Kupang, www.sinodegmit.or.id, Badan-badan Pembantu Pelayanan (BPP) berbadan hukum milik Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) seperti yayasan-yayasan, menampakkan wajah ironi. Hal tersebut terungkap pada laporan BPP dan mitra-mitra dalam sidang MS GMIT ke-42, Senin, 5/2-2018.
Di satu sisi beberapa yayasan mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang signifikan namun di sisi lain, ada yayasan yang kondisinya ibarat pepatah hidup enggan mati tak mau.
Bank Perkreditan Rakyat Tanaoba Lais Manekat (BPR-TLM) misalnya, saat ini bank yang berada di bawah naungan Yayasan TLM masuk kategori bank sehat. Indikator sehat itu kata Dirut BPR TLM, Robert Fanggidae SE, meliputi sehat modal, aset, menejemen, pendapatan dan kemampuan memenuhi kewajiban. Hasilnya, BPR TLM meraih penghargaan berturut-turut 7 kali dalam 9 tahun terakhir.
“Dari semua kriteria dari Bank Indonesia kita (BPR-TLM, red.) semuanya sehat. Modal TLM 110,8 milyar, aset 215 milyar dan nasabah sebanyak 12.458 orang per 31/12-2017. Dalam 9 tahun terakhir mendapat 7 kali penghargaan sebagai BPR terbaik, versi majalah info bank,” ungkap Robert.
Di lain pihak, Yayasan Abdi Kasih yang membawahi Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Ume Manekan So’e, mengalami penurunan status dari Rumah Sakit menjadi Klinik Pratama lantaran dianggap tidak layak oleh pemerintah.
“RSIA Ume Manekan So’e ini milik GMIT. Berdiri pada 10 April 1999. Dalam perjalanannya mengalami berbagai kendala sehingga tahun 2014 RS ini dinilai tidak layak sebagai sebuah RS oleh karena itu RSIA Ume Manekan berubah status turun menjadi Klinik Pratama,” ungkap Robert Tan, Ketua Pengurus Yayasan Abdi Kasih.
Menurut Tan, keterbatasan dana merupakan problem utama operasional Rumah Sakit yang kini sudah turun status menjadi klinik tersebut. Bahkan katanya, untuk membayar gaji tenaga medis pun mereka tertatih-tatih.
“Masalahnya adalah kekurangan dana. Mau bayar gaji saja tidak cukup. Mau bayar dokter juga setengah mati. Mau bayar sopir juga setengah mati. Setiap bulan kita was-was, kadang kita dilaporkan ke Depnaker, jadi ini membuat kita ragu-ragu, kita setengah mati dalam mengelola yayasan ini,” keluh Tan.
Klinik Ume Manekan berlokasi di kelurahan Nenohonis kecamatan kota So’e. Berdiri di atas lahan seluas 40.000 M2 dengan fasilitas pelayaan gawat darurat, rawat inap, poli umum, poli gigi dan ruang pelayanan rawat inap anak gizi buruk.
Sementara personil terdiri dari: dokter 1 orang, perawat 6 orang, sopir dan cleaning servis 1 orang, penjaga 2 orang, tenaga adminstrasi, analisis, apoteker, pendeta dan tenaga magang masing-masing 1 orang dengan jumlah kunjungan tahun 2017 sebanyak 1.112 pasien.
Kendati dirundung aneka masalah, Ketua Pengurus Yayasan Abdi Kasih optimis bisa mengembalikan status klinik menjadi RS. Upaya itu katanya telah mencapai 95%.
“Kami sedang urus agar klinik ini naik menjadi Rumah Sakit tipe D. Sudah kami urus sampai 95%, tinggal inspeksi dari Dinas Kesehatan. Tapi dari dinas tanya, dana sudah siap atau belum? Dapur, ruang operasi, penerangan di halaman sudah ada atau belum? Tapi semua dokumen sudah kami siapkan,” jelas Tan.
Tan berharap Sinode GMIT termasuk jemaat-jemaat GMIT memberi dukungan finansial kepada Yayasan Abdi Kasih, agar proses kenaikan status menjadi RS Ibu dan Anak Ume Manekan tipe D bisa terealisir dalam waktu dekat.
Saat ini Sinode GMIT memiliki 10 BPP berbadan hukum, antara lain: Yayasan Abdi Kasih di So’e, Yayasan Alfa Omega di Tarus, Yapenkris, Yayasan UKAW di Oesapa, Yayasan Untrib di Alor, Yayasan STKIP di So’e, Yayasan TLM (BPR dan KSP), Koperasi Talenta, Koperasi Citra Hidup di Alor, PT. Radio Suara Kasih dan Unit Bahasa dan Budaya GMIT. ***