SEMAU, www.sinodegmit.or.id, Siapa sangka, kisah perbuatan iman dari empat orang sahabat yang nekad membongkar atap dan menurunkan seorang lumpuh di hadapan Yesus 2000 tahun lalu, menginspirasi empat orang anggota sidi dari kampung Huilelot-Pulau Semau mendirikan sebuah jemaat. Kejadian itu terjadi pada 14 Juli 1957. Kini jemaat ini telah berusia 60 tahun.
Piter Pong (70) salah satu sesepuh jemaat Sonaf Neka Huilelot mengungkapkan sejarah tumbuh kembangnya jemaat bermula dari inisiatif empat orang anggota sidi. Bersama 47 kepala keluarga lainnya mereka mendirikan rumah beratap daun sebagai tempat berbakti. Dua tahun kemudian ‘pondok daun’ tersebut diresmikan, tepatnya pada 4 Mei 1959 oleh Pdt. Jacob ayah dari Pdt. Max Jacob, mantan ketua MS GMIT periode 1976-1979.
Memperingati peristiwa sukacita tersebut, Sabtu, 15/07, jemaat mengadakan ibadah syukur yang dipimpin Pdt. Elisa Maplani. Dalam khotbah dari perikop perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah (Lukas 13:6), ia tegaskan bahwa perjalanan hidup bergereja adalah kasih karunia Allah sehingga mesti diisi dengan buah-buah kasih, kebenaran dan keadilan.
“Gereja Tuhan hidup di dunia ini karena kasih dan kemurahan Allah. Karena itu apapun tantangan yang dihadapi oleh gereja ada dalam kuasa Allah. Tugas jemaat adalah menjaga dan merawat persekutuan agar menghasilkan buah bagi sesama, bagi hormat dan kemuliaan Allah.”
Ketua MS GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon dalam suara gembalanya mengajak jemaat untuk berefleksi sejauhmana jemaat ini menghasilkan buah. Menurutnya, hal menjadi gereja yang berbuah mesti ditempatkan dalam pemahaman panca pelayanan GMIT yang mengacu pada visi GMIT yakni menjadi gereja yang misioner, yang mandiri dalam daya, dana dan teologi.
Mencermati lukisan Yesus yang mengenakan jubah bermotif tenun adat Semau pada tembok gereja setempat, Pdt. Mery mengapresiasi upaya-upaya berteologi kontekstual yang dilakukan oleh jemaat melalui karya seni.
“Saya sangat terkesan dengan lukisan yang terpampang di depan. Tuhan Yesus dengan kain adat Semau. Ini sebuah upaya kontekstualisasi yang luar biasa. Lukisan ini menjelaskan tentang bagaimana kita berteologi tentang iman kita. Perjumpaaan antara Injil dan kehidupan jemaat sehari-hari diungkapkan dalam dalam karya seni di mana Tuhan Yesus yang orang Israel memakai baju Semau.”
Selain itu Pdt. Mery juga mengingatkan jemaat tentang tugas utama gereja dalam menata persekutuan.
“Tugas utama gereja bukan bayar pendeta pung gaji. Juga bukan bangun gereja bagus-bagus. Habis bangun gereja dan tabis, kami bilang kami pung tugas sudah selesai. Bukan itu yang utama. Tugas gereja adalah menata persekutuan melalui kesaksian, pengajaran, ibadah dan penatalayanan yang berkualitas,” tandas Pdt. Mery.
Ketua Majelis Jemaat setempat Pdt. Veky Boru, S.Th, berharap di usia 60 tahun ini, jemaat makin dewasa dalam iman dan dalam persekutuan beribadah. Meski diakuinya tingkat partisipasi jemaat cukup baik, namun dibutuhkan kesadaran yang sungguh-sungguh agar hal itu tidak bersifat rutinitas melainkan tumbuh dari kesadaran iman kepada Tuhan Yesus.***