MEMBANGUN KERUKUNAN INTERN KRISTEN, MEWUJUDKAN MASYARAKAT NTT YANG AGAMIS DAN RUKUN

MEMBANGUN KERUKUNAN INTERN KRISTEN, MEWUJUDKAN MASYARAKAT NTT YANG AGAMIS DAN RUKUN

Oleh: Ira D. Mangililo, PhD

Dialog antar umat beragama yang dilakukan di Indonesia oleh berbagai kalangan seperti pemerintah dan para pemimpin umat beragama bertujuan untuk mendorong para pemeluk agama yang berbeda untuk belajar dan meruntuhkan sejumlah tembok pemisah di antara mereka yang timbul akibat kesalahpahaman dan sikap saling curiga yang dimiliki terhadap satu dengan yang lainnya. Dalam dialog antar umat beragama, para pemeluk agama yang berbeda belajar tentang inti ajaran agama, praktek spiritualitas, dan teks-teks kitab keagamaan yang dipandang suci oleh masing-masing agama. Dalam aktivitas dialog, masing-masing mendengar bagaimana iman kepercayaan yang berbeda kadang disalahpahami dan disalahartikan sehingga menimbulkan ketegangan dan konflik yang kerap berujung pada tindakan-tindakan kekerasan yang memakan korban. Tuduhan penistaan agama yang ditujukan kepada Basuki Tjahja Purnama atau kerap dikenal dengan sebutan Ahok menunjukkan betapa rentannya isu yang berhubungan dengan kepercayaan dan ajaran yang dianut oleh masing-masing agama yang berada di Indonesia.

Dialog antar umat beragama guna menciptakan sikap saling memahami dan menghargai di antara umat beragama memang bukan sesuatu yang mudah namun telah diupayakan sehingga mungkin. Sementara dialog intra umat beragama terutama di antara sesama denominasi atau aliran kepercayaan yang ada dalam agama Kristen sendiri masih sangat jarang dilakukan dan juga tidak mudah ketika dilakukan. Terkadang adalah hal yang mudah untuk berdialog guna membuka diri dan belajar tentang agama lain dari mereka yang tidak seiman dengan kita; tetapi lain halnya ketika kita diminta untuk berbicara dengan saudara-saudari kita sesama umat Kristen sendiri yang berbeda denominasi terutama ketika pembicaraan-pembicaraan yang ada menyentuh isu-isu yang berpotensi menimbulkan perpecahan ataupun mendatangkan luka bagi yang terlibat dalam percakapan tersebut. Isu-isu tersebut memaksa kita untuk mengenang kembali pengalaman-pengalaman lampau yang pahit sehingga membuat kita cemas, marah, takut, capek bahkan sedih. Di sini tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa dialog di antara sesama umat Kristen beda denominasi adalah salah satu isu yang paling berat yang dihadapi oleh gereja pada saat ini; tidak jarang dialog-dialog seperti inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa banyak orang enggan untuk bergereja lagi karena mereka melihat bagaimana agama yang tadinya memiliki misi perdamaian karena mempromosikan semangat cinta kasih kini justru menjadi salah satu senjata pembunuh atau racun paling mematikan yang dapat mendorong orang untuk saling menghancurkan dan membinasakan.

Di sinilah pertanyaan yang timbul adalah: bagaimana caranya kita berbicara tentang isu-isu penting yang menjadi inti pengajaran dalam setiap denominasi tanpa menimbulkan ketegangan? Bagaimana kita menjaga integritas ajaran atau doktrin kita tanpa merendahkan atau menyerang pihak lain? Bagaimana kita saling menghargai perbedaan-perbedaan di antara umat Kristen yang berbeda denominasi dalam semangat cinta kasih? Bagaimana kita hidup dalam komunitas bersama-sama dengan mereka yang percaya pada hal-hal yang berbeda dengan kita tetapi mengikuti Allah yang sama dan percaya pada Kitab yang sama?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang harus kita gumuli bersama sebagai sebuah gereja yang berasal dari satu akar yang sama. Di dalam makalah ini saya akan berbicara tentang sejarah singkat Kekristenan dan agama Kristen dalam konteks kekinian. Saya juga akan membicarakan tentang mengapa penting diadakannya dialog guna membangun kerukunan intern Kristen. Landasan teologis yang menjadi penuntun diadakannya dialog intra-Kristen juga akan saya bahas di sini.

Sejarah Singkat Kekristenan

Agama Kristen secara umum dipahami sebagai yang dimulai dengan Yesus yang dilahirkan dua ribu tahun yang lalu. Namun ada juga yang mendata lahirnya kekristenan pada awal kehadiran Yudaisme mengingat bahwa Yesus adalah orang Yahudi. Terlepas dari semua itu, satu hal yang pasti adalah bahwa Kekristenan diawali sebagai sebuah gerakan dalam Yudaisme pada abad ke-1 ZB (Zaman Bersama/Sesudah Masehi). Pada waktu itu, seorang rabi Yahudi yang dikenal sebagai Yesus dari Nazaret menggelar pengajaran publik di mana ia mengajarkan tentang kedatangan Kerajaan Allah yang tak terbantahkan. Kemudian bersama-sama dengan 12 orang muridNya, Yesus membentuk sebuah komunitas yang melayani orang-orang miskin dan yang terbuang di Israel. Sekitar tahun 33 ZB, Yesus ditahan dan dihukum mati oleh gubernur Romawi. Namun para pengikutya mengklaim kebangkitanNya dari kematian dan mereka percaya bahwa Ia adalah Anak Allah dan bahwa kebangkitanNya dari kematian menyelamatkan pengikutNya dari dosa-dosa mereka. Ketika keyakinan mereka makin teguh dan meningkat mereka menyebut Yesus sebagai Kristus yang artinya Mesias atau yang diurapi. Sebutan Yesus Kristus menyebabkan para pengikutnya dipanggil orang-orang Kristen. Setelah kematian Yesus, orang-orang Kristen dikenal sebagai salah satu sekte dalam Yudaisme. Namun seiring dengan berjalannya waktu, orang-orang Yahudi penganut Yudaisme tidak percaya bahwa Yesus adalah Mesias dan di situlah perbedaan mereka dengan umat Kristen makin bertambah. Lebih lanjut, banyak orang bukan Yahudi yang menjadi Kristen. Akibatnya, Kekristenan menjadi gerakan keagamaan yang berbeda dari Yudaisme.

Perkembangan Lanjutan (300-1500 ZB)

Semenjak dibedakannya praktek-praktek keagamaan di antara ajaran Kristen dan Yudaisme maka pada abad pertama dan kedua, umat Kristen beribadah di kantong-kantong kecil yang tersebar di Timur Tengah dan Timur Dekat. Itulah sebabnya umat Kristen tidak memiliki praktek keagamaan yang seragam melainkan berbeda dari kota ke kota. Dan karena kekristenan sering dihukum oleh pemerintah Romawi maka banyak umat yang dianiaya dan dihukum mati ketika memproklamirkan imannya. Pada tahun 313 ZB, kaisar Konstantin memeluk Kristen dan mensyahkan agama ini sehingga mengakhiri penindasan terhadap umat Kristen.

Umat Kristen awal sering tidak bersetuju satu dengan yang lainnya berkenaan dengan isu-isu penting seperti relasi antara Yesus dan Allah. Akibat adanya perdebatan  menyebabkan pemberontakan dan kebingungan di kekaisaran yang dipimpinnya maka Konstantinus memanggil para pemimpin Kristen (para bishop) di seluruh kekaisarannya untuk menghadiri sebuah pertemuan/konsil di Nicea pada tahun 325 ZB.  Konsil besar Kristen yang pertama ini mengklarifikasikan point-point teologis utama termasuk di dalamnya tentang Trinitas dan keilahian Yesus. Konstribusi tulisan utama yang muncul dari konsil ini disebut Pengakuan Nicea. Akibat adanya perdebatan yang terus berlangsung maka di tahun 381 ZB diadakan kembali konsil guna mengembangkan Pengakuan yang dibuat di Nicea menjadi sebuah pernyataan iman yang lebih panjang yang masih dikutip oleh gereja-gereja hingga saat ini. 70 tahun setelah Kaisar Konstantinus, kaisar yang lainnya yaitu Theodosius menetapkan iman Kristen sebagai agama resmi di Kekaisaran Romawi. Sejak saat itu, agama Kristen berkembang secara pesat dan banyak yang memeluk kekristenan karena takut akan otoritas Romawi. Namun sebagian memeluk agama ini secara sukarela.

Munculnya Protestanisme (1500 ZB – Sekarang)

Pertentangan dalam tubuh kekristenan coba diredam dengan kemunculan seorang teolog besar yang bernama Agustinus yang menjadi seorang bishop di Hippo, Afrika Utara. Ia mengartikulasikan teologinya yang berhubungan dengan Trinitas dan keberdosaan manusia dan juga hubungan antara gereja dan negara. Tulisan-tulisannya sangat mempengaruhi kekristenan di abad ke-5 hingga Reformasi Protestan di abad ke-16 ke atas. Namun pengaruh Agustinus yang besar tidak sanggup mengakhiri pertentangan dalam kekristenan. Keilahian dan kemanusiaan Yesus tetap menjadi sumber konflik. Pada tahun 1054 ZB, ketidakbersetujuan ini menyebabkan “Perpecahan Besar” yang memisahkan kekristenan menjadi dua kelompok besar yaitu Barat dan Timur. Kini, kekristenan Timur mencakup gereja-gereja Ortodoks, sementara kekristenan Barat mencakup gereja-gereja Katolik Roma dan Protestan.

Perdebatan-perdebatan di atas ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kekuasaan Paus yang terkenal melakukan korupsi di gereja dan juga kekuasaan Romawi membuat banyak orang Kristen mulai merasa gerah. Hal ini menuntun pada perpisahan yang besar yang lain dalam gereja Kristen pada awal abad ke-16 di Jerman. Protes terhadap kekuasaan Paus dipimpin oleh seorang biarawan Jerman yang bernama Martin Luther (1483-1543). Pada tahun 1517, Luther menulis 95 tesis yang mengkritik berbagai bentuk korupsi dalam gereja, kebanyakan tentang penjualan surat penghapusan dosa. Luther mengatakan bahwa keselamatan didapat hanya melalui kasih karunia Allah bukan karena upaya manusia. Upayanya menuai perlawanan dan pada tahun 1522, para penguasa Kristen mengutuk klaim-klaim teologisnya; namun Luther tetap melanjutkan upaya reformasinya dan para pengikutnya membentuk kelompok yang tadinya berasal dari bagian Barat gereja “Katolik.” Orang-orang Kristen pengikut ajaran Luther ini kemudian dikenal sebagai kaum “Lutheran” dan masih ada di Jerman hingga saat ini.

Selain Luther, muncul juga John Calvin dengan kelompok Calvinisnya. Reformasi radikalnya menghasilkan beberapa gereja baru. Meskipun beberapa idenya sejajar dengan pandangan Luther, namun Calvin menekankan pada hubungan yang dekat antara gereja dan negara melebihi Luther. Ide-ide Calvin banyak dipengaruhi oleh orang-orang dari sebelah Barat Eropa termasuk sekelompok orang-orang Inggris yang dikenal dengan kaum Puritan yang berimigrasi ke seberang Altantik. Akibat di USA banyak sekali kaum Kristen yang bertradisi Calvinis.

Ada juga kelompok yang lain yang muncul yang bernama kaum Anglikan di Inggris. Reformasi Inggris dimulai pada tahun 1529 akibat keputusan dari Raja Henry VIII untuk mengakhiri pernikahannya melawan perintah kepausan. Hendry mendirikan gereja Inggris atau gereja Anglikan dengan dirinya sebagai kepala tertinggi gereja. Gereja ini mengadopsi ide-ide Katolik dan Protestan. Di Amerika gereja Anglikan dikenal dengan sebutan gereja Episkopal.

 

Kelompok kekristenan lainnya yang muncul adalah kaum Anabaptis yang gerakannya disebut “Reformasi Radikal.” Mereka memisahkan diri secara tegas dari iman Katolik. Anabaptis menolak beberapa tradisi ibadah dari Katolik Roma seperti menolak untuk membaptis anak kecil. Mereka menahan baptisan hingga orang menjadi cukup dewasa untuk meminta dibaptis. Di Amerika Serikat kelompok Quakers dan Mennonite berasal dari Anabaptis. Kebanyakan mengadopsi gaya hidup modern namun beberapa kelompok adalah komunitas yang terisolasi; mereka mengungkapkan iman mereka dengan berpakaian sederhana dan mempertahankan cara-cara hidup tradisional. Kelompok Amish di Pennsylvania adalah contoh dari kelompok ini.

Menanggapi kemunculan gereja-gereja reformasi Kristen Protestan ini maka gereja Katolik juga mengadposi beberapa ide-ide reformasi dan menguatkan lagi pengajaran-pengajarannya yang tercatat di Konsili Trent (1545-1563). Respon ini dikenal sebagai “Counter-Reformasi.” Sementara itu, denominasi protestan terus bertambah pada abad ke-18 dan 19. Beberapa kelompok yang muncul adalah Wesleyan yang termasuk di dalamnya kaum Metodist dan beberapa kelompok Pentakosta. Ada juga kelompok Restorasionis yang disebut Churches of Christ dan Disciples of Christ. Muncul pula kaum Baptis yang diatur di Inggris dan USA. Gereja Babtis sekarang adalah denominasi Protestan terbesar di USA meskipun di Indonesia sendiri tidak karena kekristenan di Indonesia banyak didasarkan pada pandangan Luther dan Calvin yang termanivestasi dalam gereja-gereka kesukuan seperti GMIT, GMIM, dll.

Berikut adalah garis besar munculnya demominasi Protestan:(Lihat charts/tabel)

Dialog intra-Kristen guna membangun kerukunan intern Kristen

Upaya untuk membangun dialog intra-kristen atau di antara kelompok denominasi dalam tubuh kekristenan sendiri muncul ketika muncul gerakan oikumene di Indonesia yang berawal dari pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada tanggah 25 Mei 1950 di Jakarta dalam Konferensi Pembentukan DGI tanggal 22-28 Mei 1950 di Jakarta. Organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sejak Sidang Raya DGI di Ambon (1984) dengan mendasarkan pemikiran bahwa kata “persekutuan” menggambarkan kesatuan lahir batin yang lebih mendalam ketimbang kata “dewan” yang terlalu formal dan sangat menekankan pada hal-hal yang bersifat organisatoris saja. Ketika DGI yang kemudian berganti nama menjadi PGI berdiri maka satu hal yang dipandang penting untuk ditelaah adalah berkenaan dengan keadaan gereja-gereja sendiri yang sering diwarnai oleh perkelahian dan perpecahan. Faktor utama pemicu permasalahan tersebut terletak pada persoalan perbedaan pandangan teologis yang membuat masing-masing kelompok bersikukuh mempertahankan pandangannya sebagai yang sendiri benar. Tanpa sadar fenomena ini semakin membuat jurang pemisah di antara umat Kristen berbeda denominasi kian melebar. Di samping itu, arus globalisasi yang memicu lajunya perpindahan penduduk baik dalam skala nasional maupun internasioanal juga melahirkan tantangan baru yaitu makin berkembang pesatnya keluarga Kristen itu sendiri dalam skala global; keluarga-keluarga itu tentu saja datang dengan membawa keragaman pandangan dan latar belakang serta informasi yang tidak dapat terbendung.

Perbedaan teologi di antara sesama umat Kristen serta globalisasi menghendaki kita untuk memikirkan jalan keluar untuk menanggapi tantangan-tantangan tersebut. Salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mencetuskan gerakan oikumene yang mendorong gereja untuk memperhatikan kembali tanggung jawabnya sebagai pengemban misi Kristus di dunia. Kata oikumene sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Oikos yang berarti “rumah” dan nomos yang berarti “satu.” Jadi Oikumene berarti “Satu Rumah.” Rumah adalah dunia ini yang dihuni oleh seluruh umat manusia. Dalam konteks kekristenan sendiri di Indonesia yang plural ini, menjadi satu satu rumah berarti menempatkan segala perbedaan sebagai kekuatan bersama yang dipakai guna mengupayakan kepentingan dan kesejahteraan bersama di dunia atau bumi Indonesia dengan Kristus sebagai pemersatu semua.

Guna menghidupkan semangat oikumene ini maka tentu saja dialog intra-Kristen atau antar denominasi Kristen perlu digiatkan. Dalam konteks intra-Kristen, dialog biasanya dimengerti secara sempit sebagai percakapan-percakapan bilateral dan multilateral antara para perwakilan formal gereja-gereja tentang isu-isu perpecahan dalam gereja seperti ketidakbersetujuan tentang doktrin, moral, doa publik dan perayaan-perayaan sakramen, penafsiran Alkitabiah, struktur dan penatalayanan gereja. Dialog memang berkenaan dengan hal tersebut tetapi lebih dari sekedar itu. Dialog sebenarnya meliputi segala jenis bentuk relasi dengan orang-orang Kristen lainnya, tidak melulu hanya dikhususkan pada hal-hal yang bersifat formal melainkan juga mencakup doa, kerjasama misionaris, solidaritas dan kesaksian bersama dalam dunia. Jadi dialog dalam konteks intra-Kristen berarti bergerak melampuai pemisahan menuju pada persekutuan yang utuh dalam kesaksian dan pelayanan bersama dengan kasih dan kerendahan hati.

Di sini, jantung dari komitmen bagi persatuan antar umat Kristen adalah doa Yesus pada malam sebelum Ia mati: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh 17:21). Jadi, adalah kehendak dan hasrat Kristus bahwa para muridNya menjadi satu. Dengan kata lain, kesatuan dalam gereja adalah sebuah hadiah dari Allah dan merupakan pekerjaan Roh Kudus dalam kita; adalah tergantung pada kita untuk membuka diri untuk menerima kehendak Kristus dan menjadikannya sebagai prioritas dalam kehidupan kita. Sebaliknya, pertentangan, konflik, dan perpecahan yang terjadi pada kita merupakan bentuk perlawanan yang terbuka akan kehendak Allah dan merupakan sebuah skandal yang merendahkan upaya-upaya kita untuk menjadi saksi Kristus dan untuk melaksanakan misiNya.

Salah satu hadiah terbesar yang diberikan Yesus kepada umat Kristen adalah bahasa yang diberikanNya kepada kita untuk kita gunakan dalam dialog kita dengan umat atau komunitas Kristen lainnya. Bahasa itu bukanlah bahasa skisma atau perpecahan melainkan bahasa kasih yang telah diberikan kepada kita ketika kita menerima Allah sebagai Tuhan kita dan ketika kita dibaptiskan dalam Ketiga Nama yang Esa. Selain bahasa kasih, kitapun dapat menjadikan perjumpaan antara Yesus dengan perempuan Samaria di sumur Sikhar sebagai model dialog yang baik hingga kemudian dapat kita kembangkan sebagai landasan teologis untuk berdialog. Yoh 4:4-42 yang memberitakan perjumpaan tersebut memberikan kepada kita iman yang bersifat Trinitarian: Yesus berbicara sebagai Mesias (26) dan Juru Selamat (42); Ia merujuk pada penyembahan akan sang Bapa (21,23), dan Ia memjanjikan hadiah/pemberian Roh Kudus (23-24) yang disimbolkan dalam pemberian akan air hidup (14).

Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai pelajaran berharga untuk intra-Kristen dialog:[1]

  1. Posisi orang-orang Samaria adalah mereka yang tertolak; mereka dilihat sebagai yang terpisah dari umat perjanjian Allah; atau mereka dapat diperhitungkan sebagai yang terpisah dari Israel. Dinamika dialog intra-Kristen dapat dilihat dalam kacamata seperti ini bahwa selalu ada pihak yang diperhitungkan sebagai tertolak atau terpisah dari komunitas pilihan.
  2. Cerita tentang percakapan Yesus dengan perempuan Samaria menggambarkan contoh yang jelas tentang dialog kehidupan. Percakapan bergerak bebas antara membicarakan kebutuhan-kebutuhan praktis, membangun hubungan pada konteks kekinian, dan menjelajahi pertanyaan-pertanyaan mendalam yang berhubungan dengan kebenaran. Sifat dari dialog seperti ini ditandai dengan penawaran dan penerimaan akan keramahtamaan yang melibatkan pengambilan resiko yaitu rela untuk menyeberangi batasan-batasan tradisional dan membangun kepercayaan.
  3. Injil Yohanes memberikan suara bagi seseorang yang diasingkan dan didiamkan; sang penginjil mencatat kata-kata seseorang yang adalah seorang perempuan dan seorang anggota komunitas yang ditolak oleh para penguasa. Para perempuan dan orang-orang yang termarjinalisasikan membutuhkan tempat dan kesempatan untuk terlibat dalam dialog intra-Kristen.
  4. Yesus dan sang perempuan masing-masing menunjukkan kerapuhan mereka. Yesus merasa haus, capek dan tanpa perlengkapan untuk mengambil air; sang perempuan mempunyai hubungan dengan sejumlah laki-laki yang diketahui publik. Namun, hal-hal ini tidak menghalangi mereka untuk saling menawarkan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk membangun sebuah hubungan. Dialog timbul karena kelemahan bukan karena kekuatan.
  5. Tema yang ada dalam dialog adalah berhubungan dengan sikap saling mengakui, pengetahuan yang kian bertumbuh dan pemahaman yang kian mendalam – oleh sang perempuan Samaria, oleh Yesus, oleh para murid, dan oleh para penduduk Sikhar. Namun, pertumbuhan ini hanya terjadi melalui kesalahpahaman. Dialog tidak berlangsung secara mudah; selalu ada resiko bahwa pihak yang terlibat akan dipermalukan atau merasa malu dalam proses itu.
  6. Ada elemen proklamasi yang kuat dalam Yoh 4:4-42 terutama dari Yesus dan sang perempuan yang kemudian menuntun para perintah pengutusan Yesus akan murid-muridNya untuk saling berbagi tuaian dalam misiNya. Di sinilah, perintah untuk menyertakan semua dalam misi pelayanan Kristus menjadi sangat penting.
  7. Perkataan Yesus kepada sang perempuan Samaria mencakup pernyataan yang tegas bahwa keselamatan adalah berasal dari orang-orang Yahudi. Pada saat yang sama, Yesus mengakui realitas menyembah Tuhan yang sama yang dilakukan oleh mereka yang berasal dari suku lain. Dalam dialog, kita dipanggil untuk meyakini dengan sungguh-sungguh kebenaran yang telah kita terima, namun pada saat yang sama menghormati pengalaman-pengalaman orang lain pula.
  8. Melalui perjumpaan langsung dengan Yesus, sang perempuan menjadi percaya terutama ketika ia mencapai level kehidupan yang lebih mendalam. Kemudian, rekan-rekan satu bangsanya percaya melalui kesaksiannya dan melalui perkataan Yesus. Dialog membuka adanya kemungkinan transformasi dan perubahan hidup.
  9. Dialog di antara Yesus dan perempuan Samaria memprovokasi dialog di antara para murid dan di antara orang-orang Samaria. Dialog yang dilakukan intra-Kristen dapat mamicu dialog-dialog lainnya dalam konteks yang lebih kecil.
  10. Dalam ayat 26, untuk pertama kalinya dalam Injil, Yesus menggunakan kata “ego eimi” yang artinya “Aku adalah.” Ungkapan ini muncul bersama-sama dengan frase “Dia yang berbicara kepadamu.” Apakah implikasi dari ungkapan ini adalah berkenaan dengan sifat Allah yang kita ketahui melalui Yesus bahwa Allah adalah sosok yang senantiasa berada dalam dialog dan komunikasi dengan umat manusia?

Beberapa prinsip dialog seperti yang diusulkan oleh WCC:

  1. Pemuridan Kristen mengharuskan kita untuk terlibat dalam hubungan yang jujur dan terbuka dengan orang Kristen dari denominasi lain dan orang-orang dari agama lain sebagai cara meniru Yesus Kristus.
  2. Kita percaya bahwa manifestasi Allah melalui inkarnasi Kristus adalah merupakan cara Allah untuk berkomunikasi dengan manusia – Ia adalah Firman yang telah menjadi daging. Allah melalui Kristus telah mengosongkan diriNya. Kerendahan hatiNya untuk hidup dalam kerapuhan seperti manusia dapat dijadikan model dalam dialog intra-Kristen.
  3. Membangun komunikasi intra-Kristen adalah prinsip yang penting dalam dialog. Komunikasi di dalam dan di luar batas-batas keagamaan adalah merupakan tindakan perlawanan terhadap kekerasan dan penegasan akan adanya harapan bahwa konflik dan kekerasan dapat diatasi melalui komunikasi dan percakapan.
  4. Dialog intra-Kristen yang sah menuntut adanya sebuah komitmen untuk tidak menggunakan kekerasan melainkan menghargai kebebasan setiap orang untuk mempercayai apa yang dianggap benar.
  5. Dialog menuntut kita untuk secara aktif berusaha untuk membangun jembatan pengertian dan meruntuhkan tembok-tembok kecurigaan dan permusuhan.
  6. Dialog menuntut adanya kemauan untuk mendengarkan. Hal ini merupakan ciri pertama dalam dialog. Adalah sangat penting pula untuk mengajukan pertanyaan guna mengklarifikasi hal-hal yang dipandang perlu. Pertanyaan juga membantu seseorang untuk memahami dengan lebih baik patner dialognya.
  7. Dialog meneguhkan dan merayakan keperbedaan dan mau menerima dan menghargai perbedaan.
  8. Dialog intra-Kristen adalah merupakan sebuah cara untuk menjadi saksi Kristus di dunia dan merupakan kesempatan untuk berbagi pengalaman iman bagi orang Kristen lainnya.

 

Ketika hal-hal di atas diperhatikan dan dilaksanakan maka beberapa tujuan dialog intra-Kristen dapat tercapai. Tujuan-tujuan tersebut adalah:

  1. Terciptanya persekutuan (koinonia) sebagai perwujudan dari berkat kesatuan dalam Kristus. Aspek utama dalam koinonia ini adalah visi atau harapan bahwa semua umat Kristen dari berbagai denominasi akan duduk bersama dalam meja perjamuan kudus guna merayakan tubuh dan darah Kristus yang telah diberikan bagi kita. Umat yang berasal dari berbagai latar belakang denominasi juga dapat duduk bersama untuk membaca dan memdalami Alkitab dan bersama-sama terlibat dalam diakonia.
  2. Dialog institusional yang dewasa antara umat Kristen yang merepresentasikan berbagai gereja bertujuan untuk mengatasi perpecahan yang terjadi pada masa lampau dan kini dan bekerja sama untuk mencapai kesepakatan sehubungan dengan doktrin dan praktek gerejawi.
  3. Pada saat yang sama, dialog intra-Kristen melibatkan pengakuan dan penghargaan akan keberagaman tradisi.
  4. Dalam dialog intra-Kristen, kita berusaha untuk memastikan bahwa gereja dapat memenuhi perannya sebagai pemberita suara dan tanda kenabian yang sarat akan janji akan datangnya kerajaan yang menghadirkan keadilan dan kedamaian bagi seluruh ciptaan.

Pertanyaan untuk diskusi:

  1. Pertanyaan pertama yang datang pada kita sekarang sebagai bahan diskusi bersama adalah berkenaan dengan kehidupan intra-Kristen di Kupang sendiri. Bagaimana hubungan intra-Kristen di Kupang dan sekitarnya? Apa saja denominasi yang ada di Kupang? Apakah kehidupan kita aman dan rukun ataukah diwarnai oleh pertentangan dan konflik?
  2. Hal-hal apa saja yang cenderung menimbulkan konflik intra-Kristen di Kupang dan sekitarnya?
  3. Sejauh ini, apakah langkah-langkah yang telah ditempuh untuk mengatasi konflik yang ada dalam perjumpaan intra-Kristen?
  4. Adakah upaya dialog intra-Kristen pernah diadakan di Kupang dan sekitarnya? Jika ya maka bagaimana tanggapan saudara/i? Apakah proses dialog mencapai tujuan dialog yang diharapkan? Apakah ada kendala? Jika ya ceritakan!
  5. Dari pemaparan yang baru saja didengar, dapatkan saudara/i memikirkan langkah-langkah atau strategi apa saja yang harus diambil guna menciptakan dialog intra-Kristen?

Bibliografi:

Blackman, Racher. Peace-building within our communities. Resourcing Organizations with Opportunities for Transformation and Sharing, 2003.

Deming, Will. Understanding the Religions of the World: An Introduction. West Susexx, UK: John Willey & Sons, 2015.

Hall, Gerard V. “Inter-or Intra-Religious Dialogue?” Fethullah Gulen Conference. Australian Catholic University, Melbourne, 15-16 Juli 2009.

Panikkar, Raimon. The Intra-Religious Dialogue. Mahwah, New Jersey: Paulist Press, 1999.

Rhodes, Ron. A Complete Guide to Christian Denominations. Eugene, Oregon: Harvest House Publishers.

The Boisi Papers on Religion in the United States, An Introduction to Christian Theology.

World Council of Churches. Called to Dialogue: Interreligious and Intra-Christian Dialogue in Ecumenical in Conversation – A Practical Guide, 2016.

[1] World Council of Churches, Called to Dialogue: Interreligious and Intra-Christian Dialogue in Ecumenical in Conversation – A Practical Guide, 2016, 12-14.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *