“Hidup itu sebuah perubahan yang tak terelakan dari muda menuju tua. Masalahnya yang tua menjadi terlalu bijak, makin hati-hati, karenanya, hidup harus terus diulang dan diulangi lagi dalam hidup mereka yang muda, bila kemajuan mau dikejar. Karena orang muda memang tak tau banyak hal, cenderung latah dan tidak bijaksana. Karenanya, mereka mencoba yang tidak mungkin. Dan sejarah menjadi saksi bahwa mereka sering menggapai ketidakmungkinan. Dari generasi yang satu ke generasi yang lain.” Petikan di atas adalah dialog antara Edith dan Edwin, tokoh dalam The Goddess Abides yang ditulis Pearl S. Buck.
Dan artikel ini adalah sebuah spekulasi soal apakah orang muda dan belum lagi lurus kencingnya dan juga generasi yang akan datang bisa membebaskan diri dari belenggu-belenggu peradaban kita? Dan apakah pemuda dalam konteks GMIT mampu melihat kekuatan-kekuatan yang mencengkram dan membelenggu yang melilit kaumnya?
Cengkraman Konsumerisme
Kita hidup dalam kontrol konsumerisme yang akut. Sedangkan media-media kita menjadi alat reproduksi ignorance yang diulang-ulang setiap hari. Media sosial yang awalnya diharapkan menjadi pemecah kebuntuan atas monopoli informasi tidak serta-merta terjadi. Justru sebaliknya yang terjadi: sosial media menjadi infrastruktur gratis atas mengalirnya ide-ide dan cara pandang yang mapan.
Kemapanan mendapatkan cakarnya yang jauh lebih tajam di media sosial. Dalam lilitan konsumerisme, dalam kontur sosial ekonomi yang timpang, manusia-manusia yang mempersembahkan hidupnya dari pagi hingga malam hari untuk menghidupi hidupnya tak mampu hidup selayaknya sebagai manusia.
Ilusi egalitarianisme masih terasa genit. Bahwa Media sosial adalah sebuah wilayah datar yang setara di mana semua sama-sama berdiri sejajar. Ilusi soal sebuah daerah main yang sejajar-sedatar cukup membuat kita mabuk dalam momentum-momentum sosial politik – sebut saja pemilu dan pilkadal. Momentum-momentum politik kemudian menjadi momentum keterpecahan antar individu hingga skala bangsa.
Di sini kita lihat konflik antar keyakinanpun adalah sekedar konflik antara usersyang fanatis dengan produk-produk impor ditingkat personalised idea/product(keyakinan). Model konflik antara users ini dibawah pada skenario hidup-mati. Dan kelompok-kelompok dan atau lembaga-lembaga yang diharapkan lebih berdaya tahan seperti lembaga-lembaga keagamaan (organised faith) terseret dalam arus ekonomi politik tiada akhir. Dalam konteks GMIT, pertanyaannya di mana gereja dan pemudanya?
Di dalam realitas mapan yang memegang monopoli atas definisi apa itu realitas, kita banyak bertemu manusia-manusia berdimensi satu, seperti kata Herbert Marcuse. Zombie adalah nama kerennya. Menjadi manusia berdimensi satu adalah bahaya terbesar yang dapat di hasilkan lembaga-lembaga agama. Kompleksitas dunia yang jamak direduksi dengan satu cara pandang. Indonesia yang ragam cenderung didekati dengan pendekatan tunggal.
Dalam pandangan Marcuse, manusia berdimensi satu merupakan hasil produksi sistimatis dari para pengrajin politik (makers of politics) dan para manipulator informasi. “Wacana mereka secara sistimatis diisi oleh hipotesis mereka sendiri (self-validating hypotheses)yang di ulang-ulangi demi menghipnotis masyarakat luas” kata Herbert Marcuse lebih dari setengah abad silam.
Konsumerisme bukan soal masuk dalam jebakan konsumsi barang semata. Konsumsi ide hingga teologi impor yang masif-homogen membuat manusia menjadi mangsa atas saudaranya sendiri. Rasa enaknya makanan, gayanya pakaian hingga rasa bijaknya teologis, menjadi begitu seragam. Kecerdasan ditentukan olah seberapa hebat kita menghafal ayat dan menerapkan doktrin tunggal.
Kita sama-sama menjadi manusia tawanan. Kita membutuhkan orang muda yang mampu memecah kebuntuan-kebuntuan yang hidup. NTT memiliki jutaan orang muda, tetapi tidak banyak yang mampu berkarya dengan memproduksi sendiri.
Dapatkah kaum muda mengambil peran transformasi sosial dan ekonomi? Dan bagaimana orang muda mampu membebaskan kawanannya dari belenggu konsumerisme global?
Berharap pada yang muda?
Kemudaan memiliki keuntungannya sendiri. Idealnya, kemudaan mengandung ruh risk taking (berani mengambil risiko). Tidak heran banyak orang muda dalam usia dua puluhan melakukan hal-hal yang tidak dibayangkan generasi yang mereka gantikan. Kita perlu risau bila muncul generasi muda yang penakut, takut mencoba, dan memiliki loyalitas pada status quo,dan sekedar menjadi penjaga tradisi dan ritus-ritus yang mungkin saja terkesan indah namun korup.
Pada saat yang sama, bila institusi sosial/keagamaan tidak mampu melahirkan orang muda yang kreatif dan inovatif, kita perlu bertanya, apakah tulang belulang berbalut darah-daging tanpa roh yang bekerja di depan kita? Bila dalam lingkungan anda di dapati ketiadaan generasi muda yang tangkas, imaginatif, gigih dalam soal-soal kemanusiaan dan kebangsaan dan kepekaan sosial dalam arti luas, saya kira gereja (dalam pengertian sempit dan luas) bukan hanya gagal, tetapi mungkin sudah mati.
Bagaimana mempertahankan nilai-nilai solidaritas bersama sebagai sebuah bangsa ditengah gejolak dunia? Dalam konteks Indonesia hari ini, kita tergoda bertanya bagaimana orang muda mampu menjadi ‘pembawa damai’ dan penjaga nilai-nilai hidup bersama di tengah situasi yang gampang tersulut karena semakin ditegaskannya perbedaan-perbedaan sosial paska perhelatan politik yang semakin rutin digelar?
Dan mengapa event politik Jakarta menjadi begitu dekat dengan kaum muda? Sebaliknya, mengapa ketidakadilan dan kesengsaraan hidup manusia (baca: jemaat?) disekitar kita tidak mampu membuat energi mental kita terkuras untuk bergerak melakukan sesuatu? Mengapa begitu muda di gerakan oleh simbol? Tetapi tak mampu tergerak/menggerakan diri terhadap realitas sosial yang terperi?
Generasi Milenial Dalam Pusaran Perubahan
Mari kita melihat konteks di mana anak-anak millennial beroperasi dalam kemudaannya. Penduduk dunia bertambah dari hanya 0.5milyar di era reformasi Luther menjadi 7.5 milyar setahun yang lalu. Dua puluh persen (1.5 milyar) dari total penduduk hari ini lahir setelah tahun 2000. Generasi ini sering disebut generasi milenial. Bila definisi orang muda kita persempit pada usia antara 15-24 tahun maka menurut statistik Perserikatan Bangsa Bangsa, ada sekitar 1.2 milyar orang muda. Namun definisi orang muda itu cukup cair tergantung konteks di mana anda berada. Bila definisi orang muda bisa berusia 15-45 tahun dan jumlahnya mungkin mencapai 3 milyar atau hampir setengah penduduk bumi saat ini.
Tujuan artikel ini awalnya adalah soal bagaimana pemuda dapat mengambil peran yang lebih dalam masyarakat maupun bangsa. Namun saya mencoba mengajak orang muda untuk memilkirkan beberapa hal mendasar terkait masa depan bangsa-bangsa maupun planet bumi. Pertama ada empat perubahan besar yang perlu dipahami secara mendesak.
Pertama, perubahan ekonomi global yang kita kenal sebagai globalisasi ekonomi dunia, termasuk di dalamnya pergerakan arus informasi, arus modal dan tenaga kerja global yang menyertai serta pergerakan barang secara bebas dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Institusi formal maupun pasar memandang bahwa pergerakan tenaga kerja akibat globalisasi ekonomi dapat mengentaskan kemisikinan di negara-negara berkembang akibat kiriman uang dari para buruh migran ke negara-negara asalnya. Pergerakan ini memiliki implikasi-implikasi detail yang kita lihat saat ini. Selain cerita indah, tidak kurang kita memiliki cerita miris, termasuk jebakan perdagangan perempuan-perempuan NTT yang mencoba peruntungan.
Kedua adalah perubahan demografis atau kependudukan secara global. Negara-negara kecil di Afrika seperti Nigeria yang saat ini berpenduduk 175 juta orang akan berpenduduk 440 juta orang sebagaimana diperkirakan oleh PBB. Indonesia akan berpenduduk 366 juta orang. Di tahun 2050, kota-kota seperti Kupang akan menampung lebih dari 1.5 juta orang. Perubahan demografis dan ekonomi di atas juga mengakibatkan meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang bermanifestasi dalam banyak bentuk: pergerakan penduduk termasuk migrasi penduduk dunia yang lebih dari yang pernah kita lihat. Berdasarkan data World Tourism Organizations yang dirangkum dari 201 negara dalam lima tahun terakhir terlihat bahwa tiap tahun, ada peningkatan jumlah pelancong alias wisatawan internasional berdasarkan data ketibaan. Bila di tahun 1950 dunia hanya memiliki 25 juta pelnacong, di tahun 2000 kita memiliki 674 juta pelancong. Lima belas tahun kemudian, kita memiliki 1.2 milyar pelancong. Sebagiannya adalah orang muda. Di 2050, diperkirakan 50 persen penduduk dunia akan jadi pelancong.
Bagaimana pemuda melihat trend pertumbuhan ekonomi global termasuk Indonesia yang masuk dalam catatan di mana pertumbuhan terjadi secara ekslusif alias yang kaya tambah kaya sedangkan yang miskin mungkin tambah miskin? Kita melihat hal ini dengan terang benderang di kota Kupang. Pertubuhan kelas menengah atas bertambah tetapi kalangan miskin berjalan ditempat. Bagaimana pemuda mampu berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja?
Ketiga, Perubahan iklim akibat konsumsi karbon yang samakin tidak terkontrol membuat mitigasi perubahan iklim berjalan ditempat. Perubahan iklim merupakan masalah yang lain yang bertalian dengan tiga hal di atas. Akibat tekanan pada iklim lokal, ada kemungkinan produksi pertanian di pedesaan makin lebih goyah dan tidak stabil. Hal ini kemudian memfasilitasi terjadinya migrasi keluar dari desa-desa yang rentan kekeringan yang kita lihat di berbagai pedalaman NTT termasuk Timor Barat. Hal ini tentu bertalian erat dengan fenomena pelepasan lahan di kampung pada berbagai pada kapitaslis-kapitalis lokal baik dalam wajah pengusaha, aktor-aktor politik, pejabat-pejabat maupun aktivis LSM. Ditingkat lokal, kita bertanya bagaimana orang bisa hidup dengan lahan yang makin kecil. Ditingkat global, kita bertanya bagaimana memberi makan 10 milyar orang di tahun 2050an?
Keempat, revolusi teknologi informasi dan transportasi dalam skala yang berbeda. Perubahan teknologi internet dan media social dalam kehidupan manusia di awal abad 21 ini berjalan lebih cepat dari kemampuan kita memahami konsekuensinya.
Seringkali kita malas namun terus menghibur diri bahwa “tidak ada yang baru dalam matahari.” Saya melihat adalah celah dalam pemahaman soal generasi milenial saat ini. Sebelum bicara soal apa yang harus orang muda lalukan dalam hidupnya, mungkin kita perlu tanyakan hal yang lebih mendasar: sejauh mana masyarakat maupun gereja mamahami orang muda? Informasi apa yang dipakai dalam memahami generasi milenial saat ini? Apakah ada agenda sistimatis terkait upaya memahami orang muda hari ini?
Bagaimana mencegah pemuda GMIT menjadi manusia berdimensi satu? Bila kita harus menjelaskan peran apa yang perlu diambil pemuda GMIT hari ini, maka yang perlu ditegaskan adalah: Ditengah-tengah pusaran berbagai perubahan di atas bagaimana orang muda tetap kokoh dalam membangun agenda-agenda yang penting dalam menciptakan berbagai perubahan-perubahan yang perlu. Misalkan, bagaimana pemuda gereja berkontribusi dalam pengurangan ketidakadilan di berbagai level dan aras: akses pada lapangan kerja, kesetaraan gender, keadilan ekologis, ekonomis dan kesenjangan sosial.
Ditingkat yang lebih praktis mungkin lebih sulit diukur karena hambatan status quo – yakni ‘bisnis model’ atau model pengelolaan jemaat muda yang berjalan sebagai alat pelengkap penderita. Bagaimana mungkin mengelolah orang-orang muda tanpa ada sumber daya yang jelas? Bagaimana memberi jawaban atas persoalan-persoalan praktis dan stratagis dan kompleks sedangkan kita tidak tau apa pertanyaannya?
Saya memang meminjam cara pandang Herbert Marcuse yang terkenal dengan bukunya One Dimensional Man,sambil berutopia bahwa masa depan kita masih mungkin bisa dibentuk ulang dengan semangat yang lebih menghargai perbedaan-perbedaan. Jangan kuatir, pemahaman saya tentang utopia adalah sebuah ruang mental yang emansipatoris yang perlu diciptakan untuk melihat yang tidak mungkin menjadi sesuatu mungkin di masa depan. Dan karenanya kami berharap pada orang muda untuk melakukan tugas tranformasi jamak.
Selamat Hari Kemerdekaan RI ke-72