SURAT IBRANI 13:1-25
Jumat, 19 Agustus 2016
(Pdt. Nety Fanggidae-Nunuhitu)
- Pendahuluan Dari 13 pasal ini, kita mendapatkan gambaran bahwa surat Ibrani ini dituliskan untuk jemaat Kristen keturunan Yahudi generasi kedua yang tinggal di kota Roma. Surat ini menggambarkan dengan jelas bahwa sebagai keturunan Yahudi, jemaat sangat akrab dengan Perjanjian Lama termasuk berbagai hukum seremonial. Banyaknya tema dan tokoh dari PL yang selalu disebut dalam surat ini menjelaskan pengenalan yang baik terhadap PL di dalam jemaat ini.
- Setelah mereka menjadi kristen, ada ketegangan identitas antara status lahiriah mereka sebagai orang Yahudi dengan status baru mereka sebagai orang kristen. Dalam ketegangan itulah surat Ibrani hadir dan mengajak mereka untuk membaca PL dan berbagai hukum seremonial dengan cara baru dari perspektif iman kristen.
- Pada pasal 1–11 kelihatan dengan sangat jelas, penulis berusaha menggiring pembacaan PL secara baru.
- PL tidak lagi dibaca sebagai kitab undang-undang yang menampilkan Allah sebagai penuntut dan hakim yang menakutkan, tetapi dibaca sebagai kitab yang menampilkan Allah sebagai Penebus yang berbelas kasihan dan rela berkorban di dalam Yesus Kristus.
- PL bukanlah kitab yang berisi tuntutan ketaatan secara legalistis, melainkan ketaatan yang didasari rasa syukur atas penebusan Kristus.
- Jemaat mestinya bukan taat karena takut akandihukum, tetapi taat karena sudahdibebaskan. Ada ketegangan antara saya taat supaya nantisaya ditebus dan saya sudahditebus karena itu saya taat.
- Untuk itu penulis mengajarkan hal prinsip: dalam kekristenan bukan usaha dan jasa manusia yang menjamin penebusan/keselamatan, melainkan kemurahan Allah di dalam YesusKristus. Ini dua sikap dan pemahaman yang sangat berbeda, yang diharapkan dapat menolong jemaat menegaskan identitas kekristenan mereka.
- Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa persekutuan dan ibadah yang berkualitas (dalam konteks jemaat Kristen Yahudi di Roma atau jemaat Ibrani) ditentukan oleh pelayanan kasih dan kesaksian yang nyata.
* Tanpa motivasi yang benar dan implikasi yang nyata, maka persekutuan dan ibadah hanyalah legalisme tanpa makna.
* Persekutuan dan ibadah bukan hanya soal memiliki kedekatan vertikal dengan Allah dan kedekatan horizontal dengan sesama, melainkan lebih dari itu. Kedekatan itu didorong olehsesuatu yang positif dan diarahkan kepada hasil yang juga positif.
* Dengan begitu, kita melihat bersama bahwa penulis surat ini mendorong jemaat Kristen Yahudi di Roma untuk menata hidup dan pelayanan mereka agar berkualitas dengan cara mengintegrasikan empat hal yakni persekutuan, ibadah, pelayanan kasih dan kesaksian, baik dalam hidup pribadi maupun dalam persekutuan.
Teladan para pemimpin
- Selanjutnya agar nasihat itu tidak berhenti pada retorika, maka pada ayat 7-8 dan 17, penulis melengkapi jemaat dengan contoh konkrit dari para pemimpin. Menurut penulis, para pemimpin ini tanpa mereka sadari telah memastikan bahwa kehidupan pribadi maupun perilaku mereka dalam pelayanan dapat ditiru secara positif oleh orang lain bahkan sampai mereka tidak lagi ada.
- Kehidupan yang dapat ditiru itu bukan ada dengan sendirinya. Penulis menggambarkan di ayat 17:
- Para pemimpin itu menjalani hidup dan pelayanan dengan penuh tanggungjawab (berjaga-jaga atas jiwamu).
- Para pemimpin itu menjalani tanggung jawab mereka dengan gembira, dan bukan dengan keluh kesah.
- Bagi mereka hidup ini memiliki misiyaitu mengotimalkan segala sesuatu yang baik yang ada di dalam diri mereka untuk kebaikan orang lain. Itulah makna persekutuan, ibadah, pelayanan kasih dan kesaksian yang terintegrasi utuh dalam hidup pribadi maupun perilaku pelayanan para pemimpin.
- Dialog teologi dan etika
Setelah menjelaskan pokok-pokok ajaran atau dogmatika pada pasal 1-10 yang disertai ilustrasi hidup iman 16 nama besar dalam PL (pasal 11), maka selanjutnya di pasal 12-13, penulis memberikan sejumlah nasihat tentang cara hidup yang benar atau etika hidup berdasarkan kemurahan Allah. Dengan kata lain, sama seperti pada kitab-kitab yang lain, penulis surat Ibrani juga mengajarkan bahwa kehidupan kristen yang sejati selalu memelihara dialog antara dogmatika/teologi dan etika. Dialog itu diakhiri dengan doksologi pada ayat 21. Sementara sisanya (ay 22-25) merupakan penutup dan salam.
PergumulanJemaat
- Ada dua bentuk pelayanan yang dikritisi oleh penulis, yaitu persekutuan dan ibadah. Nasihat “peliharalah kasih persaudaraan” (ay 1) mengindikasikan adanya pergumulan jemaat berkenaan dengan persekutuan. Lalu di ayat 10-15 mengindikasikan adanya pergumulan jemaat berkenaan dengan ibadah. Di sini yang menjadi soal bukanlah mereka tidak tahu bagaimana cara bersekutu dan beribadah. Tetapi yang menjadi soal adalah kualitaspersekutuan dan ibadah mereka.
- Berdasarkan pergumulan jemaat menyangkut persekutuan dan ibadah, maka penulis mengingatkan mereka bahwa yang membuat persekutuan dan ibadah mereka menjadi berkualitas bukanlah unsure seremonialnya, melainkan:
- Motivasi mereka bersekutu yaitu filadelfia,kasih persaudaraan (1) dan motivasi beribadah yaitu rasa syukur kepada Allah (10-15).
- Implikasi nyata dari persekutuan dan ibadah dalam hal kesediaan memberi tumpangan, kesediaan berbela rasa dengan para tahanan hukum, kesediaan menjaga moralitas dalam hal seksual dan keuangan (2-6) menunjuk kepada kesaksian tentang cara hidup yang benar (marturia).
- Ketiga implikasi nyata dari persekutuan dan ibadah ini (2.b), saya rumuskan secara sederhana dalam dua hal:
- Memberi tumpangan dan berbela rasa dengan para tahanan atau kepekaan terhadap pergumulan dan kesusahan sesama menunjuk kepada pelayanan kasih (diakonia). Kesungguhan menjaga kesucian hidup atau etika moral.
- Kesungguhan menjaga kesucian hidup atau etika moral dalam hal seksual dan keuangan menunjuk kepada kesaksian tentang cara hidup yang benar (marturia).
Jaminan Peneguhan
Semua nasihat yang sedemikian ideal bisa menolong jemaat mengatasi ketegangan identitas dan bisa memberi motivasi hidup dan pelayanan yang bertanggungjawab, tetapi bisa juga membuat mereka merasa terlalu berat dan pesimis. Untuk itu di akhir nasihatnya, penulis membawa mereka untuk melihat adanya jaminan keberhasilan menjadi jemaat yang berkualitas. Di ayat20, 21: penulis mengingatkan jaminan keberhasilan itu ada dalam prinsip kebergantungan. Jemaat mesti mengerti bahwa sebenarnya Allah-lah yang akan mengerjakan segala sesuatu yang baik di dalam diri setiap orang, Allah yang akan memperlengkapi dan memampukan mereka masing-masing untuk melakukan kehendak-Nya. Teologi maupun etika setiap orang percaya bergantung sepenuhnya pada perkenaan Allah.
Itu berarti jemaat mesti menerima semua nasihat ini dengan kerendahan hati (rela hati, ay 22). Dengan kerendahan hati jemaat akan terhindar dari kecenderungan untuk menilai diri terlalu tinggi dan paling mampu, tetapi sebaliknya mengarahkan diri mereka kepada kuasa dan kemurahan Allah, agar di setiap usaha, mereka dapat berkata, “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan segala sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah.” (2Kor. 3:5). Dan semua pekerjaan baik itu pada akhirnya bermuara pada doksologi (ay 21), “Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.”