PESAN KEBANGKITAN YESUS BAGI PRAKTEK HIDUP JEMAAT – Pdt. Yaksih Nuban Timo, M.Si

Akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000, perusahaan film Amerika membuat sebuah film yang berjudul The Ghots. Film ini menyingkapkan bagaimana bentuk dari kehidupan jiwa setelah kematian. Sang kekasih yang mati meninggalkan pacarnya berusaha berkomunikasi dengan pacarnya yang masih hidup tetapi mengalami kesulitan karena mereka berada di dunia yang berbeda. Ia tidak bisa disentuh, dilihat dan tidak dapat makan dan minum. Penggambaran ini ternyata berbeda dengan praktek yang sering kita dapati dalam kehidupan kita, terutama dalam kehidupan jemaat GMIT. Sejak kecil saya bahkan sampai sudah memasuki usia kepala 3, saya masih mendapati bahwa di beberapa kuburan atau di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat, orang masih menyediakan makanan dan minuman bagi orang yang sudah meninggal atau bagi roh penunggu tempat itu.

Le Grand, seorang misionaris Belanda  menggambarkan bahwa menyediakan makanan bagi si mati itu merupakan bagian dari adat pemakaman orang mati di Rote masa suku (dalam Rote Punya Cerita: 295-299). Senada dengan Le Grand, F. H. van  de Wetering, yang juga misionaris Belanda juga menggambarkan hal yang sama dalam tulisannya tentang kematian dan tata cara pemakaman di Sabu masa dulu (dalam Sabu Punya Cerita: 191-204). Artinya bahwa kebiasaan memberikan makanan dan minuman kepada si mati adalah kebiasaan yang telah berlaku pada masa kekafiran dulu, yang nampaknya diwariskan dan kemudian dipraktekkan dalam kehidupan generasi sekarang.

Sekarang kekristenan itu sudah menjadi bagian dari kehidupan karena ajaran kristen  telah menjadi pedoman bagi aktivitas kehidupan sebagian orang masa kini. Namun,  praktek masa lalu dengan menyediakan makanan dan minum pada hari-hari tertentu yang dilakukan jemaat GMIT di kubur-kubur keluarga mereka masih juga ditenui. Ini menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk ditelaah secara baik dalam bingkai Alkitab dalam rangka bagaimana kita menyikapinya? Tulisan ini bertujuan untuk bersama kita melihat arti kebangkitan Yesus bagi kehidupan kita dalam menanggapi praktek-praktek kehidupan yang menjadi kebiasaan sebagian jemaat GMIT berdasarkan Lukas 24:36-49.

Cerita Lukas Tentang Kebangkitan Yesus dan Cerita di Seputar Kematian

Yesus bangkit. Itulah berita Lukas lewat cerita kebangkitan Yesus. Kebangkitan ini disampaikan dua orang dengan pakaian yang berkilau-kilauan kepada para perempuan yang pagi-pagi sekali datang mau meminyaki dan merempahi mayat Yesus. Berita kebangkitan ini diteruskan kepada murid-murid yang kemudian menanggapinya secara beragam. Ada yang mempercayainya tetapi ada juga yang meragukannya. Ketika para murid belum memahami arti berita dan peristiwa kebangkitan ini, Yesus datang menampakkan diriNya kepada semua muridNya saat mereka sedang berkumpul di suatu ruang tertutup. Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka. Mereka ketakutan dan menyangka Dia adalah hantu. Prasangka mereka ini muncul karena tidaklah mungkin bagi manusia untuk melakukan hal itu selain makhluk gaib atau hantu.

Prasangka murid-murid terhadap Yesus adalah sesuatu yang wajar jika pendapat ini dilihat dari kacamata suku-suku di Nusa Tenggara Timur. Ini bukanlah hal baru mengingat bahwa sebagian masyarakat NTT masih juga menginformasikan kepada orang lain bahwa keluarga dari si mati masih bersama dengan keluarga beberaa hari setelah pemakamannya. Ia sesekali menampakkan dirinya, melakukan aktivitas sebagaimana ketika ia masih hidup. Kehadiran si mati seringkali  juga dapat diketahui oleh keluarga dengan mendengar ada langkah orang di kamar tidur atau dapur, sekalipun sudah dipastikan bahwa kamar tidur itu benar-benar kosong.

Tidak sedikit orang kristen yang dalam percakapan-percakapan lepas di seputar kematian menggunakan ayat-ayat Alkitab, seperti ayat dalam lukas 24 ini untuk melegitimasi kepercayaan mereka tentang si mati yang menampakkan diri kepada mereka. Legitimasi berdasarkan ayat ini buat banyak orang kristen yang percaya dan akhirnya melaksanakan ritus kafir warisan leluhur dalam kehidupan nyata mereka, seperti memberi makan kepada si mati, berkonsultasi dengan si mati di kubur dan berbagai kegiatan lainnya.

Lukas dalam cerita kebangkitan Yesus mengatakan bahwa Yesus benar-benar hadir dalam ruang tertutup tempat para murid berada. Ia yang hadir bukan hantu, melainkan sungguh-sungguh Yesus, guru para murid. Terhadap pernyataan ini, muncul sebuah pertanyaan benarkah yang datang ke tengah-tengah para murid adalah Yesus ataukah hantu?

Tujuh tahun melayani di TTS dan tiga tahun setengah melayani di Amarasi Barat adalah masa yang mempertemukan saya dengan peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas tadi di dalam kehidupan pelayanan dengan jemaat ataupun masyarakat yang belum sepenuhnya kristen serta yang menganut agama suku. Kenyataan ini membuat saya menyadari bahwa pertanyaan tadi adalah pertanyaan yang benar-benar menjadi pergumulan jemaat-jemaat GMIT di wilayah pedalaman, yang mengalami pengalaman “bertemu, berbicara” dengan si mati melalui perantara, misalnya dalam kejadian niut sae untuk masyarakat Timor. Bahkan di kota pun laporan tentang niut sae masih ada dalam peristiwa kematian. Benarkah yang datang ke tengah-tengah para murid itu Yesus ataukah hantu? Benarkah yang datang menjumpai keluarga dari jemaat GMIT yang mengalami kematian itu adalah orang yang meninggal ataukah bukan?

 

Yesus Yang Bangkit dan Hantu Menurut Injil Lukas

Injil Lukas menunjukkan perbedaan yang jelas antara Yesus yang bangkit itu dengan hantu. Beberapa point perbedaan disampaikan bagi kita. Pertama hantu tidak makan dan minum. Kedua hantu tidak memiliki tubuh jasmani dan ketiga hantu tidak dapat berkomunikasi langsung dengan manusia yang hidup. Jikalau ketiga ciri ini dibandingkan dengan Yesus yang bangkit dalam cerita Lukas, maka semua kriteria untuk menyebut Yesus sebagai hantu tidak terpenuhi. Pertama, Yesus bisa makan dan minum di hadapan para murid. Kedua, Yesus yang datang kepada mereka itu punya tubuh jasmani yang bisa disentuh dan dilihat para murid dan ketiga, Yesus dapat berkomunikasi langsung dengan para murid tanpa perantara.

Yesus yang bangkit ini bukan hantu. Ia adalah Yesus, guru para murid hanya saja Ia memiliki sebuah cara berada yang berbeda dengan manusia yang hidup. Cara berada Yesus inilah yang terkadang salah dipahami sehingga sering dijadikan landasan untuk membenarkan praktek agama suku yang berhubungan dengan kematian. Cara berada Yesus yang bangkit berbeda dengan sebelum kematian-Nya. Yesus bangkit dengan tubuh yang utuh seperti ketika ia mati. Namun tubuh yang utuh itu telah menjadi tubuh yang dimuliakan, dimana tubuh itu tidak lagi terikat pada hukum gravitasi bumi. Ia dapat dikenal tapi tidak lagi terikat pada hukum biologis dan tata ruang. Itulah sebabnya Yesus bisa masuk ke dalam ruang tertutup di mana murid-murid berada dan menjumpai mereka (Nuban Timo, 92-96). Jadi kesimpulannya dari fakta-fakta yang ada dan dari perkataan Yesus sendiri, maka Yesus yang bangkit itu bukanlah hantu.

 

Kebangkitan Yesus Dan Perang Terhadap Kekafiran

Yesus yang bangkit bukan sekedar Dia hidup lagi dari kematian, melainkan bahwa Ia memiliki cara hidup yang benar-benar lain dalam hal kualitas baru, dimana Ia memiliki tubuh yang baru dengan cara berada-Nya yang sungguh baru pula. Kalau sebelum kebangkitan Yesus hanya hadir untuk dua belas murid dan di lingkungan Palestina, maka setelah kebangkitan Yesus ada untuk semua orang dan setiap manusia dan menjadi Tuhan yang berkuasa di sorga dan di bumi. Karena itu bagi kita pesan dari kebangkitan Yesus adalah imitatio ressurexit, meniru Tuhan yang bangkit dalam kehidupan kita, yang dalam Alkitab digambarkan dengan istilah hidup menurut roh sebagai lawan dari kehidupan dari daging.

Kehidupan menurut roh ini tidak jatuh sama dengan penampilan fisik yang baru atau berhubungan tata rias rambut, yang putih diwarnai jadi hitam atau yang keribo diion lurus atau sebaliknya yang lurus dibuat bergelombang dan memiliki mode pakaian yang unik, celana botol, rok mini dan ngepres atau panjang, terbuka depan atau belakang. Hidup menurut roh lebih menunjuk pada buah yang dihasilkan. Kita memang tidak harus menjadi seperti malaikat, tetapi kita perlu menghasilkan buah-buah yang berpadanan dengan roh. Pdt. Yewangoe menyebutnya sebagai kehidupan yang bermutu yang berakar pada kebangkitan Kristus (Yewangoe, 124-125).

Arti dari kehidupan bermutu yang berakar pada kebangkitan Kristus itu salah satunya adalah stop melakukan praktek memberi makan kepada saudara kita yang sudah meninggal. Mengapa? Praktek-praktek ini disamakan sebagai penghormatan kepada si mati dan praktek penghormatan ini dianggap sebagai penyembahan roh orang mati, yang sama dengan perzinahan (Imamat 20:6) karena ia merubah kesetiaan terhadap Tuhan dan firman-Nya (Verkuyl, 29).

Praktek penghormatan kepada si mati, meminta perlindungan atau memperillah dari mereka haruslah ditolak gereja karena itu telah melangkahi hukum pertama dari 10 hukum. Praktek memang tentang penghormatan kepada orang mati harus dibedakan dengan mengenang kembali kebaikan dan jasa-jasa orang tua yang sudah meninggal. Tindakan mengenang itu bukanlah dosa. Kebaikan dan jasa mereka perlu dikenang dalam rangka menghidupkan kembali teladan yang telah mereka tunjukkan kepada kita. Paul Budi Kleden mengatakan bahwa penghormatan kepada nenek moyang bukan hanya karena mereka adalah nenek moyang tapi karena mereka menjadi tanda historis dari kasih Allah yang berdaya dan menghidupkan dan menyembuhkan (Nuban Timo, 139). Supaya hal mengenang orang tua tidak menjurus pada dosa, maka gereja perlu terus mendampingi jemaat dan menyampaikan kehendak Allah supaya ketika jemaat mengenang kebaikan dan jasa-jasa orang tua, mereka melakukannya di bawah cinta dan hormat kepada Tuhan.

Lalu bagaimana dengan pengalaman niut sae? Kalau kita membaca I Petrus 3:19-20, ada kesan bahwa Iblis menyediakan penjara untuk mengurung roh orang-orang yang berhasil dia tawan, sehingga roh-roh mereka belum sampai kepada Allah, Sang Bapa. Roh-roh tawanan Iblis ini kemudian diperalat iblis untuk melakukan kehendaknya dalam berbagai tindakan antara lain tindakan melakukan pembalasan dan menuntut korban, serta menghancurkan kehidupan orang lain. Roh dari mereka yang diperalat iblis adalah roh dari orang-orang yang tidak berada dalam perlindungan Allah, tidak mengenal Allah selama hidupnya dan masih hidup dalam praktek kekafiran.

Beberapa kali mengalami pengalaman berhubungan dengan niut sae, saya meyakini bahwa isi dari perkataan dalam niut sae itu lebih bersifat provokatif untuk merusak persekutuan dalam keluarga atau dengan orang lain. Pengalaman ini lebih banyak dialami oleh mereka yang masih percaya akan kebenaran niut sae dibandingkan dengan yang sudah tidak lagi atau juga pada orang yang terganggunya relasi dengan Tuhan dan sesama karena praduga-praduga buruk yang dimilikinya kepada orang lain.

Ada dua teks Alkitab yang menuliskan tentang tidak diperkenankannya kita oleh Tuhan untuk melakukan komunikasi dengan orang yang sudah meninggal. Pertama dalam I Samuel 28, Saul memakai jasa perempuan Sunen pemanggil arwah untuk memanggil arwah Samuel. Samuel memang datang menemuinya tetapi ia menegur Saul karena melangkahi kehendak Tuhan. Selanjutnya dalam Lukas 16:19-30, Lazarus dan orang kaya. Dengan tegas Abraham tidak mengisinkan roh orang mati kembali ke dunia orang hidup untuk berkata-kata. Ini artinya siapa yang melakukan praktek itu ia melakukan dosa terhadap kehendak Tuhan sebab kegiatan-kegiatan itu dikategorikan dalam kegiatan penenung, yang dalam Alkitab dikategorikan sebagai dosa.

Imitatio ressurexit, meniru Tuhan yang bangkit dalam kehidupan kita sebagai pesan kebangkitan Yesus menuntut sebuah tanggung jawab untuk menghasilkan kehidupan yang bermutu. Tanggung jawab ini harus dimulai dari hati yang dibaharui dalam Kristus, bekerja keras dalam rasa takut akan Tuhan dan terus menerus mengembangkan wawasan dan pengetahuan sesuai kebutuhan zaman yang didasarkan pada takut akan Tuhan sehingga kita tidak menjadi orang yang malas dan harap gampang dan karena itu mempraktek penyembahan pada para leluhur karena mau senang tanpa kerja keras.

Baiklah kita ingat bahwa kebangkitan Yesus bukan sekedar berarti bahwa Dia hidup lagi dari kematian, tetapi lebih daripada itu Ia memiliki cara hidup yang benar-benar lain, yang  tidak hanya berhubungan dengan tubuh yang baru melainkan juga cara beradanya sungguh baru, yang menghasilkan kehidupan yang bermutu bagi sesama dan dunia berdasarkan pada kebangkitan Kristus. Sebuah pepatah mengatakan demikian, “Kalau kita tidak dapat melakukan perbuatan kebaikan, menghindari perbuatan yang membawa kerusakan merupakan satu perbuatan kebaikan.” Tetaplah melakukan karya kehidupan yang bermutu dengan senantiasa membangun relasi yang kokoh dengan Tuhan. Selamat merayakan paskah.

 

Kepustakaan

Andreas A. Yewangoe, Iman Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

Ebenhaizer I. Nuban Timo (ed), Rote Punya Cerita: Kisah Injil di Rote 100 Tahun Yang Lalu, Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014.

Ebenhaizer I. Nuban Timo (ed), Sabu Punya Cerita: Injil di Rai Due Donahu 100 Tahun Yang Lalu, Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014.

Ebenhaizer I. Nuban Timo, Manusia Dalam Perjalanan Menjumpai Allah Yang Kudus: Suatu pemikiran Eklesiologi dan Eskhatologi Kontekstual di Indonesia, Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013.

  1. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Salekta, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1961.

 

Penulis adalah Ketua Majelis Jemaat Pohon Nitas Manulai Klasis Kota Kupang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *