MELANJUTKAN PROYEK KEMERDEKAAN
Gusti A. B. Menoh*
“Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia terbelenggu (terjajah)”, demikian sinisme Jean Jaqueas Rousseau terhadap situasi zamannya. Walaupun berbeda zaman, menarik untuk menyimak pernyataan filsuf abad 18 itu dalam konteks Indonesia yang telah melewati usia kemerdekaannya yang ke-69 tahun. Perayaan ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus 2017 kali ini tak kalah meriahnya dengan tahun-tahun sebelumnya. Berbagai seremoni dipentaskan sebagai bagian dari perayaan kemerdekaan. Namun bila kita menengok kehidupan ril masyarakat, rasa-rasanya bangsa kita masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. Pendidikan yang belum dapat dinikmati oleh seluruh anak bangsa, demokrasi yang masih terseok-seok, ancaman dan bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang masih terjadi, korupsi yang masih merongrong bangsa, desakan kekuatan-kekuatan fundamentalisme pasar dan radikalisme agama dalam ruang publik, makin membludaknya TKI/TKW ke negara-negara tetangga, banyaknya praktek trafficking perempuan dan anak, kemiskinan yang masih melilit kehidupan banyak warga, dan lain sebagainya merupakan tanda bangsa ini masih jauh dari kemerdekaan. Nampaknya, kita masih belum merdeka, bahkan pada level persoalan survival sebagai spesies.
Kemerdekaan bukan semata survival
Kemerdekaan merupakan hak dasar manusia (HAM) yang tak boleh dirampas oleh siapa pun dan atas nama apapun. Itulah yang melandasi perjuangan manusia-manusia di bumi nusantara untuk melepaskan diri dari kolonialisme bangsa-banga asing. Perjuangan itu menuai hasil dengan diproklamirkannya kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Frasa teks proklamasi yang berbunyi “kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan” merupakan penegasan diri manusia-manusia Indonesia di hadapan para penjajah bahwa mereka tidak lagi mau dikuasai. Dekolonisasi itu kemudian diformulasikan dengan tegas dalam undang-undang dasar 1945 “bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Dalam arti itu, kemerdekaan merupakan persoalan survival suatu kelompok (bangsa) di hadapan berbagai bangsa yang berkontestasi untuk eksis dalam jagad raya ini.
Kemerdekaan dalam arti itu menjadi hasrat setiap makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan. Charles Darwin menunjukan bahwa masing-masing spesies berjuang untuk survive di tengah-tengah kehidupan yang sulit. Mereka yang kuat dan mampu bertahan akan lolos untuk meneruskan kehidupan, sementara yang lemah dengan sendirinya akan punah. Kehidupan semacam ini tunduk pada mekanisme biologis. Namun kehidupan manusia bukan semata-mata persoalan mekanisme biologis. Terbentuknya suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang merdeka dari sekelompok manusia justru untuk mengatasi persoalan survival belaka.
Cita-cita berbangsa dan bernegara bahkan melampaui sekedar pemenuhan kebutuhan ekonomis para warganya. Kehidupan merdeka suatu polis (negara) yang semata-mata mendasarkan diri pada pemenuhan kebutuhan ekonomis itu pernah ditengarai oleh Plato 2400 tahun lalu. Filsuf Yunani kuno itu mengatakan bahwa “negara terjadi karena seorang individu tidak merasa cukup pada dirinya sendiri, melainkan membutuhkan banyak penolong lain. Demikianlah yang satu membutuhkan yang lain, yang satu untuk kebutuhan yang satu, yang lain untuk kebutuhan yang lain.”
Namun kehidupan suatu polis yang semata-mata menjadikan pemenuhan kebutuhan ekonomis sebagai cita-citanya seperti ini sesungguhnya masih tunduk pada mekanisme biologis. Cara hidup semacam ini bukan hanya menjauhkan para warga dari kemerdekaan, melainkan akan menggiring mereka ke dalam kehidupan yang tidak lagi merdeka. Sebabnya sederhana: globalisasi pasar yang bergerak dengan logika survival akan memaksa para warga untuk tunduk pada sistem ekonomi yang penuh persaingan sehingga para warga tidak lagi peduli dengan kebutuhan identitas, jati diri dan karakter. Bahkan, para warga dengan mudah digiring menjadi manusia hedonis yang cenderung memuja kenikmatan daripada merayakan kemerdekaan insaninya akibat cara kerja pasar yang menawarkan berbagai pesona kemewahan yang sangat manggiurkan.
Autarki-lah tujuan kemerdekaan
Suatu negara-bangsa merdeka dari komunitas manusia mestinya ada tidak semata-mata demi persoalan survival. Aristoteles mengatakan bahwa autarki-lah tujuan tertinggi manusia dalam suatu polis. Murid Plato ini mengatakan bahwa “negara dalam arti tertentu terjadi pertama-tama demi kehidupan melulu (pemenuhan kebutuhan ekonomis), tetapi lalu ada demi kehidupan yang sempurna. Sasarannya adalah yang terbaik. Autarki-lah tujuan dan yang terbaik”. Autarki adalah self-sufficient, keadaan cukup diri individu sebagai manusia, di mana manusia dapat merayakan kebebasan dan rasionalitasnya. Autarkilah yang membuat hidup manusia melampaui sekedar persoalan survival sebagaimana dialami spesies lain juga. Autarki dimungkinkan bila manusia mampu mewujudkan diri sebagai mahkluk rasional (rationale animal) dan makhluk sosial (zoon politikon). Polis,karena itu didirikan untuk menjadi locus realisasi rasionalitas dan kesosialan para warga dengan penuh kebebasan. Itu berarti, suatu negara ada justru untuk memungkinkan para warga mengaktualisasikan kemerdekaannya dalam berpikir, merenungkan dan mengenali kebenaran, keadilan, kebaikan. Polis juga mesti memungkinkan para warga berpartisipasi dalam kehidupan bersama, menyumbangkan potensi dirinya bagi komunitas, berkomunikasi dan membangun persahabatan dalam kemajemukan. Adanya ruang menyatakan kebebasan dan persahabatan seperti inilah yang menjadi penanda para warga telah mencapai autarki, dan bukan sekedar survive. Kemerdekaan suatu bangsa tidak bisa diukur semata-mata pada kenyataan survival, melainkan bila dicapainya kehidupan yang autarkis bagi para warganya.
Perlu Langkah Strategis
72 tahun merdeka ternyata belum juga membuat kita mengatasi persoalan survival, apa lagi menggapai kehidupan yang autarkis. Kemiskinan yang masih melilit kehidupan sebagian besar masyarakat indonesia adalah tanda bahwa kita masih berjuang menundukkan cengkeraman mekanisme biologis. Sementara tantangan internal maupun eksternal dewasa ini tak kalah beratnya dengan apa yang dihadapi para pendiri bangsa kita dulu. Maka, perlu integrasi berbagai strategi untuk mengatasi ketertinggalan dan tantangan-tantangan itu. Kita dapat belajar dari pengalaman bangsa Yunani kuno, dan terutama negara-negara barat yang telah menjajah kita ratusan tahun lalu itu. Keberhasilan mereka dalam memerdekakan diri dari berbagai mekanisme alam maupun kolonialisasi sesama bangsa, dan bahkan kemudian mampu berekspansi ke berbagai belahan dunia, tidak lepas dari pengembangan ilmu pengetahuan (filsafat) dan demokrasi di sana. Akademi Plato sebagai lembaga pendidkan tinggi pertama di dunia 2400 tahun lalu menjadi pusat penelitian ilmiah: pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Persemaian episteme (pengetahuan) di Yunani kuno itu dimungkinkan karena iklim demokrasi polis yang terbuka. Akademi Plato itu kemudian menjadi embrio universitas-universitas besar di Eropa yang meneruskan pengembangan filsafat, sains dan teknologi hingga kini. Bangsa-bangsa itu menjadi lebih dulu menikmati kemerdekaan karena rasionalitas dan demokrasi tumbuh di sana.
Maka, dua elemen mendasar ini tidak bisa diabaikan apabila kita ingin melanjutkan proyek kemerdekaan: memastikan demokrasi terus berjalan dan mengembangkan pendidikan (pengembangan ilmu pengetahuan) secara berkualitas. Kiranya demokrasi terus tumbuh agar kita makin bisa merayakan kemerdekaan secara konkrit: kebebasan berpikir, berpendapat, berserikat, beragama, berbudaya. Di sisi lain sangat mutlak pengembangan pendidikan yang bermutu, dan membangun solidaritas dan persahabatan yang penuh keterbukaan dan kejujuran di antara sesama anak bangsa. Sebab tanpa mengembangkan rasionalitas dan demokrasi seperti ini, kita bukan hanya akan melahirkan generasi-generasi merdeka yang masuk ke dalam suatu penjajahan baru sebagaimana disinyalir Rousseau, melainkan manusia-manusia yang sudah terjajah sebelum dilahirkan, karena sebelum terlahir, setiap calon individu sudah terikat hutang negara yang telah melilitnya. Proyek kemerdekaan mesti diusahakan dalam keseharian melalui tugas dan pelayanan setiap warga dalam bidang pekerjaannya dengan segenap hati, penuh komitmen, tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi, bukan semata-mata melalui seremoni yang penuh gegap gempita di bulan Agustus setahun sekali. Semoga kita senantiasa berkemerdekaan.
DIRGAHAYU RI ke-72. MERDEKA!
* Vikaris GMIT di Jemaat Agape Ekepaka, Klasis Sabu Barat-Raijua