Hari ini umat Kristen di seluruh dunia merayakan Rabu Abu (Ash Wednesday). Rabu Abu adalah awal dari rangkaian perayaan yang dikemas dalam sebutan minggu-minggu pra-Paskah (Lent) yang berlangsung selama 6 (enam) minggu dan mencapai puncaknya pada perayaan Jumat Agung (Good Friday) atau masa raya kematian Yesus Kristus. Bagi sejumlah denominasi Gereja yang tidak merayakan Rabu Abu, perayaan berkaitan dengan masa-masa menyongsong Paskah telah dimulai pada hari minggu sebelumnya, yaitu 3 (tiga) hari mendahului Rabu Abu, yang dikemas dalam sebutan Minggu-minggu Sengsara.
Dalam konteks perayaan minggu-minggu menyongsong Paskah dalam kalangan Gereja dikenal 2 (dua) sebutan yang sebutan berbeda yang akan menjelaskan tentang substansi dari perayaan-perayaan dimaksud yang tentunya juga berbeda. Sebelum menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan antara minggu-minggu sengsara dengan minggu-minggu pra-Paskah, maka terlebih dahulu akan dibahas pokok tentang kalender liturgis.
Kalender Liturgis
Perayaan-perayaan yang dikenal dalam Gereja mengacu pada tahun liturgis dan diatur dalam kalender liturgis. Secara umum kalender liturgis menjadi panduan bagi gereja-gereja dalam menata siklus peribadahan mereka selama setahun dengan memusatkan perhatian pada 2 (dua) event perayaan penting yaitu Natal dan Paskah. Karena itu kita mengenal lingkaran natal (christmas cycle) dan lingkaran Paskah (easter cycle).
Lingkaran natal berpusat pada perayaan natal (tanggal 25 Desember). Dan perayaan-perayaan yang tercakup dalam lingkaran natal adalah minggu-minggu adventus, masa raya natal, Epifani dan minggu-minggu (setelah) Epifani. Lingkaran natal berawal dari hari minggu keempat sebelum natal dan berakhir pada awal minggu sengsara. Dalam lingkaran natal terdapat 4 (empat) moment perayaan yang secara substansial memiliki makna dan karakteristik yang berbeda yaitu minggu-minggu adventus dan masa raya natal, Epifani dan minggu-minggu setelah Epifani.
Lingkaran Paskah berpusat pada perayaan Paskah, dan perayaan-perayaan yang tercakup dalam lingkaran Paskah adalah minggu-minggu sengsara (sejumlah Gereja menyebut minggu-minggu pra-Paskah), Paskah, masa raya Paskah, kenaikan (ascension) Pentakosta, minggu Trinitas dan masa-masa setelah Pentakosta. Lingkaran Paskah berakhir pada awal minggu-minggu adventus. Jika kalender Masehi dimulai dari tanggal 1 Januari dan berakhir pada 31 Desember dengan siklusnya yang sudah pasti, maka kalender liturgis tidak demikian. Dalam kalender liturgis, terdapat dua jenis penanggalan yang bisa dibedakan yaitu: proper of Saints (yang juga disebut siklus sanctoral), dan proper of Seasons (yang juga disebut siklus temporal).
Proper of Saints adalah hari raya atau peringatan yang tidak bergerak, yaitu jatuh pada tanggal yang sama setiap tahun. proper of seasons adalah hari Minggu dan hari-hari raya lainnya, yang penentuan tanggalnya tergantung pada tanggal Minggu Paskah dan Minggu Advent, sehingga berubah setiap tahun. Ambil contoh, hari Natal misalnya masuk kategori proper of Saints yang tanggal perayaannya sudah pasti yaitu tanggal 25 Desember. Sementara hari Paskah masuk kategori proper of Seasons yang tanggal perayaannya dapat berubah.
Pertanyaan bagi kita ialah bagaimana menentukan siklus perayaan-perayaan dalam Gereja? Terhadap pertanyaan ini, Natal dan Paskah menjadi penting sebagai titik tolak. Dalam konteks lingkaran natal (Christmas cycle) penentuan terhadap minggu-minggu adventus dapat ditempuh dalam 2 (dua) cara. Pertama, menentukan 4 (empat) hari minggu sebelum hari natal sebagai minggu-minggu adventus. Jika hari Natal jatuh pada hari minggu, maka 4 (empat) hari minggu sebelum natal tetap merupakan minggu-minggu adventus. Kedua, menandai hari minggu terdekat dengan ari raya St. Andreas Rasul (30 November). Masa raya natal berlangsung antara tanggal 25 Desember sampai tanggal 5 Januari yaitu hari sebelum Epifani (6 Januari). Hari minggu antara tanggal 6 Januari sampai 14 Januari disebut sebagai minggu Epifani, sedangkan 6 hari minggu setelah tanggal 14 Februari disebut sebagai minggu-minggu sesudah Epifani.
Dalam konteks lingkaran Paskah (easter cycle), tanggal Paskah, merupakan hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama pada atau sesudah tanggal 21 Maret. Jika bulan purnama terjadi tepat pada tanggal 21 Maret atau sesudahnya, jatuh di hari Minggu, maka tanggal Paskah jatuh hari Minggu berikutnya. Malam sebelum hari minggu tersebut menandai awal perayaan Paskah (Vigili). 10 hari minggu sebelum hari Paskah dikenal sebagai Minggu Septuagesima (= ketujuh puluh yaitu 70 hari sebelum Paskah). Selanjutnya, Minggu Sexagesima (= keenam puluh yaitu 60 hari sebelum Paskah) dan Minggu Quinquagesima (= kelima puluh yaitu 50 hari sebelum Paskah). 7 hari Minggu sebelum hari Paskah disebut sebagai Minggu-minggu Sengsara yang diawali dengan Minggu Esto Mihi (Minggu Sengsara I) dan selanjutnya diikuti dengan Minggu Invocavit (Minggu Sengsara II), Minggu Reminiscere (Minggu Sengsara III), Minggu Oculi (Minggu Sengsara IV), Minggu Laetare (Minggu Sengsara V), Minggu Judica (Minggu Sengsara VI), dan Minggu Palmarum (Minggu Sengsara VII). Hari ke 5 setelah minggu Palmarum ( Minggu Palma ) kita berjumpa dengan Jumat Agung (Good Friday) dan selanjutnya hari Paskah pada hari Minggu pertama setelah minggu Palmarum.
Rabu Abu dan masa Pra-paskah
Dalam tradisi Kitab Suci, abu adalah tanda pertobatan (cf. Est. 4 ay 1; Yun. 3 ay 6). Hari Rabu Abu (Ash Wednesday) menandai dimulainya minggu-minggu Pra-paskah yang akan menjelaskan bahwa Gereja memasuki masa tobat selama 40 hari yang secara simbolik ditandai dengan masa puasa. Masa puasa berlangsung selama 40 hari tidak termasuk hari Minggu. Dengan demikian, masa puasa berlangsung selama 6 (enam) minggu plus 4 hari sebelum minggu Pra-paskah I sedemikian sehingga jatuh pada hari Rabu yang selanjutnya disebut sebagai hari Rabu Abu. Perayaan Hari Rabu Abu ditandai dengan pemberian abu pada dahi seseorang, abu mana berasal dari daun palma yang digunakan dalam minggu palma tahun sebelumnya. Pemberian abu pada dahi ini bermaksud mengingatkan bahwa bahwa manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu, karena itu sudah seharusnya ia bertobat dan percaya akan injil.
Karena Pra-paskah merupakan masa persiapan 40 menyongsong Paskah maka pemberitaan-pemberitaan tidak mesti dihubungkan dengan penderitaan Yesus secara formal. Pokok tentang penderitaan Yesus baru muncul dalam perayaan minggu terakhir Pra-paskah yang disebut sebagai Minggu Palmarum atau bahkan Minggu Sengsara. Melalui masa perenungan yang panjang tentang pertanyaan siapakah manusia di hadapan Allah, masa Pra-paskah diakhiri dengan refleksi tentang penderitaan Kristus yang mencapai puncaknya pada peristiwa Golgota. Dalam tradisi denominasi Gereja yang tidak merayakan Rabu Abu dan Pra-paskah, masa-masa menyongsong paskah di sebut sebagai Minggu-minggu Sengsara yang dirayakan selama 7 (tujuh) minggu berturut-turut sebelum Paskah. Jika Pra-paskah memusatkan perhatian pada pertobatan dan kesadaran diri bahwa manusia adalah debu dan akan kembali menjadi debu (cf. Kej. 2 ay 7), maka Minggu Sengsara memberikan penekanan khusus pada persoalan penderitaan Kristus dan implikasinya bagi kehidupan manusia.
Refleksi-refleksi di seputar kesengsaraan dan penderitaan Kristus dilakukan sejak awal Minggu Sengsara yang mencapai puncaknya pada hari Jumat Agung (Good Friday). Bagian ini hendak memberikan penjelasan bahwa ada perbedaan yang prinsipil di antara Pra-paskah dengan Minggu-minggu Sengsara, sekalipun mempertentangkan keduanya bukanlah sesuatu yang disarankan. Demikian pula sebaliknya. Tidaklah juga bijak untuk ‘membaurkan’ mereka dan mengemasnya dalam suatu tata liturgi seperti halnya perayaan Minggu Sengsara yang bernuansa pra-paskah atau perayaan Minggu Pra-paskah yang bernuansa Minggu Sengsara.
Sampai pada bagian ini, saya hendak mengatakan biarlah perbedaan ini menjadi bagian dari kekayaan tradisi iman Gereja yang tidak mesti dipertentangkan satu terhadap yang lain karena memiliki akar sejarah yang juga tentunya berbeda. Selamat merayakan Minggu-minggu Sengsara, selamat merayakan Minggu-minggu Pra-paskah !
Pdt. Drs. Rio FanggidaE, M.Si.
Pendeta Jemaat GMIT Betlehem Oesapa Barat.