KUATNANA-TTS, www.sinodegmit.or.id, Pembangunan bendungan Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang kabarnya akan menjadi bendungan terbesar di NTT mendapat perhatian Majelis Sinode (MS) GMIT. Pasalnya, mega proyek yang diperkirakan menelan biaya 1,3 triliun tersebut tidak hanya memberi dampak positif bagi masyarakat tetapi juga perubahan-perubahan sosial yang bakal terjadi.
Mengantisipasi hal tersebut, Majelis Sinode GMIT menggelar pertemuan dengan pemerintah daerah setempat dengan melibatkan pendeta-pendeta se-klasis TTS. Pertemuan berlangsung di jemaat Imanuel Kuatnana, Senin (20/8).
Ketua MS GMIT Pdt. Mery Kolimon mengatakan pertemuan ini dimaksudkan untuk membangun sinergi antara gereja dan pemerintah daerah dalam rangka memastikan hak-hak masyarakat dilindungi serta sejauhmana kesiapan masyarakat menghadapi perubahan-perubahan sosial dan ekologi.
“Pertemuan ini dimaksudkan untuk kita kumpul hikmat bagaimana cara menyikapi perubahan-perubahan sosial yang akan terjadi di TTS sehubungan dengan pembangunan bendungan Temef, seperti perlindungan hak-hak masyarakat, penjualan tanah dan kemajemukan.”
Langkah MS GMIT ini dilatarbelakangi pengalaman pembangunan bendungan Raknamo di kabupaten Kupang yang proses ganti rugi lahan warga terkesan lamban oleh pemerintah.
“Pengalaman dengan bendungan Raknamo, seusai diresmikan, masyarakat datang ke Kantor Sinode dan bilang tolong kami karena tanah kami baru dibayar 25%. Bendungan Temef baru dimulai, jadi lebih baik kita waspada agar hak-hak masyarakat dilindungi. Kita mesti berdiri bersama masyarakat di sekitar Temef,” tegas Pdt. Mery.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPRD TTS, Jean Neonufa dan bupati TTS yang diwakili Kepala Bagian Pendapatan Daerah Aba L. Anie dan Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman J.E.P. Benu, mengaku pihaknya berkomitmen mengedepankan kepentingan masyarakat.
Bendungan Temef berlokasi di desa Konbako kecamatan Polen dan desa Oenino kecamatan Oenino, dibangun dilahan seluas 480,60 hektar. Bendungan ini diperkirakan mensuplai kebutuhan irigasi sebesar 4.500 hektar dan listrik sebesar 2 MW serta ikon pariwisata di TTS.
Dalam penjelasannya Benu mengatakan saat ini proses pembangunan dalam tahap persiapan. Pada tahap ini pihaknya mengidentifikasi luasan tanah yang terdampak area proyek dan konsultasi publik dengan masyarakat pemilik lahan untuk menyepakati bentuk ganti rugi. Dari total 480,60 ha tersebut, kata Benu, sekitar 180 ha merupakan lahan milik warga.
Mengingat daya tarik dan besarnya manfaat bendungan untuk pengembangan ekonomi di masa mendatang, Kepala Bagian Pendapatan Daerah, Aba L. Anie, mengingatkan warga agar tidak menjual tanahnya kepada pihak luar.
“Banyak tanah di wilayah Selatan di kecamatan Amanuban Selatan, Kualin sampai Amanatun sudah dibeli pemilik-pemilik modal. Kami usul supaya bupati panggil camat dan arahkan supaya minta masyarakat jangan jual tanah. Karena setiap minggu kami mendapat pemasukan untuk kas daerah dari BPHTP (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, red.) dalam jumlah besar. Dari segi pendapatan daerah kami mendapat penghasilan besar tapi kami juga susah karena tanah semakin habis terjual kepada pemilik modal dari luar. Kami minta GMIT himbau warga tidak mudah jual tanah,” ujar Aba.
Kepemilikan lahan dalam jumlah besar oleh investor menurut Aba bahkan sudah berlangsung sebelum rencana pembangunan bendungan. “Lahan yang menjadi lokasi titik as pembangunan bendungan Temef, pemiliknya adalah warga Solo-Jawa Tengah, seluas 20 ha.”
Sebelumnya himbauan ini telah disuarakan oleh MS GMIT pada forum-forum persidangan jemaat, klasis dan sinode. Pasalnya, masyarakat adat yang tercabut dari tanahnya akan menjadi budak di negerinya sendiri. ***