www.sinodegmit.or.id,ÂSEBENTAR lagi Perayaan Paskah bagi umat kristiani. (Agama) kita sedang mati gaya. Covid-19 sedang memaksa agama menjelaskan ulang arti kehadiran bagi manusia dan kehidupan. Sebagian besar, untuk tidak mengatakan semua, kita sedang mengalami sesuatu yang mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah agama-agama. Perayaan keagamaan ditiadakan. Tanpa batas waktu. Tanpa kepastian. Agama seolah tidak lagi mengenal dirinya. Rumah ibadat berdiri seperti rongsokan-rongsokan tak berguna di medan perang.
Beberapa waktu sebelum ini, Gereja Katolik, Vatikan, sudah mengedarkan tata cara khusus perayaan Pekan Suci Paskah tahun ini. Intinya, tidak ada perayaan bersama umat. Misa tidak boleh dihadiri umat. Tidak seperti biasanya. Ibadat-ibadat dirayakan di rumah keluarga saja. Semuanya berjalan dalam keheningan.
Menteri Agama kita juga baru saja meluncurkan tata cara perayaan puasa Ramadan tahun ini. Perayaan rohani ini dijalankan dengan panduan khusus. Tidak ada lagi perayaan-perayaan keagamaan seperti sebelumnya. Agama-agama kita harus takluk di bawah hukum dan metode khusus covid-19.
Ritualisme
Suatu masa, agama suka sekali ‘menggagahkan’ dirinya. Agar kelihatan keren. Mengagungkan keberadaannya. Bahkan, melebihi alasan kehadirannya sendiri. Sang Mahaada. Tuhan. Yang ada kebanyakan penampilan keagamaan kolosal. Kita sering menyaksikan hal itu. Entah untuk tujuan spiritual ataupun untuk maksud politik. Entah untuk mendekatkan manusia pada kekuatan yang diimaninya. Pun hanya membangun hegemoni kekuasaan. Agama ialah gambaran kemegahan. Begitu megahnya, seolah hanya dia yang menjadi sandaran bagi kehidupan.
Untuk sisi ini, tentu tidak ada salahnya sebab ada bukti sepanjang sejarah. Hanya agama yang tetap berdiri kukuh mendampingi kefanaan humanitas di saat-saat penuh kesukaran. Hanya agama yang secara pasti menjelaskan mengapa manusia (perlu) menderita. Juga hanya agama yang berani memastikan bahwa kegelapan pasti berakhir. Selalu ada harapan. Pasti ada kemenangan meskipun semuanya itu diluncurkan di saat nestapa tidak punya garis batas jelas, seperti wabah covid-19 yang sedang mengepung kehidupan kita.
Namun, pada hari-hari ini, agama hadir dengan cerita berbeda. Agama tanpa massa. Tanpa kerumuman. Tanpa kehadiran para pencintanya. Tanpa kemeriahan. Ritualisme mendadak mengeropos. Gaya beragama konvensional takluk di bawah covid-19.
Agama terguncang. Situasi ini terjadi dengan cepat, setelah sekian lama dia bergantung pada hubungan fisik dan mekanistik. Sesuatu yang berlangsung di atas rasa ketaklukan tanpa syarat dari para pemeluknya.
Kini, hampir semua rumah ibadah yang mewah dan mentereng terpekur dalam sepi. Para pemuka agama melakonkan laku ritus dalam kesepian dan kesedihan.
Adaptasi teknologis-teologis
Kita lantas berdiri pada sebuah garis perubahan. Yang begitu cepat. Drastis. Bukan rahasia, agama tidak begitu memedulikan teknologi informasi. Memang ada perhatian, tetapi minimalis.
Tiba-tiba covid-19 lewat dalam lorong sejarah. Mengirim pesan kematian setiap hari. Serentak, meringkus keyakinan agama hanya dalam sekejap. Dan, agama menggapai sekaligus memohon bantuan teknologi.
Teknologi menolong agama dalam masa sulit ini. Dengan teknologi, agama menjangkau pemeluknya dengan pelayanan rohani maya. Namun, tidak semua orang menguasai teknologi. Tidak semua orang juga bisa membiayai model aktivitas rohaniah online. Semuanya butuh biaya. Yang juga tidak kecil. Di masa covid-19, bagi sebagian orang, mungkin hal ini tidak sedang jadi prioritas kebutuhan. Beras di dapur masih jauh lebih penting daripada membeli paket data internet. Agama mesti akrab dengan teknologi.
Teknologi menjadi ruang kehadiran yang baru. Seperti dunia, agama harus mau berpapasan dengan semua gaya, nilai, moralitas yang bertebaran di ruang maya. Soal yang lebih serius tentu saja tidak sekadar agama dan adaptasi teknologis. Agama harus berani menghadapi gugatan teologis-dogmatis atau merancangnya sendiri. Usaha ini mesti mulai digelindingkan. Agama harus bisa menjelaskan bahwa pergeseran ruang keberadaan agama dari nyata ke maya tidak berdampak pada kebenaran suci yang dimilikinya. Agama harus berpacu dengan waktu jika tidak ingin kehilangan ikatan abadi dengan para pemeluknya.
Esensi keberagamaan Agama memang sedang mati gaya. Namun, esensi keberagamaan itu sendiri mungkin sedang tumbuh melampaui apa yang sudah terjadi sebelumnya. Tidak ada teriakan kerinduan akan Tuhan yang begitu melengking melebihi suasana pada masa covid-19 ini. Secara paradoksal pula, manusia dituntut untuk mencari Tuhan dalam keheningan. Bukan kebisingan. Membangun hubungan yang lebih personal dengan Tuhan. Bukan hubungan massal. Hubungan yang sering kali terperosok ke dalam arogansi.
Hal baik sedang terjadi pada diri agama. Agama sedang bergerak, entah sadar ataupun tidak, dari runitas menuju intimitas. Sekian lama agama hanya memamerkan kemeriahan rutin dalam perayaan-perayaan liturgis yang agung dan mewah. Namun, ketika covid-19 memusnahkan semua ukuran dan standar itu, orang-orang berusaha membangun keintiman ba ru dengan Tuhan, keluarga, dan sesama dalam cara yang mungkin tidak pernah ada pada fase-fase historis sebelumnya.
Covid-19 sedang merobek dan melucuti standar-standar keberagamaan masa lalu yang menjadi sumber luka, konfl ik, kekerasan, dan penderitaan bagi kemanusiaan. Secara formal, aga ma memang sedang mati gaya. Namun, secara substansial, agama sedang berziarah menuju kedalaman keberadaannya. Selamat Paskah bagi semua yang merayakannya. ***
*Max Regus Alumnus S-3 Graduate School of Humanities Universitas Tilburg, BelandaÂ
Artikel asli dimuat di Media Indonesia, Kamis 9 April 2020