KUPANG,www.sinodegmit.or.id, Dari sekian banyak kasus yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, khususnya TKI asal NTT, terbanyak adalah kasus majikan tidak membayar gaji. Hal ini diungkapkan olehYusron Ambari, Koordinator Satuan Tugas Perlindungan WNI Kedutaan Besar RI Kuala Lumpur di Kupang, Kamis, (19/4).
“Setiap hari kami rata-rata kami menerima 4 laporan kasus dari TKI. Dari semua kasus yang dilaporkan lebih dari 80% kasus yang menimpa warga NTT adalah tidak dibayar gaji. Baru-baru ini ada beberapa kasus yang saya tangani, ada yang 5, 6 dan 7 tahun tidak dibayar gaji. Dan ada yang baru kemarin, 11 tahun kerja tidak dibayar gaji. Dia tidurnya di gudang, makan tiap hari nasi kering, sesekali diberi ikan, itupun ikan basi tapi dia bertahan 11 tahun.”
Menurut Yusron, banyaknya kasus semacam ini bukan semata-mata karena majikannya orang jahat, tetapi juga faktor keengganan TKI mengajukan protes dan melaporkan kasusnya. Keengganan itu terkait erat dengan faktor pendidikan TKI yang sangat rendah.
“Sebenarnya ada yang salah dengan kawan-kawan tenaga kerja ini. Mereka tidak punya kemampuan dan kemauan untuk protes. Pengalaman kami dengan kasus semacam ini bermula dari coba-coba. Satu bulan majikan tidak bayar gaji, anaknya diam. Dua bulan, diam, tiga bulan diam, satu tahun masih saja diam, bahkan 11 tahun dia tidak protes sama sekali. Tenaga kerja dari daerah lain, seperti dari Jawa hampir tidak ada yang mengalami kasus tidak dibayar gaji. Kalau TKI asal NTT, mohon maaf banyak,” ujarnya.
Terkait hal ini kata Yusron, pihaknya telah berdiskusi dengan pemerintah kabupaten Kupang. Dan, muncul wacana dari Bupati Kupang untuk memasukan isu –isu ketenagakerjaan dalam kurikulum Sekolah Dasar, mengingat kebanyakan tenaga kerja NTT bekerja di sektor informal rata-rata hanya berpendidikan dasar.
“Orang NTT itu jiwanya merantau. Upaya pencegahan itu hampir mustahil. Jadi yang bisa kita lakukan adalah membekali mereka dengan pengetahuan. Paling dasar itu bahasa Inggris. Sehingga kalau majikan bilang, “kamu tidak dibayar, dia bisa ngomong.”
Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mendidik anak-anak TKI baik legal maupun ilegal di Malaysia, kata Yusron, adalah membangun sekolah dasar hingga sekolah kejuruan di ladang-ladang sawit. Hingga saat ini sudah ada sekitar 50 CLC (Community Learning Centre).
“Kalau kita ke ladang sawit, ada ratusan anak yang tidak sekolah. Ini anak-anak yang lahir dari orang tua TKI ilegal. Padahal TKI dilarang menikah di luar negeri, tapi namanya juga jatuh cinta maka jadilah anak-anak itu. Mereka kerjanya hanya bermain di hutan. Kalau tiap hari dia lihat bapaknya panjat pohon petik sawit sudah pasti anak itu nanti akan jadi pemanjat pohon lagi. Itu yang kita sebut loss generation. Dari bapak ke anak punya kerjaan yang sama, jadi kami minta majikan bikin sekolah nanti guru dan buku-buku pemerintah Indonesia yang siapkan.”***