Ibadah Bahari Jemaat Bethesda Oeteta-Sulamu

SULAMU, www.sinodegmit.or.id, Mensyukuri penyertaan Tuhan selama musim melaut 2020, Jemaat Bethesda Oeteta-Klasis Sulamu mengadakan ibadah bahari.

“Karena kami jemaat pesisir di mana sebagian warga bekerja sebagai nelayan, kami mengadakan ibadah bahari sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Ibadah bahari ini sudah menjadi tradisi di sini. Bentuk ibadahnya berupa syukuran di mana semua hasil melaut selama dua hari jelang ibadah dipersembahkan untuk gereja,” kata Pdt. Boy Nggaluama, Ketua Majelis Jemaat setempat.

Menurut Pdt. Boy, ibadah ini dilakukan 2 kali setahun yakni pada Maret atau April dan ditutup pada bulan November.

Khusus ibadah syukur penutupan pada bulan November 2020 ini, mereka mengundang Pdt. Mery Kolimon, Ketua Majelis Sinode GMIT untuk memimpin ibadah.

Dalam khotbah berdasarkan Markus 6:45-52, dengan perikop “Yesus Berjalan di Atas Air” Pdt. Mery menegaskan 4 hal: Pertama, bahwa hidup sebagai nelayan adalah hidup yang mulia oleh sebab Yesus sendiri memilih murid-murid pertama yakni; Simon Petrus dan saudaranya Andreas, Yakobus dan saudaranya Yohanes adalah para nelayan.

Kedua, melalui nas ini kata Pdt. Mery, para nelayan dapat belajar menggantungkan hidup kepada Tuhan dalam situasi apa pun. Sebagaimana Yesus hadir dan menolong murid-murid yang dihantam angin sakal, demikian juga Ia senantiasa menolong setiap orang percaya dalam segala situasi.

Ketiga, dalam situasi apa pun terutama dalam krisis, Tuhan mengajarkan kita agar senantiasa berdoa (ay. 46), dan Keempat, terus menjaga hubungan dengan Tuhan dengan cara membaca Firman Tuhan.

Hadir juga dalam ibadah syukur ini, Pengurus Kaum Bapak GMIT lingkup sinode, Ketua UPP Kategorial PAR, Pdt. Dorkas Sir, Ketua Majelis Klasis Sulamu, Pdt. Yunus Kaytulang, dan Tim Kolaborasi Sinode.

Mengingat sejumlah hambatan dalam hal pemasaran hasil-hasil laut, Ketua MS GMIT meminta struktur yang ada untuk bahu-membahu menopang usaha-usaha warga gereja.

Yabes Messakh (47) salah satu nelayan udang yang hadir dalam ibadah ini mengaku hasil tangkapan udang cukup menjanjikan namun tantangannya adalah pada harga yang belum stabil.

“Musim udang melimpah sekitar Maret sampai Mei. Untuk jenis udang putih, kami jual dengan harga 50 ribu rupiah per kilogram. Sedangkan di luar musim, harganya 75 ribu sampai 80 ribu per kilogram.”

Selain masalah pemasaran dan harga yang dinilai tergolong rendah, Yabes juga mengisahkan ancaman yang tidak kalah penting saat ini adalah kehadiran buaya muara yang sewaktu-waktu muncul di laut.

Ibadah bahari yang berlangsung di areal tambah garam ini ditutup dengan pelelangan hasil melaut berupa udang dan ikan. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *