Tinjauan Teologis Tema dan Sub Tema Persidangan Sinode GMIT XXXIV

Tema: “Roh Kudus Menjadikan dan Membaharui Segenap Ciptaan” (Maz 104: 30)

Sub Tema:  “Roh Tuhan Berkuasa atas Gereja, Masyarakat dan Semesta”  (1 Sam 16: 13; Lukas 4: 18-19)

Pendahuluan

Pdt. Dr. Daniel K. Listijabudi

Saya membaca dengan cermat kalimat-kalimat penting dalam Kerangka Acuan untuk seminar ini, sebagai berikut: “…membuat keputusan terkait penataan hidup dan tugas gereja…GMIT memantapkan diri menata diri lebih baik sehingga makin efektif sebagai komunitas terutus dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa, negara, dan alam semesta….di sessi study meeting,GMIT “membaca tanda-tanda zaman”, mengkaji realitas sosial budaya, ekonomi, politik, hukum di mana gereja hidup dan melayani” (Kerangka Acuan, hal 1), akibatnya: saya terkesan. Mengapa? Sebab bagi saya, apa yang hendak ditempuh adalah jalan yang penting, genting dan arahnya jelas. Namun demikian, sebagaimana kita bersama telah ketahui, apa yang jelas arahnya tidak berarti akan mudah. Perumusan yang jelas, pastilah membantu. Namun, perumusan yang tepat sekali pun, tidak menjamin bahwa semua menjadi mudah dalam karya. Bisa jadi malah jejalanan peziarahannya penuh  tantangan.

Ke mana (mau) pergi, setidaknya, telah diketahui. Sedangkan hal bagaimana pergi ke situ itulah yang perlu bersama-sama didiskusikan. Setiap kita bisa menjadi penyumbang gagasan, wawasan, pengalaman bahkan kehidupan. Dengan demikian, hal “bagaimana” adalah juga sebuah collective discernment. Dalam pemahaman yang demikian ini, maka saya (sebagai outsider) sungguh-sungguh sadar dan hendak mengemukakan dengan tulus, bahwa makalah ini disajikan sebagai sumbang saran dari perspektif tertentu (biblika) atau pertimbangan teologis, dan bukan sebagai suatu yang lebih dari itu. Tulisan ini perlu dilengkapi oleh kita bersama dalam diskusi yang interaktif dan multi-perspektif.

Wacana Terhadap Pembacaan ayat 30.

Tugas saya adalah memberikan kajian terhadap Maz 104: 30 (dan nantinya saya juga akan sedikit mengomentari salah satu sub tema dari Injil Lukas) dari perspektif biblika. Saya ingin mengemukakan dua wacana tentang teks ayat 30. Pertama, pendapat James L. Mays yang mengkaitkan ayat ini dengan atmosfer Pantekostalit. Kedua, dengan tulisan E. Gerrit Singgih yang menghubungkan pemaknaan ayat 30 dengan rujukan pada manusia yang dipelihara makanannya oleh TUHAN. Wacana pertama. Mays dalam buku tafsirnya yang terkenal, Psalms,menulis komentar sebagai berikut:

Psalms 104 is traditionally the psalm used on Pentecost and has been from the earliest Christian history. That seems something anomaly. The Christian Pentecost is the celebration of the gift of Holy Spirit to the church in fulfillment of the prophecy of Joel 2: 28-32 (Act 2). Psalm 104 is about creation and providence, whereas Pentecost is about the eschatological endowment of the church with the power of the risen Christ. The connection was made primarily because verse 30 of the psalm speaks of God’s sending hisruah, which was translated into Greek bypneuma (“spirit”). The antiphon used during the reading of the psalm on Pentecost, “Lord, send out your Spirit and renew the face of the earth, “ focuses interpretive attention on that verse. The apparent anomaly makes a powerful and important theological connection. The psalm, read on Pentecost, places God’s gift of our physical life alongside the gift of our spiritual life. Both are the work of the Spirit of God. The connection between psalm and the occasion teaches that the inspiration of the Holy Spirit consummates our life as creatures and brings us to the true existence for which we are created. We are the creation of God twice over. Note that the Psalm 51: 10 uses the verbs of verse 30, “create/renew”, to speak of God’s regeneration of the sinner. In Ezekiel’s  vision of the valley of dry bones the restoration of the people of God is portrayed as a re-creation by the Spirit of God(Ezekiel 37: 1-14)” (1994: 104-105).

Point yang dikemukakan Mays adalah penggunaan Mazmur 104 sebagai mazmur penciptaaan dan pemeliharaan Illahi dalam perayaan Pentakosta (memperingati turunnya Roh Kudus sebagai modal eskatologis sebagaimana dinubuatkan Yoel) oleh jemaat Kristen awal, memperlihatkan bahwa anugerah/rahmat Allah berupa hidup fisikal kita berkelindan dengan rahmatNya yang berupa hidup  rohani, hidup spiritual. Apa yang fisikal/profan berjalan bersama dengan apa yang rohani/spiritual. Itu sebab dalam suasana Pentakosta, Maz 104 ini dibaca dan dihayati oleh umat Kristen awal.

Wacana kedua. Dalam tulisannya, terhadap Mazmur 104: 30, Singgih memberi catatan yang hanya pendek saja, yakni bahwa “roh” di ayat 30 dimaksudkan untuk merujuk pada umat manusia. Namun, agaknya, ia membaca ayat 30 ini dalam kaitan dengan ayat 27 (yang berbicara tentang pemberian makan untuk binatang-binatang laut oleh Yang Illahi). Manusia (ayat 30) sama seperti binatang-binatang (ay 27), dalam hal mereka dipelihara TUHAN sehingga “setelah seharian mencari nafkah, manusia mengucap syukur kepada Tuhan oleh karena diberi makan olehNya” (Singgih, 2019: 414).

Pembacaan Singgih tentang makna “mereka” sebagai manusia di ayat 30, menurut saya, terlalu terpaku pada cluster[2] yang dibuatnya atas Maz 104, sehingga kurang bernuansa ontologis. Tentu saja pengklusteran perikop membantu kita menemukan suasana sub spesialis dari teks, namun ada juga kerugiannya, yakni pendaran makna ayat 30 tentang manusia serasa dibatasi pada soal paralelitas pemeliharaan dalam arti diberi makan pada waktu tertentu, dalam komparasi affirmatif dengan ayat 27. Bahkan ada kesan, oleh Singgih, ayat 27 dipakai menjadi dasar pembacaan terhadap ayat 30 (dengan asumsi masuknya imaginasi teks lain yakni Kej 2 terkait dengan manusia yang dihembusi nafas kehidupan, lihat Singgih (2019: 415). Ini persoalan yang saya temukan ketika memeriksa pembacaan tentang ayat 30. Walau saya bisa memahami alur argumetasi Singgih, namun saya toh memiliki pembacaan yang berbeda. Menurut saya, frase “mereka tercipta” di ayat 30 bisa merujuk lebih dari sekedar manusia, dan memiliki implikasi hermeneutis yang jauh lebih besar dari soal jaminan makanan yang disediakan TUHAN setiap hari bagi ciptaanNya. Kita akan memeriksanya segera.

Pendalaman Teks

Berikut beberapa versi dari Mazmur 104: 30

  • “Apabila Engkau mengirim roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi” (TB LAI)
  • “Tetapi bila mereka Kauberi napas, mereka dijadikan; Engkau memberi hidup baru kepada bumi.” (BIS/BIMK)
  • “When thou sendest forth thy Spirit, they are created; and thou renewest the face of the ground.” (RSV)

 תְּשַׁלַּ֣ח ר֭וּחֲךָ יִבָּרֵא֑וּן וּ֜תְחַדֵּ֗שׁ פְּנֵ֣י אֲדָמָֽה׃

  • Tesyallah ruuhaka yibbareun wutekhaddesy peney adamah (Transliteration)

Dugaan saya, teks Mazmur 104: 3 ini dipilih oleh Sinode GMIT sebagai “anchor text”, karena gagasan kreasi (ciptaan) dan re-kreasi (penciptaan/penataan ulang/re-ordering atau pembaruan) dikembalikan pada aktivitas Illahi (TUHAN/YHWH/Yahweh (baca: Adonay) mengirim Roh-Nya sendiri). Agen utama dari ciptaan dan pembaruan tak lain tak bukan adalah TUHAN.   Kata “tesyallah” adalah bentukan imperfect piel 2nd person masculine, yang arti leksikal-nya berarti: “Engkau akan mengirim”. Karena stem piel adalah untuk menciptakan keadaan, maka LAI (tentulah dengan memperhatikan stem dan tense) menerjemahkan kata ini dengan “apabila,”, sedangkan BIS/BIMK:  “tetapi bila” (mengasumsikan suatu pra kondisi).

Apa yang menjadi crux (English) atau quid (Latin) yakni hal-nya alias inti atau pokok soal pada frase pertama, adalah lema: “rohMu” (ruuhaka). Menarik untuk mencatat bahwa diksi “ruakh” (roh), bergender feminin (ditempeli akhiran “mu” (dalam gender maskulin). Nantinya dalam teks-teks PB, kata “ruakh” (Ibrani) menjadi “pneuma” (Yunani) yang bergender neuter/netral (misalnya dalam Lukas 4: 18 dst/ teks sub tema kita). Dalam hal ini ada perubahan gender kata, dari feminin ke neuter, dan kemudian jika kita gunakan terjemahan Latin, “pergeseran” gender melesak ke “kanan” menjadi “spiritus” (gender maskulin). Hal ini pernah dikemukakan oleh teolog feminis Indonesia, Marianne Katoppo dalam bukunya “Tersentuh dan Bebas” (2007). Pemeriksaan kata semacam ini (secara klasik disebut sebagai “word study”, akan semakin afdol jika juga (malah seyogyanya) ditempatkan dalam kajian terhadap konteks semantik dan atau konteks perikop teks (ketimbang dipelajari pada dirinya sendiri an sich sebagai makna leksikal, walau tetap perlu, apalagi jika kita hendak menunjukkan pergeseran gender-nya), malah dalam konteks ideologi/teologi yang hendak diusung atau disanggahnya. Ini tentu terkait dengan pilihan hermeneutis. Agar tidak mengulang apa yang sebagian besar kita telah ketahui tentang word-study dan konteks perikop, ijinkan saya nantinya memeriksa teks dari perspektif kritik ideologi (sebagai suatu metode hermeneutik yang relatif baru, walau tidak amat baru).

Berikutnya, frase dalam bahasa Indonesia, “mereka tercipta” (yibbareun/Ibr). Siapa yang tercipta? Siapa “mereka” di sini? Jelas konteks perikop (sejak ayat 1 dst) merujuk pada seluruh ciptaan, baik yang kita sebut sebagai makhluk biotik (dalam ilmu biologi), yakni hewan, tumbuhan, manusia maupun a-biotik (angin, api, air, tanah dan segala variannya: laut, gunung dll). Malah juga Lewiatan! Lewiatan (liwyatan/Ibr) adalah makhluk mitologis, yakni makhluk laut yang seram, katakanlah ular naga (sebagaimana terjemahan LXX (Septuaginta): “drakoon”). Jadi, kata “mereka” di sini merujuk pada semua, segala sesuatu ciptaan TUHAN (versi Maz 104).

Penggambaran karya TUHAN nampak mengulang detail atau malah lebih detail dalam beberapa hal (dibandingkan dengan narasi Penciptaan dalam Kej 1). Ada beda memang di sana sini misalnya tentang apakah samudera adalah ciptaan? Di Kej 1, lautan sudah ada sebelum penciptaan (terutama jika kalimat Kej 1: 1 – “pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”-,  ditafsirkan sebagai penyataan umum saja, bukan sebagai kronologi penciptaan pertama); sementara di Maz 104, ada kesan samudera raya bagian dari karyaNya yang dipakaiNya untuk menyelubungi bumi. Soal gelap (khosyekh/Ibr) yang dalam Kej 1 sudah ada sebelum terang (or/Ibr) juga tidak disinggung di Maz 104. Malah nampaknya, gelap itu tak ada (atau diabaikan), sebab TUHAN memang sudah berpakaian semarak dan keagungan serta berselimutkan terang seperti kain (ayat 1,2).

Patut juga kita catat bahwa seumumnya dalam konstruksi teologi Penciptaan di Kejadian 1, benda-benda tertentu seperti “tehom”, “yam”, “mayim”,  (samudera, lautan, air) dianggap sebagai representasi kekuatan anti TUHAN (maksimal) atau sedikit-dikitnya sebagai yang bukan termasuk ciptaan dari Yang Illahi (jadi masuk benda/hal/realitas pra-penciptaan), sehingga tak heran jika diasumsikan agak minor. Namun dalam Maz 104, nada atau atmosfer minor semacam ini tidak mengemuka. Sebagai informasi,  di Fak Teo UKDW, baru saja kami  meluluskan Doktor Teologi baru atas nama Margaretha Apituley dari Ambon yang menulis dissertasi berjudul “Mendialogkan Makna Laut dalam Kel 14-15 Berdasarkan Kosmologi Masyarakat Titawaai di Pulau Nusa Laut – Maluku dengan Kosmologi Israel Kuno” ((2019). Dalam dissertasinya itu, Apituley menjelaskan bahwa gambaran tentang “Laut” dalam PL tidak senantiasa buruk, malah laut bisa juga ramah dan bagian dari karyaNya). Rupanya, di Maz 104 ini pun kita mendapatkan ide sejenis dengan itu. Laut dan penghuninya termasuk yang seram seperti drakoon(dragon/English) ini, digambarkan sebagai makhluk yang jinak saja dan ada dalam kekuasaan TUHAN, malah diciptakan TUHAN dan dapat diperintah untuk bermain-main santai, safe and secure, dengan kapal-kapal yang sedang berlayar di tengah samudera (ay 26).

Frase berikut wutekhaddesy peney adamah,merujuk pada pembaruan/renew atau perbaikan/repair (bentuk stem piel dari khadas) terhadap atau pada wajah bumi (adamah/feminin). Siapa yang membarui atau memperbaiki: TUHAN atau RohNya? Agaknya pemazmur tidak memisahkan (separate) keduanya secara ontologis. TUHAN mengutus RohNya untuk menciptakan ciptaan, sama dan sebangun dengan TUHAN memperbarui atau memperbaiki bumi. Aktivitas penciptaan (create, bara bisa dalam arti mengadakan atau menata ulang (bandingkan dengan diskusi para ahli PL tentang Kejadian 1, misalnya Singgih (2011)) dan  dengan demikian berarti pembaruan (reorder, renew).  Namun demikian, pemilahan (distinct) di antara Roh TUHAN sebagai yang diutus menjadi agen penciptaan (baik dalam arti mengadakan maupun menata) dan TUHAN sebagai pembaharu bumi tetap menggelitik, sebab pemazmur sengaja mengemukakannya dalam subjek pada kata kerja yang dilekatkan pada subjek itu. Adakah pemazmur bermaksud mengkritisi sesuatu? Siapakah yang ia lawan/bantah/gugat? Jika kita menggunakan perspektif kritik ideologi,  maka pengarang atau editor menggunakan teks sebagai media mereka ketika hendak berrelasi secara tepat (menurut mereka) dengan suara-suara atau ideologi yang mengelilingi atau menghasilkan sebuah teks. Jadi, kita mesti teliti dan cermat memperhatikan bagaimana teks hendak mengarahkan, mempengaruhi atau mewarnai kita melalui ekspresi tertentu yang dikemukakannya. Teks tidak netral. Teks memiliki kepentingan. Teks ingin memberi solusi. Teks ingin mengusung suatu pesan, pesan teologis sekalipun…tetaplah ini adalah suatu ideologi (jika kita memaknainya secara mendalam bukan secara pejoratif). Kesadaran akan adanya pesan, kepentingan, posisi dan advokasi yang dikandung oleh teks kemudian berinteraksi dengan kita sebagai pembaca/penafsir yang juga memiliki ideologi kita sebagaimana dibentuk oleh worldview kita dalam konteks kritis kita sendiri (lihat misalnya Gale Lee, dalam Hayes 1999).

Barangkali pemazmur hendak memberikan alternatif ideologi pada dunia ABDK yang sarat dengan kisah-kisah penciptaan yang mengandung unsur-unsur chaoskampf (lihat Singgih, juga situs jewishbible.org[3]) dalam wujud lautan yang penuh ancaman dan sekarang diatur dengan tenang-tenang saja? Atau bisa jadi ia (pemazmur) ingin menegaskan pada ide kontinuitas ciptaan. TUHAN bukan hanya Pencipta, tapi masih mencipta! Pemazmur hendak menegaskan bahwa Roh TUHAN itulah agen penciptaan, dan TUHAN itu sumber penciptaan (yang bisa dimaknai juga sebagai penataan ulang atas bumi dan ciptaan). Jadi, ada yang diciptakan dan ada (ciptaan) yang diciptakan dalam progress dalam arti diperbaiki dan dikelola; ada yang memfokus pada karya cipta (Roh dari TUHAN) dan ada yang memfokus pada tata kelola. Keduanya secara ontologis tak terpisah, namun fokus karyanya terpilah. Jika boleh menggunakan bahasa dogmatik (yang sering dipakai untuk menjelaskan misteri Trinitas),   pemilahan tanpa pemisahan ini adalah: distincti non divisi – discreti non separati, artinya “terpilah namun tak terbagi – berbeda namun tak terpisahkan.” Dalam pemilahan dan kelindannya, karya cipta TUHAN adalah Karya Cipta Berkelanjutan (KCB), suatu creatio continua!

Malah, jika kita hendak maju selangkah lagi, KCB ini pada gilirannya, yakni dalam gaya puisi teks Mazmur 104 secara keseluruhan, bernada orkhestrasi harmonis dari apa yang sekarang disebut dengan visi kosmotheandrik (cosmotheandric vision). Visi ini adalah suatu perspektif yang melihat seluruh realitas sebagai kesatuan mistik yang merupakan interaksi dari tiga kutub: dunia, Yang Ilahi, dan manusia/ cosmic, divine and human (Panikkar 1999: 24). Ketika mengomentari gagasan Panikkar in Knitter (2003: 127) berefleksi bahwa  hal itu adalah sesuatu yang dapat diketahui hanya melalui pengalaman, namun sekali dialami, hal itu melimpahi kita dengan sesuatu yang amat nyata mengena dunia dan juga tentang diri kita sendiri. Alasan Knitter ialah: “As an experience, it imbues us with a sense of being at-oned, connected, united, part of. And that with which we are at-oned is not only a divine or transcendent Mystery; it’s a Mystery that is also immanent, right here, part of the finite world [. . .] so there are three components to the mystical experience and to what is revealed in such experience: the Divine (theos), the human (aner) and the world (cosmos). All three are so interrelated that they have their very being in each other; they can’t exist without being related to each other.

Jika dalam KCBnya, TUHAN menarikan, memainkan nada-nada harmoni kosmotheandrik untuk mencipta, memperbaharui, memperbaiki wajah bumi, itu berarti dua unsur lain yakni manusia dan alam (sebagai ciptaan) dipanggil untuk mengkarya bersama dalam karya cipta TUHAN dan RohNya, itu berarti kita (manusia) dan kita (manusia sebagai bagian dari alam-ekosistem) dipanggil berkarya secara distintif namun tetap non separati (baik tidak terpisah dari TUHAN maupun dari unsur-unsur, perspektif keterkelindananya dengan alam).

Tantangan mengenaiAlam sebagai Konteks dan Praksis Ber-Teologi.

Pada tahun 2008, Willis Jenkins (seorang teolog yang pernah bekerja di Universitas Yale dan Virginia, yang membidangi etika, teologi dan budaya) menulis sebuah buku menarik berjudul Ecology of Grace, Environmental Ethics and Christian Theology.Jenkins menuliskan tujuan bukunya, yakni untuk menginterpretasikan issue-issue tentang lingkungan hidup melalui respon komunitas Kristen dan sumber-sumber teologi Kristen yang pokok. Bahasannya terkait dengan tiga bidang”Ecojustice, Christian Stewardship dan Ecological Spirituality”: Keadilan ekologis, penatakelolaan kristiani dan spiritualitas ekologis.” Pada tahun yang sama (2008), Lembaga Society of Biblical Literatur, juga menerbitkan antologi menarik yang berjudul Exploring Ecological Hermeneuticsyang diedit oleh Norman Habel dan Peter Trudinger.  Buku ini mencoba menyajikan penafsiran yang sadar ekologis ke atas teks-teks PL dan PB yang memuat dimensi ekologis atau yang setidaknya bisa disorot sebagai teks yang memuat pesan ekologis bahwa manusia adalah bagian dari ciptaan di dunia ini, dan bukan sebagai yang superior sehingga boleh menindas ciptaan lain dengan semena-mena.

Topik-topik ini, menurut saya, adalah sesuatu yang penting bagi kita, ketika kita di Sinode GMIT (kembali) menggarap dan mengolah malah mendalami nilai Keutuhan Ciptaan dalam tarian nilai-nilai kebajikan Kerajaan Allah.  Keutuhan Ciptaan bukan sekedar soal flora dan fauna, atau bumi dan semesta. Namun soal bagaimana berinteraksi, berelasi dan mengembangkan kehidupan bersama dengan flora, fauna, bumi dan semesta itu sebagai sebuah sikap iman dan kesaksian hidup kristiani di tengah-tengah krisis ekologi di dunia ini. Panggilan ini, mesti dijawab oleh gereja yang ber-Kitab Suci dan memiliki tradisi tafsir serta terpanggil mengembangkan tradisi tafsir atau pembacaan teks-konteks secara kontekstual, dinamis, kreatif, bertanggungjawab, peka realitas dan transformatif.

Tentang Manusia sebagai Konteks dan Praksis Pembebasan: Teks Lukas sebagai Teks Yobel

Sesuai dengan teks yang menjadi sub tema Sidang Sinode kita ini adalah yakni Lukas 4: 18-19 (bingkai perikopnya adalah ayat 14-21). Dalam teks ini kita mendapati bagaimana Tuhan Yesus sendiri meletakkan karya Mesianisnya  sebagai buah dari penyertaan Roh Tuhan : Πνεῦμα κυρίου ἐπ ἐμέ, “The Spirit of The Lord is upon me “). Settingnya terjadi di Galilea. Galilea adalah wilayah Utara Israel yang diasumsikan oleh masyarakat Israel sebagai yang lebih “profan” (bukan sakral) ketimbang wilayah Yudea (dan Yerusalem). Di wilayah itu, Yesus menuju ke kota asalnya (Nazaret) di sana Ia membaca teks dan mengajar amat singkat, hanya satu kalimat: ”Pada hari ini, genaplah nas ini sewaktu kami mendengarnya” (2: 21).

Kalimat ini meneguhkan bacaan yang ia baca sebelumnya, yakni teks nabi Yesaya 61: 1 dan 2. Bacaan ini bersifat liberatif (membebaskan) bagi pihak yang tertindas, lemah, tidak beruntung, dan terkondisikan secara sistemik. Suasana dan nilai teks Yesaya 61 adalah teks yang ditulis ketika umat Israel Selatan (tahun 539 seb. M dan setelahnya) pulang kembali ke Yudea  dari pembuangan di Babel sejak 597 BCE (kekalahan pertama Kerajaan Yehuda sehingga raja Yoyakim dan para bangsawan serta orang-orang potensial dibuang ke Babilonia, Yehuda menjadi wilayah “propinsi” Babel), lalu diperparah dengan kehancuran kota dan Bait Suci ketika sepuluh tahun kemudian yakni pada 587 BCE ketika Zedekia memberontak kembali terhadap Babel. Di sinilah dimensi liberatif dalam karya misiologis Yesus Sang Mesias mendapatkan dasar biblis.

Teks ini sering juga dibaca sebagai teks yang membebaskan orang dari masalah spiritual (dosa, kesalahan, Iblis). Namun sebenarnya, teks lebih bernuansa pembebasan dari suasana ketertindasan. Paralelnya adalah bahwa pada orang miskin dikabarkan kabar baik (Injil: euanggelion), bahwa sekarang ini, melalui kehadiran Yesus, tahun rahmat Tuhan (konotasi umat Israel dalam suasana Yobel dalam PL, yakni tahun ke-50 di mana reformasi sosio-ekonomi) dilakukan. Perhatikanlah bahwa dalam teks Yunani, tertulis: ἐνιαυτὸν κυρίου δεκτόν: “the acceptable/appropriate/favorable year of the Lord”.Willard Swartley menerjemahkannya : “the fulfillment of the sabbatical time of redemption”(1983: 71). Dimensi liberatif ini terus menonjol dalam karya Mesianis yang terkait: Pembebasan bagi  pembebasan kepada orang-orang tawanan; penglihatan bagi orang-orang buta; pembebasan orang-orang yang tertindas, dan pemberitaan “tahun rahmat Tuhan telah datang.”

Saya ingin mengajukan adanya dua kemungkinan di sini: (a) tahun di mana Yesus membaca teks Yesaya itu (kemunculan perdanaNya) terjadi pada tahun Yobel (dalam perhitungan kalender Yahudi) – sesuatu yang belum pernah secara faktual dilaksanakan-; atau (b) Kapan pun waktu faktual dari kisah ini, apakah sesuai dengan kalender Yobel atau tidak sama sekali, tidaklah penting. Hal yang penting adalah: kehadiran Yesus dalam komunitas (dimulai dengan pembacaan teks dan affirmasinya “genaplah teks ini, sewaktu kamu mendengarnya”) bersuasana Yobelik! Tidak penting kapan tepatnya peristiwa ini, penekanan Lukas, adalah kehadiran Yesus memulai (lagi) suasana liberatif bagi pihak yang lemah, marginal, periferial. Dengan demikian harapan dibangun kembali, praksis Yobelik dimulai!

Dimensi-dimensi inilah yang disebut realitas Kerajaan Allah : Basileia tou Theou, yakni kedaulatan Allah dalam hidup manusia di dunia. Manusia mengikuti kehendak Allah, Allah berdaulat atas manusia. Itulah misi Yesus. Di manakah hal itu mesti terjadi? Di mana saja Yesus hadir!!! Itu berarti para murid perlu menghadirkan Yesus dan nilai-nilai liberatif Kerajaan Allah itu di mana-mana: di dalam dunia ini….di gereja, di masyarakat, di keluarga, di bangsa dan negara….di segala aspek dan dimensi hidup manusia. Tuhan dan kehendakNya yang menghadirkan pembebasan dari ketertindasana adalah tolok ukurnya. Dalam hal ini “sakralitas” bertemu dengan “profanitas” : TUHAN atau Allah dan kehendakNya menampak dalam semua aspek hidup manusia, termasuk dalam hal-hal yang biasa dan sesehari. Di situlah Injil (pemerintahan Allah datang atas manusia) diwartakan. Roh Allah menjadi daya utama dari terhadirkannya karya liberatif dalam dunia nyata bagi manusia yang terbelenggu oleh berbagai sebab natural maupun konstruksi sosial.

Konsiderasi Konteks

Roh TUHAN  pula yang menyelenggarakan suatu undangan untuk semua kita, di segala situasi kita, di dunia kita, konteks kita (sebagai manusia, sebagai ciptaan, dalam kaitkelindan dengan kesadaran berekosistem, deep ecology, kosmo-centris bahkan kesadaran semesta: kosmotheandrik, kini dan di sini, dengan gempita.

Aktualisasi dimintakan pada kita. Kita bisa mulai dengan apa yang menjadi kekayaan kita (menggunakan pendekatan SOAR – Strength, Opportunity, Aspirations, and Results) dari perspektif Apprecitive Inquitry (AI). AI adalah pergeseran dari paradigma lama: problem solving. Dalam model problem solving, kata kunci kita adalah : SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats). Konsentrasi ke akar masalah, menganalisis masalah, lalu dicarikan solusinya. Sementara dalam AI, kata kunci kita adalah SOAR (Strength, Opportunities, Aspirations, Results). Konsentrasi ke akar keberhasilan, dan mengelolanya dengan dinamis (JB Banawiratma, 2013). Mengapa perlu ada perubahan paradigma? Ada dua penyebab: 1. Diagnosis masalah dalam paradigma lama menguras energi perubahan pada seluruh organisasi; 2. Kurang berhasil menghidupkan sistem dan potensi-potensi capaian puncaknya.

Sementara AI berfokus pada: Menemukan, mengapresiasi apa yang menghidupkan sistem, moment-moment berhasil, capaian-capaian puncak, cerita tentang  pembaruan, pengharapan, keberanian, dan perubahan positif. Hal yang menjadi tujuan bukan mendapatkan kritik, penegasian, atau diagnosa penyakit, melainkan 4 D: Discovery, Dream, Design dan Dignity.[4]

Paradigma AI tidak melihat organisasi sebagai problema melainkan sebagai solusi, bahkan bukan solusi tunggal melainkan pusat kreatif dari keterkaitan manusia yang hidup dengan kapasitas yang terbuka. Paradigma AI bersifat life-centric. Hal yang dicari adalah apa-apa yang menghidupkan dalam relasi-relasi yang sehat dengna komunitas luas. Menurut Copperrider (sebagaimana dikutip JB Banawiratma), AI adalah paradigma yang paling menggerakkan dalam pengembangan organisasi dan manajemen perubahan.

Pola Pertanyaan Inti:

SWOT                                                                        SOAR

Strength

Di mana kita mengatasi yang lain?                Apa aset terbesar Kita

SWOT                                                                        SOAR

Weakness                                                    Opportunities

Di mana yang lain dapat Mengatasi kita?   Manakah peluang terbaik? Mengatasi kita?

SWOT                                                                        SOAR

Opportunities                                                  Aspirations

Bagaimana kita dapat                                       Masa depan ideal kita

Menggunakan peluang

yang ada?

SWOT                                                               SOAR

Threats                                                             Results

Apa/Siapa yang mungkin                            Hasil-hasil apa yang dapat diperhitungkan?

mengambil peluang kita?

Kesimpulan dan Refleksi

Apa yang ada pada kita sebagai keluarga besar GMIT yang berada di tanah NTT yang dapat kita pakai mengembangkan kehidupan secara kosmotheandric dalam daya kekuyatan Roh TUHAN dalam interaksinya dengan konteks manusia dan alam? Beberapa hal, saya kira:

  1. Konteks hikmat lokal (baik tradisi religius lisan maupun tulisan). Saran: perlu mengembangkan model pembacaan Kitab Suci yang kontekstal baik di berbagai macam skopa:  akademisi/scholars, maupun umat awam, dan dalam interaksi di antara keduanya, perlu diberi ruang. Baik melalui pembacaan cross-culture (seeing through), cross-textual (ataupun communitarian cross-textual reading), inter-cultural  dan reader response (di mana komunitas umat “awam” (lay) dan pembelajar (socially-engaged bible scholars) membaca teks Alkitab (dalam konteks dan concern kehidupan nyata) bersama-sama secara interaktif, perlu dikembangkan oleh gereja yang dianugerahi Allah kekayaan religius-kultural yang berlimpah-limpah.
  2. Praksis Spiritualitas dan Eklesiologi yang Sosio-Liberatif. Sudah menjadi kenyataan bahwa GMIT berperan sangat positif dalam menentang dan menangani perdagangan perempuan dan kasus-kasus marginalisasi sosial serta ekologis (selain perempuan, kasus anak jalanan, dan pengerusan kekayaan alam (pantai), juga menjadi concern – setidaknya saya ingat hal ini pernah diteliti oleh Joan Jusuf dan Martha Sinaga di S2 UKDW).
  3. Tantangan untuk mengembangkan kesadaran “Intergenerational Church/Community”sebagai komplementer perspektif pelayanan kategorial, sehingga semua orang di semua level usia diberi lokasi untuk berinteraksi dalam kehidupan bergereja (baik dalam karya diakonal, marturial namun juga dalam liturgi, sehingga kita tidak menjadi asing satu sama lain (dari perspektif nilai-nilai dan gaya hidup), melainkan merayakan perbedaan nilai-nilai antar generasi dalam perayaan kait kelindan yang dipersepsi menjadi realitas bersama, realitas di mana Roh TUHAN bekerja mencipta dan mencipta lagi, memperbaiki dan memperbarui segala sesuatu dalam kehidupan kita, baik di ranah privat maupun sosial (tantangan bergereja dan menyaksi secara kosmotheandrik), dengan segar, gembira dan penuh daya! Selamat bersidang untuk Anda semua. Berkat TUHAN melimpahlah.

Kupang, 15 Oktober 2019

Daftar Pustaka

Banawiratma, JB. 2016. “Appreciative Inquiry,” dalam Jurnal Gema Teologika.

UKDW, Yogyakarta.

Katoppo, Marianne. 2007. Tersentuh dan Bebas.Jakarta: Aksara Karunia.

Mays, James L. 1994. Pslams (Interpretation- a Bible Commentary for teaching and preaching).Louisville: John Knox Press.

Panikkar, Raimon. 1999. Intra-Religious Dialogue Revised Edition.New York:

Paulist Press.

Singgih, E.G. 2011. Dari Eden ke Babel.Yogyakarta: Kanisius.

Singgih, E.G. 2019. Dunia yang Bermakna.Jakarta: BPK.

Swartley, Willard M. 1983. Slavery, Sabbath, War & Women.Waterloo: HeraldPress.
[1] Pdt. Daniel K Listijabudi, Ph.D adalah Pendeta Tugas Khusus dari Sinode GKMI sebagai Dosen Tetap di Fakultas Teologi UK Duta Wacana, Yogyakarta. Mata kuliah yang diampunya antara lain: Dunia Alkitab PL-PB, Hermeneutik, Hermeneutik PL, Tafsir Kontekstual, Bahasa Ibrani, Teologi Kontekstual dan Homiletika (di S1 dan S2); juga mengajar di program S3-ICRS (International Consortium of Religious Study), yang diselenggarakan oleh kerjasama UGM-UIN-UKDW, mengampu mata kuliah “Interreligious Hermeneutics.”
[2] Dalam artikelnya itu Singgih mengusulkan pembagian dari Mazmur 104 dalam empat bagian : 1. Penciptaan langit dan bumi (1-9); 2. Pemeliharaan Tuhan atas alam (10-18); 3. Penataan  Ilahi atas waktu dan kerja (19-30) dan 4. Pujian kepada Tuhan Sang Pencipta (31-35). Jika pembagian ini kita pakai maka, ayat 30 termasuk dalam cluster ke tiga mengenai penataan Illahi atas waktu dan kerja (2019: 410).
[3] Lihat https://jbqnew.jewishbible.org (diunduh 14 Okt 2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *