Foto infokom GMIT: Lukas Zijlstra dan Corrie Van der Ven
Kupang,www.sinodegmit.or.id, Sebuah moment sukacita, pekan ini Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mendapat kunjungan dua tamu istimewa dari negeri Belanda. Lukas Zijlstra (72), ia seorang pengusaha dan Corrie Van der Ven (55), manejer program Religion and Development pada Kerk In Actie. Keduanya berasal dari Protestantse Kerk in Netherland (PKN) atau Gereja Protestan di Belanda.
Gereja PKN mempunyai lembaga misi internasional bernama Kerk in Actie. Kerja sama GMIT dengan PKN sudah berlangsung puluhan tahun lalu, seperti halnya juga kerja sama GMIT dengan Global Ministries, lembaga misi dari Gereja Bersatu di Amerika (United Church of Christ-UCC) dan Uniting World, lembaga misi dari Gereja Bersatu di Australia (United Church of Australia-UCA).Baru-baru ini secara hampir bersamaan dua lembaga misi ini menyelenggarakan konferensi di Kupang. Ini menjadi catatan sejarah penting di masa mendatang di mana untuk pertama kalinya GMIT menjadi tuan dan nyonya rumah berlangsungnya dua konferensi teologi berskala internasional.
Sebagai pengusaha sekaligus anggota Gereja PKN, Pak Lukas, begitu kami menyapanya, adalah donatur pada Kerk in Actie. Melalui lembaga ini, dengan senang hati ia ikut mendukung program Rumah Harapan GMIT. Rumah Harapan ini sudah beroperasi pada bulan Februari yang lalu. Donasi Pak Lukas pada Rumah Harapan GMIT sebesar 200.000 Euro atau setara kurang-lebih 3 Milyar Rupiah selama 5 tahun mendatang.
Kunjungan ini merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya pada 2017 yang lalu bersama Pdt. Mery Kolimon di negeri Belanda. Melalui percakapan itu lahirlah kemauan baik dari Kerk In Aktie untuk bersama mendukung GMIT dalam menanggulangi sejumlah isu kemanusiaan yang sedang digumuli terutama kejahatan perdagangan orang yang marak di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mewakili anggota jemaat Gereja PKN, kehadiran Ibu Corrie dan Pak Lukas hendak mendengar dan melihat secara langsung karya nyata GMIT dan kerja sama oikumenis apa yang bisa dibangun sebagai tanda solidaritas bersama melaksanakan misi Allah bagi sesama umat Kristen di Timor.
Diskusi Isu-Isu Teologis di GMIT
Pertemuan pada Rabu pagi, (16/5), bertempat di ruang kerja Ketua MS GMIT berlangsung hangat. Percakapan diawali dari cerita singkat Pdt. Mery kepada Pak Lukas yang baru pertama kali datang ke Kupang mengenai kolonialisme yang menjadi cikal bakal kedatangan badan-badan misi gereja Protestan dari Belanda pada abad 17, yang dikemudian hari melahirkan GMIT. “Bahkan ketika GMIT berdiri pada 31 Oktober 1947, Ketua Sinode yang pertama seorang Belanda, Pdt. E. Durkstra,” kata Pdt. Mery sambil menunjuk foto paling ujung yang terpampang di dinding.
Percakapan kemudian beralih pada diskusi mendalam mengenai isu-isu teologis yang menjadi perhatian GMIT pada beberapa tahun terakhir seperti: kemiskinan, buruh migran, perdagangan orang, Hak Azasi Manusia, pendidikan (khususnya sekolah-sekolah GMIT), ekologi, hukum, politik lokal, sumber daya pertanian, kelautan, dan lain-lain. Tidak ketinggalan, diskusi juga merambah sampai pada analisa sosial, refleksi teologis serta langkah-langkah yang telah dan sedang dilakukan oleh GMIT.
Langkah-langkah konkret tersebut berupa: Pemberdayaan ekonomi di bidang pertanian di desa-desa atau klasis-klasis melalui Komunitas Pendeta Suka Tani (Kompastani), gerakan tanam air dan tanam pohon, pembenahan sekolah-sekolah GMIT dan hadirnya Rumah Harapan bagi korban kekerasan dan perdagangan orang.
Menyimak kompleksnya persoalan ribuan buruh migran asal NTT yang mengadu nasib di Malaysia dan korban meninggal akibat human trafficking yang terus bertambah setiap bulan dan tahun, Pak Lukas mengapresiasi langkah-langkah pencegahan oleh GMIT. Sebagai pengusaha yang dekat dengan sejumlah politisi dan pejabat tinggi pemerintah di Belanda, ia juga menawarkan dua solusi jangka panjang yang menarik, yakni mengirim tenaga kerja perawat (nurse)ke Belanda dan membangun ekoturisme di NTT.
“Di Belanda saat ini kami kekurangan seratus empat puluh ribu perawat. Apakah mungkin GMIT mempersiapkan anak-anak untuk sekolah perawat termasuk misalnya kami mendatangkan guru bahasa Belanda ke Timor dan setelah itu melakukan percakapan bilaretal dengan pemerintah dan mengirim mereka secara bertahap untuk bekerja di Belanda,” begitu usul menantang dari Pak Lukas.
Di lain pihak ia juga melihat potensi pariwisata di NTT dan mendorong GMIT untuk membangun tempat-tempat wisata yang ramah alam. Menurutnya, tidak selalu wisatawan menyukai tempat wisata dengan hotel-hotel dan fasilitas yang megah dan mahal seperti di Bali. Banyak juga termasuk dirinya, lebih tertarik berwisata di tempat-tempat yang sederhana dan menyatu dengan alam.
Melanjutkan usulan tersebut, ibu Corrie menambahkan bahwa jikalau program ini bisa dilakukan oleh GMIT, akan berdampak luas dan menjadi investasi bagi anak-anak Timor di masa mendatang.
“Perlindungan dan gaji yang layak bagi tenaga kerja dijamin oleh pemerintah Belanda. Sehingga tentu di satu sisi mereka bisa membantu keluarga di sini tetapi juga kita tahu bahwa mereka yang berpengalaman di luar negeri ketika pulang bisa menjadi investasi bagi masa depan di Timor, namun tentu ini pekerjaan yang cukup panjang,” ujarnya.
Sektor jasa lain yang juga membutuhkan banyak tenaga kerja di Belanda, kata Ibu Corrie, adalah pelayanan kepada kaum lanjut usia. “Untuk warga lanjut usia sebenarnya tidak membutuhkan pendidikan yang terlalu tinggi sehingga mungkin lebih mudah dijangkau oleh tenaga kerja dari Timor.”
Kendati usulan ini menarik namun menurut Pdt. Mery, tantangannya tidak mudah, sebab biaya sekolah perawat di Indonesia masih cukup mahal. Hanya anak-anak dari keluarga kalangan ekonomi menengah ke atas yang dapat mengaksesnya. Jadi, sendainya program ini dapat direalisasikan, toh tidak akan menyelesaikan masalah buruh migran dan perdagangan orang oleh sebab korban eksploitasi umumnya anak-anak dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Oleh karena itu perlu dipikirkan alternatif lain misalnya pemberian beasiswa yang memungkinkan mereka bisa mengakses sekolah perawat.
Tantangan yang sama juga mengena pada usulan membangun ekowisata. GMIT memang memiliki beberapa aset yang bisa dibangun lokasi ekowisata namun upaya itu bukan tanpa masalah, sebab akar persoalannya lagi-lagi adalah sejauh mana kapasitas tenaga kerja berhadapan dengan lapangan kerja yang tersedia. Dengan hanya bermodal pendidikan rendahan, paling banter mereka hanya bisa diterima menjadi satpam. Karena itu ia lebih yakin pada pemberdayaan ekonomi melalui pertanian sebagai peluang strategis dalam rangka mencegah human trafficking dan persoalan sosial ekonomi lainnya di NTT.
Untuk maksud itu, Pdt. Mery mengajak Ibu Corrie dan Pak Lukas, seusai pertemuan, mengunjungi salah satu kebun melon di lahan milik GMIT di Tarus yang sehari sebelumnya melakukan panen perdana.
Kunjungi Kebun Melon di Tarus
Selepas pertemuan di kantor sinode, kami langsung menuju lokasi kebun melon dimaksud. Lokasi ini merupakan areal sawah yang sebenarnya memiliki cerita sejarah tersendiri karena sejak tahun 1960an lokasi ini merupakan tempat praktik bertani bagi calon-calon pendeta yang mengikuti pendidikan di Sekolah Teologi Tarus.
Saat kami tiba, Zakarias Banu, petani yang mengolah lahan sawah dengan tanaman melon sudah menanti. Ia didampingi kepala desa Mata Air, Benyamin Kanuk serta Pdt. Yaksih Nubantimo dan Pdt. Markus Uli-Loni dari UPP Pemberdayaan Ekonomi dan Pengembangan Aset MS GMIT.
Ibu Corrie dan Pak Lukas kagum dengan buah-buah melon berukuran besar bergelantungan bagai lampion. Kepada tamu-tamu asing ini, Zakarias mengungkapkan rasa sukacitanya karena usaha budidaya melon yang ditekuninya memberikan hasil yang sangat menjanjikan.
Padahal, ia hanya memanfaatkan lahan seluas 3 are atau 5 X 60 meter. Lahan sempit ini ia tanami 300 pohon melon. Satu pohon menghasilkan 2 buah dengan berat rata-rata 2 kilogram yang sudah bisa dipetik dalam tempo 2,5 bulan. Dengan harga pasar 10 ribu rupiah per kilogram saat ini, hasil penjualan ditaksir mencapai 12 juta rupiah. Angka ini diperoleh dari, 2 buah dikali 300 pohon = 600 buah dikali 20.000 rupiah/buah = Rp. 12.000.000,-. Zakarias juga mengaku modal untuk menanam melon pun tidak banyak. Biayanya dibawah 2 juta rupiah.
Ibu Corrie dan Pak Lukas sangat terkesan melihat langsung hasil budidaya melon di kebun ini. “Kami sangat terkesan dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh GMIT dalam memberdayakan jemaat. Kami berharap gereja-gereja lain di Indonesia juga belajar dari apa yang GMIT lakukan,” ujar Ibu Corrie.
Matahari perlahan condong ke ufuk Barat. Sambil menikmati manisnya buah melon, kami mengakhiri perjalanan hari ini dengan berfoto bersama. Sungguh alangkah manisnya persaudaraan itu. Semanis wajah anak-anak petani yang berebutan minta foto selfi bersama Pak Lukas dan Ibu Corrie.
Besok, kunjungan akan dilanjutkan ke Rumah Harapan GMIT dan Gunung Fatule’u. (bersambung…)