Mengenang Mendiang Pdt. Emr. Ishak Nikolas Frans

Kupang, www.sinodegmit.or.id,Kamis, (2/8) pukul 17:00, Pendeta Emr. Ishak Nicolas Frans, S.Th, meninggal dunia dalam usia 79 tahun. Ibadah pemakaman mantan direktur Yayasan Alfa Omega yang akrab disapa Pak Itja itu berlangsung di jemaat GMIT Ebenhaeser Tarus Barat dipimpin Pdt. Dr. John Campbell-Nelson, Sabtu, (4/8) pukul 11:00.

Pdt. Itja lahir di So’e pada 15 Mei 1939 dari pasangan Thobias Frans dan Johana Katerina Frans-Temaluru.  Ia diangkat menjadi pendeta GMIT pada tahun 1961 dan melayani di jemaat Kefamnanu hingga Juli 1967. Selanjutnya  ia ditempatkan sebagai pimpinan Pusat Latihan Kader Kemakmuran (PLKK – yang kemudian berganti nama YAO) hingga tahun 1985 dan menjadi direktur YAO yang pertama tahun 1985 – 2003.  Selain itu, ia juga diserahi tugas sebagai Sekretaris Komisi Pengembangan dan Partisipasi Pembangunan Majelis Sinode GMIT pada 1975-1989.

Kiprahnya selama 31 tahun dibidang pemberdayaan jemaat menjadikan sosok Pdt. Itja unik. Penampilannya sangat sederhana bahkan Pdt. John Campbell-Nelson mengisahkan selama 35 tahun bersahabat, hanya 2 atau 3 kali ia melihat mendiang mengenakan toga pendeta.

“Kemarin malam saya ikut ibadah penghiburan, saya lihat Pak Itja dalam toga. Itu saya hanya lihat 2 atau 3 kali dalam 35 tahun kami kenal. Saya jarang lihat Bu Itja pakai toga, tapi kependetaannya selalu melekat. Tidak sebatas kain yang dipakai, tapi apa yang selalu menjadi motivasi di dalam hatinya itu yang tidak pernah lepas,” tutur Pdt. John.

Penampilan dan perjuangannya membela masyarakat kecil mengingatkan Pdt. John pada sosok nabi Amos, petani dan peternak dari Tekoa. Amos yang hidup pada masa pemerintahan raja Yerobeam menghadapi situasi ketidakadilan yang parah. Para elit memeras rakyat demi memuaskan kepentingan mereka. Persis situasi sosial politik pada zaman orde baru dimana mendiang menjalani karya pelayanannya.

Merujuk pada perikop ’’Melawan Perkosaan Keadilan’’ dari bacaan Alkitab Amos 5:7-13 & 21-24, Pdt. John dalam khotbahnya menyebut mendiang sebagai orang bijaksana yang berdiam diri secara kreatif. (baca khotbah lengkapnya di http://sinodegmit.or.id/khotbah-pemakaman-pdt-emr-ishak-nikodemus-frans-s-th/)

“Amos mengatakan orang yang bijaksana akan berdiam diri pada saat itu. Yang sangat mengesankan adalah Bu Itja mencari cara berdiam diri secara kreatif…Dia menjadikan Yayasan Alfa Omega sebagai sebuah basis perlawanan yang diam-diam. Tempat di mana sambil belajar bertani, orang bisa juga belajar keadilan. Sambil belajar pengobatan tradisionil dia juga belajar haknya. Sambil mengeluh hasil jagung yang tidak memuaskan dia juga bisa mengeluh tentang keadilan yang dia hadapi. Dan sambil menyusun strategi bertani dengan lebih baik orang bisa juga kumpul kekuatan untuk melawan ketidakadilan,” ungkap Pdt. John.

Kiprah Pdt. Itja di Yayasan Olfa Omega menjadi kenangan bagi banyak orang bukan hanya di NTT tetapi juga di berbagai wilayah di Indonesia.  Ditunjang kemampuan berbahasa Inggris yang baik ia berhasil mendatangkan ahli-ahli pertanian dan peternakan dari Inggris, Amerika dan Australia ke Tarus (lokasi Yayasan Alfa Omega) sebagai basis perjuangan, berbagi ilmu pengetahuan dan keterampilan. Tidak heran jika Yayasan milik GMIT ini menjadi yang sulung dari semua LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di NTT.

Mengingat pengabdiannya di bidang pemberdayaan masyarakat, figur Pdt. Itja menjadi teladan bagi para pendeta masa kini dan bagaimana gereja memahami visinya, lanjut Pdt. John.

“Bapak Itja memperluas pemahaman kita tentang apa itu seorang pendeta dan apa yang perlu dituntut dari seorang pelayan GMIT. Tidak cukup dia berdoa berkhotbah dan pimpin lagu, harus ada juga sebuah keterampilan sebuah kemampuan yang bisa dia sumbangkan bagi jemaat demi pengembangan ekonomi dan kehidupan bersama. Dalam proses itu Pak Itja juga memperluas visi kita tentang gereja. Apa yang seharusnya gereja lakukan.

Kita berhadapan sekarang juga seperti yang dihadapi Amos. Bukan soal gereja lembaga jenis apa? Lembaga agama murni atau lembaga LSM apa, tapi apa yang harus kita kerjakan dengan kekuatan yang begitu besar yang ada pada gereja?  Untuk itu kita tanya pada Tuhan Allah. Berapa kali Tuhan Allah bilang bikin PESPARAWI dan menyanyi terus dan puji Saya? Berapa kali Tuhan Allah bilang bikin gedung gereja yang besar sekali. Dan berapa kali Tuhan Allah bilang biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan turun seperti sungai yang selalu mengalir?

Kita belajar dari Tuhan, apa yang harus kita kerjakan. Saya tidak omong hal yang negativ tentang paduan suara kita. NTT, GMIT, punya paduan suara kelas dunia. Kita duduk lihat mereka menyanyi kita menangis karena hati tersentuh, tapi kenapa kita tidak punya pelayann diakonia yang kelas dunia? Sekolah-sekolah yang juga kelas dunia? Itu ketegangan yang ada di dalam gereja dan itu sebabnya orang yang sudah dengar suara Amos kalau duduk disebuah ibadah dalam sebuah gedung gereja yang besar dan indah dilayani oleh pendeta-pendeta yang pakai seragam yang mengkilat dengan sound system yang luar biasa, kami rasa gelisah. Bukan tolak, tapi rasa gelisah jangan sampai yang begini yang Tuhan benci. Bukan ibadahnya, tapi pemisahan antara keadilan dan pujian. Antara etika dan ibadah,” demikian kritik Pdt. John.

Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon saat menyampaikan suara gembala menyebut Pdt. Itja sebagai motivator pembangunan dan sahabat bagi banyak orang lintas iman.

“Kita memakamkannya sekarang dengan rasa kasih yang besar dan kebanggaan dengan syukur atas karunia Allah dalam diri Bapak Itja bagi persekutuan kita. Tubuhnya akan menyatu dengan tanah namun visinya bagi diakonia transformasi gereja untuk masyarakat yang adil dan damai mesti tetap kita pelihara. Dia mengajari kita nilai-nilai pelayan gereja, bekerja secara tulus, tak berhitung untung-rugi, memberdayakan, memperteguh harkat dan martabat kemanusiaan, membela kaum lemah, membela alam yang tandus dan memperjuangkan keadilan. Visinya itu tidak boleh mati karena visi itu adalah visi Tuhan Yesus sendiri,” ujar Pdt. Mery.

Sofia Malelak-de Haan, mantan direktur YAO pasca kepemimpinan Pdt. Itja, menyebut mendiang sebagai guru, motivator, inspirator. “Bapa Itja di mata kami adalah seorang guru, motivator dan sumber inspirasi bagi pengembangan masyarakat dan trasnformasi sosial di NTT. Beliau adalah pribadi yang sederhana tetapi berlian dalam pemikirannya. Dalam kesederhanaannya ia melayani mereka yang tersisih dan marjinal yang beliau sering sebut kelompok yang tampias. Beliau juga adalah yang sulung bagi kami di LSM.”

Pdt. Itja  meninggalkan seorang istri, Susan Ellen Frans-Onksen, dua anak yakni, Mery Catherina Djunina-Frans dan Thobias Joseph Frans serta 5 cucu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *