Eksposisi:Nelayan biasanya memakai berbagai alat menangkap ikan. Uniknya, jika orang menangkap ikan dengan kail/joran, atau bubu/perangkap, selalu disediakan umpan yang menarik. Beda dengan menjala, kadang-kadang memakai hukum probabilitas atau hukum kemungkinan; ditebar dapat ikan atau tidak. Apalagi menebar jala di tempat yang dalam, biasanya pukat/jala harus cukup besar dan canggih.
Semalaman Petrus dan teman-temannya sudah mencoba jala-jala itu. Sampai fajar menyingsing, tak ada satupun ikan yang ‘nyangkut’ di pukat mereka. Padahal, besok pagi keluarga menanti hasil tangkapan, dan perut-perut terisi. Di tepi pantai terlihat kumpulan orang banyak. Ah, ini pasar/market yang bagus. Sayang, sampai perahu-perahu kayu itu menepi, tak ada yang bisa dijual. Cuma tubuh yang lelah dan kantuk, bercampur kekesalan dan kecewa. Masih ada pekerjaan lain, pukat harus dibersihkan, semalaman hanya ada sampah danau yang mampir. Sungguh hari yang sia-sia dan melelahkan.
Sayup-sayup terdengar suara seorang Rabi di antara kerumunan tersebut. “Allah adalah bapa bagi semua orang, percayalah kepadaku… Kerajaan Allah sudah tiba, kasihilah musuhmu…”
Suara itu pernah didengar Simon. Saudaranya pernah mengenalkan Rabi Galilea itu kepadanya beberapa hari lalu. Sahabat-sahabatnya yaitu Yakobus, Yohanes dan Natanael sangat mengidolakan Dia. Mau apa Rabi itu di sini? Pagi-pagi seperti ini Pantai Genesaret sudah dipenuhi ribuan orang yang berdesak-desakan. Berebutan tempat terdepan untuk mendengar pengajaran. Dalam hati Simon, mungkin ini bisa jadi hiburan bagi hatinya yang kecewa. Simon pernah mendengar Rabi Galilea itu dapat menyembuhkan penyakit. Ini memang spektakuler. Adakah mujizat hari ini?
Ketika Simon sementara sibuk membersihkan pukatnya, Sang Rabi itu menepuk pundaknya. Dari tatapan mata-Nya, Simon mengerti, Dia minta izin naik ke perahunya yang kosong.
Dari atas perahu itu Dia mengajar. Indah sekali. Tentang Allah yanag mengasihi orang berdosa, tentang kefasikan yng memuakkan dari kaum Farisi, tentang kelimpahan anugerah, tentang cinta…dan seterusnya. Telinga Simon terus tertuju kepada Sang Rabi. Menakjubkan. Pantas saja orang-orang itu berduyun-duyun mengikuti.
“Simon, ayo berlayar. Hari ini Aku ingin menangkap ikan bersamamu.”
Simon kaget. Namanya disebut diantara ribuan orang itu. Dia masih bau, amis laut belum juga dibersihkan. Ada-ada saja. Biasanya para Rabi tak akan menyentuh dan berbicara dengan nelayan-nelayan. Bau amis di tubuh mereka adalah tanda awas agar orang-orang suci itu menjauh. Tapi, Yesus ini…”
“Semalaman kami tak menangkap apa-apa, tidakkah Guru melihat, pukat kami hanya menangkap sampah-sampah danau dan tubuh kami Lelah?” Dalam hati Simon berupaya menghindar. Dia tau, Rabi-rabi suka mempermainkan para pengikutnya. Mereka selalu pura-pura baik, padahal mereka selalu mengutuki bau amis para nelayan. Bagi rabi-rabi itu, bau amis ikan dan hewan laut adalah bau neraka dan bau orang berdosa.
“Tidak, hari ini Aku mau berlayar denganmu. Bertolaklah sekarang, kita mencari ikan di tempat yang dalam, mungkin tadi malam mereka bersembunyi di sana.” Kata-kata itu seperti sihir. Di ujung kalimatnya, ada kedipan mata jenaka. Hahahaha…! Sang Rabi ini ternyata humoris juga. Tak apalah. Dalam hati Simon berharap, masihkah ada mujizat hari ini?
Perlahan-lahan angin darat menghembus layer-layar itu. Laju dan memecah ombak. Laut tenang, tak biasanya. Sampailah perahu kayu itu di tengah danau. Tak biasanya nelayan menangkap ikan yang bisa dimakan. Aplagi ikan danau yanga dalam, kadang aneh bentuknya dan tidak masuk kategori hewan halal yang bisa dimakan. Bagaimana ini? Tapi sudahlah.
“Baiklah Guru, karena Engkau yang jadi tamu saya di perahu ini, kami ikut saja. Bukankah tamu itu harus dilayani?” Sahut Simon mencoba berjenaka. Jauh di lubuk hatinya ada rasa kecewa karena kegagalan semalam. Perlahan-lahan pukat-pukat diturunkan. Perahu itu mulai kosong. Sampai akhirnya, mereka mulai menarik lagi tali-tali pengikat pukat. Ragu-ragu, berharap, tak percaya, merindu hasil terbaik. Dan, ikan-ikan terbaik mulai berkeriapan. Mencari-cari celah untuk meloloskan diri dari lubang-lubanga pukat yang sempit. Bukan puluhan, tapi ribuan.
Teriakan gembira Simon berubah menjadi histeri, ketika pukat-pulat itu mulai koyak karena beratnya. “Yakobus..! Yohanes..! Bawa kemari perahu kalian, kita makan besar hari ini.” Pagi yang murung itu berubah menjadi siang terik yang penuh kegembiraan. Tengah danau itu dipenuhi teriakan, tawa dan suit-suitan nyaring.
Setelah semua ikan itu dihela dalam pukat-pukata yang mengembung, perahu mulai menepi. Susah payah mendayungnya. Tak apalah. Hari ini pantas dilewati dengan gembira.
Di buritan perahu, Sang Rabi berdiri. Menatap kegembiraan dan semangat nelayan-nelayan itu. Dan, mata mereka beradu. Sebuah tatapan sakti yang menyihir Simon. Jendela jiwa yang terbuka itu kini beradu pandang dengan Yesus. Tatapan yang penuh kasih itu melihat dengan jelas isi jiwa dan kedalaman hati Simon. Dia merasa ditelanjangi. Benar-benar malu, terpencil, hina.
Sebutir air mata hangat mulai menggenangi jendela mata Simon. Dengan terbata-bata bibirnya bergerak. “Aku sungguh manusia hina. Engkau tau itu. Kini aku tahu, anugerah-Mu melebihi semua tangkapanku. Kasih-Mu melampaui batas-batas terdalam hatiku. Ya, Engkau pasti adalah Tuhan. Menjauhlah. Aku hanya manusia bau dan penuh nista.”
Tapi di lubuk hatinya, Simon tahu pasti keilahian inilah yang selama ini menggerakkan Yohanes, Natanael dan saudaranya Andreas begitu mengidolakan-Nya. Mereka rela menyisihkan waktu menemani Yesus ini. Sekarang apa yang harus kuperbuat?
“Simon, Aku mau membuatmu menjadi penjala manusia. Bukan dengan pukat, tetapi dengan teladan yang memikat. Bagi kerajaan-Ku, tangkapan paling berharga adalah menemukan orang-orang yang tenggelam di kedalaman dosa. Mari…belajarlah kepada-Ku.”
Siang itu ada acara makan ikan yang meriah di rumah Simon. Namun kini semua orang di desa itu tahu, Simon akan mulai belajar pada Yesus.
Hari ini ternyata masih terjadi mujizat, orang berdosa dipanggil kepada kehidupan. Langit mulai gelap, hari baru mulai kembali.