
Pada tahun-tahun selanjutnya sekolah di Kupang masih terus beroperasi meski mengalami pasang surut. Paulus sendiri tetap menjadi di guru hingga kematiannya tahun 1716. Selanjutnya, pada tahun 1732 terdapat laporan dari Pendeta Warnerus van Loo yang mengunjungi Kupang bahwa sekolah ini masih terus berjalan. Pendeta Wilhelmus Abbenbroek menemukan kenyataan yang serupa ketika ia datang ke Kupang pada tahun 1746. Di Kupang ia menemukan bahwa sekolah masih terus beroperasi.[16]
Sejak tahun 1746 hingga pembubaran VOC pada tahun 1799, kita tidak mendapatkan informasi terkait perkembangan sekolah tersebut. Apakah terus beroperasi? Apakah sudah ditutup? Yang menarik untuk dicatat adalah ketika Le Bruijn – misionaris dari badan misi Nederlandsch Zendelinggenootschap – tiba di Kupang pada akhir 1819, ia menemukan adanya satu sekolah dengan 8 murid yang masih berjalan meski dalam keadaan yang sangat buruk. Sayangnya, belum bisa dipastikan apakah ini sekolah yang sama dengan yang didirikan tahun 1689 atau sekolah yang berbeda. Pasalnya, pada tahun 1802, pendeta S. Muller mengunjungi Jemaat Kupang, dan terdapat kemungkinan juga bahwa ialah yang mendirikan sekolah tersebut.[17]
Apabila benar bahwa sekolah yang dijumpai Le Bruijn merupakan sekolah yang didirikan sejak 1689, maka ini menjadi kenyataan yang luar biasa sebab sejak masa Le Bruijn, sekolah tersebut dipulihkan dan terus beroperasi hingga awal tahun 1900-an. Bahkan besar kemungkinan bahwa sekolah tersebut juga terus berjalan hingga pemandirian GMIT. Jika perkiraan tersebut benar, maka saya menduga bahwa salah satu dari SD GMIT (dan negeri) Bonipoi (satu sampai 6) memiliki keterhubungan dan sejarah yang sama dengan sekolah yang didirikan pada 1689.

Baiklah kita menyudahi percakapan mengenai sekolah secara kronologis (kronos) dan beralih membahas mengenai bagaimana pendidikan di sekolah ini berlangsung.
Tidak mudah untuk menyajikan informasi mengenai bentuk atau model pendidikan. Pasalnya,kajian mengenai topik ini hampir-hampir tidak dapat ditemukan. Oleh karena itu, untuk mendapat gambaran mengenai kondisi pendidikan di Kupang, maka kita harus beralih melihat gambaran pendidikan di Hindia Timur[18] secara umum. Saya mencatat beberapa hal penting mengenai pendidikan di Hindia Belanda pada masa VOC yang kemungkinan besar juga berlaku di Kupang.
Pertama, pendidikan hanyalah sebuah instrumen untuk mengkristenkan orang-orang pribumi.Pendidikan pada masa ini tidak memiliki tujuan “intelektual”. Ia hanya memiliki tujuan “religius”. Berangkat dari orientasi tersebut, maka pelajaran-pelajaran yang diberikan di sekolah pun hanyalah pelajaran yang berkaitan dengan pengkristenan atau yang mendukung seseorang menjadi Kristen. Sebagai contoh, anak-anak yang buta aksara diajarkan membaca hanya agar mereka dapat membaca Alkitab dan kumpulan tulisan Kristen lainnya. Begitupun anak-anak diajarkan untuk menghafal hanya supaya mereka dapat menghafalkan sejumlah pasal dalam katekismus Hiedelberg, pengakuan iman rasuli, dan doa bapa kami. Mereka juga diajarkan bernyanyi hanya supaya mereka dapat ikut bernyanyi dalam ibadah-ibadah gerejawi.[19]
Kedua, pendidikan bersifat “individual”. Murid-murid mungkin diajarkan dalam satu kelas yang sama, tetapi konten pelajaran yang diberikan berbeda, tergantung pada kemampuan sang murid. Murid A bisa saja diajarkan cara membaca atau menulis, sedangkan murid C diajarkan menghafal. Hal yang sama juga berlaku bagi durasi atau lamanya pendidikan. Pada waktu itu VOC tidak menyusun suatu kurikulum resmi yang menjadi acuan mengenai batas waktu bersekolah. Murid-murid dapat dinyatakan lulus kapanpun apabila telah dianggap cukup bisa untuk membaca, menulis, menghafal, dan bernyanyi. Karena itu, dalam praktiknya sering kali terjadi bahwa si A dinyatakan lulus terlebih dahulu dari si B walau si B bersekolah lebih dahulu.[20]
Keadaan ini baru mengalami perubahan pada tahun 1778 dengan dikeluarkannya aturan mengenai pendidikan oleh Komisi Pendidikan. Dalam aturan tersebut ditetapkan bahwa pendidikan di sekolah-sekolah tidak lagi bersifat individual seperti sebelumnya, melainkan harus bersifat kolektif. Itu artinya dalam satu kelas, semua murid diajarkan materi yang sama. Peraturan ini juga membagi pendidikan menjadi tiga jenjang, yakni jenjang atas, menengah, dan bawah. Pada jenjang atas, murid-murid diajarkan menulis, berhitung, bernyanyi, dan diberikan penjelasan mengenai beberapa pokok penting dalam iman Kristen. Pada jenjang menengah murid-murid diajarkan materi yang sama dengan jenjang atas, hanya dengan bobot yang lebih sedikit. Pada jenjang bawah murid-murid diajarkan mengenal huruf-huruf Alfabet dan mengeja sejumlah kata.[21] Tampaknya dalam konteks Kupang model pendidikan kolektif ini tidak dapat dilakukan secara maksimal. Pasalnya, model ini baru diberlakukan sejak tahun 1778, sedangkan sejak tahun tersebut kondisi Gereja Protestan – sebagai penyelenggara pendidikan – semakin menurun.[22]
Ketiga, sekolah berlangsung selama lima hari dalam seminggu, yaitu pada hari senin, selasa, kamis, jumat, dan minggu. Pada hari-hari tersebut, kegiatan belajar-mengajar berlangsung dari jam delapan pagi hingga sebelas siang, dan kemudian dilanjutkan lagi dari jam tiga hingga lima sore. Adapun pada tahun 1668 VOC menetapkan bahwa batas usia maksimal bagi seorang anak laki-laki untuk mendaftar ke sekolah adalah enam belas tahun dan perempuan dua belas tahun. Pada tahun 1673 batas maksimal ini diturunkan, laki-laki menjadi dua belas tahun dan perempuan menjadi sepuluh tahun.[23]
Keempat, para guru biasanya datang dari kalangan orang pribumi. Mereka ini kebanyakan adalah mantan anak didik para misionaris yang kemudian dipercayakan menjadi seorang guru. Setidaknya terdapat dua tugas utama guru, yakni menanamkan nilai-nilai kekristenan dan menjadikan murid-muridnya sebagai anggota gereja Protestan yang saleh, dan menanamkan nilai kecintaan terhadap VOC.[24] Dalam konteks jemaat-jemaat besar seperti di Batavia dan Ambon, jabatan guru dan penghibur orang sakit biasanya dipegang oleh orang yang berbeda. Di Kupang, model seperti ini pernah terjadi pada masa Treefiers dan Paulus Coepang. Sayang sekali, setelah kepergian keduanya, tidak terdapat bukti bahwa jabatan guru dan jabatan penghibur orang sakit dipegang oleh orang yang berbeda.
Demikianlah pemaparan historis mengenai sekolah pertama di Kupang. Sekolah merupakan bagian penting dari pelayanan gereja pada waktu itu. Itulah sebabnya sekolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gereja. Bahkan pada tahun-tahun hingga abad-abad selanjutnya, sejarah membuktikan bahwa salah satu pelayanan utama dari gereja adalah pendidikan. ***
KEPUSTAKAAN
Breijer, W. F. “Brief uit Timor” dalam De Timor Bode (No 4, Agustus 1916).
Brugmans, I. J. Geschiedenis van Het Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Batavia: Wolters Uitgevers-Maatschappij, 1938.
Cooley, Frank. L. Benih yang Tumbuh XI: Gereja Masehi Injili di Timor. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1971.
Djara Wellem, Frederiek. Sejarah Gereja Masehi Injili di Timor. Jakarta: Permata Aksara, 2011.
Hägerdal, Hans. Lords of the Sea, Lords of the Land: Conflict and Adaptation in Early Colonial Timor, 1600-1800. Leiden: KITLV Press, 2012.
Jacob, Fransisco de Ch. Anugerah. “Gereja Protestan di Timor Barat pada Masa Nederlandsch Zendeling Genootschap, 1820-1860″ Theologi in Loco Vol. 3, No. 1 April 2021, h. 29.
Kerkeraad te Batavia Brief’s van 30 November 1678 dalam Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending: I – Aanteekeningen uit de Acta der Provinciale Synoden van Noord-Holland. Utrecht: C. Van Bentum, 1884.
Kerkeraad te Batavia Brief’s van 16 Desember 1689 dalam Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending: I – Aanteekeningen uit de Acta der Provinciale Synoden van Noord-Holland. Utrecht: C. Van Bentum, 1884.
Kerkeraad te Batavia Brief’s van 26 Januari 1692 dalam Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending: I – Aanteekeningen uit de Acta der Provinciale Synoden van Noord-Holland. Utrecht: C. Van Bentum, 1884.
Kerkeraad te Batavia Brief’s van 22 November 1694 dalam Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending: I – Aanteekeningen uit de Acta der Provinciale Synoden van Noord-Holland. Utrecht: C. Van Bentum, 1884.
Koolen, G.M.J.M. Onderwijs en Kerk Onder de Zeventiende-Eeuwse VOC. Kampen: Uitgeversmaatschappij, 1993.
Nuban Timo, Ebenhaizer, Eduard Gana, Petrus Desvance Leka, Maria Ballo Ully, Joni Lie Rohi, Hary Ully, Hendrik Boenga, Kasih yang Tak Lekang oleh Waktu: Empat Abad Dendang Kabar Baik dari Kota Karang. Salatiga: Satya Wacana Press, 2022.
Valentyn, Francois. Naaukerige Verhandeling van Banda, Behelzende een Nette Landbeschiriving van de Eylanden. Amsterdam: Gerard Onder de Linden, 1726.
Van den End, Th. Ragi Carita I:Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
van Troostenburg de Bruyn, C. A. L., Kranbezoekers in Nederlansch Oost-Indie. Amsterdam: R. W. P. de Vries, 1902.
[1] Kerkeraad te Batavia Brief’s van 16 Desember 1689 dalam Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending: I – Aanteekeningen uit de Acta der Provinciale Synoden van Noord-Holland (Utrecht: C. Van Bentum, 1884), h. 94
[2] Frank. L. Cooley, Benih yang Tumbuh XI: Gereja Masehi Injili di Timor (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1971), h. 31; Frederiek Djara Wellem, Sejarah Gereja Masehi Injili di Timor (Jakarta: Permata Aksara, 2011), h. 12; Ebenhaizer Nuban Timo, dkk., Kasih yang Tak Lekang oleh Waktu: Empat Abad Dendang Kabar Baik dari Kota Karang (Salatiga: Satya Wacana Press, 2022), h. 141.
[3] Kerkeraad te Batavia Brief’s van 26 Januari 1692 dalam Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending: I – Aanteekeningen uit de Acta der Provinciale Synoden van Noord-Holland (Utrecht: C. Van Bentum, 1884),h. 99.
[4] Hans Hägerdal, Lords of the Sea, Lords of the Land: Conflict and Adaptation in Early Colonial Timor, 1600-1800 (Leiden: KITLV Press, 2012), h. 289-290.
[5] Francois Valentyn, Naaukerige Verhandeling van Banda, Behelzende een Nette Landbeschiriving van de Eylanden (Amsterdam: Gerard Onder de Linden, 1726), h. 127.
[6] G.M.J.M. Koolen, Onderwijs en Kerk Onder de Zeventiende-Eeuwse VOC (Kampen: Uitgeversmaatschappij, 1993), h. 59.
[7] Koolen, Onderwijs,h. 186; Kerkeraad te Batavia Brief’s van 30 November 1678 dalam Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending: I – Aanteekeningen uit de Acta der Provinciale Synoden van Noord-Holland (Utrecht: C. Van Bentum, 1884),h. 83.
[8] Sebagian pembaca mungkin bertanya apakah tidak ada majelis jemaat pada waktu itu sehingga penatalayanan sekolah harus benar-benar bergantung pada pendeta. Jawabannya: Ya. Pada waktu itu di Kupang belum terbentuk suatu kemajelisan sehingga segala hal yang berkaitan dengan gereja menjadi tanggung jawab seorang pendeta. Bila tiada pendeta dan majelis, maka tugas tersebut jatuh kepada POS dan guru jemaat.
[9] W. F. Breijer, “Brief uit Timor” dalam De Timor Bode (No 4, Agustus 1916), h. 4-5.
[10] Belum terdapat informasi yang pasti mengenai marga dari Paulus. Dalam sejumlah dokumen Belanda ia hanya disebut sebagai Paulus van Coupang (Paulus dari Coupang). Tetapi banyak penulis yang seolah-olah menyebut Kupang sebagai marga dari Paulus. Demi efisiensi pembacaan, saya juga akan menyebut Paulus sebagai Paulus Coupang, namun saya berharap agar para pembaca sekalian dapat menggarisbawahi pernyataan saya di atas.
[11] Hägerdal, Lords, h. 246.
[12] Hägerdal, Lords, h. 280.
[13] Sejumlah penulis seperti yang saya sebutkan dalam catatan kaki nomor dua menyebutkan bahwa Paulus baru mulai bekerja di Kupang pada tahun sekitar tahun 1701. Informasi tersebut tampaknya harus diperbaharui.
[14] Kerkeraad te Batavia Brief’s van 26 Januari 1692 dalam Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending: I – Aanteekeningen uit de Acta der Provinciale Synoden van Noord-Holland (Utrecht: C. Van Bentum, 1884), h. 99.
[15] Ketika membahas terkait salah seorang guru pribumi di Kupang yang cukup kenamaan pada masa VOC, banyak sekali sumber dan penulis yang hanya menyebutkan nama Paulus Coupang. Di sini saya akan menyebut lima tulisan dari lima penulis berbeda yang membahas tentang Paulus. Penjelasan panjang lebar ini untuk mendukung argumentasi atau alasan saya yang keempat. Tulisan-tulisan yang dimaksud antara lain adalah: Hägerdal, Lords, h. 246, 250, 280-281, 290; Francois Valentyn, Naaukerige Verhandeling van Banda, Behelzende een Nette Landbeschiriving van de Eylanden (Amsterdam: Gerard Onder de Linden, 1726), h. 127. Buku ini diakses secara online di https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/129455; Th. Van den End, Ragi Carita I:Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 92; C. A. L. van Troostenburg de Bruyn, Kranbezoekers in Nederlansch Oost-Indie (Amsterdam: R. W. P. de Vries, 1902), h. 16; Kerkeraad te Batavia Brief’s van 22 November 1694 dalam Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending: I – Aanteekeningen uit de Acta der Provinciale Synoden van Noord-Holland (Utrecht: C. Van Bentum, 1884), h. 105.
[16] Hägerdal, Lords, h. 255, 258-259, 290.
[17] Fransisco de Ch. Anugerah Jacob, “Gereja Protestan di Timor Barat pada Masa Nederlandsch Zendeling Genootschap, 1820-1860″ Theologi in Loco Vol. 3, No. 1 April 2021, h. 29.
[18] Wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia saat ini dulunya bernama Nusantara. Ketika VOC mulai berdagang di tempat ini sejak tahun 1600-an hingga 1799, nama wilayah ini berganti menjadi Hindia Timur. Pada tahun 1800-an hingga 1900-an nama tempat ini sekali lagi diganti menjad Hindia Belanda, dan sejak 1928 Hindia Belanda mulai dikenal sebagai Indonesia.
[19] I. J. Brugmans, Geschiedenis van Het Onderwijs in Nederlandsch-Indie (Batavia: Wolters Uitgevers-Maatschappij, 1938), h. 24-25.
[20] Brugmans, Geschiedenis, h. 24-25.
[21] Brugmans, Geschiedenis, h. 40.
[22] Breijer, “Uit”, h. 7.
[23] Brugmans, Geschiedenis, h. 25.
[24] Brugmans, Geschiedenis, h. 26, 35-36.