Pengurus Pemuda Sinode GMIT Selenggarakan Seminar Radikalisme

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Guna membentengi generasi muda gereja dan mahasiswa dari paham radikalisme, Pengurus Pemuda Sinode GMIT menyelenggarakan Seminar Nasionar bertema, “Peranan Pemuda Melawan Praktik Intoleran, Gerakan Radikalisme dan Terorisme di Nusa Tenggara Timur.

Seminar yang berlangsung di jemaat GMIT Anugerah Eltari ini, menghadirkan 6 pembicara yakni, Staf Khusus Presiden, Konjen Pol. (Purn) Goris Mere, Dir.intel Densus 88, Kombes Pol. Ibnu Suhendra, Rektor Universitas Muhammadiyah, Dr. Zainur Wula, Ketua Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon, Walikota Kupang, Dr. Jefri Riwu Kore, Dosen Hukum Undana, Dedi Manafe S.H, M.Hum dengan moderator Aser Rihi Tugu dari RRI Kupang.

Kepada ratusan pemuda lintas agama, Goris Mere mengatakan bahwa gerakan-gerakan intoleransi, radikalisme dan terorisme berakar pada ideologi. Hal ini menurutnya sejak lama telah diramalkan oleh futurolog Samuel Huntington.  Bahwa usai perang ideologi liberalisme versus komunisme antara Amerika dan Uni Soviet, akan muncul perang ideologi yang bernafaskan keagamaan. Hal inilah yang terjadi di Indonesia saat ini.

“Dewasa ini Indonesia diperhadapkan dengan dampak teknologi informasi dan komunikasi yang merangsek hingga pelosok-pelosok termasuk kita di NTT. Setelah masa reformasi ternyata agenda reformasi diisi oleh penumpang-penumpang gelap yang membawa paham fundamentalis religius radikal yang mengincar Indonesia melalui hoax-hoax yang ingin mengganti azas negara. Akibatnya Indonesia menjadi pasar ideologi trans radikal, seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Ideologi ini memonopoli kebenaran serta melihat pandangan orang lain sesat,” ungkap Goris.

Puncak dari gerakan-gerakan radikalisme ini berupa kejahatan terorisme melaui serangan bom bertubi-tubi sejak tahun 2000 hingga 13 Mei 2018 yang lalu di Surabaya.

Untuk mencegah penyebaran paham intoleransi, radikalisme dan terorisme tersebut menurut Goris, mayoritas masyarakat yang cinta damai dan kemajemukan tidak boleh diam. Tafsir-tafsir keagamaan yang mengumbar kebencian dan kekerasan terhadap perbedaan harus dilawan dengan tafsir-tafsir yang rasional dan terbuka terhadap keberagaman, serta mempertahankan pancasila sebagai dasar negara.

Sementara itu Ketua MS GMIT, dalam materinya menegaskan bahwa tindakan intoleransi, radikalisme dan terorisme sebenarnya tidak mengancam satu agama tertentu tetapi mengancam Indonesia.

“Yang diserang oleh teroris adalah Indonesia, bukan agama tertentu, sehingga semua elemen bangsa  harus berdiri untuk menghadapinya,” ujar Pdt. Mery.

Sebagai teolog, ia meminta para pemimpin agama juga para pemuda untuk berhati-hati dalam menafsir kitab suci masing-masing. “Kami titip pesan bagi kawan muda muslim dan kristen, jangan kita memakai ayat-ayat dalam kitab suci kita untuk melegitimasi kekerasan terhadap agama lain. Kita para pendeta, pastor juga punya tugas untuk membaca Alkitab dengan mata baru. Membaca kitab suci dari konteks Indonesia,” katanya.

Lebih lanjut menurut Pdt. Mery, melawan kejahatan terorisme tidak bisa dengan  kekerasan.

“Kita belajar dari sejarah bahwa ketika kekerasan dibalas dengan kekerasan kita akan terus menerus ada dalam lingkaran kekerasan sampai bangsa ini hancur. Maka kekerasan harus dilawan dengan keberanian untuk berjumpa, keberanian untuk pergi dan berbicara satu dengan yang lain.”

Senada dengan Pdt. Mery, Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen. Pol. Martinus Hukom menjelaskan bahwa pendekatan militeristik bukan satu-satunya cara membasmi terorisme di Indonesia. Radikalisme dan terorisme adalah pemikiran karena itu harus dilawan juga dengan pemikiran bukan kekerasan.

Seminar berlangsung pada Sabtu, (2/5) dibuka oleh Ketua Pengurus Pemuda Sinode GMIT, David Natun. Dalam sambutannya ia mengajak seluruh pemuda dan masyarakat NTT untuk menjaga eksistensi Pancasila sebagai dasar negara apalagi mengingat sejarah NTT sebagai tempat lahirnya Pancasila.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *