KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Tidak disangka, ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon marah saat menyampaikan suara gembala pada perayaan satu abad Injil dan pendidikan masuk di wilayah Mosu, Klasis Amfoang Selatan, Senin 7/08-2017.
Kemarahan Pdt. Mery dipicu oleh kondisi Sekolah Dasar GMIT Mosu yang diusia ke 100 tahun terkesan sengaja ditelantarkan baik oleh pihak sekolah, yayasan, jemaat dan pemerintah setempat.
“Kalau tahu bahwa SD GMIT di Mosu itu hanya tinggal kelas lima dan enam saya tidak akan datang. Saya tidak akan datang. Kenapa saya datang merayakan 100 tahun lalu tutup ini SD? Tuhan tidak akan terima kami punya ibadah. Kita bersandiwara. Bapak mama undang Ketua Sinode GMIT datang untuk tutup SD GMIT di Mosu dan bapak mama pukul gong dan menari 100 tahun Injil masuk di Mosu. Terlalu kasihan, terlalu sedih,” kesal Pdt. Mery. (cuplikan video klik link dibawah ini)
[vsw id=”l5v9hgaUHwU” source=”youtube” width=”620″ height=”410″ autoplay=”no”]
Kepada ketua Majelis Jemaat setempat, Pdt. C. H. Karyapi (59) yang 13 tahun melayani di jemaat Ebenhaeser Nefoneut tempat sekolah ini berdiri dan kepada sejumlah pejabat pemerintahan dan gereja seperti anggota DPRD Drs. Junus Naisunis, Sekretaris kecamatan Amfoang Barat Daya, Kepala Desa, Ketua Klasis Amfoang Selatan Pdt. Daniel Wadu, ketua-ketua Majelis jemaat, ketua komite, Musa Lima, Kepala Sekolah SD GMIT Mosu, Aminadab Nisfini, guru-guru sekolah, serta seluruh jemaat yang hadir, ketua majelis sinode mengungkapkan kekecewaannya.
“Bapak pendeta, Bapak 13 tahun di sini dan SD GMIT akan ditutup. Bapak rasa senang? Bapak senang sekali SD GMIT akan ditutup? Bapak undang saya datang untuk tutup SD GMIT. Luar biasa orang Mosu. Dan kita sebut Bapak Sahertian pung nama dan kita bangga akan tutup SD GMIT. Bapak dong senang? Mama dong senang undang ketua sinode GMIT datang untuk tutup ini SD GMIT yang su kasi sekolah Bapak dong jadi pejabat semua, mama dong jadi pejabat semua. Jadi, saya mau tanya orang tua dong, kita potong tumpeng untuk tutup SD GMIT di Mosu ko? Apakah kita berdoa hari ini ketua sinode datang untuk tutup SD GMIT? Tolong jawab saya. Bapak dong undang saya untuk datang tutup SD GMIT ko? SD inpres su ada jadi kami tutup SD GMIT? Anak sekolah hanya tinggal kelas lima dan enam, apakah dua tahun lagi kita bikin kebaktian penutupan. Maksudnya begitu ko? Jawab saya dulu,” tanya Pdt. Mery berulang-ulang dengan nada keras.
Kepada semua pihak ketua MS GMIT meminta agar SD GMIT Mosu dan sekolah-sekolah GMIT lainnya tidak boleh ditutup. Ia berjanji akan mengambil langkah-langkah strategis seperti mendorong seluruh jemaat GMIT untuk menyetor dana 2% pendidikan serta kerja sama dengan gereja-gereja mitra baik di dalam negeri maupun luar negeri untuk menyelamatkan sekolah-sekolah yang terancam tutup.
Pernyataan ketua MS GMIT juga didukung anggota DPRD Provinsi NTT Drs. Junus Naisunis. “SD GMIT Mosu adalah sekolah bersejarah yang telah melahirkan banyak pejabat, jadi kita semua punya tanggungjawab. Empat sekolah dasar GMIT yang sudah ada di Amfoang yakni SD GMIT Taloi, Nefoneut, Bitobe dan Leloboko tidak boleh ditutup,” tegas Naisunis yang juga seorang emeritus pendeta GMIT.
Benang Kusut SD GMIT Mosu
SD GMIT Mosu yang berdiri tahun 1917 berkat kerja keras guru Injil Karel Aleksander Sahertian, kakek dari Pdt. Emy Sahertian kini terancam tutup karena beberapa alasan sebagaimana dikemukakan kepala sekolah Aminadab Nisfinit:
Pertama, SD ini hanya dilayani oleh 2 guru pemerintah dan 6 orang guru honorer. Untuk mendapat tambahan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) maka tahun 2014 warga berinisiatif meminta pemerintah kabupaten Kupang melalui dinas terkait untuk mendirikan sebuah SD Negeri dengan harapan akan ditempatkan guru PNS namun sampai hari ini tidak ada guru PNS yang dikirim. Kedua, setelah gedung SD Negeri yang masih darurat didirikan oleh warga, anak-anak kelas satu dan kelas dua, 3 orang tenaga honorer serta satu orang guru pemerintah di SD GMIT Mosu oleh orang tua murid diminta untuk pindah ke SD Negeri yang baru dibangun tersebut.
Ditanyai alasannya mengapa pindah mengajar di SD Negeri padahal SK penempatan di SD GMIT Mosu, Welmince Honin, guru PNS yang pindah mengajar ini mengaku hanya mengikuti permintaan orang tua murid dan anak-anak didiknya. “Saya pindah ke SD Negeri karena orang tua yang minta dan karena murid-murid saya pindah maka saya juga pindah mengajar,” tetapi tambahnya lagi “sampai sekarang saya tetap guru SD GMIT Mosu sesuai SK saya,” ungkapnya.
SD GMIT Mosu saat ini memiliki empat unit gedung berlantai keramik dengan kondisi yang baik. Namun ruang-ruang kelas kosong. Hanya dua ruang kelas yang terisi yakni kelas lima dengan jumlah siswa 12 orang dan kelas enam 10 orang. Dua kelas ini diasuh oleh 3 guru honorer yakni guru kelas enam yang hanya tamatan SMA sedangkan guru kelas lima berijasah sarjana ditambah satu guru Pendidikan Jasmani serta kepala sekolah.
Dimintai komentar terkait kesulitannya sebagai guru yang hanya tamatan SMA Marta Uki, guru kelas enam yang sudah 5 tahun mengabdi, mengaku mengalami kesulitan dengan beberapa murid yang belum bisa membaca. Selain itu tidak ada buku paket pelajaran agama serta honor yang kecil sebesar Rp. 200.000,- (Dua Ratus Ribu Rupiah) yang dibayar per tiga bulan dari dana Biaya Operasional Sekolah (BOS).
Herannya meski sebagian murid-murid sudah pindah ke SD negeri namun dana BOS yang diperuntukkan bagi SD GMIT Mosu dibagi dua dengan SD Negeri atau “SD Kecil” menurut sebutan warga, karena sekolah yang baru dibangun dua tahun tersebut belum ada ijin operasional dan siswa-siswa masih menyandang status sebagai murid SD GMIT Mosu.
Kepala sekolah mengaku mereka mendapat dana BOS sebesar Rp. 17 Juta/triwulan. 15% dari dana tersebut untuk membayar gaji tenaga honor yang berjumlah 6 orang. Artinya setiap tenaga honorer mestinya mendapat upah perbulan sebesar Rp. 425.000,- (Empat Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) bukan Rp. 200.000,- sebagaimana yang diterima.
Terkait jumlah uang tersebut kepala sekolah membenarkannya namun menurutnya sudah ada kenaikan sebesar Rp.400.000,- (Empat Ratus Ribu Rupiah) di tahun 2107 ini.
Marta Uki, hanya berharap semoga ada pertolongan Tuhan sehingga gaji mereka bisa dinaikan di masa mendatang. “Kalau memang kehendak Tuhan, mudah-mudahan gaji kami bisa dinaikan sedikit,” ujarnya polos.
Sebagai bentuk komitmen bersama antara gereja, sekolah, yayasan dan pemerintah, usai kebaktian yang dipimpin Pdt. Emmy Sahertian, M.Th, ketua MS GMIT mengajak semua pihak menanam anakan pisang di halaman sekolah sebagai simbol menanam harapan bahwa SD GMIT tidak akan ditutup. ***
Kekesalan ini merupakan Cambuk bagi semua Warga Gereja yang menerima Tanggungjwab Pelayanan di Bidang Pendidikan