(Pdt. Dr. John Campbell-Nelson)
Kupang, www.sinodegmit.or.id.ÂPendeta mana yang tidak mengingat pertama kali dia membaptis anak? Rasanya air yang mengalir dari tangan kita, rambut yang begitu halus di kepalanya bayi yang manis, mata orang tua yang tertuju ke kita dengan penuh harapan dan kepercayaan? Atau siapa yang tidak mengingat pertama kali kita memakamkan orang mati, disertai ratapan dan himne-himne dari “Dua Sahabat Lama”? Kita pasti menghayati kepercayaan yang begitu besar yang diberikan pada kita oleh jemaat untuk mengantar mereka pada hadirat Tuhan dalam saat-saat yang paling penting dalam kehidupan mereka.
Tapi tahun ganti tahun dan jemaat ganti jemaat, dan kita sedang membaptis anak yang ke-679, memakamkan orang mati yang ke-703, memberkati pasangan nikah yang ke 430, dan melayani kebaktian pengucapan syukur yang ke-1250. Apakah kita menghayati setiap pelayanan itu seperti yang pertama? Ataukah semuanya mulai melebur dalam kabut “pelayanan rutin”?
Masalahnya bahwa apa yang sudah menjadi rutin bagi kita tetaplah peristiwa yang sangat istimewa bagi jemaat yang mengalaminya. Seorang anak hanya dibaptis satu kali seumur hidup, bukan 679 kali. Pasangan nikah mengikat janji di depan kita yang akan mengarahkan kehidupan mereka sampai hari tua. Sangat disayangkan kalau pendeta memperlakukan mereka secara rutin saja.
Bahaya yang serupa melanda pemberitaan kita. Setelah sekian kali berkhotbah pada pendengar yang sama, akhirnya kita merasa kehabisan bahan bicara. Namun tidak mungkin kita naik mimbar dan mengumumkan pada jemaat, “Hari ini tidak ada pesan.” Tantangan bagi pendeta dalam hal ini adalah apakah dia bisa memperbaharui diri untuk menghayati setiap pelayanan seperti yang pertama? Ataukah apakah dia bisa mengulangi pelayanan bukan hanya dengan rumus-rumus bahasa yang sama, tapi dengan jiwa dan roh yang semakin mendalami makna pelayanannya?
Ada dua hal yang mungkin dapat menolong. Yang pertama, kalau pendeta tidak terfokus hanya pada ritus yang dia sedang pimpin, tapi pada manusia yang dia layani– manusia yang unik, dengan riwayat hidup, masa depan, dan kebutuhan-kebutuhan yang unik juga. Fokus pada relasi yang kita bangun dengan jemaat yang dilayani akan sangat menolong untuk menyingkirkan wabah rutinitas. Yang kedua adalah kalau pendeta sendiri tidak rela hidup dalam kemapanan kependetaannya, tapi terus bertumbuh dan berkembang dalam iman dan hikmat pelayanan. Pendeta yang berorientasi pada pertumbuhan iman akan terus diperbarui oleh pertumbuhan itu. Sebaliknya, berhenti bertumbuh sama dengan mati.
Gereja dapat mendukung pertumbuhan itu kalau dalam penempatan pendeta-pendeta tidak hanya dikocok seperti kartu dan diutus untuk membawa rutinitas ke jemaat yang baru. Selayaknya kesempatan pengembangan diri menjadi pertimbangan yang penting dalam mutasi. Selain itu, kesempatan untuk mengembangkan spesialisasi sesuai bakat dan minat, kesempatan belajar secara berkala, semua akan membantu supaya pendeta tidak perlahan-lahan menjadi fotokopi dari dirinya sendiri, yang semakin pucat setiap kali tombol rutinitas ditekan.
Semua upaya tersebut barulah pada upaya mencegah kemunduran. belum lagi tantangan yang lebih besar, bahwa peran pendeta tidak statis. Masyarakat berubah, pemahaman diri gereja berubah, dan pada akhirnya peranan pendeta juda harus berubah. Salah satu semboyan Protestan adalah “Ekklesia semper reformanda.” Ada juga implikasinya bagi para pendeta “Ministerium semper reformanda.”