Kepemimpinan Pastoral Dalam Gereja

Pdt. Emr. Mesak Jackobus Karmany, S.Th.

Menurut para peneliti pertumbuhan gereja ada 8 kriteria kualitas bagi pertumbuhan: Kepemimpinan yang melakukan pemberdayaan, Pelayanan yang berorientasi pada karunia, Kerohanian yang haus dan antusiasme, Struktur pelayanan yang tepat guna, Ibadah yang membangkitkan inspirasi, Kelompok kecil yang memjawab kebutuhan menyeluruh, Penginjilan yang berorientasi pada kebutuhan dan Hubungan yang penuh kasih.

Terinspirasi dengan  hasil penelitian di atas, saya tertarik untuk menjelaskan hanya kriteria pertama dalam konteks dan konteks bergereja (baca: GMIT). Dengan berbekal  pengalaman memimpin dalam  gereja semata, maka dengan acak  saya share tajuk Kepemimpinan Pastoral Dalam Gereja, Sebuah Share Pengalaman Memimpin Jemaat.

KEPEMIMPINAN PASTORAL

Boleh juga disebut perihal memimpin dari seorang gembala, merupakan  seni tata cara atau kemampuan/ kesanggupan yang diberikan Allah kepada seseorang atau kelompok (majelis), untuk membimbing, megarahkan dan menggerakkan seseorang atau kelompok, lembaga/organisasi,  sesuai dengan rancangan dan tujuan Allah yakni menjadi berkat bagi dunia dan lingkungan dengan meneladan kepada gembala Agung, Yesus Kristus.

Terkaitpaut dengan kepemimpinan pastoral dalam gereja, saya ingin menyegarkan kembali ingatan kita tentang gereja. Gereja dipahami sebagai : organisasi  (kelompok, komunitas, persekutuan) dan organisme (anggota gereja).

 

  1. Sebagai Organisasi,

Sehari-hari  kita  berujar  : Persekutuan orang percaya, milik Allah, dengan 1 Pet 2:9 sebagai asal mula atau sumber keberadaan gereja  yang berdasar pada perbuatan-perbuatan Allah dalam Yesus Kristus. Dalam Yesus Kristuslah pemerintahan Allah dengan Kasih, Kebenaran, Keadilan dan Damai Sejahtera sudah menyata. Untuk  pemerintahan Allah  itulah Allah memanggil  jemaat-Nya. Panggilan Allah itu mengandung 4 makna penting bagi  panggilan kita sebagai gereja : a. keluar dari…. (Ef 1 ;1 Pet 2:9 : Ibrani 13:12-14); b. bersekutu dengan diriNya.di dalam Kristus (I Kor 1:9 ; I Yoh 1:3); c. mengikut Dia (band. Kidung Jemaat 375); dan d. menerima tugas pengutusan/ amanat  pengutusan/menjadi duta atau saksi. Dalam hubungan itulah gereja terpanggil untuk merumuskan visi (daya lihat, daya untuk menangkap dan memahami yang nampak oleh daya khayal) dan misinya  (kegiatan menyebarkan Injil dan membangun jemaat setempat yang dilakukan atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Yesus Kristus), sebagai  motor penggerak dalam perjalanan gereja. Visi gereja yang baik dan benar akan menghasilkan misi yang bermanfaat bagi anggota gereja (organisme) dan sebaliknya.

  1. Sebagai Organisme

Anggota gereja adalah Potensi Organisasi  gereja. Potensi gereja adalah umat percaya yang meliputi segenap anggota gereja secara pribadi, maupun dalam dimensi kategorial,fungsional dan profesional. Hal  itu terlihat dalam gelar-gelar terhormat  seperti : bangsa yang terpilih, umat yang rajawi, garam dan terang dunia, anak-anak Allah, orang-orang kudus kepunyaan Allah sendiri dst ( 1 Pet.2:9; Mat.5:13-16; Ep.4 :12; 1 Yoh 3:1ff ). Potensi terdepan adalah anggota gereja.

Para rasul itu merupakan lingkaran orang-orang yang diangkat oleh Allah untuk menjadi landasan kepemimpinan gereja (Ef. 2:20; Why 21:14), dan menjadi “sarana” wahyu ilahi (Ef. 3:5). Alkitab mengakui bahwa Roh Kudus yang menghimpun umat-Nya dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa ke dalam suatu persekutuan yaitu Gereja, dengan Yesus Kristus adalah Tuhan dan Kepala gereja (Ef. 4:1,3,16; Why. 7:9). Roh Kudus yang telah memberi kuasa kepada gereja dan mengutusnya ke dalam dunia untuk menjadi saksi, memberitakan Injil kerajaan Allah kepada segala makhluk di semua tempat dan di sepanjang masa (Kis. 1:8; Mrk. 16:15; Mat. 28:20).  Allah menuntut agar gereja melayani dan menyerahkan hidupnya kepada tugas itu. Sebab Allah menghendaki semua orang diselamatkan (1 Tim. 2:4).

GMIT merumuskan tugas pengutusan itu, dalam Panca pelayanan Gereja yaitu : (1) Koinonia (persekutuan). Koinonia merupakan suatu persekutuan kasih Kristus, dimana anggota-anggota saling membantu dalam penderitaan (1 Kor. 12:16), saling dihubungkan dengan persekutuan Roh (Rm. 2:1), saling menolong dimana yang kuat menolong yang lemah (Rm. 15:1), bersama-sama mengerti akan kasih Kristus (Ef. 2:1), bersama-sama mengasihi orang yang miskin (Yak. 2:5); (2) Marturia( kesaksian –Mrk. 14:59). Ini merupakan suatu amanat  yang  dilaksanakan oleh anggota gereja baik secara pribadi maupun sebagai persekutuan orang-orang percaya yang  diselamatkan oleh Yesus Kristus dalam kata dan akta hidupnya. (3)Diakonia  (pelayanan kasih).Diakonia itu berdasar pada kasih Allah dan karya penyelamatan Allah. Karya keselamatan itu berupa seluruh kehidupan manusia, baik rohani maupun jasmani. Karena itu ia tidak dapat disampaikan hanya dengan perkataan saja tapi juga dengan perbuatan. Diakonia bukan merupakan suatu pekerjaan awal atau philantropi. Ia juga disebut pelayan kasih, pelayanan kasih Allah yaitu kasih dalam Yesus Kristus yang tidak mengenal batas; (4)  Liturgia =beribadah yang berkaitpaut dengan penyembahan kepada Tuhan.  Spiritualitas merupakan prioritas utama. Spiritualitas yang dimasudkan bukanlah verbalisme – ritual atau seremonial melainkan cara paham, cara berhubungan dan cara bertindak terhadap segala sesuatu, sebagaitangung jawab kepada pangilan Tuhan. dan (5) Oikonomia= penatalayanan.Di sini pengelolaan segala sumberdaya (SD) baik Sumberdaya Organisasi-Administrasi; Sumberdaya Insani dan Sumberdaya Dana/ekonomi, Sumberdaya budaya dan lingkungan hidup dinafasi spiritual pengelolaan sebagai tanda syukurnya.

Modal spiritualitas ini terus menerus dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai sebab setiap anggota gereja pastilah  memiliki potensi yang diperlukan untuk bekerja sama bermutu. Dengan demikian kemandirian, insiatif, kreatifitas dan disiplinnya benar – benar diwujudkan dan berbentuk karya – karya pengabdian yang bermutu pula. Untuk  ini pembinaan ethos kerja dan peningkatan ilmu dan teknologi sangat penting untuk diperhatikan di dalam kurikulum pembinaan setiap organisasi.  Manakala pancapelayanan ini diwujudkan secara seimbang kait mengkait maka  Gereja itu tidak statis, tapi dinamis : bertumbuh  ke arah  Yesus Kristus (Ef 4:15) dan  keluar kepada masyarakat/dunia  dalam akta dan kata.

 

Kepemimpinan Pastoral Dalam Paduan Manajemen

Pengaruh  manajemen modern bagi kepemimpinan sering menimbulkan ketegangan dalam gereja.  Karena itu kita perlu  memperhatikan beberapa segi kepemimpinan pastoral dalam  gereja dalam mengejar pelayanan yang sempurna.Untuk ini beberapa aspek sebagai pedoman perlu diketengahkan:

  1. Cukup baik, belum baik.

Alkitab hanya mengenal satu istilah : sempurna. ( Mat. 5:48:hendaklah  kamu sepurna,sama seperti Bapamu di sorga adalah sempurna). PL bersaksi, tentang Tabut Allah( kel. 25,37), dan Bait Allah (2 Taw. 3,4) sungguh menekankan tentang kesempurnaan itu. Baik material,pekerja dan tukang (arsitek)nya haruslah  seorang pakar di bidangnya. Huram Abi,arsiteknya ( 2 Taw. 4:11,16). Di kemudian hari tuntutan ‘sempurna ‘ itu juga menjadi tuntutan untuk para raja, nabi,pemimpin apa saja. Dalam tuntutan itu tidak ada mental ‘cukup baik’, dari segi spiritual, material, maupun teknis pelaksanaan.  Hal ini telah dilakukan oleh Allah di dalam Yesus Kristus yang mati dan bangkit bagi kita. Karena itu tidak beralasan bagi siapapun yang telah diselamatkan Yesus Kristus untuk berkata cukup baik, Sebab cukup baik belum cukup.  Persembahkanlah yang terbaik untuk Tuhan.

 

  1. Hidup yang manusiawi.

Sebenarnya tidak ada satu istilahpun yang mampu mengungkapkan arti kepemimpinan itu dengan tepat. Tapi secara sederhana disebutkan, dengan atau dalam kepemimpinan itu seseorang mau menghayati hidup dengan tuntas, yaitu bagaimana hidup secara manusiawi. Untuk itu, tiga  hal perlu diperhatikan :

– menjadi kebiasaan untuk bermental positif dalam segala kondisi, termasuk tampilannya dalam pikiran, perkataan  dan tindakan. Praktis, kita tidak  memulai segala sesuatu dengan bertolak dari problematiknya melainkan  berikhtiar  agar mencapai penyelesaiannya, serta tindak lanjutnya sehingga problema yang sama tidak terulang lagi;

– Jadikan diri kita biasa sehingga menjadi  kebiasaan dan terbiasa  untuk mencari dan memanfaatkan yang positif. Dalam PB,kita membaca tentang hal ini. Percakapan Tuhan Yesus dengan Perempuan Samaria; Petrus yang berjalan di atas air tasik; dll. Dengan begitu,setiap pemimpin dapat menghayati hidup ini  dengan komitmen sehingga ia menguasai situasi apa saja.

– Jadikan kebiasaan untuk memandang segala sesuatu sebagai yang besar agung, mulia, luas dan bukan kecil, picik atau kerdil, tapi dalam proporsi yang sederhana sehingga dapat dimengerti  dan dilaksanakan. Dengan kata lain seorang tak mungkin menjadi pemimpin, jika  ia tidak menghayati hidup ini dengan sungguh-sungguh.

 

  1. Rencana giliran.

1 Kor.10:31 ‘….lakukan semuanya itu untuk kemuliaan Tuhan.’ Itu berarti setiap pemimpin harus berprinsip untuk mencapai yang terbaik. Hanya yang terbaiklah yang cukup.  Kita tidak butuh gedung yang mewah. Fasilitas yang menumpuk. Alat-lat modern. Tapi yang sederhana, yang murah, yang kecil itupun berguna. Asal semuanya diatur dengan baik, rapi dan tertib. Metodenya : cycle plan (rencana giliran). Misalnya, kita ingin banyak pemuda ikut  serta dalam suatu kegiatan. Kita dapat mulai dengan mereka yang setia (5-10  orang ). Tiap orang mengumpulkan alamat dari temannya dan mendoakan.  Lalu kunjungi alamat yang didoakan itu.  Tiap 3 hari mereka berkumpul untuk sharing pengalaman.  Teruslah berdoa dan berkunjung. Bila tiba saatnya, pastilah target tercapai karena motivasi dan komitmen  dari kelompok kecil yang setia dan tekun tadi.

 

  1. Melahirkan ide-ide baru.

Pemimpin mesti membiasakan diri untuk melahirkan ide baru,walau kecil dan sederhana. Iapun mesti mampu mengembangkan ide itu. Menurut penelitian, sebenarnya tiap orang  dapat melahirkan 20 ide dalam sehari (= 600  tiap bulan). Jika hanya 10 % dikembangkan setiap bulan, maka 60 ide baru telah dikembangkan.

 

Raut-RupaKepemimpinan Pastoral yang seharusnya.

Kepemimpinan pastoral yang seharusnya memiliki rupa-rupa sebagai berikut:

  1. Bersukacita senantiasa (1 Tes.5:16-18), rela berkorban dan bersemangat.

Hadapilah setiap tugas dengan semangat yang menyala-nyala.  Memang gampang mengembang semangat itu pada sepak bola, acara TV,dll, tapi sulit untuk gereja.  Kita tahu bahwa ada banyak pekerjaan gereja macet dan mengalami stagnan karena terlalu rutin.  Hindarilah rutinitas tanpa semangat perubahan  dalam gereja.

  1. Yang nampak, turut menentukan.

Hasil pekerjaan kita mesti dilihat dalam jumlah dan mutu. Untuk itu kita perlu berlatih dengan  membuat catatan tentang pekerjaan kita setahun, pekerjaan yang sedang kita lakukan, dan rencana untuk pekerjaan yang mau ditangani.  Berhasil atau tidaknya pekerjaan kita bergantung kepada bagaimana kita menggunakan orang lain atau bersinergi. Pergunakantalenta pemberian Tuhan dengan telaten, perlu diperiksa setiap hari total komitmen; kejujuran dan  ketekunan  untuk pekerjaan kita serta setia pada pekerjaan kita hingga tuntas dibarengi  disiplin kerja yang tak mau diganggu. Mungkin ilustrasi ini menolong kita: “Seorang penjual sepatu,ia kurang telaten, teliti dan seterusnya. Ia tidak juga menghitung barangnya ketika toko tutup. Kadang seminggu atau sebulan sekali baru ia mengecek barangnya. Satu saat pencuri merampok di tokonya. Pencuri mengambil sepatu tapi dosnya ditinggalkan rapi sehingga ia tidak menyadarinya. Alangkah terkejutnya dia ketika konsumen datang dan ternyata ia menemukan hanyalah dos sepatu tanpa sepatunya.

  1. Berkomunikasi.

Yang penting dalam komunikasi, membaca pikiran warga bukan sekedar basa-basi. Sangat tidak menolong jika seorang pemimpin selalu bertolak dari dirinya sendiri dalam berkomunikasi.

  1. Bekerja dengan tujuan.

Dua hal diperlukan di sini :

– Wajib terlibat di dalam tujuan pekerjaan kita;

– Wajib bertekat sepenuhnya untuk mencapai tujuannya.

Kalau berhasil, pertanyaannya sukses karena  keadaan dan kemampuan sendiri atau tujuan. Dengan kata lain, sukses karena dan dengan tujuan itu adalah sukses yang terbaik. Tidak sukses tapi tetap pada tujuan pun baik.

  1. Pengalaman adalah guru.

Pengalaman diri sendiri maupun yang kita pelajari dari orang lain perlu juga disimpan sebab ia merupakan kunci yang dapat digunakan selalu. Umumnya ada  berbagai  dari mereka yang dipimpin— bukan pada sang pemimpin— berdasar pertanyaan mengapa yang dipimpin taat kepada pemimpinnya. Ada sedikitnya 3 alasan mereka taat yaitu:

  1. Takut.

Mereka taat/ikut karena takut akibatnya. Yang dikembangkan di sini type kepemimpinan  yang mengandalkan kekuasaan daya paksa. Biasanya type ini bersifat sementara. Namun karena ketaatan tidak didorong oleh komitmen  yang asli, maka ia lebih mudah dapat berbalik menjadi pemberontak ketika ancaman dilontarkan.

  1. Pemanfaatan yangdiharapkan.

Pemimpin  sangat bergantung pada relasi  yang didasarkan pada  pertukaran jasa.  Pemimpin memberikan apa yang dimaui yang dipimpin maka  yang dipimpin pun taat.  Type ini bersifat reaktif dan sementara.

  1. Kepercayaan.

Yang dipimpin mengikuti yang dipimpin karena kepercayaan.  Yang dipimpin yakin bahwa pemimpin mereka benar. Dan karena karakter pribadinya, visinya, penampilan kinerjanya dan komitmen misionernya. Disini yang dipimpin belajar dari pemimpinnya. Bahkan rindu dipimpin dengan tulus.

Hati-Hati Memilih Pemimpin, Belajar Dari Kasus Abimelek

Di era ini memilih pemimpin sesuai agenda dengan biaya mahal mulai merambah gereja dan di luar gereja seperti di lembaga legislatif dan lembaga eksekutif,dll merupakan ‘santapan lezat’. Menghadapi agenda organisasi dan politis ini, baiklah kita belajar dari Kasus Abimelek (Hakim 9:7-15), begini: Abimelek dan Yotam anak Gideon dengan satu kabar penting:  Hati-hati  dan pakai hati nurani dalam memilih pemimpin. Marilah kita belajar dari kisah ini. Gideon adalah hakim yang berhasil. Sayang dia poligami sehingga mempunyai anak lebih dari 70 orang. Ia diminta oleh suku-suku Israel untuk  menjadi raja. Tapi ia tidak mau memerintah sebagai raja (Hak 8:23,) karena dia percaya bahwa  Allah saja yang menjadi Raja atas Israel. Akan tetapi, Abimelekh, anaknya  berbeda dari ayahnya. Ia justru menginginkan kedudukan yang ditempati Allah itu.

Menyadari posisinya yang lemah karena ia hanyalah anak gundik (Hak 8:31), Abimelekh mencari dukungan saudara-saudara dari pihak ibunya, yang berada di Sikhem (salah satu kota di Kanaan). Tentu saja orang-orang Sikhem tergiur bila Abimelekh yang menjadi raja, daripada bila orang Israel sendiri yang menduduki jabatan tersebut. Hitungan politik, hal itu akan menguntungkan posisi mereka di Kanaan. Kepentingan premordial telah membuat orang Sikhem mendukung Abimelekh, meski mereka tidak tahu apakah Abimelekh benar-benar seorang pemimpin bangsa sejati.

Selanjutnya, orang Sikhem pun memberi dukungan 70 keping perak dan menobatkan Abimelekh menjadi raja (ayat 6). Bagi Abimelekh, semua itu masih belum cukup. Ia ingin memuluskan jalan menuju takta dan mengamankan posisinya kelak. Sebab itu, dengan memakai orang-orang bayaran ( para petualang), Abimelekh tega membunuh 70 orang saudaranya seayah. Hanya  Yotam berhasil luput (ayat 5). Yotam, yang berhasil melarikan diri, tidak tinggal diam. Ia memberi peringatan kepada orang-orang Sikhem. Melalui perumpamaan pemimpin pohon-pohon, ia ingin menyatakan bahwa Abimelekh adalah pemimpin yang nantinya akan menjadi bumerang, berbalik menyakiti rakyat yang telah mendukung dia (ayat 7-15). Mengapa? Karena siapa pun yang mengkritiknya dipandang sebagai lawan politik yang harus dilibas. Yotam berteriak dari atas bukit Gerisim memperingatkan penduduk Sikhem: Siapa yang mendengarkan aku, Allah akan mendengarkannya (7).  Ia menggambarkan Abimelek sebagai ‘semak duri’. Kenapa semak duri dipilih? Karena  zaitun, anggur dan arah menolak menjadi raja. Mereka yang berpotensi itu takut mengambil resiko ‘ melayang-layang di atas pohon’. Mereka ini  sangat egois, tidak peduli  dan hanya mau menyenangkan diri –apalagi kalau dikritik nanti. Padahal, kritik itu dinyatakan untuk perubahan hidup yang baik.

Kita bisa memperhatikan  beberapa prinsip Alkitab yang bisa Anda ikuti jika dikritik/ditegur atau dinasehati:  Pertama, jangan menanggapinya dengan amarah (Amsal 15:1). Itu hanya akan menambah ketegangan di antara Anda. Kedua, sadari bahwa Anda sedang dihadapkan pada suatu kesempatan emas untuk meneladani sikap Yesus Kristus yang penuh kasih, tidak mementingkan diri sendiri, rendah hati, dan peduli terhadap sesama (Filipi 2:1-4). Ketiga, pengkritik itu mungkin benar; Anda mungkin perlu berubah. Orang yang bijak akan menerima masukan dengan baik (Amsal 9:8,9). Perlakukan seorang pengkritik seperti teman, dan Anda berdua akan menang — Hanya perlu diingat bahwa akhirnya Abimelek dan Sichem musna, Abimelek si semak duri itu sendiri mati ditangan seorang perempuan. Semak duri itu licik, dan berhati buruk. Kelebihan si Abimelek itu, adalah pandai  ambil hati, demi napsu buruknya, menduduki kursi empuk. Cuma Semak duri bakal  membawa malapetaka bagi Israel—khususnya Sikhem. Tidak ada semak duri yang menghidupi tanaman lainnya. Ia pasti membasmi dan menelan tanaman lainnya. Dia pasti tidak rela dikritik, walau ‘ bagi pemilihnya diminta bernaung pada dia, dan bagi lawan politiknya ia bagai api yang membakar aras.

Kalau begitu, siap-siaplah untuk agenda politik yang sedang kita hadapi lagi. Yang perlu diperhatikan adalah  memilih seorang pemimpin rakyat entah di lembaga eksekutif ( gubernur,bupati dll), lembaga legislative seperti DPD maupun DPR, di dunia usaha, dll  apalagi memilih pemimpin dalam gereja memang tidak bisa sembarangan. Manakala kita memilih  hanya dengan pertimbangan primordial maupun pertimbang okomama, dan uang maka perlulah  dipertimbangkan matang, didoakan,dan dikenal secara mendalam. Pilih pemimpin bukan hanya ingin menguntungkan diri sendiri atau kelompok kita, walau kita termasuk kelompok yang mendukung dia. Pertimbangkanlah pemimpin yang memiliki hati untuk memperhatikan kepentingan rakyat di sepanjang hidup, Bila perlu melalui puasa khusus. Anda  tidak menyesal karena yang terpilih bukan semakduri- AMSAL 12:15,  Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak.

 

Akhir Aksara

Semua gereja yang kudus dan am, belum tentu sempurna. Begitu pula GMIT sebagai gereja yang kudus dan am. Ketidak sempurnaannya itu nampak dalam berbagai hal, diantaranya dalam hal tantangan  yang di hadapai GMIT. Tantangan berupa tantangan secara global dan nasional. Pertama,tantangan secara global yakni Milenium III dengan isu pasar bebasnya. Ekonomi pasar bebas adalah peluang  sekaligus tantangan, bergantung kepada kesiapan ekonomi jemaat. Belum lagi  target terselubung yang sifatnya non fisik seperti  konsumerisme, premordialisme, individualisme, dll, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan iman.

Tantangan tingkat nasional yakni makin kuatnya ancaman disintegrasi, goyahnya kepemimpinan nasional, krisis multidimensi yang tidak saja menjadi buah pahit bagi masyarakat tetapi juga bagi anggota GMIT. Kondisi daerah dan jemaat GMIT tidak lepas dari kondisi di atas. Masih rendahnya tingkat pendapatan, kesehatan dan pendidikan, tingkat traffiking yang tak kunjung menurun prosentasinya, makin memprihatinkan dan semakin melonjaknya prosentasi keluarga miskin, dll. Semua masalah itu ada di daerah yang menjadi kantong-kantong mayoritas warga GMIT. Oleh karena itu maka GMIT tidak luput dari berbagai kecaman, kritik dan ancaman.

Untuk pengembangan Visi dan misi GMIT sebagaimana tertuang dalam RIP/HKUP yaitu pengembangan jemaat yang dewasa dan misioner maka pemerkuatan dan pemberdayaan anggota gereja pada semua lingkup merupakan prioritas utama tanpa dalih dan niscaya. Masukan dalam bentuk kritik dan saran sungguh GMIT butuhkan  untuk memacu  perubahan.  Hanya saja kita mesti berhati-hati, penuh kecintaan, dan tulus dalam menyampaikan kritik.  Karena yang kita kritik adalah ibu kita sendiri (Calvin : gereja adalah ibu kita). Oleh GMIT kita dikandung, dilahirkan dan diasuh. Janganlah kita menempatkan diri berada di luar dan menghantam GMIT karena bila itu dilakukan maka pada hakekatnya kita menghantam diri sendiri dan bahkan menghantam ‘darah daging’ kita sendiri. Kalau kita berdiri di luar dan mengkritik maka kita pasti terlempar keluar dari persekutuan umat beriman.

Para nabi adalah orang-orang yang paling banyak mengkritik pemimpin baik raja, nabi istana bahkan imamserta masyarakatnya, tetapi semuanya itu dilakukan dalam kecintaan yang mendalam terhadap panggilannya sebagai penyambung lidah Allah.   Mereka menghisapkan diri ke dalam persekutuan umat dan masyarakat dan ikut menanggung resiko,  ikut  menderita, ikut mencari, ikut bergumul, dan ikut berharap bersama umat untuk tetap pada komitmennya sebagai umat yang sedang berarak ke masa depan. Dalam solidaritas bersama umat itulah mereka  menegor, memperingatkan, menasehati, bahkan mengutuk dengan tajam. Merekapun sering menangis, menderita dan tidak terlihat sedikitpun sikap congkak dan membenarkan diri sendiri. Seharusnya begitulah sikap kita  sebagai eklesia Yesus Kristus di sini dalam kepemimpinan pastoral para gembala yang ditempatkan Tuhan dalam gereja. •••

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *