
KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Ada beberapa kasus dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ada murid SMP membully dan menarik-narik leher kemeja seorang guru honorer. Kita juga menemukan guru yang dipukul orang tua murid karena anaknya dihukum oleh guru. Masih banyak kasus serupa.
Kasus-kasus ini memperlihatkan pergeseran yang cukup signifikan dalam relasi guru murid dengan katakanlah 20-30 tahun yang lalu atau bahkan saya sendiri masih SD atau SR. Ada pergeseran signifikan. Pada tahun-tahun itu guru-guru itu sangat disegani karena mereka dianggap nara sumber dari apapun. Guru-guru di daerah pedesaan waktu itu adalah seorang yang lebih intelektual dari pada penduduk pada umumnya sehingga dia menjadi tempat bertanya. Mereka berwibawa. Dan paling tidak menurut saya pergeseran-pergeseran itu disebabkan oleh beberapa hal;
Pertama, pemahaman yang keliru mengenai hak-hak asasi manusia. Seorang guru misalnya sekarang ini menegur seorang murid dan mungkin sampai pakai rotan atau apapun itu dianggap sebagai melecehkan HAM. Kedua, saya melihat pemahaman yang keliru terhadap Undang-Undang (UU) kekerasan dan perlindungan terhadap anak. Jadi seperti contoh di atas, bapak yang datang pukul guru karena anaknya mengaduh dan dianggap guru melanggar UU kekerasaan dan perlindungan anak. Di sini kita bisa lihat bahwa batas antara kekerasan dan pendidikan menjadi cair, tipis. Kita tidak tahu lagi ini kekerasan atau pendidikan dan sebaliknya.
Saya masih ingat waktu masih SD tahun 50-an, pukul tangan itu tiap hari, tapi tidak ada yang berani mengadu pada orang tua. Berani mengadu, dipukul tambah lagi oleh orang tua. Itu yang terjadi pada waktu itu. Saya sengaja mulai dengan kasus-kasus ini supaya kita lihat relasi antara guru dan murid yang mengalami pergeseran dan bagaimana semestinya.
Imago Dei
Imago dei tentu saja adalah sebuah istilah teologi. Istilah ini menggambarkan relasi antara Allah dan manusia. Citra Allah, gambar Allah. Dalam terjemahan lama dipakai istilah teladan Allah. Kejadian 1:26, “Berfirmanlah Allah baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas seluruh binatang melata yang merayap di bumi.” Saya kira nas ini sangat dikenal. Menjadikan manusia menurut gambar dan rupa, citra/Imago. Istilah ini terdapat juga di 2 Korintus 4:4 dan Kolose 1:15. Intinya bahwa citra Allah yang utama adalah Kristus. Kita adalah Gambar Allah. Citra Allah/imago dei, lalu Kristus adalah citra utama dan berarti manusia, kita, adalah citra dari Kristus yang adalah citra utama tadi.
Memang ini konsep teologis, tetapi yang mau saya catat adalah impilikasi dari citra allah/imago dei bahwa manusia adalah co-creator. Creator=pencipta, co=yang bersama-sama mencipta. Tentu Pencipta adalah Tuhan Allah, dan manusia ikut serta dalam perbuatan penciptaaan. Dan kuasa ini diberikan. Tentu Anda dan saya tidak bisa membayangkan kalau setiap kali Tuhan Allah membuat manusia. Cipta satu-satu sampai sekian milyar. Saya kira tidak mungkin. Bukan tidak mungkin, mungkin saja tetapi repot buat Tuhan Allah. Dan karena itu manusia diberi kuasa. Co-creator. Di sinilah manusia menurunkan manusia yang lain. Ini suatu kuasa dan penghargaan dari Tuhan Allah kepada manusia untuk, “membantu” Allah menciptakan manusia yang baru/lain. Jadi tidak berarti kira merampas hak Tuhan Allah. Bukan itu. Tetapi Tuhan Allah memberi kuasa/hak kepada kita.
Dengan demikian kita melihat apa yang disebut imago dei. Ada relasi Allah dan manusia yang sangat penting untuk ditegaskan. Untuk digaris-bawahi. Relasi Allah dan manusia dalam relasi antar subjek. Bukan relasi antara subyek dan obyek. Kalau saya punya relasi dengan sebuah botol, botol itu objek, saya subjek. Tetapi Allah mempunyai relasi dengan manusia bukan relasi subjek-objek tapi relasi antar subjek. Tuhan Allah Subjek. Manusia juga subjek. Luar biasa. Mestinya manusia hanya objek saja. Tetapi sekali lagi Allah memberikan penghargaan yang tinggi karena dia imago dei. Maka relasi di sini adalah relasi antar subjek.
Jadi kendati manusia adalah ciptaan, ia diangkat sebagai mitra/partner. Kalau saya punya mitra dagang, maka saya anggap dia juga subjek, kalau kita anggap dia sebagai objek, itu bukan mitra namanya. Karena itu saya kalimatkan di sini bahwa manusia itu adalah makhluk yang difirmani oleh Allah, karena dia mengangkatnya sebagai teman untuk melakukan percakapan, tetapi juga sebagai co-creator. Dari ayat yang dikutip tadi, manusia diberi hak untuk menguasai. Hak menguasai, mengelola dan mengayomi makhluk-makhluk lain. Tentu ada masalah teologis yang muncul seperti bagaimana dengan masuknya dosa? Pertanyaan ini biarlah menjadi perhatian para ahli teologi saja. Tapi pertanyaannya kalau dosa masuk apakah dia masih citra Allah? Bukankah dia sudah bikin rusak? Jawabannya adalah dia masih citra Allah. Inilah yang kemudian disebut anugerah. Walaupun manusia dirusak karena dosa, Allah tetap mengangkatnya sebagai mitra. Dia tidak hukum dan bikin rusak tetapi Dia angkat dan perbaiki.
Tetapi pada pihak yang lain apakah respon manusia terhadap itu? Kalau kita diangkat sebagai mitra, co-creator, atau yang difirmani, lalu apakah kita diam-diam saja? Saya kira tidak. Pertama, tentu kita berterima kasih, tapi ada hal yang penting yang dituntut manusia adalah ketaatan. Ketaatan kepada Dia yang telah mengangkat kita sebagai co-creator sebagai mitra, sebagai yang difirmani.
Lalu, apa impilikasinya bagi pendidikan? Paling tidak menurut saya, bahwa relasi di dalam pendidikan itu adalah relasi antar subjek. Anak didik/peserta didik bukan objek. Dia adalah subjek. Jadi relasi dalam pendidikan adalah relasi antar subjek. Sama seperti Allah mengangkat manusia sebagai mitra. Anak didik adalah mitra di dalam penziarahan, dalam perjalanan mengetahui rahasia-rahasia realitas ini. Mungkin pengkalimatan ini agak abstrak, tapi yang saya maksud adalah, kita sedang berjalan bersama mencari pengetahuan. Membuka rahasia alam dan segala macamnya. Hebatnya manusia sudah mampu membuka rahasia-rahasia-rahasia alam.
Mitra berarti sang guru/naradidik tidak boleh berpretensi memonopoli pengetahun. Tadi saya katakan pada masa lalu di kampung-kampung, guru adalah narasumber. Apa saja, bahkan ilmu kedokteran pun ditanyakan kepada guru. Untuk tolong orang bersalin juga tanya guru. Tapi itu puluhan tahun lalu. Sekarang tidak. Guru tidak boleh berpretensi memonopoli, karena sumber pengetahuan bisa diperoleh di mana-mana. Tentu ada konsekuensinya. Akibatnya adalah kalau dia tidak lagi berpretensi sebagai satu-satunya sumber maka apa yang dilakukan oleh naradidik? Saya mencatat dia mesti berfungsi sebagai yang memperlihatkan Allah kepada yang anak didik.
Sekarang ini anak-anak juga punya handphone. Kalau seorang guru tidak mampu memberi arah maka dia akan berkanjang terus dari pagi sampai pagi. Itu yang dimaksud oleh professor Harari dari Israel dengan istilah, digital dictatorship. Kediktatoran digital. Kita ada di situ sekarang. Anak-anak kita juga dikuasai oleh kediktatoran digital.
Peranan seorang guru dalam abad ini adalah memberi arah. Guru bukan maha tahu. Sudah pasti, karena bukan tidak mungkin anak-anak jauh lebih pintar dalam hal yang berhubungan dengan perangkat digital. Sampai sekarang cucu saya yang berumur 5 tahun dengan jari yang kecil lebih pintar dari saya. Dia tahu persis ketimbang saya yang masih gaptek. Ini yang sedang terjadi sekarang. Jadi kalau seorang guru bertindak/berpretensi, sudah pasti tidak bisa, tetapi dia bisa memberi arah. Paling tidak dia akan memberi keteladanan kepada naradidik terutama relasi antar subjek yang didasarkan pada cinta kasih. Pada kasus murid SMP yang pukul guru honorer, barangkali relasi cinta kasih itu kurang.
Hal berikut adalah kondisi. Sarana prasarana pendidikan harus disiapkan. Disiapkan dengan baik supaya segala sesuatu yang kita sebut itu berlangsung dengan baik pula. Tentu saja sarana yang dimaksud adalah yang kasat mata juga. Tidak mungkin sebuah relasi antar subjek akan berjalan dengan baik kalau sarana fisik bangunan sekolah bocor di sana-sini. Memang ada yang bisa jadi guru besar walaupun dulu sekolah di bawah pohon pisang katanya, tapi semestinya itu orang yang luar bisa. Tapi kita jangan jadikan itu sebagai alasan seolah-olah sarana tidak penting.
Saya tidak tahu bagaimana di lingkungan GMIT, bagaimana dengan sarana-sarana pendidikan kita? Tapi saya ingat waktu masih rektor UKAW, puluhan tahun lalu saya pernah memberi ceramah di Jemaat Ebenhaeser Oeba, saya masih ingat waktu itu ada sekumpulan pimpinan gereja. Saya bilang, kalau anda masih sibuk membangun monumen-monumen mati dan lupa membangun monumen hidup, nanti lihat, monumen mati itu akan kosong melompong. Tidak ada orang di dalamnya, karena anda alpa membangun monumen hidup. Saya masih ingat betul itu. Fasilitas bangunan yang memadai itu harus ada dan saya yakin GMIT bisa melakukannya. Saya yakin karena apa? Karena membangun gedung gereja bisa, mengapa membangun gedung sekolah tidak bisa?
Kedua, berbagai perangkat peraturan yang merefleksikan berbagai hal yang disebutkan di atas harus diciptakan. Ketiga, bagaimana pun gaji guru harus memadai. Saya tahu di Kupang ada sekolah-sekolah elit, dan saya tidak tahu bagaimana relasi sekolah elit dan sekolah-sekolah biasa. Jangan juga kita anggap gaji tidak terlalu penting, sebab tanpa persiapan gaji yang baik jangan pernah harap kita akan memperoleh mutu yang baik. Dan keempat, memperbaiki relasi guru dan orang tua murid supaya jangan ada salah paham seperti yang seringkali terjadi. ***
*Materi ini merupakan transkrip rekaman audio yang disampaikan pada Seminar Konven Kepala Sekolah GMIT pada Februari 2019 di Kupang. Bebeberapa bagian telah diedit seperlunya.