TRITUNGGAL DAN SAMPAH
(oleh: Elia Maggang dan Lidia br Tarigan)
Hari ini, di sudut halaman sebuah gereja terlihat suatu tumpukan benda-benda dari berbagai jenis, tercium bau yang kurang sedap menyebar dari tumpukan tersebut. Benda benda tersebut adalah sisa-sisa dari sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh gereja tersebut. Benda tersebut biasa disebut dengan sampah. Banyak warga jemaat yang melihat sampah yang bersebaran itu namun kondisi tersebut tidak menjadi pemandangan mengganggu sehingga sampah-sampah tersebut dibiarkan saja.
Gambaran di atas bisa dikatakan sebagai masalah yang umum di jemaat-jemaat GMIT, walau tidak separah kondisi di atas, di jemaat-jemaat GMIT.Memang beberapa jemaat di jemaatnya sudah memiliki program pelayanan yang berkaitan dengan persoalan sampah(misalnya Pemudah Jemaat Bethel Maulafa dengan Program Bersih Lingkungan Pemuda tahun 2013/2014), namun tentu sangat diharapkan, atau alangkah baiknya, semua jemaat GMIT memiliki program seperti itu. Gereja juga mengamininya bahwa secara teologi/eko-teologi, kebersihan lingkungan itu adalah keharusan.Tetapi itu tidak berbanding lurus dengan praktek warga gereja. Maka pertanyaan mendasar bagi gereja adalah apa hal mendasar dari iman Kristen yang bisa mendorong setiap individu dan jemaat secara utuh, atau klasis bahkan sinode, untuk terlibat secara aktif dan efektif dalam penanganan sampah? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan ini melalui pembahasan ajaran Tritunggal sebagai ajaran fundamental dalam kekristenan yang dapat mendorong warga jemaat GMIT untuk berpartisipasi dalam penanganan sampah.
Â
Hal pertama yang perlu didiskusikan adalah tentang sampah itu sendiri dan apa dampaknya kepada lingkungan hidup, dan bagaimana seharusnya sampah dikelola. Sampah menurut Undang Undang No 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang berbentuk padat. Hampir semua orang selalu bersinggungan dengan sampah. Sampah sudah mejadi bagian kehidupan dan bahkan tak ada kehidupan tanpa menghasilkan sampah.
Keberadaan sampah yang sangat dekat dengaan kehidupan manusia berdampak bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Sampah sangat berperan dalam penyebaran penyakit seperti diare, tifus, penyakit jamur, kecacingan dan keracunan. Pencemaran udara, pencemaran air dan pencemaran tanah merupakan dampak sampah terhadap lingkungan.
Dampak yang ditimbulkan oleh sampah terjadi akibat pengelolaan yang tidak optimal. Pengelolaan sampah yang dimaksud  adalah pengurangan dan penanganan sampah yang dihasilkan. Pengurangan sampah meliputi pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan penanganan sampah berupa pemilahan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan sifat sampah, pengumpulan dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu, pengangkutan sampah dari sumber dan atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir atau pembuangan akhir.
Lalu sipakah yang harus mengelola sampah? Seringkali masyarakat berdalih bahwa pemerintahlah yang harus mengelola sampah. Tetapi, sebenarnya selain pemerintah, setiap inidividu wajib mengelola sampah karena setiap individu adalah penghasil sampah. Sebagaimana yang tertulis dalam Undang Undang No 18 Tahun 2008 pada Pasal 12 ayat 1, “Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan”. Dengan peraturan ini, pemerintah mewajibkan setiap komponen masyarakat untuk mengelola sampah. Dengan demikian, bukan hanya tugas dan tanggung jawab Dinas Kebersihan untuk mengelola sampah tetapi juga setiap warga negara juga memiliki tanggung jawab tersebut. Secara sederhana dapat dipahami bahwa karenamasyarakat yang menghasilkan sampah, maka masyarakatnya yang harus terlibat dan berpartisipasi untuk mengelolanya. Jika demikian, gereja seharusnya berperan serta dengan mendorong warga jemaat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah.
Sebagaimana yang dikatakan di atas, gereja dapat mendorong warganya untuk terlibat aktif dalam pengelolaan sampah melalui ajaran Tritunggal. Dalam upaya ini, hal penting yang harus dipahami orang Kristen adalah bahwa Tritunggal itu dogmatis sekaligus praktis. Catherine M. LaCugna, seorang teolog Khatolik, mengatakan bahwa Tritunggal ajaran yang hakekatnya memiliki konsekuensi yang radikal terhadap kehidupan Kristen.[1] Ajaran ini tidak hanya memberi pengetahuan tentang siapa Allah pada diriNya yang dipercaya dan disembah orang Kristen, tetapi juga membawa pengetahuan itu secara tegas ke dalam kehidupan praktis. LaCugna mendasari pandangannya pada fakta bahwa pengetahuan orang Kristen tentang Allah Tritunggal itu berasal dari penyataan diri Allah melalui perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakanNya, yang secara sempurna nyata melalui Yesus Kristus, untuk membawa keselamatan bagi segenap ciptaan.[2] Dapat dikatakan bahwa perbuatan atau tindakan Allah (ad extra)itu adalah hal praktis yang keluar dari dalam diri/keberadaan Allah (ad intra) itu sendiri.[3]Hal ini menegaskan bahwa keberadaan dan perbuatan Allah Tritunggal tidak bisa dipisahkan.[4]
Dari karya nyata Allah dalam diri Yesus Kristus dan kemudian Roh Kudus, orang Kristen percaya bahwa Bapa, Putera, dan Roh Kudus adalah Allah yang Esa. Pengakuan ini bukan hanya terdapat dalam pengakuan iman rasuli yang setiap minggu diucapkan, tetapi juga di dalam nyanyian jemaat seperti KJ. 242 “Muliakan Allah Bapa” khususnya pada bait pertama.Namun persoalannya adalah seperti apakah relasi antara ketiga pribadi itu di dalam Allah yang Esa? Seperti apa model relasi dalam diri Allah Tritunggal ini juga berdampak pada kehidupan praktis orang percaya dalam bersikap terhadap lingkungan hidup.
Seperti apa hakekat Allah pada diriNya dalam tiga pribadi atau bagaimana relasi antara ketiga pribadi yang berbeda ini telah menjadi topik perdebatan para bapak gereja dan teolog sejak gereja mula-mula. Namun sampai hari ini, konsep yang umum dipakai oleh para teolog modern (seperti misalnyaJurgen Moltmann dan Leonardo Boff)untuk menjelaskan relasi itu adalah perichoresis. Konsep ini berasal dari para bapak gereja Kapadokia untuk mejelaskan bahwa Bapa, Putera dan Roh Kudus berada dalam satu relasi kasih yang setara dan kekal.[5] Dalam relasi ini, ketiga pribadi berada dan berdiam bersama-sama dan saling resap secara sempurn dalamsatu persekutuan (communion)kasih yang begitu rupa sehingga tiga pribadi itu berada dalam ke-Esa-an.[6]Salah satu analogi yang bisa menggambarkan relasi ini adalah parfum yang disemprotkan ke udara. Wangi parfum itu terasa tetapi parfum itu tidak bisa dibedakan atau dipisahkan dari udara.
Perichoresis,adalah relasi yang dinamis.[7]Paul Fiddes mengatakan bahwa relasi ini terus bergerak dalam sebuah tarian.[8] Bapa, Putera, dan Roh Kudus berada dalam satu tarian yang kemudian menarik orang percaya ke dalam tarian tersebut (Yoh. 17:20-21) melalui karya rekonsiliasi Allah di dalam Yesus Kristus. Orang percaya tidak hanya diberi pengetahuan saja tetapi juga mengalami Allah Tritunggaldi dalam tarian itu.[9]
Dalam tarian perichoresis ini, orang percaya ditarik untuk berpartisipasi dalam karya Allah bagi dunia ini.[10] Perlu diperhatikan bahwa tarian ini adalah tarian sukacita sebagai respon atas karya Allah di dalam Kristus yang memberi keselamatan sekaligus tempat dalam tarian trinitas. Respon ini adalah respon terhadap kasih karunia Allah seperti respon Zakheus terhadap penerimaan Yesus kepadanya (Luk. 19:1-10).Karena itu, sebagaimana karya Allah yang nyata melalui tindakanNya itu ekspresi dari Allah pada dirinya sendiri maka pengetahuan dan pengalaman seseorang akan Allah Tritunggal tidak bisa tidak berdampak pada tindakan-tindakan atau gerak-gerak tertentu dalam tarian tersebut.
Satu pertanyaan mendasar yang muncul di sini adalah bagaimana mungkin ciptaan bisa menari bersama sang Pencipta? Bisakah ciptaan meng-copy penciptaNya? Miroslav Volf mengatakan bahwa sebagai gambar Allah, manusia bisa meneladani Allah sesuai dengan yang Allah kehendaki, dan dengan cara manusia.[11] Dengan perkataan lain, orang percaya bisa meniru gerakan-gerakan Allah Tritunggal dalam tarian itu sesuai dengan gerakan-gerakan sebatas yang dapat dilakukan oleh manusia. Yang jelas adalah Allah menghendaki dan menarik manusia untuk menari bersamaNya (bnd. Mat. 5:48; 1 Pet. 1:16).Orang-orang Kristen tidak meniru semua gerakan Allah. Mereka hanya meniru gerakan-gerakan tertentu yang dikehendaki oleh Allah.
Dalam tarian perichoresis, gerakan seseorang bisa berbeda dengan gerakan orang lain karena Allah menghendakinya demikian. Namun paduan gerakan itu berada dalam satu kesatuan tarian yang indah yang merefleksikan hakekat dan tindakan-tindakan Allah. Poin penting di sini adalah bahwa semua orang percaya dengan perannya masing-masing berada dalam satu persekutuan; persekutuan dengan Allah dan sesama pada saat yang sama. Semuanya, dalam konsep rasul Paulus, adalah anggota dari satu tubuh yaitu tubuh Kristus (1 Kor. 12:1-31). Melalui konsep ini juga, Paulus menegaskan bahwa setiap orang diberikan karunia oleh Roh Kudus. Karunia yang satu berbeda dengan yang lainnya. Tetapi semuanya dipakai untuk pembangunan tubuh Kristus.[12] Analogi ini bisa dipakai juga untuk lebih memahami tarian Trinitas di atas. Sebagaimana tarian di atas dipahami sebagai satu persekutuan maka itu dapat disamakan dengan tubuh Kristus seperti yang dikemukakan Paulus.Setiap orang percaya adalah penari (anggota) dari tarian Trinitas (tubuh Kristus). Setiap penari (anggota) dipercayakan gerakan (karunia) tertentu yang bisa sama dan juga berbeda dengan penari yang lain. Satu kepastian di sini adalah setiap penari (anggota) memiliki gerakan (karunia) yang diberikan Allah kepadanya untuk bersama-sama dengan penari (anggota) lain berpartisipasi dalam tarian (tubuh Kristus) atau persekutuan (gereja) yang indah.(Perlu diperhatikan bahwa persamaan ini hanyalah pada orang percaya, tidak termasuk di dalamNya Allah Tritunggal).
Dengan dasar konsep Tritunggal yang dogmatis sekaligus praktis inilah orang Kristen terlibat di dalam memelihara lingkungan hidup. Konsep ini juga membawa kembali orang percaya kepada fungsinya terhadap alam yaitu memelihara dan mengelola alam untuk kebaikan bersama. Hubungan yang pernah rusak antara manusia dan alam telah dipulihkan oleh Allah sendiri melalui karya Kristus. Hubungan yang telah pulih itu terus dipelihara oleh Roh Kudus. Maka fungsi manusia terhadap ciptaan di atas dilaksanakan dalam tuntunan Roh Kudus, sang Pemelihara yang sejati. Moltmann mengatakan bahwa perjumpaan atau pengalaman seseorang dengan Allah Tritunggal, yang berdiam di tengah-tengah ciptaanNya melalui Roh Kudus, akan memimpinnya kepada relasi yang benar dengan alam.[13]Maka, ajaran Tritunggal inimenegaskan bahwa keterlibatan aktif memelihara lingkungan hidup adalah ekspresi dari iman yang menjadi gaya hidup orang percaya. Dapat dikatakan bahwa orang Kristen adalah orang yang secara aktif terlibat dalam penanganan sampah sebagai bagian dari fungsinya untuk memlihara lingkungan, sebagaimana dipercayakan oleh Allah.
Dengan berefleksi pada konsep perichoresis di atas, dapat dikatakan bahwa setiap orang percaya diberi tempat dan peran yang sama untuk mejaga lingkungan hidupnya sesuai dengan kemampuannya. Setiap orang dikaruniai kemampuan dan dituntun oleh Roh Kudus untuk memelihara lingkungan di mana dia hidup. Maka, sampah sebagai ancaman atau perusak kehidupan haruslah diatasi dengan partisipasi aktif. Sekali lagi, partisipasi ini adalah ekspresi atau wujud dari perjumpaan, yang meliputi pengetahuan dan pengalaman, orang percaya dengan Allah Tritunggal.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh GMIT baik sebagai perkumpulan orang maupun sebagai lembaga. Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah apa yang dilakukan oleh majelis dan anggota jemaat rayon 4 Jemaat Emaus Liliba. Hampir di setiap kali ibadah rumah tangga pasti ada sampah yang dihasilkan dari makanan dan minuman. Dari ibadah itu minimal akan ada 20-30 buah bungkusan kue atau kemasan gelas plastik. Maka disepakatilah bahwa sampah-sampah itu harus dikelola atau sedapat-dapatnya makanan dan minuman yang disiapkan adalah yang menghasilkan sampah paling sedikit. Persoalan kemudian muncul ketika sampah yang telah dikumpulkan di rumah-rumah tangga itu akan dibuang ke mana. Tempat sampah umum yang disiapkan pemerintah kurang memadai. Di sinilah dibutuhkan sinergi antara lembaga gereja dan pemerintah. Pimpinan GMIT sebagai lembaga, baik di jemaat, klasis, maupun sinode, bisa bertemu dengan pemerintah setempat (RT/RW/Lurah/Camat/Walikota/Bupati dst.) untuk mencari solusi bersama bagi ketersediaan tempat penampungan sampah yang memadai dan sistem pengangkutan sampah yang efektif dan efisien.
Hal yang sangat menarik dalam konteks GMIT adalah minimal salah satu anggotanya bekerja di lembaga pemerintahan, bahkan sebagai pimpinan. Ini merupakan kesempatan berharga bagi GMIT untuk menyalurkan nilai-nilai kebaikan untuk kehidupan bersama. Alangkah baik dan indahnya apabila anggota-anggota jemaat yang ada di lembaga pemerintahan juga berpartisipasi dalam tarian Trinitas. Maka dengan jabatan atau posisi yang dipercayakan Allah itu, mereka bisa turut berperan melalui lembaga mereka bagi kebaikan bersama, khususnya dalam pengelolaan sampah, sebagai ekspresi perjumpaan mereka dengan Allah Tritunggal.
Sebagai kesimpulan, setiap orang percaya yang berjumpa dengan Allah Tritunggal dengan sendirinya akan berpartisipasi dalam karya Allah Tritunggal bagi kehidupan bersama. Kehidupan bersama ini sedang diancam oleh persoalan sampah. Hari ini mungkin ancamannya tidak terlalu serius tapi mungkin saja besok ancaman itu sudah berubah menjadi bencana. Karena itulah maka orang Kristen harus terlibat secara aktif dalam mengelola sampah. Partisipasi ini bukan pertama-tama karena ancaman atau bencana di depan, melainkan sebagai ekspresi iman kepada sang Tritunggal yang kudus. Setiap orang, anak kecil maupun orang dewasa, bisa berpartisipasi dengan apa yang dia miliki sebagai wujud gerakan-gerakannya dalam tarian Trinitas. Setiap gerakan sama nilainya bagi sang Tritunggal. Bentuk partisipasi seseorang bisa sama tetapi bisa juga berbeda dengan yang lainnya. Namun, semua itu berada dalam satu kesatuan tarian yang indah. Tulisan ini sendiri merupakan produk dari partisipasi dua penari yang memiliki gerakan berbeda tetapi dalam satu kesatuan.[14]Berpartisipasilah dengan apa yang ada padamu. Selamat menari bersama Allah Tritunggal dalam tarianNya. Biarlah keindahan tarian itu terlihat dari lingkunganmu yang bersih.
REFERENSI
Boff, Leonardo. Holy Trinity, Perfect Community. Orbis Books, 2000.
Buxton, Graham. The Trinity, Creation and Pastoral Ministry: Imaging the Perichoretic God. Wipf and Stock Publishers, 2007.
Fiddes, Paul S. Participating in God: A Pastoral Doctrine of the Trinity. Westminster John Knox Press, 2000.
LaCugna, Catherine Mowry. God for Us: The Trinity and Christian Life. Harpercollins College Div, 1991.
———. “The Trinitarian Mystery of God.” Systematic Theology: Roman Catholic Perspectives1 (1992): 149-92.
Moltmann, Jürgen. God in Creation. Minneapolis: Fortress Press, 1993.
———. The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God. Minneapolis: Fortress Press, 1981.
Torrance, Thomas F. Trinitarian Perspectives: Toward Doctrinal Agreement. Edinburgh: T&T Clark, 1994.
Volf, Miroslav. After Our Likeness: The Church as the Image of the Trinity. Wm. B. Eerdmans Publishing, 1998.
———. ““The Trinity Is Our Social Program”: The Doctrine of the Trinity and the Shape of Social Engagement.” Modern theology14, no. 3 (1998): 403-23.
[1]Catherine Mowry LaCugna, God for Us: The Trinity and Christian Life (Harpercollins College Div, 1991). 377.
[2]Ibid. 1-4, 377-80.
[3]JĂĽrgen Moltmann, The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God (Minneapolis: Fortress Press, 1981). 160-61.
[4]LaCugna, God for Us: The Trinity and Christian Life. 4.; bnd. Pandangan Karl Rahner seperti dikutip Graham Buxton dalam Graham Buxton, The Trinity, Creation and Pastoral Ministry: Imaging the Perichoretic God (Wipf and Stock Publishers, 2007). 106.
[5]Graham Buxton, The Trinity, Creation and Pastoral Ministry: Imaging the Perichoretic God. 109.
[6]Leonardo Boff, Holy Trinity, Perfect Community (Orbis Books, 2000). 14-16; Lihat juga Moltmann, The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God. 174-76.
[7]Thomas F Torrance, Trinitarian Perspectives: Toward Doctrinal Agreement (Edinburgh: T&T Clark, 1994). 141; lihat juga Moltmann, The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God. 175.
[8]Paul S Fiddes, Participating in God: A Pastoral Doctrine of the Trinity (Westminster John Knox Press, 2000). 81.
[9] Bnd. kataphaticdan apophatic theology misalnya dalam Catherine Mowry LaCugna, “The Trinitarian Mystery of God,” Systematic Theology: Roman Catholic Perspectives 1 (1992).
[10]Fiddes, Participating in God: A Pastoral Doctrine of the Trinity.; Buxton, The Trinity, Creation and Pastoral Ministry: Imaging the Perichoretic God. 132.
[11]Miroslav Volf, ““The Trinity Is Our Social Program”: The Doctrine of the Trinity and the Shape of Social Engagement,” Modern theology 14, no. 3 (1998). 404.
[12]After Our Likeness: The Church as the Image of the Trinity (Wm. B. Eerdmans Publishing, 1998). 229-30.
[13]JĂĽrgen Moltmann, God in Creation (Minneapolis: Fortress Press, 1993). xiv.
[14]Elia Maggang adalah warga jemaat Emaus Liliba yang berpendidikan teologi (alumni Fak. Teologi UKAW-2005), sedangkan Lidia br Tarigan adalah penatua dan bendahara jemaat Emaus Liliba, serta dosen Kesehatan Lingkungan di Poltekes Kupang.