
Khotbah tersebut disampaikan pada Ibadah Minggu sekaligus Emeritasi dan Perhadapan Pendeta di Jemaat Ebenhaezer Matani, Klasis Kupang Tengah.
Tahun 2006 – 2011 saya melayani di Jemaat Wilayah Noebana, Klasis Amanatun Timur. Saat saya ditempatkan oleh MS GMIT, jemaat itu sudah tidak punya pendeta selama 5 tahun. Padahal ada 9 mata jemaat dan 1 pos pelayanan di Jemaat Wilayah Noebana, dengan Syalom Noebana sebagai pusatnya. Pada waktu itu tiap mata jemaat di Jemaat Wilayah Noebana hanya dapat pelayanan dari KPWK Amanatun Timur 1 atau 2 kali saja dalam setahun.
Ketika pertama kali beribadah di Syalom Noebana, saya kaget saat dalam warta pelayanan disebutkan ada sejumlah rayon yang berhutang kolekte. Saat itu saya tidak mengerti konsep hutang kolekte. Sebab kolekte biasanya bersifat sukarela. Mau kasisedikit atau bahkan tidak kasijuga tidak apa-apa. Tapi kenapa ada hutang kolekte?
Ternyata setelah tinggal di pastori Syalom Noebana baru saya mengerti. Wilayah Noebana yang masih menjadi bagian dari kecamatan Boking pada waktu itu sangat terisolir. Di utara ada kali Noebana. Di selatan ada kali Tumut. Di timur ada pertemuan dari dua kali tersebut. Tidak ada satu pun jembatan yang menghubungkan desa-desa dan kampung-kampung di sekitar kali-kali ini. Karena itu apabila musim hujan, akses antar desa dan kampung putus total karena banjir. Satu-satunya akses masuk ke Noebana tanpa menyeberang kali hanya dari arah barat yaitu dari Kaeneno di kecamatan Amanuban Timur.
Saat itu Noebana belum ada listrik dan sinyal telepon. Sumber air juga jauh dari rumah penduduk. Jalan raya rusak berat. Tidak ada alat angkutan penumpang seperti bus atau pick up. Hanya ada ojek saja yang pada saat itu taripnya Rp25.000,- sekali perjalanan ke Oinlasi. Pada tahun 2006 pihak keamanan mengkategorikan Noebana dan beberapa desa sekitarnya sebagai wilayah segitiga merah karena rawan teku. Tekuadalah aksi pencurian dengan kekerasan.
Kondisi alam dan sosial di Noebana ini mengakibatkan peredaran uang di Noebana sangat minim. Hanya pada setiap hari pasar yaitu hari Sabtu, barulah anggota masyarakat bisa menjual sesuatu untuk memperoleh uang seadanya. Hal ini pun berpengaruh dalam ibadah-ibadah rayon, dalam kaitannya dengan persembahan.
Mayoritas anggota jemaat pada saat itu masih setia hadir dalam ibadah rayon. Sekalipun demikian, mereka tidak membawa kolekte. Karena itu tanggung jawab menyediakan uang kolekte jatuh pada tuan rumah. Di sisi lain tuan rumah juga tidak berani menolak pelayanan ibadah di rumahnya karena sama saja dengan menolak berkat dari Tuhan. Itu sebabnya sekalipun tidak punya uang, namun ketika tiba giliran ibadah di rumahnya tuan rumah pasti siap. Hanya saja persembahan ditulis angkanya saja. Nanti hari Sabtu barulah tuan rumah ke pasar untuk menjual sesuatu. Uang hasil penjualan itulah diantar ke gereja sebagai kolekte.
Namun pada kenyataannya, tidak selalu begitu. Ada kalanya setelah nilai uang kolekte dicatat, mereka tidak sempat berjualan di pasar karena tidak ada yang bisa dijual. Atau sebenarnya ada yang dijual tetapi tidak laku. Akibatnya uang kolekte tidak jadi diantar ke gereja. Kalau sudah begitu, maka dalam warta pelayanan di hari Minggu akan disebutkan bahwa jumlah persembahan yang sudah ditulis masih dalam bentuk hutang.
Melihat kondisi yang demikian, saat itu saya menjadwalkan khotbah secara berseri yang menjelaskan makna persembahan. Persembahan tidak hanya berbentuk uang tetapi juga berbentuk natura berupa barang atau ternak. Persembahan juga bisa dalam rupa persembahan diri atau anak untuk menjadi hamba Tuhan atau pendeta. Saya juga menjelaskan rupa-rupa persembahan seperti kolekte, nazar, persepuluhan, syukur dan sebagainya.
Dengan penjelasan-penjelasan yang demikian anggota jemaat semakin memahami makna persembahan. Namun ternyata ada juga yang menanggapi dengan sinis. Salah satu tanggapan sinis itu begini, “Kalau pendeta sudah berkhotbah tentang persembahan, itu karena uang untuk bayar gajinya masih kurang”.
Memang, pada tahun 2006 GMIT belum punya sentralisasi gaji pokok sehingga semua gaji dan tunjangan pendeta dibayar oleh jemaat di mana seorang pendeta melayani. Tetapi itu tidak berarti kalau pendeta berkhotbah tentang persembahan, tujuannya agar jemaat meningkatkan persembahannya. Kalaupun terjadi peningkatan, itu hanya akibat. Sedangkan tujuan utamanya adalah agar anggota jemaat mensyukuri berbagai berkat Allah di dalam hidupnya.
Dua teks yang dibaca hari ini menolong kita untuk memahami makna persembahan sesuai iman Kristen. 1 Tawarikh 29:13-17 berisi nyanyian syukur Daud karena umat memberi persembahan dengan jumlah yang besar dan mahal sehingga menjadi modal untuk pembangunan Bait Suci yang megah. Sedangkan Lukas 21:1-4 menunjukkan tanggapan Yesus terhadap persembahan seorang janda miskin. Bagi Yesus justru persembahan janda miskin itu lebih banyak dari semua orang kaya. Dua teks inilah yang mendasari tema kita hari ini. Apa esensi persembahan? Kualitas atau kuantitas?
Pertama-tama kita mesti sadar bahwa persembahan berbeda dengan sumbangan. Memang LAI (Lembaga Alkitab Indonesia), dalam TB1, memberi perikop pada teks 1 Tawarikh 29:1-9, “Sumbangan untuk Pembangunan Bait Suci”. Tetapi apabila kita membaca dari ayat 1 sampai dengan 9, tidak ada kata sumbangan sama sekali. Yang ada hanya kata persembahan (ayat 5, 9). Itu sebabnya dalam TB2, perikop 1 Tawarikh 29:1-9 diubah menjadi, “Persembahan untuk Pembangunan Rumah Tuhan”. Teks 1 Tawarikh 29:13-17 merupakan bagian dari nyanyian pujian Daud karena akibat gerakan yang dia rintis, umat Israel memberikan persembahan dalam jumlah yang besar kepada Tuhan.
Kembali ke perbedaan antara persembahan dan sumbangan. Sekalipun keduanya adalah pemberian, namun memiliki perbedaan mendasar. Sumbangan adalah pemberian dari orang kaya dan berkuasa kepada orang miskin atau pihak yang meminta sumbangan. Misalnya, apabila Jemaat Ebenhaezer Matani meminta sumbangan ke bupati Kupang maka itu berarti Jemaat Ebennhaezer Matani kekurangan dana dan karena itu meminta ke pemerintah yang punya kekuasaan dan uang untuk memberikan sumbangan.
Karena namanya sumbangan maka wajib dipertanggungjawabkan. Itu sebabnya setelah direalisasikan maka mesti ada laporan pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti yang sah. Ketika tidak bisa dipertanggungjawabkan maka ada ancaman hukuman dan pengembalian dana sumbangan. Ini yang disebut sumbangan.
Sedangkan persembahan sebaliknya. Persembahan berasal dari kata dasar ‘sembah’ yang dalam KBBI berarti pernyataan hormat dan khidmat. Sedangkan ‘persembahan’ dalam KBBI berarti pemberian kepada orang yang terhormat.
Dalam iman Kristen, persembahan adalah pemberian dari umat kepada Allah pemilik segala sesuatu. Persembahan merupakan wujud syukur atas segala berkat yang diterima dari Allah. Dalam hal ini persembahan diberikan dengan sukacita dan sukarela. Tidak ada paksaan. Persembahan disiapkan secara sadar, bukan sisa atau uang kembalian dari sesuatu yang dibeli. Kepantasan sebuah persembahan ditentukan oleh sikap hati yang penuh hormat kepada Allah sebagai pemberi berkat.
Jadi sederhananya begini. Yang namanya sumbangan, itu pemberian dari orang kaya kepada orang miskin. Setelah sumbangan dimanfaatkan maka wajib dipertanggungjawabkan kepada pemberi sumbangan. Sedangkan persembahan, itu pemberian orang percaya yang miskin dan hina kepada Allah pemilik segala sesuatu. Dalam hal ini orang percaya tidak berhak meminta pertanggungjawaban dari Allah.
Siapa kita yang berharap agar Allah mempertanggungjawabkan apa yang telah kita persembahkan kepada-Nya? Karena itu, kalau sudah memberikan persembahan, jangan diingat-ingat lagi. Jangan pula mengatur pemanfaatannya. Biarlah persembahan itu dikelola oleh Allah melalui gereja-Nya. Anggota jemaat yang terus mengingat pemberiannya kepada Allah, bahkan mengatur-atur penggunaannya, secara tidak sadar telah mengubah persembahan menjadi sumbangan. Ini sebuah dosa besar karena menempatkan dirinya lebih tinggi dari Allah.
Dalam 1 Tawarikh 29:13-17 Daud menegaskan beberapa hal terkait persembahan. Pertama,persembahan mesti disertai dengan sikap menaikkan syukur dan pujian kepada Allah yang agung (ayat 13). Kedua,Daud mengakui bahwa semua yang dia dan umat Israel persembahkan sebenarnya berasal dari tangan Tuhan sendiri (ayat 14, 16). Ketiga,Daud menunjukkan sikap kerendahan hati yang sungguh-sungguh di hadapan Allah (ayat 15). Keempat,persembahan mesti diserahkan kepada Tuhan dengan sukarela dan tulus ikhlas.
Namun perlu diingat bahwa semuanya ini Daud katakan setelah umat Israel mengumpulkan persembahan yang luar biasa. Hal ini dapat dibaca dalam 1 Tawarikh 29:1-9. Dalam perikop ini Daud memulai gerakan persembahan untuk pembangunan Bait Suci Yerusalem. Daud mempersembahkan tiga ribu talenta emas dari emas ofir dan tujuh ribu talenta perak murni (ayat 4). Gerakan Daud ini diikuti oleh umat Israel dan menghasilkan lima ribu talenta emas, sepuluh ribu dirham, sepuluh ribu talenta perak, delapan belas ribu talenta tembaga, seratus ribu talenta besi dan batu permata untuk perbendaharaan rumah Tuhan (ayat 7, 8). Jadi semua persembahan yang mahal-mahal dan dalam jumlah yang besar inilah yang disyukuri oleh Daud.
Lalu bagaimana hal ini disandingkan dengan perkataan Yesus bahwa persembahan janda miskin itu lebih banyak padahal nominalnya hanya dua peser (Lukas 21:1-4)? Sebenarnya Yesus tidak pernah melarang orang percaya untuk memberikan persembahan dalam jumlah yang besar dan mahal. Yesus tidak pernah melarang orang percaya untuk memberikan persembahan dalam bentuk barang-barang mewah. Yang Yesus lakukan adalah mengecam pemimpin-pemimpin agama dan politik pada masa itu yang taat memberikan persembahan namun mengabaikan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (Mat. 23:23; Luk. 20:46-47).
Pujian Yesus atas pemberian seorang janda miskin berdasarkan pada ketulusannya dalam memberikan persembahan. Persembahan tidak didasarkan pada jabatan atau kuasa untuk memperoleh dukungan politis. Persembahan diberikan dengan sukarela, tulus dan dengan penuh penyerahan diri kepada Tuhan. Sang janda memberikan persembahan yang terbaik untuk Tuhan, seperti yang juga dilakukan oleh Daud dan umat Israel ketika mendirikan Bait Suci Yerusalem.
Melalui persembahan janda miskin, Yesus mengkritik sikap orang percaya yang jatuh dalam paham materialistis. Yesus juga mengkritik sikap orang percaya yang menghormati orang lain berdasarkan jumlah persembahannya kepada Tuhan. Yesus bilang, orang-orang beriman yang patut dihormati bukanlah mereka yang jumlah persembahannya besar melainkan orang yang memberikan persembahan dengan sikap sukarela, ketulusan dan kerendahan hati. Jika orang-orang itu kaya dan berkuasa seperti raja Daud, hormatilah dia. Tetapi jika orang-orang itu miskin dan sederhana seperti sang janda miskin, hormati pulalah dia dengan cara yang sama.
Hal lain yang menjadi pelajaran bagi kita dari dua teks ini adalah persembahan yang diserahkan kepada Tuhan memberi dampak terhadap persekutuan umat. Dari 1 Tawarikh 29:13-17 kita melihat dampak fisik dari persembahan yaitu Bait Suci yang megah berhasil dibangun. Sedangkan dari Lukas 21:1-4 kita melihat dampak non fisik dari persembahan janda miskin sejumlah dua peser. Sebab dengan persembahan janda miskin itulah kita belajar esensi persembahan yang sesungguhnya.
Apa makna persembahan dalam kaitan dengan emeritasi dan perhadapan pendeta hari ini? Seperti saya katakan di awal khotbah ini, persembahan tidak hanya berbentuk uang atau natura. Persembahan juga bisa berbentuk persembahan diri atau anak-anak untuk menjadi hamba Tuhan. Pdt Christina Koan yang diemeritasi dan Pdt. Danial Manu serta Pdt. Petronela Leyloh yang diperhadapkan hari ini, seperti semua pendeta lainnya, sebenarnya adalah hasil persembahan dari diri dan keluarganya masing-masing.
Ada pendeta yang sejak bayi dipersembahkan oleh orang tuanya sebagai “Anak Nazar”. Ada pendeta yang menazarkan dirinya sendiri untuk menjadi hamba Tuhan. Yang pasti, pada waktu ditahbis menjadi pendeta, mereka telah diserahkan oleh orang tua dan keluarganya untuk bekerja sebagai hamba Tuhan melalui Gereja Masehi Injili di Timor. Merekalah persembahan terbaik dari keluarga masing-masing untuk bekerja sepenuhnya di ladang Tuhan.
Ada pendeta yang menjalani pelayanan seperti persembahan Daud dan umat Israel. Hasilnya pelayanannya berupa pembangunan fisik yang dapat dilihat dan diraba. Tetapi ada pula pendeta yang menjalani pelayanan seperti janda miskin. Hasil pelayanannya berupa pertumbuhan iman yang tidak dapat dilihat dan diraba. Mana dari dua hasil persembahan ini yang berkenan kepada Tuhan?
Belajar dari dua teks ini maka kita mengetahui bahwa apabila berasal dari persembahan diri yang tulus dan sukarela maka dua-duanya diterima Tuhan. Karena itu jemaat tidak boleh membanding-bandingkan pendeta yang satu dengan yang lainnya. Jangan membandingkan Pdt. Danial Manu atau Pdt. Petronela Leyloh dengan mama Pdt Christina Koan. Jangan pula membandingkan Pdt. Petronela Leyloh dengan Pdt Danial Manu, ataupun sebaliknya. Bahkan di antara sesama pendeta pun tidak boleh saling membandingkan diri. Sebab ada pendeta yang hasil pelayanannya bisa dilihat dan diraba. Artinya pelayanan pendeta itu dapat diukur. Tetapi ada pula pendeta yang hasil pelayanannya tidak dapat diukur.
Saya mendengar bahwa Jemaat Ebenhaezer Matani baru pertama kali melaksanakan ibadah emeritasi dan juga baru pertama kali memiliki dua pendeta sekaligus. Ini suatu sukacita besar yang mesti disyukuri. Tetapi ini juga sebuah tantangan besar bagi setiap anggota jemaat dan majelis jemaat di tempat ini.
Dapatkah seluruh anggota jemaat menahan diri agar tidak membandingkan mama Pdt. Christina Koan dengan kedua hamba Tuhan yang baru ditempatkan? Juga dapatkah seluruh anggota jemaat menahan diri untuk tidak membandingkan Pdt. Danial Manu dengan Pdt. Petronela Leyloh?
Firman Tuhan dari dua teks ini menolong seluruh anggota Jemaat Ebenhaezer Matani dan kita semua untuk menerima semua pendeta, penatua, diaken, pengajar dan bahkan hamba-hamba Tuhan lainnya sebagai hasil persembahan yang sama nilainya di mata Tuhan. Tuhan memberkati kita. Amin.