Gara-gara Miss Dona di Bukit Mas (bagian III)

Gara-gara Miss Dona di Bukit Mas

Kisah Perjalanan Pelayanan ke Pulau Pantar (bagian III)

Mata Air Miss Dona di Kabir-Pantar Timur. Foto: Elia Maggang

Hari yang padat sudah lewat. Rabu, (24/10), adalah hari terakhir kegiatan, kendati beberapa materi seperti refleksi teologi dan latihan perencanaan panca program dari Pdt. Pdt. Niko Lumba Kaana, Pdt. John Campbell Nelson dan Pdt. Mery Kolimon masih dilanjutkan. Sisanya adalah materi Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL). Semalam saya sudah meminta kesediaan Pdt. Mery agar kami syuting video suara gembala bulan lingkungan GMIT yang sudah di depan mata. Beliau setuju. Kami janjian jam 6 pagi syuting di pantai Kabir yang berjarak 100 meter dari penginapan.

Seperti biasa jam 4 subuh saya sudah bangun mempersiapkan peralatan kerja yang saya butuhkan. Memastikan kuota memori card kamera cukup, mengecek daya bateray dan memastikan micropon benar-benar berfungsi.

Hari ini teman kami Tory pulang Kupang. Pukul 5 pagi dia sudah siap dengan kopernya menunggu Pdt. Niko dan Elia mengantarnya ke pelabuhan Kabir yang juga dekat dengan tempat penginapan kami. Saya juga sudah sepakat dengan Elia agar setelah mengantar Tory naik ke perahu, ia tunggu saya sebentar untuk menyelesaikan syuting video bersama Pdt. Mery. Rupanya dia ingkar janji. Ketika saya dan Pdt. Mery tiba di pantai, perahu yang ditumpangi Tory sudah tarik jangkar dan kedua sahabat saya itu sudah pergi entah kemana.

Selepas syuting dan kembali ke tempat penginapan, Elia dan Pdt. Niko tiba dengan sepeda motor. Keduanya senyum-senyum riang gembira. Saya tanya dalam dialek Kupang.

“Bosong dua dari mana?”

“Kotong dari bandara Kabir terus pi Bukit Mas, Bro,” balas Elia dengan senyum khasnya.

“Kotong su janjian bertiga pergi sama-sama, kenapa bosong dua jalan sonde tunggu beta,” lanjut saya kesal.  Memang saya ingin mengambil gambar di dua tempat tersebut saat hari masih pagi supaya kualitas cahaya dalam video lebih lembut.

“Ko kotong tunggu-tunggu Bro sonde muncul jadi…?” balas Pdt. Niko dengan logat Alor.

“Pokoknya beta sonde mau tahu, antar beta sekarang juga ke sana,” desak saya.

Pdt. Niko menghidupkan sepeda motor dan kami meluncur menuju lokasi bandara Kabir yang hangat dibicarakan peserta dan warga Kabir kemarin. Bandara berukuran 900 X 300 meter masih dalam proses pembangunan. Gedung terminal dan beberapa bangunan lain dalam tahap finishing. Beberapa pekerja proyek sibuk mengecat tembok bangunan.

Selepas memotret beberapa bagian bandara, kami pulang. Sangka saya, Pdt. Niko akan mengantar saya menuju Bukit Mas yang rencananya akan menjadi tambang emas seperti Perusahaan Newmont di NTB atau Freeport di Papua itu. Rupanya dia mengambil jalan memutar dan tiba-tiba kami sudah sampai di tempat penginapan.

“Bro, beta mau pi Bukit Mas, kenapa kembali ke rumah,” kata saya dengan nada protes.

“Ini sudah telat, sebentar lagi mau ibadah pagi,” balasnya tanpa menghiraukan kekesalan saya. Ia langsung balik badan menuju gereja.

Jalan menuju Bukit Mas dan Air Miss Dona. Tampak hutan di sekitar bukit baru saja terbakar. Foto: wanto/infokom

Saya menarik napas panjang. Dia dan Elia sama saja. Setali dua uang. Belum jam 8 pagi, sudah dua kali saya ditipu. Rasa-rasanya mau maki-maki mereka, tapi saya sadar ini bukan kampung saya. Pdt. Niko mengaku orang Alor dari Pulau Pura yang jago bikin sopi seperti cerita saya sebelumnya. Sementara Elia, dia mengaku pusarnya di tanam di Kabir ketika ayahnya menjadi pendeta di sini. Keduanya sama-sama anak Alor, sementara saya? Saya tidak punya akar di sini. Ayah saya memang cukup lama tinggal di Alor karena beliau lulusan sekolah teologi Fanating setelah sekolah teologi Tarus ditutup.

Saya terpaksa telan akar pahit dari perbuatan keduanya. Lain kali kalau ke Rote, kalian berdua akan kena batu. Biar impas. Sumpah!

Setelah ibadah pagi, saya ngotot pada Elia untuk antar saya ke Bukit Mas. Dia pasang muka kram. Mungkin dia pikir saya takut.

“Mau bikin apa di sana,” protesnya. “Orang ada sibuk kegiatan, Bro main bajalan saja,” sambungnya lagi.

“Beta mau ketemu Miss Dona,” jawab saya singkat.

Elia tersenyum mendengar jawaban saya. “Ayo, kabur sekarang,” lanjutnya.

Kemarin saya dengar cerita dari Bapak Yoksan Ill salah satu warga Kabir bahwa di bukit Mas ada mata air Miss Dona. Apa hubungan air dengan Miss Dona? Lalu dia bercerita bahwa pada tahun 1987 ketika dilakukan eksplorasi emas, ada seorang tenaga ahli asal Australia bernama Miss Dona. Pada salah satu lubang bekas pengeboran itu keluar mata air belerang yang panas. Ketika terjadi gempa, warga mengusir para pekerja eksplorasi termasuk Miss Dona. Maka, untuk mengenang Miss Dona yang cantik jelita itu warga menamai mata air itu Air Miss Dona.

Lubang bekas pengeboran emas yang dinamai Air Miss Dona. Air panas jernih kekuningan ini mengandung belerang. Lokasi, Bukit Mas-Kabir.

Kurang dari 10 menit kami sudah tiba di Bukit Mas. Sebagian pepohonan di sekitar bukit kering karena baru saja terbakar. Hitam. Hangus. Di bagian Timur asap masih mengepul. Tidak ada yang menarik di Bukit yang perutnya bergelimangan emas ini. Elia menuntun saya menuju mata air Miss Dona.

“Wooowww…sungguh mempesona, di balik semak dan rumput alang-alang, mengalir air jernih berwarna keemasan.  Indah sekali. Saya mencoba menjulurkan kaki. “Auuuuh, panaaaas,” teriak saya. Inilah pertama kali kaki dan tangan saya menyentuh air panas yang keluar dari perut bumi. Setelah cukup mengambil foto dan video, kami bergegas pulang.

Baru beberapa langkah, kami dikejutkan dengan teriakan dari atas bukit. Saya menengadah ke sumber suara. Tampak beberapa warga memandangi kami dengan curiga. “Hoooooiiih…!” teriak mereka serempak.

“Gawat,” pikir saya dalam hati. Saya lihat Elia tenang-tenang saja. Saya pun berusaha menenangkan diri seolah-olah tidak terjadi apa-apa karena toh, Elia anak tanah di sini. Pasti aman. Rupanya dugaan saya salah. Tinggal beberapa langkah di sepada motor kami, seorang pemuda dengan wajah agak garang meluncur dari atas bukit dengan sepeda motornya.

“Oh…my God tolonglah, kami dalam bahaya. Saya dan Elia bisa babak belur di tengah bukit ini. Tidak ada siapa-siapa di sini selain kami berdua dan warga kampung yang dilanda ‘kecurigaan hermeneutik’ kepada kami,” saya membatin. Memang dalam rombongan kami ada dua pengacara ‘kondang’ yakni John Rihi dan Helda Pulling akan tetapi apalah gunanya pengacara kalau kami sudah nyonyor duluan?

‘Otak Rote’ saya mulai bekerja keras mencari jalan keluar dari lubang jarum ini. Soalnya adalah kalau sampai peserta yang lagi serius mengikuti kegiatan di gereja tahu kami di hajar warga, saya yakin mereka tidak akan kasihan dengan nasib kami melainkan terbahak-bahak. Saya dan Elia akan dibully dan dikenang tujuh turunan.

Sebelum turun dari sepeda motornya dan mengatakan sesuatu, saya langsung angkat suara sama pemuda yang mendatangi kami. Ini trik untuk mengalihkan emosi dan perhatiannya. “Karmana ko kaka dorang punya bukit yang begini bagus hangus terbakar begini,” sambar saya seolah-olah prihatin dengan kondisi alam bukit.

“Ini gara-gara si….dia yang bakar ini hutan,” katanya dengan nada tinggi. Rupanya dia mulai terpancing dengan pertanyaan saya.

“Tunggu, kaka dorang jangan omong dulu. Kaka dorang tetap berdiri di situ. Saya mau syuting kaka punya protes,” sambung saya.  Segera saya memasang tripot dan kamera. Pengalaman saya, siapa saja yang baru pertama kali atau tidak biasa bicara di depan kamera pasti gugup dan salah tingkah. Ini trik kedua mengendalikan lawan. Rupanya karena dilanda emosi ia tidak sabar bicara. Sebelum saya memberi aba-aba dia sudah nyerocos.

“Sabar…Kaka, sabar sedikit ya? Ada dua pertanyaan yang harus kaka jawab, pertama, apa komentar kaka dengan Bukit Mas yang terbakar ini, dan kedua, setuju atau tidak Bukit Mas ini dijadikan tambang. Tapi…mohon kaka omong hanya satu menit,” kata saya. Kalimat terakhir saya membuatnya tampak berpikir keras. Menjawab dua pertanyaan sekaligus dalam satu menit di depan kamera tentu tidak gampang di mata seorang pemuda kampung. Lagi-lagi ini hanya trik ‘Otak Rote’ untuk membuat hatinya lembut.

Di bawah perut Bukit Mas ini bergelimangan emas namun aktivitas di atasnya bikin cemas. Foto; wanto/infokom.

Dia mulai bicara dan saya merekam. Saya lihat Elia hanya melongo menyaksikan drama yang saya mainkan. Usai merekam suara kenabian si pemuda, kami berjabat tangan. Elia yang sejak tadi gelisah menarik tangan saya untuk segera tancap gas.

“Ayo pulang, sebelum kotong dua diburu anak panah,” desak Elia.

“Tadi malam kau bilang, kau anak tanah di sini. Padahal, baru saja kotong hampir mati di buru anak panah,” kata saya dongkol. Mendengar itu, Elia terbahak. Saya semakin curiga dengan cara tertawanya yang terkesan janggal itu. Lantas Elia mulai buka kartu.

“Cerita sebenarnya begini, waktu tadi pagi kami datang, Bapak Ketua Klasis sudah kasi ingat bahwa orang luar yang datang ke Bukit Mas harus hati-hati,” ungkapnya.

Saya menyambar, “Lalu kenapa kau tidak bilang?”

Tiba di gereja, Elia menceritakan peristiwa naas yang baru saja kami alami. Dan sudah seperti yang saya duga sebelumnya. Ketimbang prihatin, Pdt. Niko tertawa sampai air mata keluar. Tidak cukup di situ, dia pergi cerita lagi nasib naas kami pada Pdt. Mery Kolimon, Pdt. John Campbell Nelson, Elina, Pdt. Emy Sahertian, dan teman-teman lainnya. Saya dan Elia hanya bisa pasrah sempurna menikmati olok-olok mereka. Ini semua gara-gara Miss Dona. (bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *