EMPAT KATA TENTANG KHOTBAH

EMPAT KATA TENTANG KHOTBAH

Pdt. Dr. John Campbell Nelson

Ada banyak buku pedoman yang menawarkan resep untuk menyusun sebuah khotbah langkah demi langkah. Pada umumnya buku-buku ini baik-baik saja secara teoritis, tapi sia-sialah dalam prkatek. Kebanyakan pengkhotbah pada akhirnya menemukan jalannya sendiri secara agak alamiah. Pada mulanya bisa saja mereka bagaikan juru masak yang sudah mengenal hidangannya, yang tidak mengikuti resep lagi.

Dalam catatan-catatan berikut ini, kami menawarkan rasa resep baru. Kami tidak bermaksud untuk menggantikan metode yang anda sudah kembangkan sendiri dan sudah cukup melayani kebutuhan anda. Yang kami tawarkan adalah empat kiasan saja, yang mengandung empat sudut pandang terhadap apa yang dilakukan oleh sebuah khotbah khususnya dari sudut pandang pendengar. Diharapkan bahwa pokok-pokok pikiran ini bisa menambah “perkakas” dalam upaya anda unutk melayani jemaat melalui tugas pemberitaan.

Secara khusus empat kata ini dikembangkan melalui pengalaman kami dalam membantu para penatua dan diaken menemukan cara menyusun renungan yang puas pada keperluan mereka dalam pelaksanaan tugas mereka setiap minggu. Oleh karena itu, sedapat mungkin nada akademis dan bahasa teknis teologis dibatasi. Namun demikian, diharapkan bahwa empat kata ini dapat bermanfaat baik bagi kaum awam maupun bagi para pendeta dalam tugas yang sangat mulia ini, tapi yang dalam kenyataan sangat “memeras otak” juga.

  1. JEMBATAN

Khotbah adalah jembatan di antara Alkitab dan dunia jemaat masa kini

Membangun jembatan dan menyeberang di antara kedua dunia ini adalah tugas khotbah yang jauh ke dunia Alkitab, dan lagi bercerita pada teman-teman di kampung halaman tentang semua hal yang ajaib yang ditemukan disana. Itulah pekerjaan seorang pengkhotbah.

Kita baru membutuhkan jembatan kalau ada jurang. Memang perlu diakui bahwa ada jurang yang lebar di antara  dunia kita sekarang dan dunia yang nampak dalam Alkitab. Selain soal waktu yang begitu lama (hampir 2000 tahun sejak penulisan surat-surat Rasul Paulus, misalnya, dan 3.800 tahun sejak peristiwa keluaran dari Mesir), ada juga perbedaan-perbedaan dalam lingkungan alam (siapa pernah melihat seekor unta di Timor?), bahasa (untung ada terjemahan), budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Pada zaman Yesus, orang boleh beristri lebih dari satu, tapi tidak boleh makan daging babi. Kita makan daging babi pada setiap kesempatan tapi tidak boleh berpoligami. Pada zaman Yesus, roti dan anggur adalah makanan dan minuman yang paling sederhana seperti ubi dan laru bagi kita, sedangkan kalau kita mau minum anggur, boleh ke Timor Leste untuk beli barang impor dari Portugal dengan harga yang lumayan mahal. Roti belum lama menjangkau masyarakat biasa; sebelumnya, ia adalah makananan khas para elit penjajahan Belanda.

Hal seperti perbedaan makan-minum sebenarnya tidak apa-apa. Tapi bisa juga kita kehilangan makna kalau kita tidak melihatnya dengan jernih. Kalau misalnya kita anggap roti dan anggur sebagai hal yang istimewa, maka kita bisa salah faham makna perjamuan kudus sebagai suatu ritus untuk orang-orang kudus saja, daripada sebuah “pesta pembebasan rakyat” seperti Yesus rayakan bersama murid-murid-Nya.

Ada juga hal-hal yang tampaknya kita bisa langsung mengerti, tapi dalam kenyataan kalau kita pakai pengertian kita sekarang, kita akan sesat. Misalnya, Yesus dikecam oleh para Farisi karena ia bergaul dengan “orang-orang berdosa”.  Kita pikir kita tahu siapa itu, “orang-orang berdosa”: para pencuri, pemabuk, pelacur, pezinah, dan sebagainya. Tapi bagi orang Farisi, yang disebut berdosa bukan hanya itu saja, melainkan semua orang yang tidak memenuhi kewajiban agama, terutama dalam hal melaksanakan ritus-ritus korban, memelihara pantangan-pantangan menarik menurut hukum taurat, dan membayar pajak Bait Suci. Justru orang-orang miskin yang tidak sanggup membayar pajak, orang-orang yang terpaksa mengerjakan pekerjaan yang “najis”, orang yang menyandang cacat dan penyakit. Itulah yang dimaksud “orang berdosa” oleh para Farisi. Jadi ternyata Yesus dikecam bukan karena dia suka bergaul di bar atau diskotik tapi karena solider dengan orang-orang yang paling susah dan miskin melarat. Kalau pakai pokok ukur para Farisi, maka-orang berdosa di lingkungan GMIT adalah mereka yang tidak sanggup untuk Nikah Masehi (karena belum bias bayar belis?), atau jemaat yang tidak bisa bayar gaji pendeta sesuai SK dan kurang rajin menyetor 35%.

Tentu untuk menangkap semua ciri khas dari dunia Alkitab bukanlah hal yang biasa diharapkan dari para pengkhotbah kaum awam. Justru karena ada sekolah teologi dan persyaratan pendidikan yang cukup tinggi untuk menjadi seorang pendeta. Dalam hal ini, pendeta harus menjadi narasumber, semacam “tour guide” (juru wisata?) untuk jemaat di “negeri asing” Alkitab. Bagi para penatua dan diaken yang juga mendapat tugas pemberitahuan, cukuplah kalau mereka berjalan dengan hati-hati (dan rendah hati) dan jangan “sok Tahu” tentang dunia Alkitab.

Namun lebih dari semua perbedaan historis dan budaya, ada suatu “keanehan” dalam dunia Alkitab yang lebih utama. Allah yang diperkenalkan dalam Alkitab adalah Allah yang sungguh asing menurut pola pikir manusia yang mana saja, entah pada zaman Yesus atau pada zaman sekarang.  Allah macam apa akan memilih sekelompok budak dan buruh kasar untuk dijadikan umat-Nya, seperti orang-orang Ibrani di Mesir? Allah macam apa akan melahirkan melahirkan anak-Nya dalam sebuah kandang hewan, dan kemudian menyerahkan-Nya untuk disalibkan tanpa perlawanan apa-apa? Seperti kata Rasul Paulus, “orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan : untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan.” (I Kor. 1:23) jusru jurang-jurang di antara “jalan Tuhan” dan jalan manusia yang paling penting dijembatani dalam khotbah-khotbah kita.

Gambaran mengenai jembatan ini terambil dari makna dasar dari kata Yunani yang biasa diterjemahkan dengan “tafsiran” : hermenuein. Hermenuein dalam bahas Yunani berarti “menyeberangkan”.  Sebuah batu perbatasan disebut herm,sehingga hermenuein berarti membawa sesuatu lewat perbatasan. Kalau perbatasan tersebut adalah bahasa, maka hermeneuein berarti  “menterjemahkan”. Menyeberangkan suatu makna lewat batasan-batasan bahasa. Demikian juga, dewa Yunani yang adalah pembawa berita kepada manusia diberi nama “Hermes” dan ia biasa digambarkan dengan sayap di kaki, supaya ia bisa menyeberang di antara surga dan bumi dengan cepat. Mungkin ada sedikit kemiripan dengan kiasan yang dipakai dalam bahasa Timor untuk seorang pembawa berita sebagai haif  “kaki”.

Dengan latar belakang ini, kita bisa mengerti peranan hermeneutic dalam pemberitaan Kristen, yaitu menyeberangkan makna asali dari konteks dan bahasa aslinya ke dalam konteks dan bahasa para pendengar, sehingga pendengar yang sekarang menangkap makna yangs sama seperti yang ditangkap oleh para pendengar asli. “makna” yang dimaksud di sini bukan sekedar arti sebuah kalimat, melainkan mencakup dampak dan penghayatan yang mendalam terhadap inti pemberitaan. Misalnya, kalau kita berkhotbah dari Yoh. 8 : 2-11 tentang perempuan yang berzinah, jemaat akan mendengar perkataan Yesus, “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi”. Dari segi bahasa, tidak ada yang sulit difahami di sini. Tapi apakah “para orang benar” dalam jemaat turut merasa malu atas semangat mereka untuk menghakimi orang? Dan apakah para “orang berdosa” dalam jemaat akan pulang dengan perasaan bahwa mereka baru luput dari hukuman maut, dan mereka diberi kesempatan hidup yang baru? Hanya kalau dampak dan penghayatan akan perkataan Yesus ini terasa juga oleh jemaat masa kini, maka dapat disebut bahwa pesan asli dari injil “diseberangkan” lewat jembatan yang dibangun oleh khotbah kita.

Jembatan yang baik bersifat dua arah

Tentu kalau ada jembatan satu arah maka semua kendaraan akan bertumpuk di seberang, dan tidak ada yang bisa kembali. Untuk memenuhi fungsinya sebagai penghubung, maka sebuah jembatan harus menampung lalu lintas dua arah. Namun pola pemberitaan kita justru cenderung untuk satu arah saja: dari dunia Alkitab menuju dunia jemaat. Pola ini tidak salah pada dirinya. Memang Firman Tuhan yang dikandung dalam Alkitab adalah norma dan sumber bagi pemberitaan kita. Namun seperti dengan jembatan satu arah, kalau kita hanya berangkat dari Alkitab menuju jemaat, justru kita pele jalan  dari jemaat menuju Alkitab.

Maksud kami begini: setiap jemaat mengalami pergumulan dalam hidupnya sehari-hari dan setiap masyarakat ada perkembangan-perkembangan yang menimbulkan kebingungan dan frustasi bagi warganya. Dan setiap saat boleh saja terjadi peristiwa-peristiwa yang menggoncangkan iman. Wajar saja kalau jemaat hadir di gereja dengan harapan bahwa masalah-masalah ini akan tersentuh dalam khotbah. Dan memang mereka berhak untuk mengharapkan hikmat dan bimbingan dari iman Kristen untuk pergumulan hidup mereka secara tepat waktu. Namun seringkali harapan itu dikecewakan. Dulu waktu Porkas masih merajalela, jemaat di sekitar Kupang banyak bertanya kalau orang Kristen boleh main Porkas masih merajalela, jemaat di sekitar Kupang banyak bertanya kalau orang Kristen boleh main Porkas, ataukah hal ini merupakan sejenis perjudian? Waktu itu saya membuat survei sepintas lalu di seputar kota Kupang, dan saya tidak dapat satupun pendeta yang melapor bahwa dia berkhotbah untuk memberi arahan pada jemaat tentang soal Porkas. Memang Porkas tidak ada dalam Alkitab, jadi kalau hanya berangkat dari Alkitab, kita tidak akan sampai pada soal Porkas secara alamiah. Atau waktu jemaat siap-siap ke TPS pada tanggal 20 September 2004 untuk memilih Presiden secara langsung utuk pertama kali sejak lahirnya Republik Indonesia, apakah pada tanggal 19 (hari minggu) mereka mendapat bimbingan dan hikmat dari mimbar tentang bagaimana memilih sebagai tindakan iman? Belum tentu. Dalam kemungkinan yang paling jelek, bisa saja jemaat mendapat pokok pemberitaan  yang justru berlawanan dengan kebutuhan mereka, seperti pada sebuah pesta pengucapan syukur hari ulang tahun yang pernah saya hadiri. Pendeta berkhotbah dari kitab Ratapan dengan alasan lagi musim sengsara menurut tahun gerejawi, dan Ratapan adalah bacaan bacaan yang telah dijadwalkan unruk minggu itu! Siapa yang tidak marah kalau kelahirannya seolah-olah diratapi oleh pendeta?

Menentukan pokok pemberitaan semata-mata berdasarkan sebuah daftar pembacaan untuk tahun gerejawi adalah sama seperti seorang dokter menentukan resep obat berdasarkan kalendar. Orang datang dengan infeksi di kaki, dan dokter melihat kalendar baru  memberikan klorokwin dengan alasan bahwa klorokwin adalah obat untuk minggu ini, dan jadwal untuk antibiotika baru bulan depan! Dokter seperti itu akan cepat kehilangan pasien, namun pendeta masih terus berani untuk menentukan pokok khotbah berdasarkan kalendar dan bukan berdasarkan pergumulan jemaat.

Dengan pertimbangan seperti ini, perlu ditegaskan bahwa jembatan khotbah adalah jembatan dua arah. Adalah sama sah kalau berangkat dari kebutuhan jemaat dan menuju Alkitab untuk mencari hikmat, atau berangkat dari perikop berdasarkan tahun gerejawi untuk diterapkan pada kehidupan jemaat. Ada saja saat dimana dalam tahun gerejawi di mana mau tidak mau kita akan bertolak dari bacaan-bacaan tertentu terutama menjelang hari-hari raya gerejawi. Tetapi pada kesempatan yang lain, maka jauh lebih menyentuh kebutuhan jemaat kalau kita bertolak dari realitas hidup mereka, baru mencari pertolongan dalam kesaksian Alkitab.

Sebuah jembatan harus sama kuat pada kedua kakinya

Kalau jembatan hanya kuat di kaki yang satu, tapi lapuk di kaki yang lain, tentu kita bisa jatuh di tengah. Demikian juga sebuah khotbah harus sama kuat di Alkitab dan Jemaat. Kalau kita rajin mempelajari dan menafsirkan  Alkitab, baiklah. Tapi kita harus sama rajin mempelajari  dan menafsirkan jemaat. Tafsiran Alkitab dan analisis sosial berjalan bersama dalam sebuah khotbah yang baik. Kalau tidak, kita bisa menafsirkan Alkitab dengan baik sekali tetapi tidak menyambung dengan suatu realitas jemaat. Khotbah kita menjadi semacam kuliah yang disampaikan sekedar “supaya tahu” atau sebaliknya, kita uraikan permasalahan yang dialami oleh jemaat atau masyarakat secara cerdas, tapi tidak ada pertolongan iman dari tradisi Kristen. Tapi kalau tafsiran Alkitab bertemu dengan tafsiran jemaat secara “pas” itu baru kita membangun sebuah jembatan yang kokoh.

 

Tentu tidaka ada buku tafsiran jemaat seperti ada buku tafsiran Alkitab. Tapi tidak berarti tidak ada pertolongan. Bagi para pendeta, justru sejumlah pelajaran menyangkut psikologi pastoral, sosiologi pedesaan, antropologi budaya, dsb. Termasuk dalam kurikulum teologi sebagai “ilmu tafsiran” jemaat. Dan bagi para penatua dan diaken, tentu mereka yang hidup dan besar di tengah-tengah jemaat cukup mengenal lingkungan hidup mereka sendiri, asal dilihat secara sadar dan kritis. Dan bagi semua pelayan, perkunjunagn pastoral dan pergaulan sehari-hari dengan jemaat adalah bahan baku bagi pemberitaan.

Bagi hampir setiap khotbah, membangun jembatan diantara Alkitab dan jemaat adalah langkah yang paling menentukan. Kadang-kadang itu saja cukup : jemaat yang merasakan kehadiran Firman TUhan bisa langsung menarik kesimpulan tanpa banyak penjelasan dari pengkhotbah : cukup dia mengantarkan mereka lewat jembatan yang dibangun oleh khotbah ke dalam suatu relasi dengan Firman yang hidup. Kalau jemaat dihadirkan pada suatu relasi dengan teks Alkitab, tinggal saja apa yang Yesus dan para nabi sebelumnya sering katakan : “Yang punya telinga, biarlah mereka mendengar; yang punya mata, biarlah mereka melihat”.

  1. KACA MATA

Khotbah itu seperti kaca mata yang membantu kita melihat diri kita dan lingkungan hidup kita dengan lebih terang

Kita butuh kacamata kalau mata kita sendiri kurang terang. Ini benar secara fisik, tapi benar juga secara rohani. Manusia kadang kala “mata gelap” menjadi buta oleh dosa, kepentingan, hawa nafsu, permusuhan dan sebagainya. Kalau kita bermusuhan dengan seseorang, kita hanya melihat kelemahan dan kekurangannya dan cenderug melihat kebaikan yang ada padanya hanya sebagai sebuah ancaman. Kalau kita punya kepentingan tertentu, kita hanya melihat hal-hal yang mendukung kepentingan kita, dan tidak mau mengakui pandangan yang bertentangan. Dan biarpun dalam keadaan yang terbaik, toh, pengetahuan dan pemahaman kita terbatas pada apa yang kita sempat alami dan pelajari dalam perjalanan  hidup kita. Orang yang pintar di kampung jadi bodoh kembali kalau dia pergi ke kota; sebaliknya orang pintar di kota juga menjadi bodoh di kampung. Pada akhirnya, kita semua terpaksa mengaku bersama Ayub, “tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal  yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak diketahui”. (Ayub 42:3)

 

Alkitab adalah kaca mata yang Allah sediakan bagi kita

Terhadap ketidaktahuan manusia ini, Tuhan Allah menyediakan kaca mata. Calvin menyebutnya Specula Scrpiptura : “Kaca Mata Alkitab”. Menurut Calvin kita harus melihat dunia ini melalui kaca mata Akitab baru kita melihatnya dengan jelas. Pandangan kita yang kabur oleh dosa menjadi terang kalau kita memasang pandangan Alkitab. Atau Alkitab bisa diumpamakan sebagai “buku pedoman” dari sang Pencipta untuk membimbing para penghuni dunia ini. Dia yang menciptakan bumi ini yang sanggup menerangkannya pada kita. Manusia yang melihat “dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar” (I Kor. 13: 12) dapat melihat dengan terang kalau dibantu oleh terang Firman Tuhan.

Dengan demikian, khotbah kita dapat mengenakan “kaca mata Alkitab” pada jemaat, supaya dengan bersama-sama kita diajak untuk melihat kehidupan kita sebagaimana Tuhan memandangnya.

Coba :

  • Memandang pada orang yang paling terhina dalam kampung anda; mungkin ia cacat fisik atau mental, mungkin dia keturunan budak dari zaman dahulu; mungkin dia hanya miskin melarat. Sekarang, memasang kaca mata Mazmur 8: “Siapakah manusia sehingga Engkau mengingatnya?” apa yang anda lihat sekarang?
  • Atau menghadiri sebuah pesta pernikahan, di mana para tokoh masyarakat duduk paling depan, dan makin ke belakang makin sederhana orangnya, sampai pada pemuda yang hanya berdiri di luar pagar dan ibu-ibu yang ada di dapur. Sekarang memasang kaca mata Yesus ketika Ia menghadiri pesta yang serupa (Lukas 14). Apa yang anda lihat sekarang?
  • Atau bacalah di surat kabar tentang pergulatan politik di DPRD, dan memasang kacamata Hakim-hakim 9 (Perumpamaan Yotham tentang pohon-pohon mau pilih raja). Apa yang anda lihat di situ?

Dalam semua contoh yang di atas, kita dibantu oleh pandangan Alkitab untuk melihat secara lebih luas dan mendalam terhadap hal-hal yang tersembunyi pada pandangan umum dalam masyarakat setempat.

Selain apa yang kita peroleh dari perikop-perikop tertentu, ada juga konsep Alkitabiah yang membantu penglihatan kita: hal-hal seperti dosa, iman, anugerah, karunia, pengampunan, Kerajaan Allah, Roh Kudus, Koinonia, Marturia, Diakonia, Oikonomia. Konsep-konsep ini bukan sekedar ajaran untuk diketahui dan diamini, melainkan alat bantu supaya beriman mendapat wawasan yang lebih mendalam tentang dirinya sendiri dans esama, tentang dunia ciptaan Allah, dan pada akhirnya tentang diri Allah sendiri. Seperti dikatakan oleh Agustinus, “Credo ut Intelligam” : “ Aku percaya supaya aku dapat mengerti”. Itulah keyakinan kita bahwa jemaat yang percaya oleh pemberitaan Firman akan juga lebih mengerti kehidupan yang serba kabur ini. Atau dalam perkataan Paul Ricoeur, “Alkitab merupakan sebuah perbendaharaan yang tidak dapat dihabisi, yang membangkitkan pemikiran kita tentang segala sesuatu, yang mengandung suatu tafsiran yang menyeluruh tentang seisi dunia”.

Entah dari perikop tertentu atau melalui khotbah tematis konsep-konsep teologis-Alkitabiah seperti  di atas, sebuah khotbah berperan sebagai kaca mata bagi jemaat. Kalau kita kenakan definisi teologi sebagai “Iman mencari pemahaman”, maka khotbah yang menjernihkan iman bagi jemaat adalah juga suatu upaya berteologi.

Kaca mata ada untuk melihat, bukan untuk dilihat

Gila kalau kita pegang kaca mata di tangan dan lihat-lihat dia punya gaya saja, tapi kalau tidak mau pakai unruk melihat, seringkali kita memeplajari Alkitab tanpa berpikir untuk apa; seolah-olah Alkitab sendiri adalah tujuan kita, dan bukan iman kepada Allah dalam Yesus Kristus. Kita sebut “Pelayan Firman Tuhan” seolah-olah yang dilayani adalah Alkitab itu sendiri dan bukan jemaat. Alkitab ada dalam keadaan baik-baik saja; ia tak, membutuhkan pelayanan dari kita. Yang membutuhkan pelayanan adalah jemaat, dan Tuhan Allah telah mengaruniakan Firman-Nya melalui Alkitab untuk melayani kebutuhan manusia. Alkitab ada untuk melayani manusia, bukan manusia melayani Alkitab. (Band. Perkataan Yesus tentang Sabat di Markus 2 : 27).

Mungkin karena pada awal masuknya Injil di NTT kebanyakan jemaat tidak memiliki Alkitab, dan kalaupun dimiliki kebanyakan masih buta huruf, maka tercipta suatu pola pemberitaan yang terfokus pada upaya untuk mengajarkan isi Alkitab pada jemaat. Hal ini baik dan wajar sebagai pengganti sekolah minggu dan katekisasi atau kelompok PA dalam keadan “darurat”. Tapi kalau pemberitaan kita terus-menerus hanya terfokus pada pengenalan isi Alkitab, maka kita menjadikan Iman Kristen sebagai sejumlah pelajaran saja. Kaca mata Alkitab dilihat baik-baik, tapi tidak dipakai unutk melihat. Sebenarnya masa kini jemaat sudah memiliki Alkitab dan dan sudah bisa membaca sendiri. Oleh karena itu, khotbah boleh beralih dari pengajaran dan pengembangan iman jemaat kepada Yesus Kristus di tengah-tengah kehidupan mereka sehari-hari.

 

  1. PEDANG

Sebuah khotbah dapat membantu kita untuk mengambil keputusan-keputusan yang tepat dalam terang kehendak Allah

Pedang yang dimaksud di sini bukan sebagai alat perang melainkan sebagai alat untuk memotong/memutuskan, di antara ini dan itu, di antara “Ya” atau “Tidak”, di antara “boleh” dan “tidak boleh”.

Yesus mengatakan, “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Mat. 10:34). Kita bisa melihat dari ayat-ayat yang menyusul bahwa yang dimaksud dengan “pedang” bukanlah kekerasan atau peperangan, melainkan sebuah krisis yang menuntut keputusan kita. (dalam hal ini, orang harus memutuskan di antara kesetiaan kepada Injil Yesus Kristus dan norma-norma yang berlaku dalam keluarga patriarkhal pada zaman itu). Berulang kali kehadiran dan ajaran Yesus menantang para pendengarnya untuk mengambil keputusan. Mau pancing ikan atau pancing pancing manusia? Mau masak di dapur atau mau dengar ajaran Yesus? Mau kaya atau selamat? Mau ikut orang tua atau ikut Yesus? Mau aman atau mau pikul salib?

Begitu besar peranan pengambilan keputusan dalam pelayanan Yesus, sampai pernah digambarkan sebagai Teologi Krisis,yang berfokus pada keputusan yang diforsir oleh kehadiran Yesus, bukan hanya pada manusia yang diperhadapkan dengannya pada zaman dulu, tapi termasuk dan terutama kita juga. (dalam bahasa Yunani, krisis berarti saat yang mendesak untuk mengambil keputusan).

Pemberitaan gaya KPI hampir semata-mata terfokus pada aspek ini, yaitu pengambilan keputusan untuk percaya pada Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi. Orang diminta untuk berdiri atau mau ke depan sebagai tanda seolah-olah mereka baru saja bertobat kekafiran. “Betapa indah harinya saat ku pilih penebus”, kita menyanyi. Tetapi setelah hari yang indah itu, besok bikin apa? Apa kita terus-menerus mengulang keputusan yang sama?  Atau, “saya mau iring Yesus, sampai selama-lamanya”. Baik. Tapi apakah kita pernah bertanya, Yesus mau kemana? Tentu kalau mau iring Yesus, kita harus tahu ke mana Yesus hendak pergi. Apakah Yesus hanya mau ke gereja, atau Yeus juga ke kebun, ke pasar, ke kantor, ke sekolah, ke DPR? Konsekwensi dari keputusan untuk ikut Yesus mengantar kita pada banyak keputusan susulan, dan ini yang harus diangkat dalam khotbah-khotbah kita.

Perlu diperhatikan bahwa Yesus tidak biasa “main perintah”, biarpun terhadap hal-hal yang sangat prinsipil. Waktu Yesus diminta untuk “putus perkara” di antara dua orang bersaudara, Yesus balik bertanya, “Siapa yang mengangkat saya sebagai hakim atas kamu?”  (Lukas 12:15) ketika sebuah kerumunan laki-laki minta pendapat Yesus kalau seorang perempuan yang ditangkap dalam perzinahan harus dihukum mati, Yesus tidak mengatakan “Jangan!” justru ia mengembalikan kepada mereka : “Biarlah dia yang bebas dosa melemparkan batu yang pertama” (Yoh : 8). Dan ketika orang bertanya mengenai kewajiban kita terhadap sesame, Yesus menjawab dengan sebuah cerita (orang Samaria yang murah hati, Lukas 10: 25-37), dan bertanya kembali “Siapa yang menjadi sesama?” Berulangkali, daripada memberi perintah atau pengajaran saja, Yesus mengembalikan keputusan dan mengangkat nilai-nilai yang selayaknya terwujud dalam keputusan-keputusan kita.

Dalam hal ini, ada sebuah patokan yang telah dipakai berabad-abad dalam trades Kristen, yang masih berlaku samapai sekarang: Sekiranya Yesus diperhadapkan dengan keadaan seperti yang kita hadapi sekarang ini, Yesus akan buat apa? Kalau sudah ada bayangan tentang bagaimana Yesus akan bertindak, maka kitapun terpanggil untuk berbuat demikian. Walaupun kita masih bisa salah terapkan pendekatan ini, paling sedikit Yesus telah meninggalkan sejumlah patokan yang sama sekali tidak sulit difahami oleh siapapun:

  • Saling mengasihi dan mengampuni
  • Hidup sederhana dan berbagi dengan sesama
  • Mengutamakan orang yang paling miskin dan susah
  • Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan
  • Bersandarlah pada anugerah Allah yang cukup bagi segala kebutuhanmu

Hal-hal ini tidak sulit dipahami, hanya saja kadang-kadang sulit sekali untuk kita laksanakan!

Bagaimanapun juga, salah satu fungsi khotbah adalah untuk memberi bimbingan etis dan arahan misiologis pada jemaat. Sebuah khotbah yang benar-benar mendarat pada kehidupan jemaat akan menjurus pada sejumlah tindakan yang bisa diambil oleh para pendengar, entah secara bersama-sama sebagai jemaat atau satu persatu sebagai orang beriman.

  1. ROTI

Khotbah adalah sumber kekuatan bagi jemaat; kalau namanya adalah pekabaran injil, maka ada kabar baik (euangggelion = injil = kabar baik) untuk jemaat membawa pulang sebagai bekal dalam perjalanan hidupnya.

Bagi Tuhan Yesus, Firman justru lebih bergizi dari roti (Lukas 4); bahkan ia mengatakan, Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6:35) Rasul Paulus sering mengkhiaskan pemberitaan sebagai makanan yang disajikan pada jemaat.  Sebuah khotbah adalah “roti” (atau nasi dan jagung) rohani yang meguatkan iman jemaat. Tidak perlu hidangan ini terlalu istimewa, dan bukan soal “enak”nya yang diperlukan, asal bergizi secara teologis dan pastoral.

Siapa, kalau anaknya minta roti akan memberikan batu kepadanya? (Mat. 7 : 9) Namun justru itu yang sering terjadi pada jemaat kita. Mereka datang ke gereja dengan harapan akan mendapat sesuatu untuk menguatkan iman mereka di hadapan berbagai pergumulan hidup yang mereka rasakan. Tetapi sebaliknya mereka mendapat caci maki dari mimbar tentang dosa-dosa mereka yang begitu banyak terutama “dosa” terhadap gereja dalam hal “tidak ada kesadaran memberi”, “malas mengikuti kebaktian”, dan sebagainya (Padahal justru merekalah yang hadir untuk dengar teguran tentang ketidakhadiran) Jemaat yang pada mulanya duduk tegak di bangku gereja makin lama makin soak; semangat turun perlahan mereka turun perlahan-lahan seperti ban kempes.

Kalau khotbah adalah sejenis pelayanan, maka ia akan melayani suatu kebutuhan yang terasa oleh jemaat. Mereka akan menerima pelayanan itu seperti orang yang lapar menerima makanan dengan rasa syukur dan dengan memperoleh kekuatan dan semangat baru. Seharusnya jemaat pulag dari ibadat dangan perasaan seperti itu: syukur bahwa mereka menghadiri ibadat, dan bersemangat untuk pulang membawa berkat yang mereka terima dari pemberitaan Firman Tuhan.

Memang sudah lama dalam tradisi gereja khotbah dilihat sebagai sejenis pelayanan pastoral: Agustinus mengutamakan kasih (caritas) sebagai motivasi utama dalam penyampaian khotbah: baik bahwa pengkhotbah memberitakan kasih Allah kepada manusia, maupun bahwa pengkhotbah sendiri berbicara atas dasar kasihnya terhadapa jemaat. Greghorius Agung pada tahun 591 menulis sebuah buku pedoman pastoral yang mengandung nasehat tentang bagaimana pemberitaan harus disesuaikan dengan keadaan jemaat yang sangat beraneka ragam: tua/muda, kaya/miskin, nikah/belum nikah, berdukacita/bersukacita, pintar/bodoh, berani/takut, sehat/sakit, rendah hati/tinggi hati, dan sebagainya. Pada zaman modern, Harry E. Fosdick menajukan pendirian bahwa khotbah tidak lain daripada bimbingan pastoral secara kelompok.

Dampak dari perhatian pada masalah pastoral dalam sebuah khotbah tidak sulit dipahami. Kalau orang menyimpan masalah dalam hati, dan masalah itu tidak pernah disinggung dari mimbar, ia cenderung menganggap, “saya saja yang aneh-aneh dan tidak waras”. Tapi kalau masalahnya diangkat dalam khotbah sebagai sesuatu yang wajar saja digumuli oleh manusia, maka dengan itu saja orang sudah terhibur: “ternyata saya tidak gila. Orang lain juga punya pergumulan seperti saya”. Apalagi kalau dia memperoleh hikmat dari Firman Tuhan untuk menghadapi pergumulan tersebut.

Pada dasarnya ada hubungan timbal balik di antara pelayanan/percakapan pastoral secara perorangan dan pemberitaan dari mimbar. Pastoral memberi wawasan dan “kedalaman” pada pelayanan tentang pergumulan jemaat; pemberitaan yang berciri pastoral mengajak jemaat untuk membuka hatinya pada pelayanan dalam percakapan pribadi.

Ada juga satu aspek lagi dari “roti” yangm kita sajikan dalam khotbah yang tidak kalah penting. Roti ini “dimakan” bersama-sama dalam suatu persekutuan. Malah sejak dahulu kala makan bersama dalam pesta dan berbagai macam perayaan adalah salah satu wujud persekutuan yang utama. Demikian juga dnegan khotbah: sebagai suatu pengalaman bersama dalam jemaat, khotbah menciptakan dan memelihara persekutuan. Bahasa, nilai-nilai, gagasan-gagasan yang disampaikan dalam khotbah  menjadi milik jemaat bersama yang semakin mengikat mereka satu pada yang lain.

Dan juga seperti sebuah pesta, sebuah khotbah merupakan wadah perayaan atas perbuatan Allah terhadap kita; wadah untuk memuji dan mensyukuri kasih Allah secara bersama-sama. Kalau anugerah Allah dan kabar baik dalam Yesus Kristus adalah sesuatu yang menggembirakan, wajar saja kalau kegembiraan itu dicerminkan juga dalam khotbah yang kita sampaikan. Senyumlah sewaktu-waktu, kalau anda membagi-bagikan roti yang hidup pada jemaat.

 

PENUTUP

Jembatan, kaca mata, pedang, roti. Empat kata yangs sederhana untuk menggambarkan sebuah tugas yang sangat menuntut seluruh jiwa raga kita kalau kita mau dilaksanakan dengan baik.  Tinggal kita melihat apa hubungannya di antara keempat kata ini. Apakah ternyata empat kata ini adalah juga  empat langkah ynag bisa ditempuh secara berurutan: kita melanggar jembatan, pasang kaca mata untuk melihat-lihat, baru angkat pedang untuk iris roti dan makan. Sebenarnya maksud kami bukan begitu, walaupun ada sedikit urutan prioritas. Jelaslah bahwa aspek jembatan diberi prioritas. Kalau tidak ada  titik sambung di antara jemaat masa kini dan Alkitab, maka tidak mungkin khotbah kita akan menghasilkan apa-apa bagi jemaat. Tidak bisa terjadi bahwa pada saat tertentu aspek roti yang diutamakan, misalnya pada kebaktian penghiburan keluaraga yang berduka. Tentu aspek pedang ada karena banyak keputusan harus diambil juga setelah orang mati dan meninggalkan banyak urusan yang harus diselesaikan, tapi jelas bahwa pelayanan pastoral adalah tugas utama dari khotbah kita pada saat seperti itu. Pada saat yang lain, justru pedang yang diangkat, kalau jemaat berhadapan dengan sebuah keputusan yang penting: mau mekar, mau membangun gedung yang baru, mau memberi sumbangan kepada korban bencana, dan sebagainya. Dan kalau ada isu teologis yang menghebohkan jemaat seperti baptisan ulang misalnya, tentu kita akan pasang kaca mata sebagai langkah utama.

Dapat dikatakan bahwa hubungan di antara Jembatan dan Kaca mata agak mirip dengan hubungan di antara tafsiran (hermeneutik) dan ajaran. Demikian juga, pedang dan roti berhubungan seperti hokum dan injil dalam pemikiran Luther dan Calvin. Pada umumnya, setiap khotbah aka nada sentuhan dari keempat unsur ini, walaupun dalam campuran yang berbeda-beda bergantung pada situasi.

Usul kami yang praktis adalah supaya anda terus menyusun khotbah atau renungan sebagaimana biasa (asal ingat untuk memperhatian kebutuhan jemaat dan bukan hanya jadwal pembacaan).

Usul kami yang praktis adalah supaya anda terus menyusun khotbah dan renungan sebagaimana biasa (asal ingat untuk memperhatikan kebutuhan jemaat dan bukan hanya jadwal pembacaan) dan kemudian bertanya pada khotbahmu sendiri:

  • Apakah ada jembatan yang cukup kuat untk menghubungkan dunia jemaat masa kini dengan dunia Alkitab atau tetap pada jurang
  • Apakah anda telah siap memasang kaca mata Alkitab untuk melihat pergumulan jemaat dengan lebih terang, atau anda hanya menghabiskan waktu dengan memeriksa kaca mata itu sendiri?
  • Apakah anda telah mengasah sebuah pedang dan menyerahkannya pada jemaat untuk membantu mereka mengambil keputusan-keputusan iman, ataukah anda sendiri yang “memotong” mereka?
  • Jemaat akan membawa pulang apa yag bergizi sebagai bekal dalam perjalanan hidup mereka?

Yang terakhir, Biarlah Allah melengkapi perkataan kita yang terpatah-patah menjadi berkat bagi jemaat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *