A. Pengantar
Bulan Juli ditetapkan oleh Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sebagai Bulan Pendidikan. Sepanjang bulan ini, GMIT bermaksud membangun pemahaman dan aksi iman bersama terkait pendidikan. Hal ini memberi inspirasi bagi penulis, untuk mengajukan pertanyaan: Apakah iman bertentangan dengan ilmu pengetahuan? Dari pertanyaan ini muncul dua macam pandangan yang berbeda. Ada yang memandang bahwa orang Kristen harus menekankan iman sebagai satu-satunya pokok yang harus menjadi landasan dalam kehidupan, sehingga tidak menekankan ilmu pengetahuan. Namun, di lain pihak, ada yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya standar segala sesuatu.
Kedua pandangan di atas, telah membawa kekristenan ke dalam dua model, yaitu pertama,tidak perlu memakai ilmu pengetahuan; tetapi beriman saja, terima semuanya dengan iman. Kedua,ilmu pengetahuan adalah standar dalam meletakkan kebenaran, sehingga tidak perlu menekankan iman. Jika demikian, maka seorang Kristen yang beriman apakah ia harus ”membuang” ilmu pengetahuannya? Bagaimanakah kita mengerti dan mengharmonisasikan kedua aspek ini, yang manakah yang didahulukan iman atau ilmu pengetahuan? Karena itu, dalam tulisan ini, kami berusaha mengharmonisasikan kedua topik tersebut.
B. Sejarah Singkat Pemisahan Iman dan Ilmu Pengetahuan
Kalau melihat sejarah, kontroversi mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dan iman sebenarnya merupakan suatu gejala yang baru muncul dalam zaman modern. Pada zaman Yunani kuno, pada abad pertengahan orang masih menyadari dan mengakui perlunya suatu penjelasan yang melibatkan dimensi teologis (iman) dalam mengerti alam semesta ini.[1] Bahkan pada tahap awal zaman modern pemisahan antara ilmu pengetahuan dan iman masih belum terjadi. Ilmuwan-ilmuwan waktu itu, seperti Galileo masih menandaskan bahwa penjelasan ilmiah dan penjelasan iman merupakan dua penjelasan yang saling melengkapi.[2] Namun dalam perkembangan kemudian, lahirlah paham materialisme ilmiah. Paham tersebut bermaksud menerangkan alam semesta berdasarkan mekanisme unsur-unsurnya yang bersifat material. Sekali hukum-hukumnya diketahui, maka semuanya bisa diterangkan secara pasti berdasarkan prinsip tersebut.[3]
Munculnya materialisme ilmiah ditunjang oleh lahirnya filsafat positivisme, yang menganggap penjelasan mistis, keagamaan dan metafisis sebagai penjelasan masa lalu yang kini sudah diatasi oleh penjelasan berdasarkan ilmu-ilmu positif. Positivisme melahirkan saintisme yang menganggap ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya pengetahuan yang objektif, benar dan rasional.[4] Para penganut paham saintisme berpendapat bahwa berbeda dengan ilmu pengetahuan, pernyataan-pernyataan iman bersifat subjektif, kabur, tidak pasti, saling bertentangan, dan bersifat irrasional.[5]
C. Ilmu pengetahuan dan Perkembangannya
Ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah hasil sistematisasi pengamatan dan penelitian manusia tentang apa yang terjadi di alam ini. Ilmu pengetahuan berusaha untuk memahami apa yang terjadi melalui hipotesa, pengamatan dan pembuktian, sehingga secara sistematis dan universal dapat diterima dan diberlakukan oleh siapa saja. Ilustrasi sederhana adalah pemahaman gaya gravitasi. Rumusan hukum gravitasi timbul dari pengamatan bahwa benda yang sama, ataupun berbeda, semuanya jatuh ke bawah, mungkin dengan kecepatan berbeda. Pemahaman gravitasi itu menjadi penting dalam penerbangan dan lain-lain.[6]
Jadi, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan berusaha ”memahami dan merumuskan apa yang terjadi” dan bukan ”mengapa terjadi”. Kalau ada yang mulai bertanya ”mengapa terjadi”, maka dapat saja dia keluar dari arena ilmu pengetahuan ke arena ”pemikiran falsafah dan pandangan-pandangan yang berdimensi lain”.[7] Namun di lain sisi, berbagai ilmu pengetahuan yang dikembangkan seperti ilmu kimia, ilmu alam, dan ilmu matematika memungkinkan manusia mengembangkan teknologi pesawat terbang yang telah dinikmati manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan terus terjadi secara pesat. Ke depan ilmu pengetahuan akan terus ”melaju” dan membawa dampak besar bagi kehidupan manusia, misalnya ilmu pengetahuan yang terkait dengan kedokteran, baik yang menyangkut teknik kloning, maupun alat-alat ”pembantu” untuk membuat pompa jantung buatan.[8] Banyak lagi ilmu pengetahuan yang akan semakin berkembang, dan akan membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia.
D. Iman dan pergumulan Kristiani
Istilah iman berasal dari bahasa Yunani, pistis(kata benda), yang berarti kepercayaan, keyakinan dan kata pisteou(kata kerja), yang artinya percaya, menyakini, mengimani.[9] Karena itu, pada umumnya iman dipahami sebagai ”percaya”, menerima dengan sepenuh hati apa yang diyakini sebagai kebenaran. Dalam perspektif kristiani iman menurut Kitab Ibrani adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1). Iman sangat terkait dengan percaya kepada Allah, dan mengakui kemahakuasaan Allah. Iman Kristiani percaya bahwa Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga diciptakan jalan keselamatan bagi siapa saja yang percaya (Yoh. 3:16,17).Jadi,aspek iman adalah aspek yang menyangkut hubungan vertikal, yaitu Allah dengan manusia atau relasi antara pencipta dan yang dicipta.[10]
Adanya jalan keselamatan dari Allah sendiri, tidak lantas menghapuskan berbagai pergumulan umat Kristen di abad ke-21. Dalam suasana perkembangan ilmu pengetahuan, maka salah satu pergumulan yang sangat mendasar adalah apakah ilmu pengetahuan mendekatkan manusia pada Allah atau sebaliknya? Cukup banyak orang yang oleh karena kemajuan ilmu pengetahuan, mulai menyangsikan adanya Allah. Mereka mempertanyakan adanya Allah karena tidak bisa dibuktikan keberadaannya, tidak bisa dilihat dengan pancaindera. Tetapi di lain pihak, banyak yang mempertanyakan kemampuan ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia. Memang benar, ilmu pengetahuan sudah membuat manusia kaya, hebat, terkenal; namun dalam situasi yang kaya, terkenal, ada yang dikuasai narkoba. Kemajuan ilmu pengetahuan juga telah menghadirkan pergumulan-pergumulan mendasar yang terkait dengan kemanusiaan, seperti sejauh mana kloning manusia dapat diterima. Lalu bagaimanakah kita mengerti dan mengharmonisasikan iman dan ilmu pengetahuan?
E. Duet Iman dan Ilmu Pengetahuan
Merupakan suatu kesulitan pada saat iman dan ilmu pengetahuan disatukan, tetapi hal ini merupakan suatu tanggung jawab kekristenan. Tujuannya supaya iman tidak rontok oleh perkembangan ilmu pengetahuan, demikian juga kaum intelektual Kristen akan dapat memposisikan ilmu pengetahuan dalam perspektif iman Kristen. Untuk proses itulah, sekiranya kita menyetujui upaya mengharmonisasikan (baca: mengsinkronisasi) iman dan ilmu pengetahuan.
Kita perlu sadari bahwa iman dan ilmu pengetahuan adalah aspek yang tidak bertentangan. Karena iman adalah suatu keyakinan atau kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh rasio (irrasional), dan ilmu pengetahuan adalah salah satu tugas manusia yang diberikan oleh Allah untuk meneliti, menganalisa segala sesuatu yang bisa dilogikakan.[11] Jadi jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya bisa menguraikan, menganalisis, membuktikan hal-hal yang bersifat materi, yaitu segala sesuatu yang bisa dilogikakan. Sedangkan aspek iman adalah aspek yang menyangkut hal-hal yang tidak mungkin diuraikan oleh akal manusia, hal-hal yang bersifat penyataan (wahyu) dari Allah, dan tentang Allah itu sendiri. Disinilah nyata bahwa iman dan ilmu pengetahuan saling melengkapi dan memperkaya.
Dalam hubungan dengan ini, maka kita perlu catat relevansi/sumbangsih perkembangan ilmu pengetahuan bagi teologi/iman, yaituberkaitan dengan teologi dogmatik, yang menyangkut pokok penciptaan, keabadian dan kekuasaan Allah akan mendapat ”terang baru” dalam pertemuan dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan alam tentang asal-usul alam semesta, pemahaman tentang waktu, ruang dan materi. Dalam berteologi suatu pandangan dunia tertentu tidak bisa tidak terlibat. Pandangan dunia kita akan sangat dipengaruhi oleh kosmologi yang melatarbelakanginya. Berhadapan dengan kenyataan bahwa manusia yang menjadi sasaran pemberitaan Injil adalah manusia yang pandangan dunianya dibentuk oleh perkembangan pemahaman dalam ilmu pengetahuan, kiranya pemberitaan kita akan bisa lebih menjawab kebutuhan mereka untuk mengerti kalau dunia ilmu pengetahuan yang membentuk pandangan dunia mereka juga kita ketahui.[12]
Namun kita harus sadar bahwa ilmu pengetahuan belum mampu dan tidak pernah secara sempurna akan dapat menyelesaikan persoalan kemanusiaan. Ilmu pengetahuan memang terbatas pada apa yang sesungguhnya adalah ciptaan Allah, ia tidak akan mampu menjawab pertanyaan dan pergumulan yang memang berada di luar arena ilmu pengetahuan. Sebab itu, kemajuan ilmu pengetahuan harus kita pahami dalam perspektif yang benar, dalam keutuhan manusia dan keutuhan ciptaan Allah. Ilmu pengetahuan seharusnya kita pahami dan terima sebagai karunia Allah untuk diabdikan bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan bagi kemuliaan Allah. Ilmu pengetahuan harus kita kembangkan dan manfaatkan dalam kerangka ibadah yang utuh dan kudus pada Allah (bnd. Rm. 12:1-2).Penemuan ilmu pengetahuan harus kita persembahkan sebagai ibadah bagi kemuliaan Allah dan dimanfaatkan dalam rangka saling melayani oleh kasih (Gal. 5:13).[13]Upaya pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan harus kita lakukan dengan segenap hati sebagai karya kita, sebagai kawan sekerja Allah, untuk memahami ciptaan Allah dan memakainya bagi kesejahteraan manusia dan kemuliaan Allah.
F. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapatlah dibuat kesimpulan sebagai berikut: Pertama,kontroversi mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dan iman sebenarnya merupakan suatu gejala yang baru muncul dalam zaman modern, yang ditandai dengan lahirnya paham materialisme ilmiah.
Kedua,ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah hasil sistematisasi pengamatan dan penelitian manusia tentang apa yang terjadi di alam ini. Ilmu pengetahuan berusaha untuk memahami apa yang terjadi melalui hipotesa, pengamatan dan pembuktian, sehingga secara sistematis dan universal dapat diterima dan diberlakukan oleh siapa saja.
Ketiga,iman dipahami sebagai ”percaya”, menerima dengan sepenuh hati apa yang diyakini sebagai kebenaran. Dalam perspektif kristiani iman menurut Kitab Ibrani adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1). Iman sangat terkait dengan percaya kepada Allah, dan mengakui kemahakuasaan Allah.
Keempat,iman dan ilmu pengetahuan adalah aspek yang tidak bertentangan. Iman dan ilmu pengetahuan saling melengkapi dan memperkaya.
G. Kepustakaan
Jongeneel, J.A.B., Misteri Kepercayaan dan Ilmu Pengetahuan,Jakarta: BPK-
Gunung Mulia, 2000.
Mulder, D.C., Iman dan Ilmu Pengetahuan,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1989.
Newman, Barclay M., Kamus Yunani-Indonesia,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1999.
Parapak, Jonathan, Pembelajar dan Pelayan di Sekitar Iman, Teknologi, Pendidikan
dan Pelayanan Gerejawi,Jakarta: Mahardika, 2002.
Suanglangi, Hermanto, ”Iman Kristen dan Akal Budi”, dalam Jurnal Teologi dan
Studi Pastoral,Jurnal STT Jaffray Makassar, Vol. 2, No. 2, Desember 2004.
Sudarminta, J., “Perkembangan IPTEK dan Pewartaan Baru”, dalam J.B.
Banawiratma dkk (ed.), Zaman Teknologi Menantang Pewartaan Iman,
Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Wilkes, Keith, Agama dan Ilmu Pengetahuan,Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
[1] D.C. Mulder, Iman dan Ilmu Pengetahuan,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1989, hlm. 5.
[2] J. Sudarminta, “Perkembangan IPTEK dan Pewartaan Baru”, dalam J.B. Banawiratma dkk (ed.), Zaman Teknologi Menantang Pewartaan Iman,Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 18.
[3] Keith Wilkes, Agama dan Ilmu Pengetahuan,Jakarta: Sinar Harapan, 1982, hlm. 25.
[4] D.C. Mulder, op.cit.,hlm. 6-7.
[5] J. Sudarminta, op.cit.,hlm. 19.
[6] Jonathan Parapak, Pembelajar dan Pelayan di Sekitar Iman, Teknologi, Pendidikan dan Pelayanan Gerejawi,Jakarta: Mahardika, 2002, hlm. 58. Lihat juga D.C. Mulder, op.cit.,hlm. 23-24.
[7] Keith Wilkes, op.cit.,hlm. 135.
[8] Jonathan Parapak, op.cit.,hlm. 59.
[9] Barclay M. Newman, Kamus Yunani-Indonesia,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1999, hlm. 54.
[10] Jonathan Parapak, op.cit.,hlm. 47. Lihat juga Hermanto Suanglangi, ”Iman Kristen dan Akal Budi”, dalam Jurnal Teologi dan Studi Pastoral,Jurnal STT Jaffray Makassar, Vol. 2, No. 2, Desember 2004, hlm. 44-45.
[11] Bnd. J.A.B. Jongeneel, Misteri Kepercayaan dan Ilmu Pengetahuan,Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000, hlm. 38-39. Lihat juga Hermanto Suanglangi, op.cit.,hlm. 50.
[12] J. Sudarminta, op.cit.,hlm. 21.
[13] Hermanto Suanglangi, op.cit.,hlm. 51.