Pdt. Sarlinda A. Kisek, M.Si
Dalam hikayat kuno, Tembok Raksasa yang membentang sepanjang wilayah Cina utara dari pantai Shanhaikuan ke Provinsi Kansu sepanjang 1.500 mil telah menelan ribuan korban jiwa manusia. Orang Cina biasa menyebut tembok kebanggan itu dengan “Tembok sepuluh ribu Li Liong”.
Alkisah, pada abad ketiga sebelum Masehi, terjadilah peperangan antara suku bangsa Mongol dengan Cina. Takut mendapat serbuan mendadak, Kaisar Cina Ch’in Shih Huang-ti memutuskan untuk membangun tembok raksasa sepanjang perbatasan utara. Seluruh rakyat dikerahkan untuk menyukseskan proyek nasional ini. Namun, proyek ini tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Tembok yang dibangun selalu mengalami keruntuhan. Kaisarpun marah.
Datanglah seorang bijak menemui Kaisar dan mengusulkan gagasan bagi kemajuan pembangunan. Usulannya adalah setiap jarak satu mil sebaiknya ditanam seorang manusia untuk menopang kekuatan tembok. Usul ini disambut baik. Maka diputuskan untuk mengorbankan massa manusia demi keamanan nasional.
Tak ayal penduduk Cina takut dan gemetar. Keputusan Kaisar harus ditaati penuh. Kaisar dapat berbuat apa saja atas diri mereka, sebab di mata Kaisar, mereka hanyalah rumput-rumput yang bisa diinjak-injak. Ketika eksekusi mau dilakukan, majulah seorang yang lebih bijak dan berkata kepada Kaisar: “Paduka, jangan mengorbankan orang sebanyak itu. Cukup mengorbankan orang yang bernama Wan. Bukankah Wanberarti sepuluh ribu? Tertegun, sang Kaisar setuju. Maka diperintahkannya para serdadu menjelajah seluruh pelosok negeri guna mencari seorang yang bernama Wan.
Di suatu desa, Wan sedang bersanding dengan istrinya Meng Chiang pada resepsi pernikahan mereka. Tiba-tiba datanglah utusan Kaisar dan menyeret Wan pergi, meninggalkan Meng Chiang yang histeris. Hati Meng hancur. Ketika ia mendengar nasib tragis yang menimpa suaminya, pergilah Meng meninggalkan desanya, mengembara mencari tulang belulang suaminya. Di depan tembok raksasa itu, Meng meratap pilu. Tembok itu jatuh kasihan pada Meng yang bernasib malang. Perlahan tembok itu runtuh dan menguakkan tulang-belulang suaminya.
Ketika Kaisar mendengar berita tentang Meng, timbul keinginan menemuinya. Saat bertemu, sang Kaisar terpesona dengan kecantikan Meng. Berniatlah Kaisar memperistrinya. Tetapi Meng yang tidak berdaya mengajukan tiga syarat. Pertama, Kaisar harus mengadakan pesta 49 hari untuk menghormati suaminya. Kedua, Kaisar dan para pejabat negeri harus menghadiri acara penguburan tulang-belulang Wan. Ketiga, Kaisar harus membangun menara setinggi 49 kaki di tepian sungai di mana ia akan mengadakan korban bagi suaminya. Kaisar setuju dan semua syarat dipenuhi.
Waktupun tiba. Kaisar, para pejabat dan penduduk negeri hadir dalam upacara itu. Naiklah Meng ke puncak menara. Dari ketinggian itu berpidatolah Meng sambil memprotes, mengutuk dan mengecam kelaliman sang Kaisar. Kendati marah, Kaisar tetap diam. Lalu melompatlah Meng ke sungai. Kaisar memerintahkan para serdadu untuk mencincang tubuh Meng dan meremukkan tulang-belulangnya. Ajaib, tubuh Meng berubah menjadi ikan-ikan perak yang cantik jelita. Jiwa Meng hidup selama-lamanya.
Choan-Seng Song, seorang teolog Asia menggunakan cerita rakyat ini sebagai titik tolak sebuah teologi politik rakyat Asia. Dalam bukunya The Tears of Lady Meng (Orbis Books, Maryknoll, New York, 1982) ia mengatakan bahwa nasib Meng adalah juga nasib sebagian besar rakyat Asia. Banyak pemimpin di Asia yang menganggap rakyatnya sebagai rumput yang dapat diinjak-injak demi seorang “illah” bernama “keamanan nasional”. Pemerintah despotis beserta birokrasinya ibarat tembok tegar yang tak dapat mencucurkan air mata.
Menurut Song, titik tolak teologi pembangunan rakyat Asia adalah air mata. Tetesan-tetesan air mata dapat meruntuhkan tembok yang tegar. Sekalipun pemimpin berlaku kejam, rakyat kecil akan tetap hidup dan menang dalam air mata. Satu nyawa Meng dikorbankan, tetapi ribuan “ikan-ikan perak” dengan jiwa Meng akan hidup selama-lamanya. Apa yang membuat sejarah menjadi sejarah bukanlah pemerintah, tetapi rakyat yang dieksploitir, ditindas dan diabaikan. Seperti tembok tegar yang luluh di hadapan air mata Meng, pemerintah yang kejam tak akan berdaya oleh air mata penderitaan rakyat demi “illah” keamanan nasional.
Ketika penulis berefleksi tentang nyanyian Maria dalam injil Lukas 1:46-56, terasa bahwa Maria berada dalam posisi yang berat namun amat menentukan lahirnya sejarah penyelamatan Allah atas dunia. Sejarah yang dimulai dengan adanya partisipasi seorang perempuan desa yang polos dan bersahaja.
Maria dilibatkan secara sadar di dalam proyek besar (master plan) Allah. Suatu misi dimana Maria terlibat dalam sebuah gerakan penyelamatan dunia. Gerakan dimana Maria memberi diri dan kehidupannya sebagai perempuan yang memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan kehidupan seluruh manusia bahkan seluruh mahkluk hidup; ketika kehidupan itu menjadi terancam oleh dosa. Bukan hanya rahim dan air susu yang Maria sediakan (baca: dikorbankan) bagi bayi Yesus yang dikandungnya, tetapi Maria menempatkan seluruh pengorbanannya sebagai momentum pembebasan kaum tertindas; Maria mewakili para perempuan yang termarjinalkan, masyarakat yang terjajah oleh kepentingan elit dan orang miskin yang menjadi korban ketidakadilan.
Karena itu, sekalipun sebagai perempuan yang tidak memiliki peluang untuk mempelajari kita suci seperti laki-laki Yahudi pada masa itu, Maria adalah satu-satunya perempuan, bahkan salah satu dari sedikit laki-laki yang memakai “kesempatan emas” untuk berbicara kepada sosok surgawi yang merupakan utusan Allah. Dengan polos dan bersahaja, Maria bertanya, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luk 1:34). Jawaban yang diberikan atas pertanyaannya itu, tidak serta merta membuat Maria pasif dan pasrah. Dalam kehambaan-nya menuruti kehendak Allah, ia mengambil inisiatif secara aktif mengunjungi sepupunya Elisabet guna mendapat jaminan sekaligus bukti yang cukup bahwa apa yang terjadi padanya sungguh-sungguh berasal dari Allah.
Pertemuannya dengan Elisabet memperlihatkan citra seorang Maria yang aktif dan sadar akan dirinya. Ia harus berani bertindak dan mengambil inisiatif, bukan untuk kepentingannya tetapi kepentingan banyak orang. Maria dengan rela masuk dalam penderitaan sekalipun diri dan keperawanannya dilecehkan, posisi keperempuanan-nya di tengah tatanan sosial budaya termarginalkan serta status politiknya terancam. Maria sadar bahwa ia harus membawa misi Allah, sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah. Dalam Lukas 1:38, Maria berkata: “sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”
Misi yang dibawa Maria memiliki ciri profetis karena selain ia berbicara atas nama perempuan yang telah dipulihkan dari penderitaan(46-49); Maria juga memberitakan kabar pembebasan bagi bangsa yang terjajah (51), kepedulian Allah pada mereka yang ditindas oleh sesamanya (52), serta kabar sukacita bagi orang miskin (53). Dalam misi profetis Maria terungkap tanggung jawabnya atas situasi politik, sosial dan ekonomi yang terjadi di dalam pengalaman hidupnya. Baik pengalaman yang ia alami maupun yang didengar dari cerita turun temurun (55). Sehingga, nyanyian pujian Maria tidak berisi kepentingan dan hal-hal yang menyangkut perasaan Maria secara pribadi saja, tetapi Maria membawa masuk seluruh realitas hidup di dunia ini sebagai ungkapan imannya kepada Allah.
Dan kalau politik adalah upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat demi terciptanya kemaslahatan (bonum communae)melalui kebijakan umum, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, maka itu yang dilakukan Maria dalam mengkidungkannya kepada Allah. Apa yang Maria lakukan adalah merupalkan dimensi iman dari politik. Nyanyian pujian Maria menyentuh dimensi struktur sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang menjadikannya sebagai sebuah perenungan yang radikal. Radikalitas yang lahir dari rahim tanpa kepentingan (vested interest) pribadi. Radikalitas yang lahir dari kesucian dan kemurnian “perjuangan”. Radikalitas yang lahir dari kerahiman sejati.
Jika Allah telah memulihkan ia dari penderitaan sosial budaya saat itu, tak mustahil Allah pun akan memulihkan dunia ini dari berbagai-bagai praktek hidup yang merusak, menciderai dan membelenggu kemanusiaan. Pemulihan yang Maria terima dari Allah akan menjadi milik semua manusia yang mengalami penderitaan, melalui datangnya Juruselamat yang ia kandung. Spiritualitas nyanyian pujian Maria berisi realitas konkret berbagai aspek hidup manusia, yang dialami manusia secara riil sebagai pengalaman imannya kepada Allah.
Membawa masuk realitas sosial kekinian kita dalam penghayatan iman kepada Allah merupakan dimensi iman dari politik. Bahwa kabar baik tentang kedatangan Juruselamat, bukan hanya bersifat imanen saja tetapi juga bertujuan transendensial manakala kedatangan Anak Allah dimaknai sebagai penyelamatan bagi dunia di segala bidang kehidupan. Pembebasan itu tidak hanya tertuju kepada pribadi yang percaya kepada Allah, tetapi juga berlaku bagi dunia dimana pribadi itu berada. Itu berarti iman kita, tidak bisa dilepaskan dari konteks hidup kita sehari-hari. Beriman berarti memperjuangkan adanya pembebasan dan kemerdekaan terjadi di dalam atau di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan berbagai praktek penindasan.
Sederhananya, jangan menyebut diri beriman, jika kehadiran kita di dunia hanya menyumbangkan sikap hidup yang mementingkan diri dan mengabaikan hak-hak hidup orang lain. Jangan mengatakan diri beriman, jika kita tidak memiliki kepekaan dan solidaritas terhadap sesama yang menderita. Jangan mengatakan beriman, jika kita kompromi dengan ketidakadilan dan ketidakbenaran. Jangan juga kita berkata bahwa kita beriman, jika kita berkawan dengan korupsi, kepalsuan dan kejahatan. Beriman adalah melakukan praktek hidup untuk kesejahteraan banyak orang dan penyelamatan dunia ini. Seperti inilah dimensi iman dari politik !!! Dominus Vobis Cum.
(Judul ini sengaja diangkat di tengah persiapan warga GMIT menghadapi Pileg dan Pilpres, sebuah refleksi kontemplatif dari pengalaman Maria bunda Yesus untuk dijadikan acuan bagi pemilih dalam memilih wakil rakyat yang akan duduk di legislative atau eksekutif — sekaligus menjadi acuan bagi para kandidat untuk sungguh-sungguh berjuang bagi kepentingan kaum tertindas.)