Sekolah Pertama di Oekabiti -Fransisco de Kr. A. Jacob

Sebuah penceritaan historis-imajinatif mengenai perjalanan Heijmering, Van der Wulp, D. Tielman, dan Huwae mendirikan sekolah pertama di Oekabiti[i]

Foto: Raja Amarasi dan sejumah pengawal.

Tok.. Tok.. Tok..

Tok.. Tok.. Tok..

Selamat pagi Joan!

Tok.. Tok.. Tok..

Tok.. Tok.. Tok..

Selamat pagi Joan!

Begitulah suara yang kudengar dari dalam kamar tidurku. Dengan tubuh yang masih berat dan kepala yang sedikit pusing, aku perlahan berjalan ke arah pintu. Sembari itu aku berteriak membalas: “Ya, tunggu sedikit”. Ketika pintu terbuka, ah ternyata itu Joni, salah seorang temanku. Ia tinggal bersama Pandita Heijmering di rumahnya. Joni dulunya adalah seorang budak. Baru-baru ini saja ia dibebaskan dari majikannya. Tuan Heijmering sebenarnya ingin supaya Joni bisa tinggal sendiri, tapi karena ia ingin berterima kasih kepada tuan Heijmering, maka ia memutuskan untuk tinggal bersamanya.  

“Apa yang kau inginkan?Aku bertanya kepada Joni, “Hari masih cukup pagi, mengapa terdengar begitu terburu-buru?”

“Sadarkan dirimu”, jawabnya. “Tuan Pandita sedang mencarimu. Katanya kau diminta ikut dengan rombongan pergi ke Amarasi”.

“Hah, Amarasi. Jauh sekali,Aku kaget membalasnya sembari sedikti mengeluh.

Amarasi adalah tempat yang cukup jauh dari Kupang. Untuk pergi ke sana membutuhkan waktu kurang lebih delapan jam dengan berkuda. Sebenarnya aku ingin menolak permintaan ini, sebab tubuhku masih lelah. Aku baru saja kembali dari Babau semalam. Babau adalah suatu perkampungan yang terletak beberapa jam dari Kupang ke arah timur. Di sana aku diminta oleh tuan-tuan Belanda untuk memainkan biola pada pesta mereka. Yah tapi mau bagaimana lagi, Tuan Pandita sudah memintanya. Aku tak punya pilihan lain.

Pergilah dahulu, nanti akan kususul. Aku masih harus mandi dan menyiapkan beberapa lembar pakaian”, begitu kataku kepada Joni.

Sembari berbalik dan berjalan,  ia menyahutku: “Baiklah, tapi jangan terlalu lama”.

Aku berjalan ke rumah Tuan Heijmering. Dari kejauhan sudah kulihat Joni sedang mengurus beberapa ekor kuda yang terikat di halaman rumah. Tampaknya itu adalah kuda-kuda yang akan kami gunakan. Jumlahnya ada lima ekor. Begitu sampai di serambi rumah, Nyonya Jacoba segera memintaku untuk masuk: “Masuklah Joan, yang lain sudah menunggu”. Dia adalah istri dari Pandita Heijmering. Nama lengkapnya adalah Jacoba Adriana Magelina Le Bruijn.

Di ruang tamu terdapat Tuan Tielman yang adalah diaken Jemaat Kupang, Huwae, guru Jemaat Oesapa, Pandita Heijmering dan juga tuan Van der Wulp. Yang terakhir adalah guru sekolah pemerintah di Kupang. Sebelum berangkat, Pandita Heijmering sekali lagi menjelaskan kepada kami, terutama diriku yang baru tiba, bahwa tujuan kepergian kami adalah untuk mendirikan sekolah di wilayah Oekabiti dan Baun. Mendengar ini, aku menjadi bersemangat, sebab jika demikian dua sekolah ini akan menjadi sekolah pertama yang berada di lingkungan orang Timor asli. Selama ini sekolah-sekolah yang ada di Timor terletak di kampung-kampung yang mayoritas penduduknya adalah orang Rote, seperti Oesapa, Oli’o, Babau, Pariti, Oesao, dan Oebufu. Yang terakhir didirikan Pandita Heijmering tiga tahun yang lalu (1840). Setelah sejumlah hal lain dibicarakan, Nyonya Heijmering melepas kepergian kami dengan doa.

Sekitar jam delapan pagi, kami berlima berkuda perlahan meninggalkan Kupang. Joni tetap tinggal mengurus rumah. Karena jalanannnya cenderung rata, maka kuda-kuda kami pun tidak begitu kesusahan. Dengan santai kami berjalan sembari menikmati pemandangan sekitar. Tampak dari kejauhan gunung Fatule’u berdiri megah dan kokoh. Ketika melihatnya, aku teringat kata-kata dalam Alkitab: “Allahku, Gunung batuku, tempat aku berlindung(Mazmur 18:2). Bisa jadi gunung Batu di dalam Alkitab sebesar dan sekokoh Fatule’u sehingga sang pemazmur menggambarkan Allah demikian.

Setelah beberapa jam berkuda, kami akhirnya tiba di Oesao. Di sini kami beristirahat sejenak di rumah guru jemaat. Dia adalah seorang muda Rote yang pandai. Jemaat dan sekolah di bawah bimbingannya berkembang baik. Jumlah jemaat di sini cukup banyak sehingga kebaktian harus dibagi dua kali, yakni pada minggu pagi dan sore. Kebaktian pertama dibawakan dalam bahasa Melayau, sementara yang kedua dalam bahasa Rote. Sungguh pun dia hanya seorang guru jemaat, ia berupaya sedemikian mungkin supaya Injil didengar dalam bahasa asli orang-orang Rote. Sungguh proses berteologi yang luar biasa.

Kami disambut dengan begitu ramah oleh sang guru dan nyora. Baru saja kami duduk, sepiring kokis dan beberapa buah kelapa muda sudah tersedia di hadapan kami. Ini memang nikmat, apalagi matahari tepat berada di atas kami. Nyora kemudian memaksa kami tinggal sedikit lebih lama lagi. Ia berencana menyiapkan makan siang untuk kami. Tak perlu ditanya dua kali, kami berlima sepakat menjawab: “Iya”.Setelah merasakan keramahtamahan sang Nyora, kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Sebenarnya sang Nyora ingin supaya sejumlah pemuda ikut menemani kami, tapi tuan Heijmering menolaknya. Rasanya tak perlu membebani orang lain untuk pelayanan yang menjadi tanggung jawab kami.

Perjalanan dari Oesao semakin lama semakin mendaki. Itu karena Oekabiti terletak di wilayah pegunungan. Jalan ke Oekabiti begitu sepi, hanya beberapa warga lokal yang kami temui sedang mengumpulkan kayu bakar. Dua kali juga kami bertemu dengan pedagang-pedagang Cina. Mereka baru saja pulang membeli banyak hasil bumi. Cendana adalah salah satunya.

Orang-oranng Cina memang terkenal sebagai pedagang ulet. Mereka akan berusaha sebisa mungkin membeli komoditi dari tangan pertama dan dengan begitu harga yang didapat jauh lebih murah. Menurutku, salah satu faktor pendorong roda ekonomi di kampung-kampung adalah pedagang-pedagang Cina. Orang Belanda tidak biasa pergi ke kampung-kampung untuk berdagang, hanya orang Cina yang melakukannya. Beberapa di antara mereka bahkan telah menetap dan membaur dengan masyarakat lokal.

Setelah cukup jauh berkuda dari Oesao, kami sudah memasuki wilayah pegunungan. Kami memutuskan berhenti berhenti kurang lebih lima belas menit untuk menikmati panorama indah ini. Hamparan laut biru, pegunungan indah dibaliknya, dan sawah-sawah yang terbentang luas. Ah ini sungguh indah. Pun dari kejauhan kami melihat di beberapa tempat ada asap yang membumbung tinggi. Tampaknya sejumlah warga sedang membuka lahan baru.

Saat sedang beristirahat aku iseng mengajukan pertanyaan:

“Tuan-tuan, coba kita pikirkan akan jadi seperti apakah tempat ini dalam waktu seratus hingga dua ratus tahun ke depan? Masihkan ini merupakan hamparan hutan? Ataukah telah berubah menjadi kota ramai seperti Kupang?”

“Ah, imajinasimu memang terkadang berlebihan. Tapi baiklah aku akan coba membayangkannya”, sambung Pandita Heijmering. “Menurutku”,ia melanjutkan, “butuh lebih dari 200 tahun supaya tempat ini bisa setidak-tidaknya menjadi seperti Kupang. Saat ini tuan-tuan kita di Belanda lebih fokus memajukan pulau Jawa dan Sumatra. Aku tak yakin bahwa mereka akan segera melirik Timor. Lagipula penjualan kayu cendana yang selama ini menjadi primadona Timor sudah menurun drastis. Bukan tidak mungkin Timor akan dilupakan”.

“Kalau menurutku tuan-tuan sekalian”, kata guru Huwae masuk dalam pembicaraan, “tempat ini tak bisa menjadi sebuah kota karena memang itu tidak diperlukan. Biarkan saja tempat ini menjadi hutan yang asri, rumah bagi hewan dan tumbuhan. Kita semua melihat bagaimana pembangunan terjadi. Di Jawa, hutan-hutan ditebang demi perkebunan dan pembukaan jalan. Itu merusak alam. Cukuplah bila itu hanya teradi di Jawa. Di Timor jangan lagi”.

Tuan Tileman kemudian merespon: “Tak perlulah kita terlalu cape memikirkan seperti apa masa depan itu. Cukup hidup dengan baik hari ini. Bukankah kesusahan sehari cukup sehari? Baiklah kita berangkat, Oekabiti sudah cukup dekat. Kita harus sampai di sana sebelum hari gelap”.Kami berlima sepakat melanjutkan perjalanan. Dalam hati aku berkata: “Masa depan itu Tuhan yang pegang, apa yang akan terjadi, terjadilah.”

Sekitar jam empat sore kami tiba di Oekabiti di rumah salah satu bangsawan bermarga Abineno. Ternyata warga kampung sudah menunggu dan kami disambut dengan begitu hangat. Laki-laki, perempuan, orang dewasa, anak kecil, semuanya datang disekeliling kami. Setelah bersalam-salaman, kami diminta duduk dan menceritakan maksud serta tujuan kedatangan kami. Sebelumnya sebuah oko mama lengkap dengan isinya sudah tersedia di hadapan kami. Ah camilan pembuka yang nikmat.

Sembari mengunyah sirih pinang Pandita Heijmering membuka percakapan mewakili kami:

“Usif yang baik, kami senang mendapati anda dalam keadaan yang sehat. Seperti yang sudah anda ketahui, kami datang ke sini dengan niat yang baik, yaitu untuk mendirikan sebuah sekolah. Selama ini orang Timor yang tinggal di pegunungan sudah cukup terlambat dalam hal pendidikan dibandingkan orang Rote dan Sabu.”

“Anda sendiri cukup beruntung karena pernah tinggal di Kupang dan mengecap pendidikan. Karena sudah merasakan dampak baik dari pendidikan, kami meminta kepada tuan Usif supaya mengizinkan kami mendirikan sekolah di tempat ini. Pemerintah dan badan misi NZG pasti juga akan membantu dalam hal pembiayaan. “

Menanggapi permintaan tersebut, sang Usif menyetujuinya. Akan tetapi ia mengajukan tiga syarat yang tidak boleh ditolak.

“Aku setuju”, kata sang Usif, “tapi tuan-tuan sekalian harus memperhatikan tiga hal ini supaya jangan dilanggar. Kalau tuan-tuan sepakat, barulah aku akan memberi izin”.

Pandita Heijmering kemudian menjawab: “sampaikanlah apa yang anda inginkan. Kami akan mempertimbangkannya”.

Sang Usif kemudian melanjutkan: “Pertama, tuan-tuan semua harus maklum apabila ketika sekolah dibuka, tak boleh ada anak perempuan yang menjadi murid. Ini sudah tradisi kami bahwa perempuan tak boleh lebih maju dari laki-laki.”

“Kedua, tuan-tuan juga harus maklum bahwa anak-anak lekaki yang diizinkan bersekolah hanyalah mereka yang datang dari kelas atas. Anak-anak rakyat biasa tak boleh bersekolah.”

“Ketiga, tuan-tuan harus mengerti bahwa kami tak ingin pembukaan sekolah ini mengganggu kami menjalankan kepercayaan nenek moyang yang sudah kami lakukan sejak masa lampau. Hanya apabila tiga syarat ini dipenuhi maka aku akan mengizinkan permintaan tuan-tuan sekalian”.

Dengan wajah cukup serius Pandita Heijmering membalas: “Lakukanlah apa yang anda anggap baik. Kami tak akan mencampurinya”.

Beberapa hari kemudian, ketika dalam perjalanan menuju kediaman Raja Koroh di Baun, aku bertanya kepada Pandita Heijmering mengapa ia mau menerima syarat itu. Bukankah itu berlawanan dengan prinsip-prinsipnya.

Sambil tersenyum ia membalas: “Anak muda, hidup terkadang harus seperti memancing, kau harus tahu waktu yang tepat untuk mengencangkan dan melonggarkan talimu. Kalau aku bersikeras dengan prinsipku, maka seklah tak akan mungkin dibangun. Hanya dengan sedikit kompromi maka jalan keluar dapat ditemukan. Lagipula aku sangat meyakini ketika benih-benih Injil telah menyebar, maka hati sang Usif bisa dimenangkan dan perubahan akan terjadi. Untuk sekarang kita hanya perlu bersabar”.

Malam hari kami menginap disebuah rumah yang telah disediakan. Tuan Abineno juga menemani kami. Malam ini kami habiskan untuk bercerita banyak hal mengenai sejarah dan kebudayaan Amarasi. Yang menarik bagiku adalah ketika tuan Abineno menceritakan bahwa dulu sebenarnya Amarasi bukanlah sekutu Belanda, melainkan Portugis.

“Kami dulu adalah sekutu setia Portugis, begitulah ia mulai menjelaskan. Bersama pasukan Topass di Oekusi, nenek moyang kami sering melancarkan serangan ke Kupang untuk melemahkan kedudukan Belanda. Kami tak tertandingi pada masa lampau”.

“Namun satu peristiwa mengubah wajah Amarasi untuk selamanya. Kami kalah dalam Perang Penfui yang terjadi kurang lebih satu abad yang lalu”. Sampai di sini sang Usif terlihat cukup sedih.

Ia kemudian melanjutkan lagi, “sejak dikalahkan, kami beralih menjadi aliansi tuan-tuan Belanda. Le’u tuan-tuan Belanda tampaknya lebih kuat dibandingkan Le’u milik Portugis. Bukankah begitu tuan pandita?

Pandita Heijmering hanya tertawa sambil berkata: Yah tapi itu hanyalah cerita masa lalu. Sekarang kita adalah rekan dan bisa duduk dalam satu rumah yang sama.

Benar juga, itu hanya masa lalu. Hari sudah cukup malam, silahkan tuan-tuan Belanda tidur, aku akan kembali ke rumah, Tuan Abineno menutup ceritanya dengan luar biasa dan berjalan meninggalkan kami.

Pagi-pagi sekitar setengah enam kami sudah terbangun. Suasana pagi di sini sangat sejuk, tak seperti di Kupang yang langsung terasa panasnya. Dedaunan masih terlihat basah karena embun. Dari arah dapur tiba-tiba tercium aroma yang sangat wangi. Ah ini adalah aroma jagung muda yang dibakar. Tampaknya ibu-ibu di kampung ini tengah mempersiapkan sarapan pagi bagi kami.

Ketika sedang asyik menikmati makanan, tiba-tiba Tuan Abineno menyapa dari luar: Selamat pagi tuan-tuan sekalian. Bagaimanakah tidur semalam, semoga cukup pulas.

Seperti yang sudah dijanjikan semalam, pagi ini dia datang menjemput kami untuk mengunjuungi beberapa kampung di sekitar Oekabiti. Tujuan kepergian kami adalah untuk menginformasikan kepada kepala-kepala kampung bahwa besok, 26 April 1843, sekolah akan dibuka di Oekabiti. Karena itu, mereka diminta untuk membawa anak-anaknya ke sekolah.

Kami pergi dari satu kampung ke kampung yang lain. Jalanannya tidaklah mudah, tapi kuda-kuda kami tampaknya adalah yang terbaik. Mereka tidak terlalu besar, namun cukup lincah dan gesit. Turunan tajam dan tanjakan bertebing, semuanya mampu dilalui mereka. Dari rumah ke rumah yang dikunjungi, kami selalu disuguhi sirih pinang. Hampir semua kami terbiasa mengonsumsinya, hanya tuan Van der Wulp yang belum begitu terbiasa. Karenanya tidak mengherankan hanya beberapa gigitan saja ia langsung mabuk. Wajahnya sangat lucu sebab berwarna merah, kontras dengan lehernya yang berwarna putih. Hahahahaha. Perjalanan kami harus terhenti beberapa kali sambil menunggu kondisi tuan Van der Wulp membaik. Beruntunglah Huwae pandai memanjat kelapa sehingga ia dapat mengambil beberapa buah kelapa untuk tuan Van der Wulp.

Walau begitu tuan Van der Wulp tak menyerah. Ia kembali memakan sirih pinang. Katanya: Aku ingin bisa seperti tuan-tuan, memiliki ludah merah. Hahahaha. Lihatlah bibir tuan-tuan sudah cukup merah, merah seperti bibir noni-noni Belanda di Kupang.

Sore harinya kami sudah kembali ke Oekabiti. Tuan Abineno meminta kami untuk beristirahat sebab malam nanti kami akan menari. “Istirahatlah yang cukup, malam nanti kita akan menari dan bersenang-senang”, ungkap tuan Abineno. Dilihat dari ekspresi wajah mereka, Tuan Van der Wulp dan Pandita Heijmering tampaknya sedikit kebingungan tarian seperti apa yang akan dilakukan.

“Apa yang dia katakan”,tanya tuan Van der Wulp kepadaku ingin mengetahui apa yang baru saja disampaikan tuan Abineno.

Aku menyahut, “Oh kemungkinan besar sebentar akan dilakukan Herin”.

“Herin?”Tuan Van der Wulp dan tuan Pandita secara kompak membalasku

“Ya”,kataku. “Herin adalah tarian Amarasi yang melambangkan persekutuan dan persaudaraan. Peserta terdiri dari sejumlah besar orang yang berpegangan tangan sambil membentuk lingkaran. Kemudian sembari menyanyi mereka mulai bergerak berputar sebagaimana lingkaran. Ini pasti akan menyenangkan”,kataku penuh semangat.

“Yah sudah tentu akan mengasyikan. Karena itu baiklah kita beristirahat, terutama anda berdua, tuan Van der Wulp dan tuan Pandita”,sambung tuan Tielman.

Malam harinya ketika segala sesuatu telah dipersiapkan, kami mulai berkumpul dan menari bersama. Tak terhitung berapa banyak tarian yang sudah kami lakukan. Mungkin sudah berjam-jam. Walau begitu para pemusik tampaknya belum juga menunjukkan sedikit rasa lelah. Kami melanjutkan menari dan bergembira beberapa saat lagi dan setelah itu langsung kembali ke penginapan. Sungguh hari panjang yang melelahkan.

Pagi hari tanggal 26 April kami dibangunkan oleh sejumlah besar suara bising di luar rumah. Itu adalah suara anak-anak dari Oekabiti dan kampung-kampung di sekitarnya yang datang untuk bersekolah. Total semua yang datang adalah 57 anak. Mereka inilah murid-murid yang pertama. Kami segera bersiap dan setelah itu beberapa percakapan di mulai. Pandita Heijmering mengatakan bahwa dalam beberapa waktu kedepan ia akan mengupayakan supaya seorang guru bisa ditempatkan di Oekabiti. Ia juga mendesak tuan Abineno untuk segera mendirikan gedung sekolah. Untuk sementara waktu sekolah akan berlangsung di salah satu rumah warga. Tuan Abineno mendengar dengan seksama permintaan Pandita Heijmering dan berjanji bahwa ia juga akan menggunakan kuasa yang ada padanya untuk mendorong pertumbuhan sekolah.

Setelah selesai bercakap dengan tuan Abineno, proses belajar mengajar di sekolah pun berlangsung. Kami berlima menyempatkan waktu mengajar murid-murid dan memberikan semangat kepada mereka untuk terus mau belajar. Setelah beberapa jam mengajar, murid-murid pun kami izinkan pulang. Kami pun juga segera bersiap-siap meninggalkan Oekabiti. Pemberhentian selanjutnya adalah Baun. Seperti di Oekabiti, kedatangan kami ke Baun juga untuk mendirikan sekolah. Begitu beberapa keperluan kami telah disiapkan, kami berpamitan dengan Tuan Abineno dan warga Oekabiti. Terlihat senyum mereka penuh kehangatan ketika melepas kami pergi.

Di wilayah orang Timor asli, Oekabiti menjadi yang pertama yang memiliki sekolah. Terlepas dari segala keterbatasan, kami berharap bahwa sekolah ini dapat terus bertumbuh sehingga benih-benih Injil pun dapat tersebar melaluinya. Masa depan sekolah Oekabiti memang tak tentu, tapi selama masa depan itu ada dalam tangan Tuhan, maka semuanya akan baik-baik saja. Apa yang akan terjadi, terjadilah.


[i] Kisah ini diadaptasi dari Laporan Bulanan NZG (Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendeling-genootschap: Rotterdam, NZG, Desember 1843).  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *