Paskah atau dalam bahasa aslinya “pesah” artinya melewati atau makna kontemporer adalah “lolos” dari kuasa yang memberangus semua hal yang ada kaitannya dengan kehidupan, atau apa yang disebut lolos dari kuasa“maut”.
Hari Raya Paskah berkaitan erat dengan perayaan Israel untuk memperingati “kelepasan” dari maut atas tulah kematian anak sulung di Mesir. Mereka lolos dari tulah karena Allah memerintahkan mereka untuk memercik darah domba suci di pintu rumah sebagai tanda keselamatan. Perayaan ini dilakukan setiap bulan pertama Nisan hari ke 14, di mana mereka harus mengorbankan seekor domba yang suci, dihubungkan dengan Hari Raya Roti tidak beragi, perayaan syukuran musim semi (Maret-April). Sekaligus mengingatkan mereka akan kepahitan hidup dalam perbudakan di Mesir pada abad antara 1539 -1075 SM. Lolosnya anak sulung Israel dari maut dan dilepaskannya bangsa ini pergi ke tanah perjanjian disebut “pesah” atau paskah.
Di kemudian hari menjadi perayaan paling penting dalam kehidupan beriman bangsa Israel untuk mengingatkan mereka atas peristiwa pembebasan Allah dari perbudakan dan ketertindasan. Perayaan ini menandai gerakan pembebasan budak Ibrani atau bangsa Israel dari penindasan yang berawal dari munculnya kesadaran iman akan keadilan atas hak para budak ketika membangun kota-kota Pitom dan Ramses di wilayah delta sungai Nil, Mesir. Sekaligus kebebasan untuk melakukan peribadahan sebagai pusat keimanan Israel yang selama itu mengalami penghambatan. Israel mengalami sebuah pengalaman “iman” yang menandai sebuah gerakan mesianik atau gerakan pembebasan untuk keadilan dan kebenaran di mana Allah sebagai titik sentral sumber kekuatan yang memanggil dan mengutus Musa, Harun dan Miriam, menjadi pembela dan pemimpin bangsanya. Pembebasan ini sekaligus merupakan sebuah “panggilan” Allah terhadap bangsa Israel untuk keluar dari perbudakan dan menjadi bangsa merdeka yang paham akan apa itu “peradaban” adil dan sejahtera atau “shalom” sebagai anugerah dengan tujuan untuk membangun bangsa bangsa dan seluruh ciptaan Allah secara bermartabat. Perbudakan dan penindasan kemanusiaan ini dipahami sebagai bagian dari kuasa maut yang mengantar manusia pada kematian abadi tanpa keselamatan Allah.
Sekitar tahun 33 Masehi, menjelang perayaan Paskah dan Hari Raya Roti tidak Beragi dalam masa pemerintahan kekaisaran Romawi, Tiberias, dengan wali negerinya Pontius Pilatus, Yesus dituduh dan diadili oleh Mahkama Agama dan pengadilan Romawi. Aduannya yakni melanggar ketentuan keagamaan karena mengaku sebagai Anak Allah atau Mesias yang dinubuatkan.
Melalui pembaruan total keimanan, umat diberi keberanian untuk menyatakan kebenaran Allah di mana terbukti mampu mendongkrak kebobrokan politik Romawi yang cukup lama terpoles dengan keamanan semu yang disebut “Pax Romana” atau Romawi yang damai dan sejahtera, namun banyak rakyat menderita dan mati dalam kesia-siaan karena tertindas, terutama pada wilayah taklukkan. Pax Romana bagai sebuah “konspirasi bisu” para penguasa Romawi yang bersinergi dengan pemimpin agama untuk membungkus keburukan pemimpinan seraya membungkam penegakan keadilan dan kebenaran Allah.
Yesus tidak saja mengkritik keketatan hipokrif menjalani Hukum Taurat dan bersuara keras kenabian terhadap penindasan yang adalah bagian dari kuasa maut. Yesus bersama para murid-Nya “bergerak menjumpai dan mengulurkan tangan” kegembalaan atau berlaku sebagai “gembala yang baik” bagi mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Ia berani menembus batas atau sekat kemanusiaan sebagai “tanda” atau jaminan nyata kehadiran keselamatan Allah yang tak bisa dibatasi hanya untuk kelompok tertentu, tetapi bagi semua orang.
Kehadiran Yesus lebih dari sekedar sebuah rekonstruksi keadilan sosial. Maknanya lebih dalam, yakni menghadirkan “Kerajaan Allah” yang ditandai dengan pembebasan dari kuasa maut yang muncul melalui penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan serta penderitaan. Melalui-Nya Allah mengembalikan martabat manusia menjadi setara sebagai ciptaan yang mulia karena telah dibebaskan dari kutuk dosa yang berujung maut.
Yesus melakukan pendekatan baru, di mana keimanan yang mestinya menjadi poros kehidupan moral sehari-hari tidak cukup dibentuk hanya melalui ketaatan atas sejumlah peraturan Taurat yang kaku dan ketat dan yang bercorak ritual peribadahan. Ia melihat kedalaman makna Hukum Taurat yakni kasih terhadap Allah dengan sepenuh jiwa dan hati melalui tindakan kasih terhadap sesama manusia seperti diri sendiri, tercermin dalam upaya pendampingan pembelaan keadilan dan pelayanan kasih yang melampaui batas ketaatan menjalani hukum-hukum itu.
Karena itu Yesus perlu mengadakan pembaruan radikal iman dan moral umat-Nya melalui cara atau model tindakan KASIH, Agape, memberlakukan kasih Allah kepada semua orang melalui kepekaan keimanan dan moral pelayanan yang berpusat pada pengorbanan diri di mana nyawa-Nya sebagai taruhan. Pada tingkat ini, kepekaan iman dan moral itu merupakan kekuatan yang memampukan mereka taat kepada kuasa Allah, rela atau bersedia mengorbankan diri untuk kebenaran bagi sesama yang menderita.
Maka ide “Kerajaan Allah” dimaksud bukanlah sebuah teritori politis yang eksklusif yang khusus bagi orang orang tertentu, tetapi teritori iman inklusif yang ada dalam kemanusiaan tak bersekat atau tak berbatas dari orang orang pilihanNya pada mana Allah menaruh kekuatanNya. Sebuah kekuatan Allah yang menaklukan “maut”, kuasa yang menindas, menjajah dan membunuh “kemanusiaan” manusia di mana selama ini telah membuat penderitaan dan kematian dialami sebagai sejarah pahit sebuah “kutuk” dalam perjalanan hidup seseorang karena ketertindasan itu.
Inilah dasar dari kehadiran gereja Kristus sebagai murid murid yang taat, di mana perayaan Paskah bukan hanya memiliki makna melewati lorong lorong maut, tetapi di dalam Yesus Paskah memiliki makna “kebangkitan”. Kebangkitan yang melampaui dan menaklukan kuasa maut dan sengatnya berupa penindasan, eksploitasi dan pembunuhan kemanusiaan yang telah membuat manusia kehilangan kepekaan iman lalu menjadi “imun” atau tidak mempedulikan penderitaan sesama dan alam ciptaanNya, bahkan menjadi bagian dari pelaku penindasan yang membinasakan.
Maka merayakan Paskah bagi kita umat beriman merupakan pembaharuan sebuah jawaban iman atas “panggilan” Allah di dalam Yesus Kristus di mana melalui kebangkitan-Nya manusia telah diberi jaminan kehidupan kekal, sebuah kekuatan dan kepekaan spiritual untuk “berani” melakukan keadilan, pendamaian dan kesejahteraan bagi sesama dan seluruh alam ciptaan Allah.
Melalui Paskah, kehidupan dan kematian bukan lagi sebuah kutuk yang membawa penderitaan. Akan tetapi di dalam Yesus Kristus, menjadi anugerah berharga yang nyata tentang pengampunan Allah. Di mana semua manusia dan seluruh alam ciptaan-Nya diberi kesempatan untuk masuk ke dalam kemuliaan kebangkitan-Nya yang membawa kemerdekaan dan memerdekakan.
Yesus berkata : “Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang orang miskin ;dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang orang tawanan dan penglihatan bagi orang orang buta, untuk membebaskan orang orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18-19)
Selamat merayakan PASKAH Kristus
Pdt. Emmy Sahertian, M.Th