Tuhan Ada di Setiap Musim Kehidupan (Pengkhotbah 3:1-14) -Pdt. Gusti Menoh

www.sinodegmit.or.id, Ketika ilmu pengetahuan lahir pertama di zaman Yunani Kuno, jauh sebelum kitab Pengkhotbah ditulis, dua filsuf besar terlibat perdebatan serius. Parminedes (540-470 SM), berpendapat bahwa apa yang ada, ya tetap ada. Yang tidak ada, tak akan ada. Tidak ada perubahan apa pun di bawah kolong langit ini. Apa yang ada sekarang, sudah ada sejak dulu, dan akan selalu ada.  Melawan pendapat Parminedes, Heraklitos (550-480 SM) berpendapat bahwa tak ada sesuatu apapun bersifat permanen, tetap dan abadi di bawah kolong langit ini. Segalanya berubah, datang dan pergi silih berganti.

Senapas dengan Heraklitos, penulis kitab Pengkhotbah pun berpendapat bahwa segala sesuatu terbatasi oleh waktu, ada dalam aliran perubahan.  Manusia dan seluruh alam semesta ada dalam ruang dan waktu. Oleh karena itu, semuanya terikat oleh waktu. Ada masa lalu, masa kini, dan masa depan yang dialami manusia dan seluruh ciptaan lainnya. Karena terikat oleh waktu, manusia dan ciptaan lainnya disebut makhluk temporer, yaitu makhluk yang keberadaannya bersifat sementara. Seluruh pengalaman manusia bahkan hidupnya dibatasi oleh waktu. Ada nenek moyang kita yang pernah hidup di masa lalu, kita hidup di masa kini, dan besok-lusa mungkin ada generasi lain yang hidup. Pengalaman kita pun variatif: kadang senang, kadang sedih. Kadang optimis, kadang pesimis. Kadang berpengharapan, kadang putus asah. Pengkhotbah meringkas pengalaman keterbatasan manusia dan alam semesta itu dalam sebuah pernyataan: untuk segala sesuatu ada waktunya.

Penjelasan teks

Kitab Pengkhotbah dikenal dengan nama ecclesiastes (pengkhotbah di dalam jemaat). Di dalam bahasa Ibrani kitab ini disebut “Qohelet”. Kitab  ini termasuk sastera hikmat. Penulis kitab ini tentu bukan Salomo, anak Daud sebagaimana diindikasikan  dalam pasal 1:1. Sebab kitab ini diperkirakan ditulis sesudah masa pembuangan di Babel. Penulis menyamakan diri dengan raja Salomo yang merupakan raja yang bijaksana dan penyair beberapa amsal.

Tema utama kitab Pengkhotbah adalah kesia-siaan, bahwa segala sesuatu di dunia ini sia-sia sia saja. Kata sia-sia berasal dari bahasa Ibrani Hebel, yang dapat berarti sesuatu yang tidak substansial, sementara, tidak menguntungkan. Artinya segala sesuatu di dunia ini adalah palsu dan sepenuhnya sia-sia, tidak abadi, cepat berlalu seperti, dan sama saja dengan tidak ada. Kesadaran eksistensi manusia, dan semua usahanya untuk menyelesaikan sesuatu, berakhir seperti hembusan nafas belaka. Oleh karena itu, manusia pun bukanlah tuan atas kehidupan maupun kematian. Manusia dapat menemukan ketenangan hanya kalau ia menerima kenyataan yang tak dapat diubah dari eksistensinya.

Dalam terang kebijaksanaan etis itulah misteri waktu yang indah sebagaimana dimaksudkan Pengkhotbah akan dipahami. Pengkhotbah memulai dengan tesis: untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah kolong langit ada waktunya. Ayat ini mengandaikan kemahakuasaan Tuhan atas waktu dan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam waktu. Di sisi lain, seluruh ciptaan bersifat relatif dan sementara. Pengkhotbah hendak menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini terikat oleh waktu, dibatasi oleh waktu, bersifat sementara, tidak selamanya ada. Sebaliknya, Allah adalah maha kuasa, tidak terikat atau dibatasi oleh waktu.

Itulah sebabnya semua peristiwa di bawah kolong langit ini punya masa-nya, waktu-nya, momen-nya. Suatu peristiwa terjadi di suatu waktu, dan nanti akan digantikan oleh peristiwa yang lain. Pengkhotbah menghadirkan empat belas antitesis peristiwa, yang diutarakan dalam ayat 2-8, yang adalah skema Allah atas segala sesuatu. Empat belas antitesis itu terdiri dari dua puluh delapan peristiwa. 28 peristiwa itu bertentangan, yang saling meniadakan. Artinya ketika yang satu ada, yang lain lenyap. Perisntiwa-peristiwa itu datang silih berganti.

Di suatu waktu seseorang dilahirkan, dan suatu waktu yang lain ia akan meninggal. Di suatu masa seseorang bercocok tanam, dan nantinya ada waktu lain untuk menuai apa yang ditanam. Ada momen di mana seseorang menangis karena sedih, tetapi ada saatnya ia tertawa gembira karena merasa bersukacita. Ada kesempatan untuk mencari, dan ada waktunya untuk melepaskan, bahkan mengalami kerugian. Ada masa di mana manusia menyimpan (mengumpulkan), dan ada masa di mana manusia membuang (memberi). Ada masa di mana manusia membenci, tetapi ada pula masa di mana ia mengasihi. Ada waktu untuk berdiam diri, dan ada waktu untuk berbicara. Semua pengalaman itu, datang silih berganti menghampiri hidup manusia.

Apa makna paradoks peristiwa-peristiwa ini? Pertama, bahwa dalam perputaran pengalaman manusia yang berlangsung terus-menerus, setiap peristiwa terjadi pada waktu yang tepat. Segala sesuatu datang dan pergi, ada dan kemudian tidak ada sesuai waktunya. Allah berkuasa di atas semua hal dan segala peristiwa. Allah berdaulat atas segala sesuatu, bahkan Ia yang membuat segala sesuatu indah pada waktunya (ay.10).

Kedua, bahwa setiap peristiwa berlangsung dalam skema Allah, maka usaha manusia untuk membuat sesuatu sesuai keinginannya tidak akan berhasil atau sia-sia (ay.9). Maka tak perlu ambisi berlebihan. Apakah ini berarti manusia boleh apatis terhadap kehidupan dan usahanya? Tentu tidak. Justru sebaliknya, manusia mesti sadar akan keterbatasannya dan mau belajar untuk menghormati Allah dan menerima segala pemberian Allah.

Ketiga, segala ambisi manusia, hawa nafsunya, kerja kerasnya, harus ditundukkan di hadapan Allah, karena semuanya sia-sia, sementara, dan akan berakhir. Sebagaimana dikatakan ayat 9-10, apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih lelah?  Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya. Pengkhotbah melihat bahwa segala usaha dan kerja keras manusia tidak lebih dari cara Allah untuk membuatnya berjerih lelah, karena toh pada akhirnya semua hasilnya belum tentu dinikmati, atau hanya dinikmati sementara, karena manusia akan mati juga dan tidak lagi menikmatinya. Oleh karena itu, ambisi untuk berkuasa, atau nafsu untuk mengumpulkan banyak harta, perlu dikendalikan agar manusia tidak berlebihan dan kehilangan kasihnya kepada Allah.

Keempat, bahwa manusia tidak dapat menyelami Allah, dan oleh karena itu, manusia mesti menerima seluruh kenyataan hidupnya dan berusaha menikmatinya sebagai pemberian Allah (ay. 12-14). Kelima, bahwa karena hanya Allah yang berdaulat atas seluruh kehidupan, dan bahwa Dia adalah Allah yang kekal, yang berkarya menetapkan segala sesuatu, maka manusia mesti takut akan Dia (14-15). Takut akan Tuhan berarti menghormati Dia, tunduk pada-Nya, dan menuruti segala ketetapan Allah. Takut akan Tuhan berarti tidak memberontak melawan perintah-perintah Allah, dan hidup sesuka hati. Sebab kita sadar bahwa hidup ini milik Allah. Maka segala sesuatu yang ditentukan Allah bagi kita, mesti diterima dan dijalani dengan hati yang terbuka. Dialah Allah yang maha kuasa dan kekal, dan kitalah ciptaan-Nya yang hidup sejauh masih ada hembusan nafas.

Penutup

Malam ini kita berada di penghujung tahun 2021. Selama 365 hari telah kita lalui. Beberapa hal bisa kita pelajari. Pertama, bisa saja 28 pengalaman manusiawi yang dikatakan Pengkhotbah pernah menjadi bagian dari hidup kita sepanjang tahun ini. Pengalaman kita mungkin bukan hanya 28 peristiwa yang diungkapkan Pengkhotbah, tetapi lebih dari itu. Ada yang mengalami kelahiran. Ada yang mengalami kehilangan orang terkasih. Ada yang  pernah menangis, ada yang pernah tertawa, ada yang pernah terluka, ada yang pernah sembuh, ada yang pernah berhasil, ada yang gagal, ada yang pernah kenyang, ada yang pernah lapar. Mungkin kita pernah berkuasa, dan lalu kita kehilangan kekuasaan itu. dst. Apa pun itu, kalau kita masih ada hingga kini, itu bukti bahwa Allah sangat mengasihi kita. Ia setia menyertai kita hingga kini.

Kedua, pengkhotbah katakan, segala sesuatu ada waktunya, dan itu berarti tidak ada yang permanen, tetap dan abadi. Mungkin kita pernah marah atau benci, tetapi perasan itu harus segera diganti dengan mengasihi. Tak boleh ada kebencian permanen pada seseorang. Tak boleh ada kemarahan abadi pada sesama. Tak boleh ada dendam kesumat sepanjang waktu terhadap orang lain. Perasaan-perasaan negatif itu harus diganti dengan perasaan-perasaan positif seperti mengasihi, memaafkan, mengampuni, melepaskan. Hal-hal yang negatif tidak boleh menetap dalam hati kita dan menjadi racun dalam diri kita. Juga, tak boleh hanya menyimpan, mengumpulkan, menumpuk untuk diri, dan lupa berbagi, memberi pada sesama dan peduli pada orang lain. Tak boleh terus menangis, bersedih, tetapi harus digantikan dengan bergembira. Tak boleh kita hanya mau bicara, dan tak mau berdiam diri untuk mendengar orang lain. Segala perasaan kita, pikiran kita, pendapat kita, sikap kita, pendirian kita, mesti cair, fleksibel, longgar untuk mengalami perubahan dan pembaharuan. Karena tanpa kerelaan untuk mau berubah, tak akan ada pembahauan dalam hidup kita. Cukup Allah saja yang bersifat tetap, kekal, permanen, abadi, sedangkan hati kita, diri kita harus mau mengalami perubahan agar menjadi semakin baik dan benar.

Ketiga, tema bacaan ini adalah Allah ada di setiap musim kehidupan. Ia ada bersama kita ketika kita sehat maupun sakit, ketika kenyang maupun lapar, ketika sedih mau mau pun senang, ketika memperoleh maupun kehilangan, ketika berkarya maupun tidak. Oleh karena itu, mari kita berterima kasih kepada Allah, bersyukur kepada-Nya, dan jangan takut untuk memasuki tahun 2022. Sebab penyertaan Allah bukan hanya mencakup kemarin dan hari ini, tapi juga besok dan seterusnya. Ia adalah Allah Imanuel, Allah yang ada di setiap musim kehidupan. Selamat menyongsong tahun baru, 2022. Amin.

One thought on “Tuhan Ada di Setiap Musim Kehidupan (Pengkhotbah 3:1-14) -Pdt. Gusti Menoh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *