Melayani Dari Desa*
Lukas 8:1 “Tidak lama sesudah itu Yesus berjalan berkeliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan Allah. Kedua belas murid-Nya bersama-sama dengan Dia.”
Di Indonesia ada dua macam desa. Desa suka maju dan desa suka miskin. Menurut data BPS total desa di Indonesia 74.754. Dari jumlah itu desa miskin mencapai 20.168. Di NTT, data BPS 2017 menyebut ada 3.026 desa. Saya tidak punya data berapa persis desa miskin di NTT tapi ada laporan media yang menyebut bahwa hampir semua desa di NTT masuk kategori desa miskin. Ini tantangan pelayanan kita hari ini. Kita dipanggil untuk melayani orang-orang miskin di desa-desa miskin. Bahkan bisa jadi sebagian dari kita berasal dari keluarga miskin. Karena itu, kemiskinan bukan sesuatu yang asing dalam pengalaman kita.
Pertanyaannya adalah, lalu kita mau buat apa di desa? Kita mau buat apa dengan orang miskin di desa? Apa sumbangsih konkret para pendeta terhadap orang miskin di desa yang telah membuat hidup para pendeta menjadi tidak miskin melalui kolekte yang mereka persembahkan setiap minggu dalam ibadah-ibadah. Kita mau buat apa? Para pendeta tidak menggaji orang-orang miskin. Orang-orang miskin itulah yang (yang melalui gereja) menggaji pendeta. Kalau hari ini pendeta-pendeta bisa pakai HP produk terbaru itu bukan orang-orang ‘besar’ yang bayar gaji pendeta, melainkan orang-orang miskin dan sederhana itu.
Kembali ke pertanyaan tadi. Kita mau bikin apa dengan orang miskin di desa miskin? Mari kita belajar dari Yesus. Lebih dari 2000 tahun lalu, Yesus lahir dan besar dalam sebuah keluarga yang juga miskin. Persembahan yang dibawa oleh orang tua-Nya berupa sepasang anak burung merpati pada masa pentahiran menurut adat orang Yahudi menegaskan kondisi miskin itu. Yusuf ayah Yesus hanyalah seorang tukang kayu. Pekerjaan tukang kayu pada zaman itu tentu bukan pekerjaan bergengsi. Bukan pula pekerjaan yang bisa mendatangkan uang banyak. Belum lagi beban Yusuf cukup berat karena selain Yesus, ia punya 4 orang anak laki-laki dan juga anak perempuan (Mat. 13:55).
Memang, kita tidak dapat informasi cukup tentang apa saja yang dilakukan Yesus selama 30 tahun sebelum Ia tampil di publik, tapi dari perumpamaan-perumpamaan yang Ia pakai dalam mengajar seperti gandum dan lalang, domba yang hilang, biji sesawi, rumah di atas pasir, garam dan terang, pokok anggur dan seterusnya, menunjukan kedekatan Yesus dengan alam pedesaan yang kuat.
Tidak heran pengalaman-Nya dengan orang-orang miskin itu menjadi agenda perjuangan di kemudian hari. Mula-mula ia membentuk komunitas belajar dengan memilih 12 murid. Murid-murid itu adalah orang-orang sederhana, berasal dari aneka macam profesi dan karakter. Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes dari latar belakang nelayan. Matius seorang penarik pajak. Simon orang zelot adalah anggota kelompok radikal, dst.
Komunitas ini diajari nilai-nilai Kerajaan Allah seperti mengasihi, mengampuni, perdamaian, keadilan, kesetaraan dst. Yang menarik dari ajaran-ajaran Yesus adalah teologi yang ia bangun juga berbasis desa. Coba cermati kata-kata-Nya. ”Perhatikanlah burung-burung di udara yang tidak menanam dan menuai tetapi diberi makan oleh Bapamu yang di sorga, apalagi kamu.” Atau “Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik?” Atau “Hendaklah kamu cerdik seperti ular tapi tulus seperti merpati,” dst. Burung-burung, anggur, semak duri, pohon, ular, merpati, semua itu adalah kekayaan, sumber daya, keanekaragaman yang ada di desa. Ia memanfaatkan hikmat di desa untuk mengajar orang-orang desa dan orang-orang kota. Dan, orang banyak termasuk pemimpin-pemimpin agama tercengang-cengang mendengar pengajaran-Nya.
Dalam bacaan tadi dikisahkan bahwa Yesus bersama murid-murid berkeliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa. Desa menjadi pusat pelayanan Yesus. Beberapa kali Ia ke kota Yerusalem saat hari raya keagamaan tapi sebagian besar waktu Ia habiskan dengan bekerja di kampung-kampung di desa-desa. Memberi makan yang lapar, menyembuhkan yang sakit, meneguhkan yang lemah, membela yang ditindas, dan sebagainya. Mengapa desa menjadi basis pelayanan Yesus? Salah satu alasannya adalah: Ia ingin memberdayakan nasib orang-orang desa yang tidak berdaya karena diperdaya oleh pemimpin pemimpin palsu.
Ia mengecam ahli-ahli Taurat dengan menyebut mereka munafik, serigala berbulu domba dan lain sebagainya, sebaliknya ia menerima Zakheus yang korup dan perempuan yang kedapatan berzinah. Ia bahkan menjamah orang kusta yang menurut ajaran agama haram hukumnya (Luk.5:13; Matius 8:1).
Memberdayakan nasib orang-orang desa yang tidak berdaya karena diperdaya oleh pemimpin-pemimpin palsu itulah yang mesti menjadi dasar dari kehadiran dan pelayanan pendeta-pendeta di desa dan di kota. Mendampingi mereka yang tidak berdaya menjadi berdaya. Bersuara untuk mereka yang tidak bisa bersuara.
Adalah sia-sia kalau setelah 3 hari di sini kita terkagum-kagum dengan materi Undang-Undang Desa yang disampaikan Bapak Yusuf Murtiono dan para pemateri lainnya, tetapi setelah pulang ke desa, kita berdiam diri seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Adalah berdosa kalau jemaat bayar kita tidur di hotel padahal seumur hidup mereka sendiri tidak pernah tidur di hotel, makan gratis, diajar oleh pakar UU Desa, akan tetapi tiba waktunya Musrembangdus atau Musrembangdes kita hanya hadir untuk pimpin doa (saja). Tidak memberi sumbangih apa-apa dalam pengambilan kebijakan yang berpihak pada kebutuhan masyarakat melalui ruang-ruang mengambilan keputusan di desa. Padahal amat jelas dalam Undang-Undang Desa, kehadiran tokoh agama dalam Musrembang bukan untuk memimpin doa.
Sebagaimana Yesus berkeliling kota dan desa untuk melayani kaum yang lemah, demikian pula para pendeta. Desa dan kota juga adalah basis pelayanan kita. Jangan pernah berpikir bahwa melayani di desa lebih berat dan sebaliknya melayani di kota lebih enak. Kalau ada orang yang pikir begitu itu sebenarnya ia tidak mengerti tugas perutusannya.
Hari ini kita akan mengakhiri Seminar dan Lokakarya Undang-Undang Desa. Tapi hari ini juga menjadi awal dari komitmen kita melayani masyarakat di dan dari desa. Sebagai pendeta kita tidak mungkin membagi-bagi gaji untuk membuat jemaat yang kita layani lebih sejahtera. Yang bisa kita buat adalah berjuang bersama masyarakat agar mereka mendapatkan hak-hak mereka secara adil sesuai amanat Undang-Undang. Ini tugas yang tidak kalah penting daripada tugas berdoa dan berkhotbah. Mengapa? Karena memperjuangkan satu sumur bor melalui dana desa lebih berharga daripada 1000 khotbah kepada orang banyak yang mengeluh air berpuluh-puluh tahun. Amin!