PERAYAAN SATU ABAD JEMAAT GMIT IMANUEL KEFAMENANU

KUPANG, WWW.SINODEGMIT.OR.ID, Sabtu, 3 Juni 2017, jemaat GMIT Imanuel Kefamnanu klasis Timor Tengah Utara, merayakan Ulang tahun ke 100. Seribuan jemaat hadir dalam kebaktian ini termasuk pimpinan daerah, Wakil Bupati TTU, Aloysius Kobes S.sos dan tokoh agama Katolik Romo Deken Kefamnanu serta gembala sidang dari gereja-gereja denominasi. Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo yang kini menjadi staf pengajar di Universitas Satya Wacana (UKSW) Salatiga, didaulat menjadi penulis sejarah tumbuh kembangnya Gereja Protestan di wilayah yang dulunya dikuasai Portugis ini. Hasilnya sebuah buku setebal 350 halaman berjudul “100 Tahun Hidup Bersama Tuhan di Jurang yang Dalam” (Sejarah GMIT Kefamnanu 1917-2017).

Kefamnanu bukan Kefamenanu

Menurut catatan Pdt. Eben Nuban Timo, Kefamnanu berasal dari dua penggal kata dalam bahasa suku Atoni pah meto, yakni kefa yang berarti jurang atau tebing dan mnanu’ yang berarti panjang atau dalam. Persenyawaan kedua kata ini menjadi kefamnanu yang artinya jurang yang dalam. Nama ini menunjuk kepada ibu kota kabupaten Timor Tengah Utara di pulau Timor. Dalam peta wilayah pemerintahan raja-raja tradisional di Timor, Kefamnanu termasuk dalam teritori Miomafo dengan Sonba’i sebagai raja.

Sesuai dengan arti namanya, kota Kefamnanu merupakan sebuah dataran rendah, yakni lembah Bikomi. Sebutan Bikomi aslinya adalah nama dari seorang putri dari empat orang amaf Amanuban yang berdiam di Banam – Tunbes: Nuban, Nubatonis, Tennis dan Asbanu. Bikomi dinikahi oleh salah seorang bangsawan Miomafo/Bana (ato-lake; bana-snak). Sebagai penghormatan bagi si istri, dataran rendah yang terletak di daerah Miomafo diberi nama Bikomi. Demikianlah Kefamnanu merupakan satu perkampungan yang terletak di lembah Bikomi. Nama Kefamnanu diberikan karena di kampung itu terdapat sebuah liukan kali yang membentuk pusaran air dengan tebing yang sangat curam (jurang yang teramat dalam).

Gereja Protestan masuk ke wilayah ini berkat jasa Krayer Van Alst, pendeta Belanda yang ditugaskan di Timor pada tahun 1916. Tanggal 31 Mei 1917, ia membaptis 7 orang Noetoko dan 3 Juni 1917 ia membaptis 3 orang di Kefamnanu. Ketiga orang itu adalah: Loisa, Frits dan Karolina. Perjalanan pembimbingan kepada 3 orang yang baru menerima Injil ini dilakukan oleh paling kurang 4 orang guru Injil yakni Yakobus Ngili, J. Arnoldus, Esau Amtiran dan Yesaya Petrus.

Imanuel Tanda Penyertaan TUHAN

Pdt. Dr. Ebenhaeser Nuban Timo yang memimpin kebaktian perayaan tersebut dalam khotbah yang didasarkan pada Yesaya 7:10-17 menguraikan janji penyertaan Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Yesaya kepada raja Ahaz yang ketakutan karena dikepung dua kerajaan tetangga. Jaminan penyertaan Tuhan itu ditandai dengan dua tanda meski Ahaz tidak mau meminta tanda kepada Tuhan. Dua tanda yang diberikan Tuhan itu adalah:

Pertama, kelahiran seorang anak yang akan dinamai Imanuel. Kelahiran bayi menurut Pdt. Eben, bukan hanya sekadar hadirnya seseorang tetapi simbol dari individu baru, kelanjutan sebuah marga dan suku. Ialah yang melanjutkan cerita sejarah hidup sukunya. Dalam arti itu, baptisan bagi 3 orang di Kefamnanu dan 7 orang di Noetoko adalah tanda dari Tuhan bahwa Allah akan bekerja bersama mereka untuk melanjutkan dan melanggengkan kehidupan komunitasnya. Kini, di usia seratus tahun janji Tuhan nyata melalui bertambahnya kepala keluarga sejumlah 735 dari baptisan pertama yang hanya 7 orang di Kefamnanu dan 3 orang di Noetoko. Apalagi ditahun 1958 jemaat ini memilih nama Imanuel yang menegaskan bahwa janji Tuhan itu benar-benar nyata.

Kedua, Penyertaan Tuhan ditengah ancaman yang menimpa Ahaz. Yehuda dikepung dua negara tetangga yakni Aram dan Israel membuat Ahaz seolah tidak punya harapan, namun Tuhan menjamin keselamatan umat Tuhan. Tuhan akan membuat dua musuh yang datang menyerang dengan pasukan berkuda dan panah tak berdaya seperti puntung kayu api yang segera mati dan dibuang (Yes. 7:4). Hal ini juga dialami oleh jemaat Kefamnanu. Wilayah dilembah dan berjurang ini sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Tidak ada harapan di tempat seperti ini. Jurang adalah tempat pengasingan, pembuangan. Namun di jurang itu Tuhan hadir. Ia tidak hanya ada di Kupang, Jakarta, Amerika dst-nya. Ia juga ada dan bekerja di Kefamnanu dan Noetoko. “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takut bahaya sebab gada-Mu dan Tongkat-Mu itulah yang menghibur aku.” (Mazmur 23:4)

Tantangan 100 Tahun Mendatang

Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon dalam suara gembalanya mengajak jemaat untuk mensyukuri penyertaan Tuhan selama 100 tahun yang telah lewat namun lebih dari itu ia mengingatkan jemaat untuk melihat juga tantangan 100 tahun mendatang yang perlu mendapat perhatian generasi sekarang. Pada kesempatan ini Pdt. Mery Kolimon mengkritisi model-model perayaan gereja yang umumnya didominasi lomba-lomba yang tidak cukup menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang digumuli jemaat. “Lomba-lomba itu baik, tapi musti ada waktu untuk belajar bersama. Gereja adalah murid Kristus karena itu pakai waktu juga untuk berefleksi tentang siapa diri kami dan apa tugas kami sebagai jemaat dengan sejarah yang khas. Untuk belajar apa makna 100 tahun usia jemaat dan mengidentifikasi apa saja tantangan serta tugas yang paling penting dari generasi masa kini.”

Dalam rangka itu, pada 1 Juni digelar seminar oikumenis yang menghadirkan bupati TTU,  Romo Deken Kefamnanu dan Pdt. Endang Koli dari Fakultas Teologi UKAW-Kupang. Diskusi dalam seminar ini memberi harapan bagi relasi antar antar umat beragama yang menurut Ketua Sinode GMIT kerap kali  berada dalam situasi ketegangan yang kreatif.

Pdt. Mery Kolimon juga menyinggung momentum-momentum penting di  tahun 2017 yakni perayaan 70 tahun GMIT dan 500 tahun Gereja Reformasi. Terkait usia setengah milenium Gereja Reformasi dihadapan pimpinan umat Katolik dan Pemerintah yang diwakili wakil Bupati TTU, Ketua Majelis Sinode GMIT mengingatkan sebuah dokumen yang disepakati oleh gereja katolik Vatikan dan Gereja Lutheran yang berjudul, “From Conflict to Communion” (dari konflik ke persekutuan). Isi dari dokumen itu kata Pdt. Mery, kedua gereja hendak belajar dari masa lalu untuk saling mengampuni dan menerima. Bila 500 tahun lalu kata “Reformasi” bagi gereja Protestan sebagai komitmen perubahan dan pembaharuan namun sebaliknya bagi gereja Katolik merupakan tanda perlawanan. Tapi setelah 500 tahun, kedua gereja ini bersatu dan mengaku kami adalah anggota Tubuh Kristus yang satu. Kami mau saling menerima dan mengampuni, kami mau bersaksi bersama-sama,” tutur Pdt. Mery disambut tepuk tangan jemaat. Sekiranya dokumen ini juga menjadi rujukan bagi Gereja katolik dan Gereja Protestan di Kefamnanu untuk saling bekerja sama dalam misinya.

Kepada semua yang hadir Ketua Majelis Sinode mengingatkan agar berkat keselamatan yang diberikan Tuhan jangan ditahan untuk diri sendiri. Gereja Katolik dan Protestan termasuk pemerintah dipanggil secara bersama-sama oleh Tuhan untuk pergi dan pergi membagikan berkat itu. Secara khusus Jemaat Imanuel Kefamnanu diingatkan juga untuk tidak merasa hebat kalau punya lumbung-lumbung penuh/punya rekening gendut. Tapi yang harus terus-menerus dipertanyakan adalah apa yang sudah dipakai untuk 100 tahun ini untuk melayani mereka yang menderita.

Wakil bupati TTU dalam sambutannya berharap melalui perayaan 100 tahun ini dapat menciptakan  pembaharuan dan pembangunan mental yang makin mencerminkan ajaran Yesus Kristus dalam hidup sehari-hari. Ditengah ancaman intoleransi belakangan ini, ia meminta jemaat untuk menjaga keamanan, kebersamaan dan kerukunan antar dan inter umat beragama.

Museum Pertama di GMIT

Jemaat Imanuel Kefamnanu yang saat ini diketuai Pdt. Angkol Tangwal, S.Th, memiliki sebuah museum yang berisikan dokumen-dokumen sejarah gereja setempat berupa: buku baptisan tahun 1917, catatan harian Pdt. Yesaya Petrus tahun 1923, mesin stensil 1969, Alkitab tua, buku nyanyian Mazmur dan Tahlil tahun 1922, foto-foto, dan masih banyak lagi. Gedung museum ini sendiri awalnya merupakan gedung kebaktian yang dibangun tahun 1958. Inilah satu-satunya gereja yang memiliki museum di GMIT. Keunikan lain dari gedung ini adalah pada bubungannya terpasang patung ayam jantan yang bisa berputar.

Foto: Gedung Gereja Imanuel Kefamnanu yang dibangun 1958. Kini menjadi museum. Pada bubungan tampak patung ayam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *