Bahasa Lokal, Bahasa Jatidiri (Kejadian 42:1-24) – Pdt. Ambrosius Herwanto Menda*

Pdt. Ambrosius Menda, saat memimpin kebaktian peluncuran buku Cerita Yusuf dalam Bahasa Dengka.

www.sinodegmit.or.id, Ina, ama, tolano’ sia Lamatua’ Yesus susue na lala, sodamole’(Ibu, Bapak, Saudara-i, yang Tuhan Yesus kasihi, salam damai)

Hu saa dee lo’e nusa’ ia nala na ‘oi Dengga? Ma huu sa de ala kanatoo nusa’ ia lae “Dengga tafa na’? Mengapa sejak dulu tempat ini diberi nama Dengga? Dan mengapa penduduk kerajaan ini dijuluki “Dengga dimakan pedang/kelewang?”

Saya belum menemukan entah nama tumbuhan, hewan atau sesuatu apa pun di alam yang bernama Dengga. Kata Dengga memang ada, namun hanya muncul pada silsilah keturunan orang Dengga. Menurut silsilah yang saya dengar, leluhur pertama yang memakai nama Dengga adalah Dengga Mana Ai. Ayahnya bernama Mana Ai Sui Ama. Selain itu ada juga beberapa nama pemberani (mbalani) Dengga yang memakai nama Dengga, yaitu: Lasi’ Ama Dengga, Ta Dengga, Dengga Lae, Liu Dengga, Bau Dengga, Nule Dengga, dan lain-lain. Jadi patut diduga, nama Dengga berasal dari nama salah satu leluhur orang Dengga/Dengka**.

Lalu mengapa orang Dengga disebut “Dengga tafa na’”. Ungkapan ini agaknya berhubungan dengan sifat orang Dengka yang konon katanya keras kepala. Saya mencatat dua peristiwa perang yang paling mengerikan menimpa nusa’ Dengka, yaitu pada tahun 1681 dan 1832. Pada perang pertama tahun 1681, waktu itu Belanda mengerahkan 2.300 tentara dari Kupang menyerang kerajaan Tii, Dengka dan Oenale, gara-gara ketiga kerajaan ini mengancam akan menyerang kerajaan Termanu yang merupakan sekutu Belanda. James Fox mencatat, bahwa pada perang itu, orang-orang dipenggal kepalanya tanpa membedakan laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Banyak penduduk tewas. 42 orang pemberontak berhasil ditangkap. Kapal-kapal yang kembali ke Kupang seusai perang ini, membawa 96 laki-laki, 158 perempuan dan 184 anak-anak untuk dijual sebagai budak. Kerajaan Dengka dihukum dengan membayar denda sebanyak 70 orang budak dan emas sebesar 10 kati atau 6 kilogram. 

Perang terbesar kedua, terjadi pada tahun 1832. Ini perang paling menyedihkan karena kerajaan Dengga diserang oleh 17 kerajaan. Jadi 17 lawan 1. Bisa dibayangkan betapa menderitanya orang-orang Dengga karena perang ini. Menurut catatan sejarah yang ditulis Pendeta Stephanus Joesoef Meroekh (1934), perang ini dipicu oleh pembangkangan raja Dengka Mone Eli.

“Sudah beberapa kali Posthouder(kepala wilayah, red.) Rote, memberi perintah kepada raja Dengka Mone Eli dan rakyatnya untuk buat ini dan itu, namun mereka tidak mau menurutinya. Pada suatu hari Tuan Posthouder memanggil orang Dengka untuk menghadap di Namodale (Baa) untuk diperiksa, apa sebabnya orang-orang Dengka tunjuk kepala batu dan tidak mau tunduk kepada Mai-Bapa Kompeni. Setelah orang-orang Dengka masuk ke dalam kota, tiba-tiba mereka membuat huru-hara yang besar. Mereka merusak perkakas-perkakas rumah Tuan Posthouder dan pohon buah-buahan yang berada dalam pekarangan itu. Dengan segera, Tuan Posthouder memberitahukan hal ini kepada Paduka Tuan Besar Residen di Kupang. Tuan Residen menjadi sangat marah. Dan segera diperintahkan dengan amat keras, bahwa hendaklah 17 kerajaan di Pulau Rote maklumkan perang dengan sungguh-sungguh kepada Dengka. Tumpaslah mereka dalam negerinya. Oleh karena perintah yang demikian, maka kerajaan–kerajaan di pulau Rote mengepung kerajaan Dengka dan dalam beberapa waktu kerajaan Dengka dikalahkan. Beratus-ratus orang mati, dalam peperangan ini. Orang-orang Dengka yang masih hidup ditangkap lalu diikat dan dibuang ke Timor (kampung Tarus) dengan rajanya. Sedangkan ada beratus-ratus orang Dengka yang dibagi kepada kerajaan-kerajaan di Pulau Rote, serta menghentar mereka ke negerinya masing-masing.” Demikian tulis Pdt. Meroek.

Jadi, kalau sampai sekarang ada orang dari berbagai tempat di Pulau Rote ataupun di Kupang dan sekitarnya yang mengaku bahwa leluhur mereka berasal dari Dengka, kemungkinan itu dilatarbelakangi oleh perang pada tahun 1832, yang mana ribuan orang Dengga ditangkap dan dibuang sebagai tawanan atau budak di berbagai tempat.

Menurut catatan Fox, gara-gara perang ini, jumlah penduduk Dengka yang waktu itu sebanyak 12.931 orang, tersisa hanya 8.761 orang. Jadi Dengka kehilangan hampir setengah penduduknya. Itulah mengapa sampai sekarang orang masih menyindir “Dengga Tafa na’”. Artinya, Dengka dimakan pedang/kelewang.

Akan tetapi ada pula catatan sejarah yang mengisahkan tentang kebaikan hati orang Dengka. Pdt. Meroek (lahir 1874), di dalam catatan yang sama bilang begini: Pendeta Van Malsen, yakni pendeta Belanda yang bekerja di Baa pada tahun 1880-1882, mengakhiri tugasnya dan digantikan oleh Pdt. Le Grand. Pada masa Pdt. Van Malsen, gedung gereja Menggelama dibangun. Akan tetapi gedung itu hanya bertahan 10 tahun lalu rusak karena tanahnya kurang bagus. Sehingga, pada tahun 1903, Pdt. Le Grand hendak membangun kembali gedung itu. Ia lantas meminta bantuan raja Dengka, mengirim tenaga untuk menggali fondasi. Raja Dengka Adu Tungga, mengirim ratusan orang Dengka untuk mengerjakan tugas ini.

Jadi, gedung gereja Menggelama di Baa yang masih berdiri kokoh hingga sekarang, itu adalah hasil keringat orang-orang Dengka juga. Pdt. Meroekh menulis, bahwa fanderen gereja dikerjakan oleh orang-orang Dengka, sedangkan tukang kayunya adalah Anthonie Leatimea, tukang batunya bernama Robert Keluanan dan yang mengerjakan kusen-kusen adalah seorang Cina bernama Kha Ajoe.

Jadi, kalau kita jujur pada sejarah, sebenarnya orang-orang Dengga tidak ‘kepala batu’ seperti yang disangka kebanyakan orang. Orang Dengga punya hati baik juga. Dan buktinya adalah gedung gereja Menggelama-Baa yang masih berdiri sampai sekarang. Jadi orang Dengga boleh bangga karena yang meletakan dasar gedung gereja Menggelama adalah leluhur dari orang-orang-Dengga. Andia ko kuat sampai ini hari.

Nah, yang masih jadi pertanyaan adalah, kapan dan bagaimana kekristenan dan gedung gereja Loaholu Oelua, yang merupakan gedung gereja pertama di Dengka, dan tempat kita semua beribadah hari ini, muncul dan berkembang? Kapan dan bagaimana pendidikan atau sekolah di Dengka dimulai? Itu pekerjaan rumah untuk jemaat Loaholu Oelua dan Klasis Rote Barat Laut untuk cari tahu dan tulis sejarahnya. Memahami sejarah itu penting oleh sebab gereja yang tidak tahu sejarahnya ibarat manusia yang tidak ada mata dan telinga. Hanya dengan belajar memahami sejarah, kita tahu dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pergi. Bahasa orang-orang tua bilang, “Oe a faa kolo-kolo o, mia fatu esa okan, ma ai a mbila lo’a-lo’a o, mia hau esa kolon(Air yang mengalir gemericik tentu berasal dari satu ‘akar’ batu; dan api yang menyala berkobar-kobar pun pasti berasal dari satu lubang kayu). Ungkapan ini menyiratkan bahwa sejarah ibarat akar yang mengikat kita dengan pengalaman masa lalu seraya memberi daya tumbuh di masa kini dan akan datang. Tanpa akar sejarah, kita akan mati perlahan-lahan.

Itulah yang diperbuat oleh Yusuf. Masa lalu Yusuf yang menyakitkan, ia jadikan sebagai batu loncatan untuk menciptakan sejarah di masa depan. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi berkat bagi bangsa Mesir di mana ia tinggal. Yusuf menjadi orang asing di negeri Firaun, tapi dia tidak terasing dari budaya dan imannya kepada Tuhan Allah. Tuhan yang disembah oleh leluhurnya Abraham, Ishak, dan Yakub, ayahnya. Di hadapan ke-10 orang saudaranya ia mengaku, “aku ini takut akan Allah” (ay. 28).

Yusuf adalah sosok yang menggunakan kekuasaan dalam rasa takut akan Tuhan. Ia memakai kecerdasan dan hikmat yang Tuhan berikan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang termasuk kaum keluarganya dari bencana kelaparan yang diprediksi akan terjadi selama tujuh tahun. Yusuf  pemimpin yang mengantisipasi kematian di masa depan. Jadi, kalau anak-anak Dengka mau jadi pemimpin, jadilah pemimpin seperti Yusuf. Pemimpin yang memiliki visi yang kuat, yang menggunakan segala sumber daya secara bertanggungjawab, dan tahan diri dari segala macam penggoda pencobaan. Para leluhur kita berpesan begini:

Fo to’u mala solo langga’  (Saat menerima topi kepemimpinan)

Na dadimuu ta’e malela kapa’ (maka jadilah orang yang melindungi)

Ma dadimuu tou malida manu’ (dan orang yang mengayomi)

Fo mulida manu neu anaman, ma (mengayomi anak-anak yatim piatu, dan)

Mu lela kapa’ neu ina falu. (melindungi para janda)

Afi’ fee ina falu neu telu-tala, ma (jangan biarkan para janda menderita dan)

Anaman neu tepa soa. (anak-anak yatim piatu terlantar)

Jadi, untuk semua anak-anak Dengga dong, kalau mau jadi pemimpin di mana saja, misineda neu lasi’ ala dudui na laa, boe mana Yusuf tatao nono’i meulau na laa, fo mana sula sia Alkitab lala. Nonoe mala Lamatua a dudui na, fo, dadi mi masi kapi’ ma dadi mi ai mbele.(Berpeganglah pada firman Tuhan. Jadilah garam dan terang).

Jadi, jauh sebelum Israel menjadi satu bangsa, dan menjadi berkat untuk bangsa-bangsa sebagaimana yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham, Yusuf telah mendahului mewujudkan janji Tuhan itu. Cerita Yusuf, meliputi 14 atau 28% dari 50 pasal dalam kitab Kejadian. Bagi saya pribadi, cerita Yusuf adalah cerita paling mengharukan dari seluruh kisah dalam Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Saya masih ingat waktu kecil, cerita Yusuf adalah cerita pertama yang saya baca dengan mata berlinang. Ketika kami menerjemahkan kisah Yusuf dalam bahasa Dengga, perasaan haru itu masih terasa sama seperti yang saya rasakan 40 tahun lalu. 

Yusuf adalah prototipe atau gambaran dari dan tentang Yesus yang lahir ribuan tahun kemudian. Ada beberapa peristiwa yang mirip atau sama antara Yusuf dan Yesus. Yusuf dikhianati dan jual oleh saudara-saudaranya. Demikian pula Yesus. Yusuf tinggal di Mesir, Yesus juga juga tinggal di Mesir di masa kanak-kanak. Yusuf mengalami ujian iman di rumah tuan Potifar. Yesus juga mengalami ujian di padang gurun. Yusuf memberi makan, Yusuf mengampuni, Yusuf berdamai dengan saudara-saudaranya. Begitu pula yang diperbuat Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita.

Bagian yang terakhir: Hu saa dee Yusuf nggae nasakekedu? Mengapa Yusuf menangis tersedu-sedu? Kita membaca bahwa pertama kali ketika melihat saudara-saudaranya datang, Yusuf segera mengenal mereka. Namun, pada saat yang sama ia berusaha menyembunyikan identitasnya. Yusuf bertindak layaknya seorang pejabat tinggi istana Mesir. Ia mengambil jarak sebagai salah satu saudara dari saudara-saudaranya. Ia hendak merahasiakan siapa dirinya. Ia menutup-nutupi kediriannya sebagai orang Ibrani. Sebagai salah satu dari anak-anak Yakub, putra sulung Rahel. Tetapi sampai kapan ia menutupi itu semua? Ia menginterogasi saudara-saudaranya, hingga tiba saat, di mana ia tidak mampu lagi menutupi jati dirinya. Lalu, dia masuk ke dalam rumah dan menangis sejadi-jadinya.

Mengapa dia menangis? Sa tao e de Yusuf nggae?Mengapa Yusuf menangis? Yusuf menangis karena saudara-saudaranya menceritakan kembali perlakuan tidak manusiawi terhadap adik mereka pada 20 tahun lalu dalam bahasa yang Yusuf mengerti. Kalau seandainya Yusuf tidak mengerti bahasa yang diucapkan saudara-saudaranya, tidak mungkin dia menangis. Tidak akan. Seseorang tidak akan menangis untuk sesuatu yang dia tidak mengerti. Dia menangis karena dia mengerti betul-betul bahasa yang didengar. Itu bahasa yang dia pakai di rumahnya di Kanaan. Bahasa itu masuk ke telingannya dan menusuk sampai ke dalam relung hatinya. Dan itu membuat hati Yusuf hancur luluh. Tangisnya meledak.

Di ayat (ay. 23) tertulis, “Ala ‘ola-‘ola la’o no naa, te ala ngga bubulu lae Yusuf boe o nala’ sila dedea na asa. Huu Yusuf ‘ola-‘ola noo se pake dedea Masir, dei fo hataholi dui nesi’ dedea Ibrani. Lena ala ‘ola-‘ola ono naa boema, Yusuf fela hela se, de neu nggae mia mamana’ laen. Ana nggae basa dei de, bali’ neu tilo se. De ana denu ala futu Simeon mia ‘odi-aka na la mata na. (Buku: Cerita Yusuf dalam Bahasa Dengka).

“Namun, mereka tidak tahu bahwa Yusuf mengerti perkataan mereka, …” (Terjemahan Baru -2 LAI).

Jadi Tuhan pakai bahasa lokal, pakai bahasa daerah, pakai bahasa ibu, untuk meluluhkan hati dan keinginan Yusuf yang hendak menyembunyikan asal-usulnya. Tuhan pakai bahasa ibu untuk mendamaikan Yusuf dan saudara-saudaranya. Tuhan memakai lokal untuk menyatukan kembali orang-orang bersaudara yang terciderai dan tercerai. Jadi bahasa ibu adalah bahasa jatidiri, bahasa perdamaian, bahasa orang bersaudara. Jadi jangan pakai bahasa ibu untuk menciderai, baku ancam dan bakalaidengan sesama. Untuk kebalai boleh, bakalaijangan. Karena, itu bahasa perdamaian, bahasa persekutuan, bahasa loaholu, bahasa sodamole’.

Saudara-saudara yang Tuhan Yesus kasihi, hari ini kita akan menyaksikan peluncuran cerita Yusuf dalam bahasa Dengga.  Roh Kudus mau pake kotong pung bahasa Dengga supaya kotongkenal Tuhan dan sesama ciptaan sampai di kotong pung isi hati. Supaya dengan begitu tempat ini sungguh-sungguh menjadi loaholu,yang merangkul sebanyak mungkin orang untuk bersaksi tentang kasih, pengampunan dan anugerah Allah. Fo mamana’ ia,. dadi neu Lutuma’u ma Loaholu, huu naa lasi’ ala dui hela oi,  lutu ma’u ma Loaholu na, holu mala falu ina ma’u – ma’u, ma ifa mala anaman teme-teme, fo tesabela ma ta’abubue teu esa, fo nemehele neu Lamatua Yesus, neu fai ia, losa dodoon, ma losa ndu-ndu’un. Amin.

Khotbah ini disampaikan pada kebaktian peluncuran cerita Yusuf dalam bahasa Dengka di jemaat Loaholu Oelua-Dengka, Jumat 31 Mei 2024.

* Anggota tim penerjemah Alkitab bahasa Dengka – Unit Bahasa dan Budaya GMIT.

**Di dalam renungan ini penulis menggunakan kata Dengga dan Dengka secara bergantian namun merujuk pada tempat/orang yang sama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *