Pdt. Dr. John Campbell-Nelson
Kalau kita bertanya pada orang, “Gereja itu apa”, mungkin sebagian orang akan menjawab, “Gereja adalah persekutuan orang percaya.” Tapi kalau kita bertanya lebih lanjut, “Apa itu persekutuan”, dalam pengalaman kami, sebagian besar tidak bisa menjawab.
Memang bahasa gerejawi seringkali begitu. Kata-kata yang lazim dipakai tetapi sulit sekali didefinisikan. Seringkali arti dari sebuah kata lebih gampang difahami kalau dibandingkan dengan lawannya. Dalam tulisan ini kami ingin menyajikan pertanyaan yang di atas itu melalui suatu perbandingan di antara “persekutuan” dan sebuah kata yang dari segi tertentu bisa dianggap lawannya: “kerumunan.
Pertama-tama harus diakui bahwa ada persamaan di antara kedua hal itu. Dua-dua terdiri dari orang banyak yang berkumpul bersama-sama. Dan dua-dua ada sesuatu yang menjadi fokus atau pusat perhatian yang membuat orang banyak itu mau berkumpul sehingga kalau dilihat dari luar agak sulit langsung membedakan kerumunan dengan persekutuan. Namun kalau diselidiki ternyata ada sejumlah perbedaan yang sangat prinsipil.
Bayi Sama Dengan Bemo?
Yang pertama kita lihat dari pusat perhatian yang menarik orang untuk berkumpul. Bagi sebuah kerumunan, sifat daripada fokus itu tidak terlalu penting. Asal dia menarik atau sedikit luar biasa. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu kami membawa anak kami, yang sulung, yang masih bayi pada waktu itu, dalam perjalanan ke sebuah desa yang sangat terpencil. Mungkin karena orang di situ jarang sekali melihat seorang bayi yang putih-putih begitu, banyak orang langsung berkerumun dan bertanding untuk mencubit dan menggendong anak kami. Tentu kami sangat senang dengan penyambutan yang begitu hangat.
Beberapa menit kemudian, ada bemo yang mau lewat (dan mungkin bemo hanya lewat di situ sekali seminggu). Rupanya karena mau menghindari lumpur, bemo itu masuk jurang dan tidak bisa keluar. Tiba-tiba kami sendirian berdiri di pinggir jalan. Semua orang sudah lari untuk melihat bemo itu. Lantas saya berpikir, “Wah, rupanya anak kami tidak lain daripada sebuah bemo yang masuk jurang.”
Itulah sifat dari kerumunan. Bayi atau bemo sama saja, asal menarik. Biar kecelakaan, orang berkelahi, penjual obat atau penginjil, yang penting apa saja yang sedikit luar biasa, bisa menjadi pusat perhatian dari sebuah kerumunan.
Lain halnya dengan persekutuan. Di situ justru fokusnya yang paling menentukan. Kalau bendera nasional yang menjadi fokus, orang yang berkumpul hadir sebagai warga negara. Kalau bulan dan bintang kita sudah tahu bahwa itu kumpulan orang Islam. Kalau salib, orang berkumpul sebagai orang-orang Kristen. Fokus daripada persekutuan berkaitan langsung dengan identitas setiap anggota.
Oe…Oe…Oe…
Sebuah kerumunan bersifat sementara. Kebetulan ada sesuatu yang menarik perhatian sehingga orang satu per satu singgah dan menonton. Kalau sudah jadi bosan (bayi tertidur atau bemo keluar dari jurang), satu persatu juga mereka akan bubar. Dengan kata lain, kerumunan tidak ada sejarah dan tidak ada masa depan.
Untuk melihat bedanya dengan persekutuan perhatikan satu hal yang sederhana saja:
Mengapa ada begitu banyak desa di Timor yang diberi nama yang dimulai dengan Oe? Oepura, Oelbubuk, Oenlasi, Oenai, Oesapa-saja? Karena di situ ada air. Dan semua manusia membutuhkan air sehingga orang-orang berkumpul untuk tinggal dekat mata air itu.
Pada umumnya Fokus persekutuan juga menyangkut kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan manusia yang paling mendasar. Di situ ada sesuatu yang memenuhi kebutuhan manusia. Dalam arti itu, Yesus juga disebut “Air Hidup” (Yohanes 7:38) dan “Roti Hidup” (Yohanes 6:48). Kalau Yesus dikiaskan dengan air dan roti, itu menggambarkan bahwa Ia sama penting dengan kebutuhan sehari-hari makan dan minum. Meja perjamuan mencerminkan ini, bahwa gereja seperti keluarga yang berkumpul untuk makan dan minum dari sumber yang sama.
Kalau fokus persekutuan begitu sentral dalam kehidupan manusia, itu juga berarti bahwa persekutuan itu akan tahan lama, karena kebutuhan seperti itu tidak pernah berakhir. Dan memang gereja telah bertahan 20 abad.
Individu dalam Persekutuan dan Kerumunan
Perbandingan-perbandingan yang lain bisa dilihat dari segi peranan individu. Kerumunan:tidak perlu ada keyakinan atau keterikatan terhadap pusat perhatiannya, atau terhadap orang-orang lain yang hadir. Korban kecelakaan berdarah terus, orang berkelahi dan baku pukul terus, pokoknya kita nonton. Persekutuan: Menjadi anggota persekutuan memerlukan keyakinan terhadap fokusnya dan membawa kewajiban terhadap sesama anggota: “Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:35).
Kerumunan:Anggota kerumunan (kalau bisa disebut “anggota”) adalah anonim. Kalau dia mengenal sesamanya dalam kerumunan, secara kebetulan saja. Dan dia anonim juga terhadap pusat perhatiannya. Penjual obat tidak perlu tahu siapakah kita, yang ia perlu adalah uang kita.
Persekutuan:Dalam persekutuan, tidak ada anggota yang anonim. Gembala yang baik “memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya” (Yohanes 10:3). Suatu persekutuan justru terdiri dari hubungan yang diciptakan di antara anggota-anggotanya oleh karena hubungan masing-masing dengan fokusnya.
Kerumunan:Tidak bermaksud untuk mempengaruhi identitas atau nilai-nilai pribadi mereka yang hadir. Persekutuan: Bermaksud untuk membina kepribadian setiap anggota sesuai dengan nilai-nilainya.
Yang terakhir, mungkin dapat kami simpulkan begini. Dalam sebuah kerumunan, semakin kuat setiap individu, semakain lemah kerumunan. Sebaliknya dalam persekutuan, semakin kuat setiap anggota, semakin kuat juga persekutuannya. Contohnya begini: kalau ada orang yang kuat dalam dirinya lewat tempat kecelakaan, dia akan cepat bertindak untuk memanggil polisi, membantu korbannya, dan seterusnya. Akibatnya persoalan lebih cepat selesai dan kerumunan akan cepat bubar. Kalau lewat penjual obat, orang yang menghargai waktu tidak berkerumun lama, hanya mereka yang tidak ada urusan apa-apa yang sabar mendengar sampai habis. Sedangkan dalam persekutuan, talenta-talenta yang ada pada setiap anggota disumbangkan untuk kepentingan bersama. Semakin digerakan karunia-karunia itu, semakin diperkaya persekutuannya (lihat Efesus 4:1-16) dan sedemikian dia tumbuh dan bertahan.
Menguji Jemaat-Jemaat Kita
Dari apa yang dikatakan di atas, jelaslah gereja seharusnya mencerminkan sifat-sifat persekutuan. Tetapi apakah tidak ada juga ciri-ciri kerumunan dalam jemaat-jemaat GMIT? Mereka yang cepat berkumpul untuk menyambut anak kami dan sama cepat bubar untuk melihat bemo dalam contoh di atas adalah anggota GMIT juga. Mungkin kami akan memberikan beberapa contoh:
Apakah kehadiran di kebaktian umum akan naik kalau:
- Ada pendeta tamu (apalagi kalau tamunya orang barat)?
- Ada kebangunan rohani?
- Pada hari-hari raya gerejawi?
Sampai sejauh manakah anggota-anggota jemaat saling mengenal? Apakah pendeta bisa memanggil mereka masing-masing menurut namanya? Ataukah pendeta hanya mengenal sejumlah tokoh masyarakat, pejabat gerejawi, dan anggota-anggota yang “bermasalah” sedangkan yang lain tetap “anonim”.
Apakah pelayanan diakonia yang kita lakukan mencerminkan ikatan kasih yang ada di antara anggota-anggota jemaat dalam kehidupan sehari-hari? Atau lebih bersifat “tontonan natal/paskah”?
Kami tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Tentu setiap jemaat akan terdapat pembauran ciri-ciri persekutuan dan kerumunan. Kami hanya melontarkan sejumlah pertanyaan sebagai semacam kaca cermin demi pemahaman diri kita. Dengan demikian, kami mengakhiri tulisan ini dengan dua pertanyaan lagi:
Sampai sejauh mana jemaat saudara mencerminkan diri, ciri persekutuan, dan sampai sejauh mana mencerminkan diri, ciri kerumunan? Apa yang bisa dibuat dalam jemaat untuk meningkatkan unsur persekutuan dan mengurangi unsur kerumunan? ***
*Bahan ini dikutip dari Berita GMIT No. 4 Tahun 1987.