(Resume Seminar LGBT 14 Januari 2017 di Jemaat Betlehem Oesapa Barat)
KUPANG, www.sinodegmit.or.id Pada tanggal 25 Mei 2015 Mahkamah Agung Amerika Serikat mengesahkan pernikahan sejenis di Amerika Serikat. Satu tahun setelah pengesahan tersebut maka pada tanggal 28 Mei 2016 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengeluarkan Surat Pastoral PGI tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Surat tersebut bertujuan untuk menyingkapi berbagai kontroversi yang muncul dan berkembang di kalangan gereja-gereja dan di tengah masyarakat sehubungan dengan keberadaan LGBT. Dalam pertanyaan pastoralnya, PGI menghimbau agar gereja-gereja dapat belajar untuk menerima keberadaan kaum LGBT. Lebih lanjut, PGI menghimbau agar gereja tidak hanya berhenti pada tahap menerima saja melainkan berjuang agar kaum LGBT bisa diterima dan diakui hak-haknya oleh masyarakat dan negara, terutama hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, perlindungan terhadap kekerasan, hak-hak untuk memperoleh pekerjaan dan sebagainya.
Surat Pastoral PGI ini menuai berbagai pro dan kontra di tengah-tengah umat Kristen dari berbagai denominasi. Reaksi-reaksi tersebut menunjukkan adanya pluralisme pandangan atau ajaran/teologi di Indonesia. Dalam menyingkapi keberagaman pandangan tersebut maka Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sebagai gereja terbesar kedua di Indonesia tentu saja harus mendalami masalah ini lebih lanjut guna memberikan pokok-pokok pikiran GMIT sebagai umpan balik atas pernyataan pastoran PGI ini yang akan disampaikan dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI pada tanggal 26 Januari-1 Februari 2017 di Salatiga.
Guna menjawab maksud seperti itulah maka pada tanggal 14 Januari 2017, GMIT mengadakan sebuah panel diskusi LGBT. Para pembicara yang menyampaikan materi dalam kegiatan tersebut adalah Pdt. Stephen Suleeman, MA.Th, selaku dosen STT Jakarta, anggota Reference Group on Human Sexuality, Dewan Gereja-gereja se-Dunia, 2014-2020 dan European Forum of LGBT Christian Groups, Benny Prawira,S.Psi, dr. Kresnawati W. Setiono, MCTM selaku dosen di Fakultas Kedokteran UNDANA, dan Pdt. Dr. J. E. E. Inabuy, STM yang adalah dosen etika Fakutas Teologi dan Pascasarjana Teologi UKAW Kupang.
Di dalam pemaparannya, Pdt. Suleeman menceritakan tentang pengalaman perjumpaannya dengan kaum LGBT yang mendorongnya untuk mendalami isu ini. Sebagai salah satu dosen di STT Jakarta maka Pdt. Suleeman melalui program Pendidikan Lapangan mengirimkan sejumlah mahasiswa ke lembaga-lembaga LGBT guna mempelajari kehidupan kaum LGBT dan memahami secara dekat pergumulan-pergumulan yang dihadapi kelompok ini di Indonesia. Dalam interaksinya dengan kaum LGBT, Pdt. Suleeman mengungkapkan bahwa stigma dan pandangan negatif yang masyarakat miliki tentang kaum LGBT sangat mempengaruhi bagaimana kaum ini menilai dan menerima keberadaan diri mereka sendiri. TIdak jarang ada di antara mereka yang menempuh jalan pintas seperti mengakhiri hidupnya sendiri ketika keluarga atau orang-orang terdekat mereka tidak bisa menerima orientasi seksual mereka. Di dalam evaluasinya, Pdt. Suleeman melihat bahwa ada sejumlah teks dalam Alkitab yang dijadikan sebagai landasan penolakan tegas terhadap perilaku LGBT terutama karena pembacaan terhadap teks-teks tersebut merekomendasikan LGBT sebagai sebuah dosa atau penyimpangan. Di sinilah, Pdt. Suleemen menyerukan pentingnya memperhatikan konteks yang melatarbelakangi penulisan teks-teks tersebut karena ketika kita melepaskan teks dari konteks maka kita akan terjebak pada hasil pembacaan yang melayani kepentingan tertentu yang mungkin saja berakibat pada penindasan kelompok marginal.
Panel selanjutnya yang dibawakan oleh Irene Nainggolan, Benny Prawira dan dr. Kresna mengurai permasalahan Sogie (sexual orientation, gender identity and expression) dan tinjauan tentang homoseksualitas dari segi psikologi. Di dalam pemaparannya baik Irene Nainggolan maupun dr. Kresna menunjukkan bahwa pemahaman yang baik dan komprehensif tentang SOGIE merupakan hal yang penting untuk dilakukan terutama ketika kita ingin memahami situasi LGBT. Di sini, SOGIE merujuk pada karakteristik-karakteristik umum yang dimiliki oleh seluruh manusia karena setiap orang memiliki orientasi seksual dan identitas gender yang tidak bersifat biner (bukan hanya dua kutub yaitu laki-laki dan perempuan saja) melainkan dapat juga diarahkan pada jenis kelamin yan sama atau terhadap orang-orang dari dua kenis kelamin. Selain itu, setiap orang juga mengekspresikan gender mereka, bukan hanya kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender. Sementara dari kacamata psikologi, pembicara mengemukakan tentang hasil perkembangan yang berhubungan dengan studi tentang Homoseksualitas dalam DSM (diagnostic and statistical manual of mental disorder). Pembicara mengungkapkan bahwa pada tahun 1950-an, masalah orientasi seksual khususnya dalam hal ini orientasi homoseksual dipandang sebagai bagian dari masalah gangguan psikologis atau penyimpangan yang dapat disembuhkan. Namun di tahun 1980-an, anggapan homoseksual sebagai gangguan psikologis dihapuskan secara total dari diagnosis. Dan pada tahun 2015 Presiden Amerika Serikat, Barack Obama memerintahkan untuk menghentikan semua terapi konversi di USA yang bertujuan untuk menyembuhkan orientasi seksual homoseksual. Dalam analisanya, pembicara melihat bahwa seseorang yang memiliki orientasi seksual kepada sesama jenis tidak serta-merta membuat seseorang menjadi rentan terhadap masalah kejiwaan. Faktor lingkungan sosial yang homofobik dan pemberian tekanan minoritas kepada kelompok homoseksual yang menjadi penyebab tingginya stress sehingga memicu gangguan kejiwaan. Di sinilah, salah satu solusi yang ditawarkan adalah adanya keterbukaan masyarakat untuk menerima berbagai keberadaan orientasi seksual. Sikap ini akan mengurangi sikap homofobia yang menyudutkan dan menyengsarakan kaum LGBT.
Sementara itu dari pembicara terakhir yaitu Pdt. Dr J. E. E. Inabuy memberikan pemaparan tentang bagaimana mengenal dan menyingkapi LGBT dari perspektif etika Kristen. Dalam penjelasannya, Dr. Inabuy menggali makna etis-teologis dari Kej 1:1-2:4a, dan menekankan pemberian kemampuan (kuasa) dari Allah kepada manusia agar manusia mampu menjadi penatalayan-Nya dalam mengurus alam semesta dan kehidupan di bumi. Dalam melaksanakan tugasnya maka Allah menciptakan manusia dalam suatu ikatan persekutuan yaitu persekutuan keluarga sebagai basis dari persekutuan manusia. Manusia laki-laki dan perempuan yang menjadi pasangan untuk kepentingan seksual, repreduktif dan juga keintiman cinta kasih merupakan partner yang setara yang bersama-sama memikul tugas sebagai penatalayan Allah. Dalam kaitan dengan maksud penciptaan Allah tersebutlah maka secara etis-teologis, suatu perilaku seksual disebut menyimpang jika tidak bersesuaian dengan maksud Allah dalam Penciptaan ketika Ia menciptakan manusia. Di sini, penyimpangan seksual terjadi jika seks itu sendiri dipisahkan dari ikatan persekutuan keluarga. Artinya, seks mengorbankan tugas penatalayanan keluarga, masyarakat, bahkan kehidupan, yang Allah percayakan kepada manusia, bagi kebaikan kehidupan di bumi. Berdasarkan hasil pembacaan seperti ini maka Dr. Inabuy menegaskan tiga hal yaitu: 1) pentingnya kita memelihara nilai dan sikap emansipatif, tidak diskriminatif secara seksual, oleh karena manusia dengan orientasi seksual apapun sama berharganya sebagai gambar Allah, sang Pencipta; 2) oleh karena seks adalah pemberian Allah maka manusia patut memelihara kekudusan hidup seksualnya guna memperkuat ikatan persekutuan perkawinan, persekutuan manusia berkeluarga, dan persekutuan manusia laki-laki dan perempuan pada umumnya sehingga mampu memberi sumbangsih bagi persekutuan manusia secara universal; 3) adalah menjadi tugas dan tanggung-jawab gereja untuk memberi perhatian pada siapa saja yang mengalami kesulitan, termasuk kaum LGBT agar mereka tidak mengalami diskriminasi dan mampu memperkuat persekutuan keluarga sebagai basis gereja dan masyarakat, sehingga mampu ikut berperan menata-layani keluarga, masyarakat, dan lingkunga sosial.
Sikap GMIT : Sebuah Proses Perjalanan Panjang
Pemaparan para lima pembicara dalam acara diskusi LGBT yang diadakan GMIT ini menghadirkan berbagai respon dari para peserta yang seluruhnya berjumlah 55 orang dari berbagai wilayah pelayanan GMIT. Respon dari para peserta menunjukkan bahwa pewacanaan isu LGBT di GMIT sendiri merupakan sebuah topik yang kompleks dan rumit sehingga hasil diskusi tidak hanya bisa dikategorikan pada tanggapan peserta yang menerima ataupun menolak LGBT. Dalam kesempatan berdiskusi misalnya, kesan yang didapatkan adalah bahwa banyak di antara para peserta sendiri yang membutuhkan informasi yang mendalam berkenaan dengan istilah-istilah atau pemahaman-pemahaman di seputar isu LGBT ini. Salah seorang penanggap misalnya bertanya tentang definisi dari istilah biseksual; apakah biseksual ini juga masuk dalam kategori orientasi seksual ataukah merupakan bagian dari gaya hidup. Pertanyaan yang bersifat definitif juga muncul sehubungan dengan definisi tentang “istri” dalam sebuah perkawinan. Apakah hanya perempuan yang dapat disebut istri sebagaimana yang berlaku dalam pernikahan heteroseksual ataukah sehubungan dengan semakin maraknya pembahasan tentang pernikahan homoseksual maka istri di sini juga bisa merujuk pada laki-laki pula? Kedua contoh pertanyaan di atas menunjukkan masih minimnya diskusi-diskusi terbuka tentang isu ini. Jelas GMIT perlu mengadakan kembali diskusi-diskusi serupa sehingga pemahaman-pemahaman dasar yang berhubungan dengan isu ini dapat tersosialisasikan dengan baik sehingga mendatangkan respon-respon yang muncul dari perenungan yang mendalam berdasarkan referensi yang diterima secara beragam.
Catatan kritis kedua yang diperoleh dari tanggapan para peserta diskusi LGBT yang diadakan oleh GMIT ini adalah sehubungan dengan tidak berimbangnya pembahasan yang ada dalam diskusi tersebut. Semua pembicara adalah mereka yang berterima dan bahkan mendukung LGBT sehingga cenderung menyediakan data-data yang mendukung keberadaan kaum ini. Di sini sejumlah peserta meminta Sinode GMIT untuk juga menghadirkan pembicara yang mengambil sikap yang berbeda dengan yang sudah ada sehingga memberikan referensi yang lebih kaya dan luas demi kepentingan mengambil sikap terhadap isu LGBT. Hal ini penting guna menghindari kesan bahwa Sinode GMIT sudah mematok suatu sikap tertentu sehingga kemudian mendiamkan suara-suara dan pandangan-pandangan yang berbeda – suatu hal yang tentu saja ingin dihindari oleh Sinode GMIT yang menghargai pluralisme pandangan teologi di kalangan anggota-anggotanya.
Catatan kritis ketiga yang diperoleh dari tanggapan para peserta diskusi LGBT adalah sehubungan dengan pernyataan sikap menerima dan menolak keberadaan kaum LGBT yang datang dari berbagai peserta. Tetapi pertanyaan yang timbul adalah apakah yang diterima dari keberadaan LGBT. Apakah penerimaan terhadap kaum LGBT berhubungan dengan individunya yang mengalami perbedaan orientasi seksual ataukah menerima keberadaan organisasi ini yang memperjuangkan hak-hak asasi kaum LGBT atau bahkan menerima persamaan yang diperjuangkan oleh kelompok LGBT dalam hal askpek kehidupan pernikahan? Sebaliknya, ketika kita berbicara tentang kelompok yang menolak maka apakah penolakan ini berhubungan dengan orientasi seksual individu atau terhadap komunitas ataukah lebih pada isu legalitas pernikahan sesama jenis? Kekomplesitasan dan kerumitan yang muncul dari diskusi ini sekali lagi merujuk pada keharusan bagi GMIT untuk kian menggodok masalah ini dengan lebih mendalam lagi sebelum pada akhirnya GMIT tiba pada penentuan sikap pastoral GMIT terhadap LGBT. Di sini tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa proses perjalanan yang harus ditempuh oleh GMIT untuk tiba pada pengambilan sikap teologisnya masihlah panjang.