PENGHARGAAN SYLVIA-MICHEL PRIZE

CATATAN PERJALANAN SWISS FEBRUARI-MARET 2018

Oleh: Pdt. Dr. Mery Kolimon

Pagi ini, 7 Maret 2018, saya bangun subuh. Jam 6.50 adalah jadwal penerbangan saya ke Tanzania, Afrika melalui Amsterdam, Belanda. Syukur jarak dari hotel tempat saya menginap, yaitu hotel Mission House di Basel, tidaklah jauh ke bandara internasional Basel. Di pagi hari sebelum jam kerja, jarak tempuhnya hanya 10 menit. Jam 5 pagi saya cek out dari hotel, dan bersyukur bahwa pihak Mission 21 (M21) memastikan telah tersedia satu kotak sarapan pagi saya: sebotol air mineral; sepotong snack berbahan dasar gandum dan strawberry; satu kotak yoghurt; sepotong besar roti sandwich dengan isi keju kambing yang enak, sedikit sayur hijau, tomat, dan sedikit irisan daging sapi; satu buah apel; dan satu buah pisang.

Taksi datang terlambat 5 menit dari jadwal dan itu membuat saya cukup risau. Bapak penjaga malam di hotel Mission House sangat ramah. Dia berasal dari Cameroon, Afrika, dan menikah dengan seorang wanita Swiss. Putera mereka baru berumur setahun. Hari ini isterinya berulang tahun. Sambil menunggu taksi datang, kami bercerita tentang hidup: di Swiss, di Cameroon, dan di Indonesia. Syukurlah perjalanan ke bandara lancar, dan setelah beberapa menit tiba di bandara saya sudah selesai check-in dan menuju ke pintu penerbangan. Di pesawat menuju Amsterdam, saya mulai mengetik cerita ini untuk kawan-kawan.

Tiba di Swiss

Saya tiba di bandara internasional Zurich pada 28 Februari 2018 di pagi hari. Di bandara itu saya dijemput oleh mantan ketua sinode Lucern, Ibu Rosemarie Manser. Di bandara juga telah menunggu Ibu Nitha Muller-Soplanit, seorang nona Kupang yang menikah dengan orang Swiss dan tinggal di negeri itu. Ibu Nitha masih banyak diingat di Kupang sebagai bintang radio Kota Kupang di era 1980-an. Kami saling menyapa sejenak dan kemudian saya dan Ibu Rosemarie melanjutkan perjalanan ke Baden, yaitu sekitar satu jam dengan mobil dari Bandara Zurich. Swiss sedang lumayan dingin ketika saya tiba. Suhu di luar sekitar minus 6 derajat hari itu. Syukur di setiap ruangan dan mobil ada pemanas ruangan yang membuat saya tidak kaku kedinginan. Bersyukur pula saya masih menyimpan jaket tebal saya yang sekitar delapan tahun lalu dibelikan oleh Gereja Uniting Church of Christ (UCC) di Amerika waktu saya pertama kali ke sana sebagai anggota badan misi mereka.

Ketika kami tiba di Baden, Pdt. Markus Graber, yang adalah pendeta jemaat di sana telah menunggu di sana. Di pastori mereka tinggal Pendeta Markus, isterinya, dan ayah Pak Pendeta. Selesai minum teh, ibu Rosemarie pamit dan pulang ke rumahnya di kota lain. Sebelum pulang ibu itu menyerahkan kepada saya tiket untuk 7 hari selama saya ada di Swiss. Dengan tiket harian itu, seseorang bisa memanfaatkan berbagai transportasi darat, seperti bis dan kereta api tanpa membayar ekstra. Saya memilih untuk segera mandi air hangat setelah terbang lebih dari 20 jam dari Kupang. Sebelum mandi saya sempatkan diri memeriksa email, WA, dan facebook saya untuk mengecek kabar di tanah air. Betapa terkejutnya saya, rupanya facebook saya diretas. Hari itu saya berusaha semampuku tetapi tidak berhasil untuk memulihkan akun FBku. Dari sejumlah WA adik-adik dan kawan-kawan, saya tahu bahwa si peretas telah mengirim berita meminjam uang kepada sejumlah saudara. Saya sungguh-sungguh mohon maaf atas hal ini.

Setelah mandi dan makan siang, saya mengajak Pdt. Markus dan isterinya untuk berjalan kaki. Setelah terbang lebih dari 20 jam saya tidak mau langsung tidur tetapi memilih untuk bergerak sebentar di luar dan menghirup udara segara. Mereka dengan senang hati mau melakukannya bersama saya. Kami naik bis ke puncak bukit yang jaraknya sekitar lima kilometer dari kota Baden, lalu berjalan kaki dari sana kembali ke kota. Saya sangat menikmati perjalanan di udara yang sangat dingin di petang itu. Walaupun sangat dingin, langit cerah sore itu dan dari ketinggian kami bisa melihat wilayah Swiss di daerah itu yang indah. Pdt. Markus dan isterinya menjelaskan kepada saya bahwa pegunungan berlapis yang kami lihat  itu adalah pegunungan Jura, yang gunung-gunungnya berlapis di perbatasan Swiss dan Perancis. Nama Jura itu juga terkait dengan apa yang dikenal sebagai Jurassic, yang menunjuk pada taman reptile raksasa yang telah punah.

Malam harinya kami makan malam yang hangat dan saya harap dapat tertidur lelap. Awalnya saya dapat tidur nyenyak, namun pada jam 2 dininari waktu di sana saya tak bisa tidur lagi. Perbedaan waktu antara Kupang dan Swiss adalah tujuh jam. Kalau jam 2 dinihari di Swiss itu berarti jam 9 pagi di Kupang. Saya memilih untuk memeriksa email dan mempersiapkan bahan presentasi saya di Gereja Baden. Saya bersyukur Pak Wanto Menda dan Pak Theny Panie telah menyediakan video pendek (sekitar tujuh menit) untuk saya bagikan sebagai bagian dari presentasi saya. Jam 5 pagi saya sudah kelelahan sehingga saya tidur kembali. Jam 7 saya bangun untuk bersiap ke gereja. Begitu menyibak tirai kamar, saya sangat gembira salju telah turun dan seluruh halaman serta pepohonan telah tertutup salju yang cukup tebal. Oh, beta gembiranya saya. Memang sangat dingin tetapi melihat salju selalu romantis bagiku. Habis bersiap saya minta Pastor Markus untuk membuat foto-foto saya dengan salju.

Diskusi di Baden

Acara di Jemaat Baden itu dimulai pada jam 10 pagi. Jemaat di Baden mengundang banyak orang untuk pertemuan itu. Peserta hari itu sekitar 40 orang, termasuk beberapa ibu orang Indonesia. Dua dari mereka diminta untuk memasak makanan Indonesia bagi semua peserta. Jadi siang itu setelah presentasi saya dan diskusi, kami makan nasi dan rendang yang nikmat, ditambah tumis kacang panjang dan telur bumbu, serta sambal dan kerupuk. Para peserta antusias dengan presentasi saya dan kami terlibat dalam diskusi yang hangat. Beberapa isu yang kami bicarakan adalah mengenai partisipasi jemaat dalam kehidupan bergereja, sekolah-sekolah GMIT, dan isu perdagangan orang. Ada juga peserta yang bertanya mengenai buku Memori-Memori Terlarang. Di Eropa banyak sekali gereja yang sangat berkurang anggotanya. Saya bercerita mengenai partisipasi jemaat yang sangat kuat dalam kehidupan bergereja di GMIT.

Selesai acara makan siang, saya dan Ibu Nitha pergi ke rumah mereka yang berjarak sekitar satu jam dari Kota Baden. Dengan mobilnya kami pergi ke air terjun yang sangat terkenal di kota itu, yaitu Rheinfall. Daerah itu merupakan hulu sungai Rhein (atau dalam bahasa Inggris Rhine) yang bermuara di Rotterdam, Belanda. Sebagian air di tepi sungai itu membatu karena dingin, namun pemandangannya sangat indah.

Setelah puas memandangi indahnya Rheinfall dan berfoto di sana, kami melanjutkan perjalanan menyusuri perkampungan-perkampungan kecil di pebukitan Swiss yang sangat indah. Selanjutnya kami pergi ke kota di dekat situ untuk “cuci mata”. Saya mendapat hadiah dibelikan dua potong baju musim panas yang sederhana dari Ibu Nitha yang akan sangat cocok dipakai di Kupang. Kami lalu kembali ke desa mereka dan menikmati bakso yang dimasak sendiri. Rasanya sangat nikmat menyantap bakso di udara yang sangat dingin. Sebagai pelengkapnya kami juga menikmati salad segar dan segelas anggur merah yang manis.

Jam 9 saya sudah berada kembali di atas kereta api menuju Baden. Setibanya di stasiun kereta api Pdt. Markus telah menunggu. Dengan berjalan kaki 5 menit kami tiba di rumah pastori mereka. Saya langsung menuju tempat tidur dan berusaha lelap. Rupanya jet legbelum juga pergi. Meskipun hari itu sangat padat dan saya kelelahan, jam 3 dinihari saya tak bisa tidur lagi. Saya pun bangun dan mempersiapkan sejumlah bahan untuk presentasi saya selama di Swiss.

Sehari di Luzern

Jam 8 pagi Pak Markus dan isterinya mengantar saya ke kereta api untuk menuju Kota Luzern. Untuk sampai di sana saya harus bertukar kereta api di Olten. Hal itu tidak gampang sebab saya membawa koper yang cukup besar untuk perjalanan 2 minggu saya di Eropa dan Afrika. Beruntunglah di Olten, Ibu Verena Enzler, yaitu Ketua Pengurus Sylvia-Michel Prize telah menunggu saya untuk membantu saya berpindah kereta api. Buru-buru kami pindah ke peron sebelah untuk mengejar kereta api ke Luzern. Di Luzern telah menunggu Ibu Rosemarie yang dua hari sebelumnya menjemput saya di bandara. Dengan mobilnya kami pergi ke kantor sinode Luzern. Saya bertemu ketua sinode dan dua orang staf di sana, bercakap tentang gereja masing-masing, lalu saya diajak untuk berjalan mengunjungi kota yang indah itu. Di kota itu mayoritas penduduknya adalah Katolik dan jumlah orang Protestan sedikit. Mereka bercerita pada saya bahwa meskipun di masa lalu hubungan antara kedua gereja sangat tegang, namun sekarang relasi sudah sangat baik. Ada banyak proyek kerja sama di antara kedua gereja.

Setelah percakapan sekitar satu jam di sana, kami pergi mengunjungi gedung gereja Protestan tertua di kota itu. Menurut cerita, gedung itu dibangun dengan dana dari turis Inggris. Di gedung itu ada grup musik yang sedang berlatih mempersiapkan konser musik mereka. Kami duduk sebentar mendengar musik klasik yang sangat indah. Dari gedung gereja itu, di bawah salju basah yang terus turun, kami menuju ke kapal pesiar untuk mengitari kota Luzern yang indah sambil menikmati makan siang kami. Kota itu sangat menawan dengan barisan pegunungan yang tinggi tertutup salju dan sungai besar. Di sepanjang sungai banyak sekali hotel mewah, baik yang dimiliki oleh orang-orang Swiss maupun orang kaya dari berbagai negara. Sambil menikmati makan siang, kami bicara banyak hal tentang kepemimpinan perempuan dalam gereja, dan apa yang mesti dibuat agar kepemimpinan perempuan menjadi efektif. Kurang lebih dua jam mengitari kota Luzern sambil bercakap di kapal pesiar itu, kedua ibu ketua sinode dan mantan ketua sinode itu mengajak saya mengunjungi kantor walikota dan kantor DPRD kota itu.

Sangat menarik bahwa tidak semua ketua sinode di Swiss adalah pendeta. Di sinode-sinode dengan jumlah jemaat besar ketua sinode pasti pendeta, namun di sinode-sinode kecil ketua sinodenya tidak selalu demikian. Para ketua sinode di sinode-sinode besar bekerja penuh, di sinode-sinode kecil, ketua sinodenya bekerja paruh waktu. Sebagai contoh, ketua sinode Luzern sekarang adalah mantan wakil walikota Luzern. Dia mengajak saya ke bekas kantornya yang megah di tengah kota. Hampir semua orang yang kami temui di jalan  kota itu mengenal dan menyapa dia.

Dari kantor-kantor pemerintah itu, kami menuju suatu tempat yang sangat menarik, yaitu tempat yang dapat disebut kafe pastoral. Tempat itu terletak di tengah kota di mana setiap hari ada relawan yang menyiapkan kopi, teh, dan makan siang sederhana untuk orang yang mau datang untuk berbicara tentang imannya. Tempat itu merupakan tempat yang dibiayai bersama oleh gereja Protestan dan gereja Katolik ditempat itu. Sejumlah sukarelawan berganti menerima tamu di sana. Ketika kami masuk, tempat itu setengah penuh. Ada orang-orang tua, ada perempuan separuh baya, dan ada juga dua orang muda. Saya mendapat penjelasan dari relawan di sana bahwa di Eropa banyak orang sudah tidak lagi tertarik untuk datang mendengar khotbah pendeta di gereja. Karena itu tempat ini disediakan agar jika orang bergumul dengan imannya atau saat menghadapi krisis dalam hidup seperti saat keluarganya meninggal, atau mengalami masalah di tempat kerja, atau pernikahannya bermasalah, mereka bisa datang untuk berbagi di tempat itu. Saya melihat sukarelawan di sana sangat serius menerima semua orang yang datang. Para pengunjung di sana ada yang memilih bicara banyak, ada yang hanya mau datang duduk dan diam saja.

Dari kafe itu, kami menuju ke tempat pelayanan pengungsi di kota itu. Tempat itu sangat menarik. Gedung yang dipakai adalah milik gereja Katolik namun diberikan kepada sebuah LSM untuk dikelola. Saya belajar banyak sekali hal penting dalam percakapan dengan direktur tempat itu, yang disebut Home Welcome. Mereka melayani para pengungsi yang berasal dari berbagai negara, baik itu dari Afrika, Eropa Timur, maupun Timur Tengah. Pelayanan mereka meliputi pelayanan sosial budaya, hukum, pemulihan trauma, dan berbagai kegiatan lain.

Dua Malam di Pegunungan Alpen

Jam 5 sore saya sudah kembali berada di stasiun kereta api untuk menuju kota berikut. Kota Engelberg sebenarnya adalah sebuah desa kecil di pegunungan Alpen. Letaknya sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Dalam perjalanan ke sana saya melewati tempat-tempat yang sangat indah. Tak habis-habisnya saya memandangi padang luas tertutup salju, sungai besar dan kecil, serta danau besar dan luas. Lalu kereta api memasuki perut gunung. Ketika kereta api mendaki ke pegunungan Alpen, kereta itu masuk ke perut gunung yang telah dibuat terowongan. Panjang terowongan sekitar 6-7 kilometer dan memakan waktu sekitar 15 menit untuk melewatinya. Sepanjang terowongan yang gelap itu, kereta merayap perlahan. Begitu tiba di luar terowongan cahaya kembali terlihat dan barisan gunung tertutup salju langsung di depan mata.

Di stasiun kecil di Engelberg, ibu Theres Meyerhof sudah menunggu saya dengan mobilnya. Saya diantar ke sebuah hotel, Edelweis, tempat saya menginap selama 2 hari. Letak hotel itu agak di bukit. Hotel itu penuh dengan turis dari berbagai negara, tetapi terutama orang Belanda. Di meja makan saya mendengar banyak sekali orang bicara bahasa Belanda. Saya sempat bersapa dengan seorang ibu muda dan dua puterinya. Panitia sudah mengatur agar di samping berbagai pertemuan dan presentasi, saya dapat kesempatan untuk beretreat dan menikmati pegunungan Alpen yang luar biasa indahnya. Itu menjadi bagian dari penghargaan yang diberikan. Setelah makan malam saya ibu Theres berpisah.

Esoknya kami bertemu jam 10 pagi. Setelah sarapan, kami siap mendaki gunung. Saya kembali memakai pakaian berlapis agar bisa menahan dingin. Beruntung untuk mendaki gunung mereka punya alat yang canggih, yaitu kereta gantung. Kami pergi ke tempat yang disebut Sunnyside, yaitu bagian di mana paling banyak cahaya mataharinya. Gunung tertinggi di daerah itu adalah gunung Tiglit yang tingginya lebih dari 3400 meter. Sedangkan nama desa Engelberg itu mengikuti nama salah satu gunung di sana. Ada legenda bahwa desa itu terbentuk ketika ada malaikat yang datang ke gunung itu dan mengatakan bahwa di desa itu harus dibangun sebuah biara (Katolik). Biara itu kini sudah berumur lebih dari 1000 tahun.

Di gunung, kami berjalan perlahan di bawah sinar matahari yang cerah. Kami bersyukur pagi itu matahari muncul sehingga kami dapat menikmati udara yang segar. Salju tebal yang terinjak sepatu baut kami menimbulkan bunyi yang khas. Kami melangkah perlahan berusaha mendengar suara alam: desahan angin yang meniup cemara di gunung-gunung itu, anak-anak yang bermain ski bersama orang tua mereka, serigala yang mengaum dari kejauhan. Di salah satu puncak, saya mengajak Ibu Theres untuk duduk sejenak di bangku kayu di bawah matahari, tidak berbicara apapun, hanya mendengar bunyi alam. Diam, tenang, teduh. Sungguh sebuah kesempatan untuk berpulih dari berbagai kesibukan: kembali ke diri, menyatu dengan alam, menimba dari energinya yang murni.

Setelah berjalan dan duduk sebentar menikmati kopi yang harum dan hangat di kafe di gunung itu, kami kembali ke kampung dengan menggunakan kereta gantung. Lalu kami mengunjungi pelayanan panti jompo di desa itu. Ibu Theres yang adalah mantan ketua sinode di sana adalah direktur di tempat itu.  Dia menjelaskan kepadaku pelayanan di panti itu. Lalu kami pergi mengunjungi biara tua dan sangat indah. Malamnya saya tertidur saat pulas dan menyiapkan diri untuk ‘hari besar’ dalam hidupku: penghargaan Sylvia-Michel Prize.

Menerima Penghargaan

Struktur gereja Protestan/Reformasi di Swiss mengikuti struktur pemerintahan negara itu. Di seluruh Swiss ada 26 kanton, atau negara bagian yang cukup mandiri. Hampir di setiap kanton ada sinode gereja Protestan/Reformasi yang mandiri juga. Dalam kunjungan kali ini saya mendapat kesempatan untuk bertemu dan dijamu oleh paling sedikit oleh 4 klasis dan sinode, yaitu di Baden, Luzern, Engelberg, dan Aargau. Sinode-sinode mandiri di Swiss telah bekerja sama untuk memberikan penghargaan setiap dua tahun kepada perempuan Kristen dari berbagai negara. Dalam hal ini mereka sejak awal bekerja-sama dengan Persekutuan Gereja Reformasi Sedunia (WCRC). Penghargaan itu didedikasikan kepada Pdt. Sylvia-Michel, yang adalah pendeta perempuan pertama di Swiss, yang sekaligus juga merupakan ketua sinode perempuan pertama di Eropa. Ibu ini telah juga aktif dalam berbagai relasi ekumenis internasional. Misalnya dia menjadi ketua suatu tim di Dewan Gereja Sedunia (WCC) untuk isu Apartheid di Afrika Selatan.

Kami berangkat sekitar jam 7.45 dari Engelberg. Saya sungguh menikmati desa yang indah dan pelayanan para staf hotel yang sangat hangat. Saya cukup terkesan bahwa menejer hotel itu adalah juga mantan ketua sinode Engelberg. Jadi saya mendapat perhatian istimewa sebagai tamu mereka juga. Kami meninggalkan desa yang sangat indah dengan mobil menuju Bremgarten untuk kebaktian minggu sekaligus pemberian penghargaan. Di daerah pegunungan cuaca sangat cerah, langit biru dengan matahari yang terang benderang. Namun saat kami tiba di kaki gunung, kami disergap kabut tebal. Seperti banyak kali kita mengalaminya jika kita turun dari SoE menuju Kupang. Hampir satu jam kami merayap perlahan di dalam kabut tebal di pinggir sungai Rhein.

Jam 10 kebaktian dimulai. Yang hadir dalam kebaktian itu berjumlah hampir 100 orang. Itu jumlah yang besar bagi jemaat di Bremgarten. Banyak juga tamu yang datang dari berbagai sinode di Swiss untuk acara pemberian penghargaan itu. Kebaktian dipimpin salah satu pendeta perempuan jemaat setempat. Dalam kebaktian ada perjamuan kudus. Saya diminta turut memimpin perjamuan kudus. Lalu dalam kebaktian pula ada acara pemberian penghargaan. Sambutan diberikan oleh ketua sinode Aargau, lalu saya juga diminta memberi sambutan. Sebelumnya Tim Pemberian Penghargaan menjelaskan tujuan pemberian penghargaan dan mengapa saya yang dipilih untuk penghargaan tahun ini. Isi sambutan dapat dilihat dalam sebuah laporan di website GMIT.

Dua Hari di Basel

Setelah acara itu selesai saya menuju Basel. Selama dua hari menjadi hari yang sangat padat. Di malam hari saya bertemu dengan Ketua Pembina Badan Misi Gereja Swiss, yaitu Mission 21 (M21). Kami makan malam bersama di rumah Ibu Marie Claire-Barth.  Hadir juga isteri dari Pak Ketua Pembina itu bersama salah satu Pembina. Besok paginya saya sarapan sambil berapat dengan Direktur M21. Jam 9 saya berapat dengan Komisi Perempuan M21, lalu jam 11 saya diajak berpresentasi dengan Rotary Club Swiss di salah satu hotel di Kota Basel. Dari sana saya mengikuti lokakarya mengenai perempuan dan jender di kantor M21.

Besoknya pagi-pagi saya diajak melihat Kota Basel dan mengunjungi gereja-gereja mereka yang indah. Saya berkesempatan juga membeli sejumlah oleh-ole untuk anak-anak. Lalu kami berlari pulang ke kantor sebab jam 11 ada rapat dengan Komisi Asia dari M21. Di tahun 2017, M21 melalui PGI  telah membantu GMIT dengan memberikan dana sebesar Rp. 120.000.000. Dana itu dipakai untuk menyewa rumah untuk Shelter Rumah Harapan, yaitu sebagai simpul pelayanan pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. Dana itu juga  dipakai untuk gaji staf dan operasional pelayanan. Dalam rapat mereka menyampaikan bahwa tahun ini M21 melalui PGI akan membantu lagi Rumah Harapan GMIT dengan biaya sejumlah Rp. 150.000.000,-

Sore hingga malam itu saya diminta berbicara di sebuah seminar internasional mengenai Gereja dan Migrasi. Pembicara seminar itu adalah Sibel Arslan, politisi popular di Basel dan saya. Sibel adalah generasi kedua migran dari Turki. Dia datang ke Swiss mengikuti ayahnya saat dia berusia 12 tahun. Perempuan muda itu mula-mula menjadi anggota DPRD Basel, dan sekarang menjadi anggota DPR Nasional Swiss dari Partai Hijau (Green Party). Dia selalu memperjuangkan hak-hak kaum migran dan lingkungan hidup di negaranya sekarang.

Saya berbicara di seminar itu tentang pelayanan korban perdagangan orang di GMIT, dan juga menunjukkan data-data yang berhasil GMIT dan jaringannya kumpulkan sejauh ini. Saya mendorong gereja-gereja di Swiss dan Indonesia untuk sungguh-sungguh peka terhadap kaum pinggiran dan terlibat bersama Allah dalam pelayanan kemanusiaan.

Terbang ke Afrika

Kini saya telah tiba di Afrika. Selama 7 hari saya mengalami kehangatan kasih saudara-saudara seiman di Swiss. Di pesawat, saat menulis bagian pertama artikel ini, saya memandang ke luar jendela pesawat dan melihat langit Eropa perlahan-lahan menjadi lebih cerah di awal musim semi yang masih dingin ini. Semburat cahaya gemilang di atas tebalnya awan putih membuat saya berefleksi. Terkadang hidup terasa berat seperti berlapisnya awan putih dan hitam di angkasa, namun penyertaan Tuhan akan selalu ada. Seperti mentari yang terus bersinar, juga ketika kita tak melihatNya, demikian kasih Tuhan bagi dunia, bagi seluruh semesta, bagi Timor, bagi Gereja Masehi Injili di Timor. Semburat dan hangat cahaya kasih Tuhan itu kita alami dari orang-orang yang mengasihi kita; yang memeluk dan mengampuni kita setiap kali kita jatuh; yang mengatakan pada kita saat pergumulan begitu berat: jangan putus asa, kami ada bersamamu; yang berbagi visi dan berjuang bersama untuk langit baru dan bumi baru di mana damai, keadilan, dan keutuhan ciptaan menjadi nyata.

Saya sangat bersyukur. Rumah Aman untuk korban perdagangan orang di Kupang, yang kita sebut Rumah Harapan, sudah mulai jalan. Beruntung pula melalui WA, saya bisa mengikuti perkembangan pelayanan kawan-kawan di kantor sinode dan di Rumah Harapan. Masih banyak hal yang kita butuhkan untuk memperkuat kesadaran dan membangun kapasitas. Namun saya selalu percaya bahwa kalau kita sungguh-sungguh berniat baik, Tuhan pasti buka jalan. Saya baru saja mendapat email dari Gereja Belanda melalui badan misi mereka, yaitu Kerk In Actie, bahwa berdasarkan percakapan kami Bulan September 2017 yang lalu, saat kunjungan saya ke sana, Gereja Belanda bersedia mendukung GMIT dengan dana lebih dari 2 miliar rupiah untuk membangun sebuah rumah aman dan mendukung seluruh pelayanan Rumah Harapan kita lima tahun ke depan. Ya, Tuhan sungguh sungguh baik. Bagi Dia tak ada yang mustahil. Dia buka jalan untuk karya pelayanan yang kita rintis di tengah pergumulan kemanusiaan yang sangat mengharapkan kehadiran gereja.

Cerita mengenai konferensi di Afrika akan menyusul. Selamat tidur Tanah Timor. Di sini kami baru memasuki malam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *