Cerita perumpamaan Domba Yang Hilang bertentangan dengan logika dunia karena logika dunia selalu mencari untung. Contoh partai politik yang mau berkuasa pasti akan berkoalisi dengan partai besar dan tidak mungkin berkoalisi dengan partai yang ecek-ecek karena itu namanya bunuh diri politik. Sementara yang kita baca sangat lain dan hampir tidak logis karena satu ekor domba hilang maka tinggalkan 99 ekor yang belum tentu dijaga dengan baik demi mencari 1 ekor yang belum tentu ditemukan pula. Siapa yang mau mencari yang kecil dan mengorbankan yang besar? Dunia sekarang adalah dunia yang mengikuti logika. Saya harap gereja tidak mengikuti logika dunia.
Inti dari perumpamaan ini adalah pertama, ukuran sukses tidaknya pelayanan justru digenapi apabila yang terkecil memperoleh perhatian. Angka seratus yang adalah angka kesempurnaan kalau cacat sedikit saja maka seluruh pelayanan tidak ada manfaat. Gembala ini mempunyai 100 ekor domba. Satu ekor hilang dan 99 ditinggalkan untuk mencari yang satu. Gembala ambil keputusan yang penuh resiko. Jadi seorang gembala harus berani ambil resiko, apapun resiko dari keputusannyasebab bisa saja yang hilang tidak ditemukan dan 99 ekor lainnya dirampok karena tidak ada yang menjaga. Jadi ini adalah sebuah keputusan yang penuh resiko.
Kedua, gembala juga mempunyai keyakinan bahwa kendati domba yang ditinggalkan tanpa penjagaan pasti ada yang melihat.
Ketiga, pencarian tidak mudah sebab padang di wilayah Israel tergolong sulit. Anda yang pernah ke Israel pasti tahu itu bahwa padang di daerah sana penuh jurang dan karang dan gembala harus mencari di malam yang gelap. Ini adalah kerja berat yang penuh resiko tetapi keyakinan memberinya kekuatan untuk mencari dan ia tidak cepat putus asa.
Gembala terus mencari dan setelah mendapatkan domba, ia meletakkannya di atas bahunya. Saking gembira ia meletakkan domba di atas pundaknya dan berjalan penuh kegirangan. Ia tidak menyuruh domba untuk berjalan. Tentang meletakkan di atas bahu, dulu bapak saya, ia seorang anggota DPR sekaligus pendeta. Ia diwajibkan untuk memikul anak yakni saya, tapi ia memikul saya di pundaknya sambil berkata, ‘tolong jangan bergerak kalau tidak saya banting anda.’ Saya tidak tahu apakah ia gembala yang baik atau bukan karena saya dilarang untuk bergerak atau dibanting. Sementara gembala ini, ia meletakkan domba yang ditemukannya di atas bahunya dan ia pun berjalan dengan gembira. Kita tidak tahu apakah domba itu bergerak atau tidak tapi mungkin karena domba ini lelah maka ia tenang saja. Tapi ini artinya satuorang bertobat maka itu memberikan sukacita besar.
Perumpamaan ini tidak butuh tafsiran yang rumit. Kita dapat mengerti cerita ini dengan mudah dan tidak perlu buka buku tafsiran. Saya pernah mengalami dua kepemimpinan di PGI. Dari semua orang yang ada, saya mengenal ada yang mampu mempermudah hal yang sulit seperti Pdt. Eka Damaputra tapi ada juga orang yang suka mempersulit hal yang mudah. Saya tidak tahu para pemimpin gereja ada dimana? Mempermudah hal yang rumit atau mempersulit hal yang mudah.
Perumpamaan ini adalah gambaran dari pelayanan gereja. Dari cerita Perumpamaan tentang Domba Yang Hilang, Injil Matius meletakkan kewajiban gereja sebagai gembala sedangkan Injil Lukas menekankan pada suasana sukacita ketika satu orang yang hilang ditemukan. Artinya fungsi seorang gembala adalah pastor dan sekaligus orang yang akan bergembira bila yang terkecil kembali.
Saudara, tugas pelayanan gereja tidak selalu sama dan tidak selalu identik dengantugas lembaga duniawi. Memang bisa identik tapi bisa tidak identik. Kita keliru ketika mengindentikkan tugas pelayanan gereja dan lembaga duniawi begitu saja. Transaksiekonomi yang berlaku dengan menjual domba 99 maka untung besar. Namun untung-untungan lembaga politik dan lembaga sosial tidak berlaku di dalam gereja sebab di dalam gereja tidak berlaku transaksi ekonomi dan negosiasi politik. Ukuran yang berlaku dalam gereja adalah apabila yang paling kecil dan yang paling lemah serta yang tidak diperhitungkan, memperoleh yang baik. Maka seorang pelayan adalah seorang gembala dan pastor yang akan terus mencari bukan karena adanya keuntungan ekonomi. Walaupun ada juga yang mencari keuntungan ekonomi dalam gereja, seperti saya pernah dengar cerita bahwa kalau ada orang kaya yang melakukan hajatan maka maka pendeta berebut ke situ. Sementara kalau orang miskin maka tidak ada yang mau kesana. Konon, ada seorang ibu yang minta pendeta untuk pimpin kebaktian di rumahnya tapi karena ia orang miskin maka pendeta melihat agendanya dan berkata kepada si ibu, “wah ibu, jadwal saya sudah penuh jadi saya tidak bisa datang”. Si ibu lalu berkata, “Sebenarnya saya mengundang bapak karena saya mau memberi persembahan.” Mendengar itu spontan pendeta langsung berkata, “Tadi ibu bilang tanggal berapa saya harus ke rumah ibu?”
Saudara, ini tidak benar. Sebab dalam gereja tidak bisa ada transaksi ekonomi dan negosisasi politik. Yang berlaku dalam gereja adalah pelayanan dan setiap orang mulia, baik yang kecil maupun besar. Sebab dengan hilangnya yang kecil maka persekutuan yang 100 menjadi catat. Maka supaya persekutuan dipulihkan, yang terkecil harus ditemukan. Ini inti dari pemberitaan gereja.
Pertanyaannya adalah apakah gereja tidak membutuhkan ketrampilan politik dan ekonomi? Bukan begitu. Apakah gereja tidak membutuhkan ketrampilan manajemen dalam dunia post modern? Gereja membutuhkan ketrampilan manajemen tapi gereja tidak boleh berubah menjadi lembaga manajemen. Namun seringkali gereja terjebak sehingga orang tidak lagi ditemui secara pribadi tapi orang ditemui berdasarkan nomer. Padahal para gembala bukan manajer. Mereka adalah gembala yang punya kemampuan manajemen tapj bukan manajer sebab dalam manajemen ada prinsip reward dan punishment. Ini tidak ada dalam gereja. Tugas gereja adalah pastoral walau ketrampilan manajemen diperlukan karena kalau tidak maka gereja akan ketinggalan. Reward and punishment hanya diberikan oleh Allah. Maka kelirulah gereja bila ia menerapkan manajemen reward and punishment.
Pimpinan gereja adalah gembala dan pastor. Dalam Sidang Sinode di Rote, saya bilang kita adalah pelayan yang menjadi pemimpin dan bukan sebaliknya. Apa maksudnya? Nada dasar kita adalah pelayan maka itu walau tidak lagi memimpin, kita tetap melayani dengan segala cara. Jadi tidak usah takut bahwa kalau tidak memimpin maka tidak melayani sebab pada dasarnya kita adalah pelayan. Beda kalau nada dasar kita adalah pemimpin maka ketika tidak memimpin, tidak lagi melayani.
Berikut keuangan, apakah dibutuhkan? Pasti. Namun uang bukan segalanya. Uang bukan segala-galanya. Ia hanyalah satu ukuran dalam seluruh bangunan pelayanan. Saya teringat yang dikatakan Pak Habibi, dalam Kompas tanggal 8 Januari 2016, Habibie tidak mau Golkar dipimpin sosok yang hanya andalkan uang. Saya terhentak dengan ucapan ini karena ia mengucapkannya pada partai politik. Artinya uang bukan segalanya. Yang paling dibutuhkan yakni hati nurani dan moralitas. Kalau kepada partai politik saja diingatkan demikian maka apalagi kepada gereja yang Tuhannya adalah Tuhan yang empunya segala sesuatu. Tapi ini bukan teologi sukses. Saya hanya mau mengingatkan bahwa seringkali gereja terperosok untuk menjadikan uang sebagai tujuan. Ada gereja besar yang menargetkan bahwa tahun 2016 harus terkumpul 1 trilyun dan saya sudah duga hal itu akan mendapatkan kritik dari anggota jemaatnya. Dan benar ada kritik yang luar biasa. Sebab apa? Tujuan gereja dan eklesiologi kita dipersempit hanya untuk dapat 1 trilyun. Apa yang dilakukanYesus hanya dihargai dengan 1 trilyun. Kita bukannya tidak membutuhkan uang tapi uang pasti akan datang apabila pelayanan dilakukan gereja dan anak domba yang tersesat ditemukan dan dipikul di atas pundak maka kegenapan akan terjadi.
Dulu waktu saya masih menjadi ketua PGI, kami selalu direpotkan oleh gereja yang mengadu untuk minta tolong tarik perkara yang sudah di bawa ke kantor polisi. Perkaranya adalah masalah aset gereja atas nama pribadi sehingga pribadi tersebut dapat mengklaim aset gereja sebagai miliknya. Ini penyakit gereja. Kalau anda dan saya jujur dan membaca riwayat hidup para penginjil, mereka selalu terjerumus pada 3 hal yakni pertama uang, termauk Benny Hinn yang katanya mau mendirikan rumah sakit tapi sampai sekarang tidak juga padahal ia berkeliling untuk berkhotbah dengan kemewahan. Kedua, perempuan, dimana para penginjil besar selalu jatuh karena perempuan. Jujur saja. Jebakan ketiga adalah narkoba. Mereka minum narkoba. Parapelayan firman jangan sampai menyesatkan diri sendiri. Yesus Kristus cenderung dimetamorfosikan sebagai mamon. Mulut kita menyerukan Yesus tapi yang kita maksud adalah mamon. Ini sedang terjadi dalam gereja-gereja.
Hari ini, kita menyaksikan serah terima jabatan. Ini sesuatu yang lazim dalampergantian kepemimpinan lembaga, termasuk gereja. Tetapi kita juga mengalami tantangan yang tidak lazim. MS yang lalu, 2011-2015 telah bekerja keras. Mereka melayani sesuai HKUP dan seterusnya. Belum semua terpenuhi dan itu akan dilanjutkan dan ditingkatkan. Tidak mudah dan saya memahami ketidakmudahan itu. GMIT adalah gereja terbesar nomer dua di Indonesia, sesudah HKBP, tetapi berbeda dengan HKBP, yang lebih bersifat homogen, GMIT sangat heterogen dan heterogenitas suku etnis sudah dari dulu. Ini bisa menjadi jebakan yang dialami oleh siapaun yang memimpin gereja ini. Belum lagi masalah geografis, tingkatan pendapatan, ada yang relatif kaya dan ada yang tidak. Tantangannya adalah bagaimana menjadi pastor di tengah keragaman dan ini tidak mudah.
Dalam sejarah GMIT, kita selalu ada dalam tantangan. Ada tantangan ekonomi, sebagian masyarakat ada di bawah garis kemiskinan, dan selalu yang dihantam adalah gereja seolah-olah gereja yang diberikan beban menyelesaikan kemiskinanyang sebenarnya adalah tugas pemetintah tapi gereja memikul tantangan ini sebabyang ia layani adalah manusia. Ini tantangannya. Belum lagi tantangan KDRT. Saya pernah mengatakan, menurut survey nasional tingkat KDRT tertinggi di Indonesia terjadi di NTT. Maka dalam salah satu penggembalaan nikah karena saya diminta menjadi saksi nikah maka mereka minta saya memberi nasehat. Saya tidak memberi nasehat tapi saya menantang Majelis Jemaat untuk apa nasehat kalau setelah keluar langsung KDRT? Berarti gereja harus berani melakukan koreksi tentang apa yang salah.
Tantangan dihadapi juga dari politik. Kita tidak boleh lari dari politik karena kita adalah makluk politik. Bagaimanapun gereja berpolitik praktis yakni mampu memperdengarkan suaranya dan mempunyai dampak. Waktu saya menjadi ketua<