Penderitaan Orang Benar
(Pdt. Yususf Nakmofa, M.Th)
Sudah menjadi pengakuan umum bahwa orang yang salah pasti harus dihukum, tapi bagaimana kalau seandainya hukuman yang dijatuhkan salah sasaran alias orang tidak salah harus menerima hukuman.
Saya kira, orang tersebut akan berusaha memprotes dengan berupaya menjelaskan kebenaran dirinya dengan maksud pembelaannya itu bisa diterima dan hukuman yang terlanjur itu diakhiri atau minimal ia bisa mendapatkan pemulihan nama baik.
Pertanyaan mendasar dari keseluruhan kitab Ayub, “Mengapa Orang benar harus menderita? Pertanyaan ini seolah-olah mengusik keadilan Allah. Sebab masakan Allah tega menghukum orang yang tidak bersalah. Sebab Kalau demikian maka pastilah orang fasik akan semakin beria-ria melihat orang yang benar mengalami penderitaan. Dan bukankah itu pula yang menjadi nada kekesalan Ayub terhadap penderitaan yang sedang menimpanya, sampai-sampai ia mengutuki hari kelahirannya: “Mengapa ada kandungan seorang ibu yang mau mengandungnya, mengapa ada pangkuan yang bersedia menerimanya ataupun buah dada yang bersedia menerimanya untuk menyusu (bnd.3:7-12).
Dan karena itu mengapa ia terlahir untuk menderita, padahal menurut Ayub, ia sendiri tidak melakukan pelanggaran/dosa berat yang mengakibatkan dia untuk menderita seberat ini (10 anak dan puluhan ribu hewan/ternak dan para gembalanya). Apalagi di tengah terpaan hidup seperti ini, sang istri justru mempertanyakan Allah-nya dan meminta Ayub mengutukinya. Akan tetapi itu tidak menyulutkan iman Ayub. Masakan kita menerima yang baik saja dari Allah saja dan tidak mau menerima yang buruk? Ayub malah menyebut istrinya sebagai perempuan gila.
Pasal 4-31 merupakan percakapan panjang lebar antara Ayub dan tiga temannya: Elifas, orang Teman, Bildad, orang Sua dan Zofar, orang Naama. Umumnya ketiga temannya ini datang dengan pendekatan teologi kaum awam. Pasti ada dosa/masa lalu yang karenanya Ayub alami semua ini. Namun sepanjang dialog dengan teman-temannya, Ayub selalu tampil dengan upaya pembelaan diri dan model pembelajaran teologi penderitaan: antara ajaran dan praksis.
Kitab Ayub ini tergolong kitab puisi sama seperti Mazmur dan Amsal. Penulis dua tradisi Talmud mengatakan bahwa Ayub hidup pada masa Abraham atau Yakub. Lewi ben Laḥma mengatakan bahwa Ayub hidup pada masa Musa, dan Musa adalah penulis Kitab Ayub. Yang lainnya berpendapat bahwa Ayub sendirilah yang menulis kitab ini, atau Elihu atau Yesaya. Dari bukti-bukti internal seperti misalnya kesamaan perasaan dan bahasa dengan apa yang ditemukan dalam Kitab Mazmur dan Amsal (lihatMazmur 88 dan 89), maraknya gagasan tentang “hikmat,” denganya serta sifat komposisinya, diduga bahwa kitab ini telah ditulis pada masa Raja Daud dan Raja Salomo.
Namun, sebagian orang menempatkannya pada masa pembuangan Babel. Keseluruhan kitab ini terdiri atas 3 bagian: Ayub 1-2: Pendahuluan / pengantar historis, ditulis dalam bentuk prosa. Ayub 3:1-42:6: Kontroversi dan pemecahannya, ditulis dalam bentuk puisi (Berisi perkataan-perkataan Ayub, Elifas, Bildad, dan Zofar dalam tiga babak pembicaraan, kemudian Elihu bin Barakhel, orang Bus dari kaum Ram dan dialog antara Yahweh dan Ayub). Pasal 26 – 31 berisi uraian sistematis dan transparan pandangan teologi Ayub tentang penderitaan dan dosanya. Ayub 42:7-15: Penutup/kesimpulan historis, ditulis dalam bentuk prosa.
Khusus mengenai perikop bacaan kita, ini merupakan jawaban Ayub atas perkataan ketiga Bildad orang Suah, mengenai pencobaan yang dialami Ayub dan menjadi pembicaraan terakhir dalam menjawab pernyataan ketiga sahabatnya. Kemudian masuklah Elihu dengan kecamannya yang menganggap seolah Ayub menganggap diri sebagai yang paling benar. Kembali ke bacaan kita tadi, di sini bagaimana Ayub memaparkan sejauhmana integritas kehidupan rohaninya dihadapan Tuhan dalam hubungan dengan orang-orang sekitarnya.
Dia menyatakan perlakuannya yang adil terhadap anak buahnya (ayat 13-15) dan perhatiannya terhadap yang miskin dan melarat (ayat 16-23). Ia bersikeras bahwa dirinya bebas dari keserakahan (ayat 24-25), penyembahan berhala (ayat 26-28), balas dendam (ayat 29-32), dan kemunafikan (ayat 33-34), pemerasan (ayat 35-40). Menarik untuk disimak bahwa pada perikop ini, Ayub sungguh-sungguh berusaha membuktikan kesalehan pribadinya dengan berani bilang… Jikalau… Maka biarlah… Ini sebuah ungkapan keberanian Ayub untuk secara pribadi bercakap-cakap dengan Tuhan. Dan ini sebuah percakapan yang berani dan siap ambil resiko.
Apa yang dilakukan Ayub ini mewakili perasaan orang beriman pada umumnya menghadapi sebuah kenyataan hidup. Sebab berhadapan dengan persoalan, manusia biasanya berusaha menempatkan secara sejajar antara keberhasilan dan kegagalan atau baik/buruknya hidup yang telah dijalani. Hasilnya manusia akan tunduk akan keputusan Ilahi manakala tantangan atau persoalan hidup yang dialami adalah karena kegagalannya dalam mempertahankan imannya di hadapan Tuhan, tetapi bahwa sebaliknya manusia dengan nada protes, ia akan berusaha membenarkan diri sambil memprotes keputusan Ilahi karena cobaan/tantangan hidup yang terasa bukan disebabkan oleh dirinya, alias ulah orang lain.
Walaupun berbeda dengan kita pada umunya yang cenderung kecewa dan mencari jalan pintas sampai meninggalkan Tuhan; Ayub justru memang memprotes tapi terus berada di hadapan Tuhan Allah untuk sungguh-sungguh memahami kehendak Allah dan hasilnya adalah dalam ketekukanannya mempertahankan iman, Allah menyingkapkan rahasia pergumulan iman yang telah dijalaninya. Allah kemudian memulihkan kehidupannya, bahkan terbaca di bagian akhir kitab ini, Allah melipatgandakan segala yang pernah dimiliki Ayub.
Pertanyaan diskusi :
- Seberapa besar kadar beriman kita berhadapan dengan situasi kehidupan berisi tantangan dan cobaan hidup?
- Bagaimana model kesaksian beriman kita kepada orang-orang di sekitar kita?