Refleksi Terhadap Teks Kitab Ulangan 16 : 18-20
(Pdt. Elisa Maplani)
Masih segar di ingatan kita Akil Mochtar mantan ketua Mahkama Konstitusi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap pada beberapa perkara PILKADA yang diperkirakan mencapai Rp.100-200 miliar. Kejadian serupa juga menimpa Patrialis Akbar, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) di era Presiden SBY – yang kemudian ditunjuk SBY sebagai hakim konstitusi- ditangkap KPK karena menerima suap impor daging sebesar Rp.2,15 miliar dan gratifikasi seks. Ada pula delapan (8) orang hakim dan panitera di Medan, terciduk Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK karena soal suap terkait penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Medan.
Cerita di atas adalah cara dan perilaku oknum hakim dan panitera sebagai kaum elit yang silau akan uang dan seks lalu memutarbalikkan kebenaran dan keadilan dalam proses hukum.
Ada pula cerita keprihatinan sosial di kalangan kaum marginal (kaum miskin dan lemah): Asyani, seorang nenek renta berusia 67 tahun divonis hakim satu (1) tahun penjara dengan masa pencobaan satu (1) tahun tiga (3) bulan penjara dan denda 500 juta oleh hakim pengadilan Situbondo Jawa Timur, hanya karena mencuri kayu bakar. Atau kisah tentang nenek di Lampung yang mencuri singkong untuk memberi makan pada cucu yang kelaparan, dituntut hukuman 2,5 tahun penjara atau didenda 1 juta rupiah. Dalam kasus ini, hukum sepertinya ibarat pisau yang dipakai, lebih tajam menikam ke bawah tapi tumpul manakala menikam ke atas karena pandainya para oknum penegak hukum berakrobat dalam silatan lidah setelah terlebih dahulu bersekongkol dengan oknum para elit dan kaum berduit.
Masih banyak deretan kasus menambah daftar panjang masalah hukum di tanah air yang memperlihatkan potret para oknum penegak hukum terlibat dalam korupsi, suap/sogok dalam berbagai bentuk seperti uang, barang, gratifikasi seks, dan lain-lain. Kasus-kasus hukum ini pada satu sisi memperlihatkan adanya praktek ketidakadilan dalam dunia peradilan dan pada sisi lain jadi bukti banyak kasus hukum kurang berpihak pada kaum kecil (orang-orang miskin dan lemah).
Menyikapi menjamurnya kasus oknum hakim dan panitera dalam masalah suap, Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapi pakar hukum dan guru besar Universitas Airlangga Surabaya dan pemeluk Kristen yang taat pernah berujar : “Pada zaman Orde Lama dari seribu (1000) orang hakim di Indonesia sulit kita menemukan seorang hakim yang tidak jujur, namun di zaman orde Baru hingga kini dari seribu (1000) orang hakim di Indonesia sulit kita menemukan seorang hakim yang jujur”.
Tentu masih terdapat hakim dan panitera yang jujur dan berkomitmen dalam menjunjung tinggi keadilan melalui proses hukum, namun ungkapan Sahetapi ini muncul sebagai bentuk kegelisahan batin atas berbagai praktek ketidak-adilan yang terjadi dan merajalela di Indonesia dengan pelaku utama oknum para hakim sebagai penjaga benteng keadilan. Para hakim dan petugas pengadilan adalah orang-orang yang memiliki posisi strategis dan urgen dalam upaya menegakkan kebenaran dan keadilan melalui proses hukum yang bertanggungjawab. Namun cinta akan uang dan bentuk suap lain membuat suara hati tidak diindahkan dan membutakan mata hati.
Dunia peradilan yang mesti jadi benteng yang kokoh dimana banyak orang menemukan kebenaran dan keadilan dari para hakim dan petugas peradilan telah tercoreng oleh praktek suap atau sogok dalam berbagai bentuk. Terjadi dagang perkara dan korupsi dalam dunia peradilan yang membuat integritas para penegak hukum jatuh pada titik nadir.
Praktik ketidak-adilan ada dimana-mana: dunia peradilan, pemerintah, masyarakat bahkan gereja sebagai institusi yang dianggap sakral sekalipun bukanlah institusi yang steril dari praktek ketidak-adilan. Praktik ini bukan baru terjadi dalam masyarakat modern tapi telah terjadi di zaman dahulu dimana Musa hidup dan memimpin bangsa Israel menuju tanah Kanaan. Musa melihat kenyataan orang memutarbalikkan kebenaran dan keadilan disebabkan karena kepentingan pribadi dan kelompoknya. Orang benar yang mencari keadilan dikorbankan demi kebutuhan sesaat dari perbuatan keputusan di ruang peradilan. Mencegah terjadi proses peradilan yang berjalan tidak adil dan benar, Allah menyampaikan firman-Nya kepada Musa tentang tugas penyelenggaraan hukum.
Mengingat posisi hakim dan petugas pengadilan saat itu sangat penting di tengah-tengah bangsa Israel maka melalui pidato/khotbah, Musa menegaskan bahwa para hakim dan petugas yang diangkat di setiap suku haruslah orang-orang yang berintegritas dan takut akan Tuhan. Seiring dengan bangsa Israel yang semakin bertambah dan tersebar di setiap daerah (Wailayah kota dan suku-suku) dan semakin bertambah pula kejahatan dalam berbagai dimensi diperlukan hakim dan petugas yang berintegritas, takut akan Tuhan, berpengetahuan dan cerdas di bidang hukum untuk menangani perkara umat secara maksimal, benar dan adil demi tercipta tertip sosial dan semakin meneguhkan identitas diri selaku umat pilihan Allah.
Kualifikasi para hakim dan petugas adalah orang-orang yang harus memiliki integritas dan sikap hidup takut akan Tuhan aebab orang-orang yang demikian vokus utama pelayanan mereka di ranah hukum dan proses peradilan adalah pada penegakan kebenaran/keadilan (Ay 18b-20a).
Musa dengan tegas memperingatkan semua hakim dan petugas peradilan pada panggilan utama sebagai “Penegak keadilan dan karena itu semata-mata keadilan yang harus dikejar”(18b dan 20a).Karena itu para hakim dan petugas keadilan haruslah menghindarkan diri dari sikap dan perilaku: memutar balikkan keadilan, pilih muka atau memandang bulu, menerima sogok atau suap dalam proses peradilan dengan cara memutar balikkan perkataan orang-orang benar dan membuat buta mata orang-orang bijaksana. Sifat dan hakekat yang melekat pada penyelenggara hukum harus mencerminkan keadilan. Sebabnya adalah karena Allah itu adil.
Sebagai bangsa yang dipimpin langsung oleh Allah (pemerintahanteokratis) Musa menekankan pentingnya menjaga kekudusan ibadah dan perayaan keagamaan pada Allah dan kekudusan dalam setiap arena hidup umat baik di pemerintahan maupun dalam dunia peradilan. Dasarnya karena Tuhan adalah Allah dan Raja yang memerintah Israel. Tidak ada dikotomi antara kekudusan ibadah dan perayaan keagamaan pada Allah dengan kekudusan di ruang publik terutama dalam menjalankan/mengelola pemerintahan dan persoalan hukum di arena peradilan. Ada perluasan praktik ibadah yang menekankan kekudusan dan kebenaran/keadilan Allah dengan memasuki praktek pengelolaan pemerintahan dan peradilan. Ada keselarasan antara ibadah dan perayaan keagamaan kepada Allah dan tindakan-tindakan dalam menjalankan pemerintahan dan peradilan.
Hakim atau petugas peradilan yang memutarbalikkan keadilan, pilih muka atau memandang bulu, menerima sogok atau suap dalam proses peradilan sebenarnya pada satu sisi telah mempermainkan standar kekudusan ibadah dan perayaan keagamaan pada Allah dan di sisi lain telah membelokkan kebenaran/keadilan Allah. Cara dan perilaku hidup yang demikian merupakan bentuk pemberontakan melawan Allah.
Para hamba peradilan (hakim, jaksa, panitera) adalah orang yang menduduki kehormatan sebab mereka mewakili Allah. Karena itu wibawa, kekudusan, kebenaran dan keadilan Allah perlu dijaga dengan menjamin peradilan yang benar dan adil bagi seluruh bangsa dan semua orang (18,20.)
Berlaku adil bukan berarti membela orang miskin yang berbuat jahat dan membebaskan orang berduit atau para konglomerat serta kaum pejabat yang berkuasa dari berbagai kasus kriminal karena menerima suap atau berdasarkan petunjuk atasan. Setiap orang yang bersalah, baik orang miskin maupun kaya, pejabat atau rakyat jelata harus menerima keadilan yang setimpal dengan perbuatannya. Kesamarataan semua orang di depan hukum dan hak semua orang untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan ada pada para hakim, panitera, jaksa, pengacara, saksi-saksi yang selalu mendengarkan nuraninya di atas dasar hukum yang berlaku dan kebenaran mutlak Allah di dalam Yesus Kristus.
Musa menegaskan akan dampak dari para hakim dan petugas peradilan yang melayani sebagai Penegak keadilan dan semata-mata keadilan yang harus dikejar”yakni supaya mereka hidup dan memiliki negeri perjanjian. Ada hidup dan masa depan yang Tuhan sediakan di tanah perjanjian yang akan mereka diami (Ay 20b). Hidup yang penuh Syalom (hidup dalam damai sejahtera, ketenangan, sukacita, kebahagian, tanpa rasa takut, tanpa permusuhan, tanpa konflik atau perang) karena Allah berdaulat atas kehidupan dan masa depan umat.
Allah itu kudus, benar dan adil. Setiap orang Kristen apapun provesi yang diemban terutama yang dipercaya menempati posisi strategis di pemerintahan atau sebagai hakim dan petugas peradilan haruslah mengelola pemerintahan dan penyelenggaraan pengadilan (proses hukum) secara benar dan adil. Allah berkehendak supaya setiap orang Kristen menjalani kehidupan peribadahan kepada Allah dan karya-karya yang berkenan kepada Allah dengan berkomitmen total pada upaya penegakan kebenaran dan keadilan.
Tantangan untuk hidup kudus, berlaku benar dan adil adalah suap atau sogok, pertimbangan hubungan darah daging/kekerabatan sosial, atasan atau pejabat yang berkuasa, takut kehilangan jabatan, balas jasa dan lain-lain. Perlu diingat, setiap orang yang menjalankan ketidak-adilan dan kebenaran dalam setiap aktifitas hidup akan mendapatkan ganjaran hukuman dari Tuhan. Bagi yang berkehendak baik menjaga kekudusan dan tetap berkomitmen menegakkan kebenaran dan keadilan Allah dalam aktifitas hidupnya akan hidup dalam syalom Allah.
Tuhan itu Allah yang Maha adil dan Maha benar. Siapapun yang beribadah kepada-Nya, menghormati nama-Nya dan percaya akan ada pengadilan Allah kelak, harus belajar untuk hidup kudus, bersikap benar dan adil bukan semata-mata karena hukum itu sendiri tapi terlebih utama karena Tuhan menghendakinya demikian.
Bukankah demi menegakkan kebenaran dan keadilan bagi orang-orang yang tertindas, miskin dan lemah, Yesus rela dibenci, dihina, dianiaya bahkan mati tersalib? Semua itu Yesus lakukan sebagai wujud ketaatan pada Allah sebagai Bapa yang mengutus-Nya untuk menghadirkan Syalom Allah di tengah-tengah dunia ini. Dalam ketaatan kepada Allah Bapa yang mengutus-Nya, Ia mengajarkan para murid dengan sabda-Nya: Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat (Matius 5:37).