Pembacaan Alkitab : Filipi 2: 5-11
Kita patut bersyukur karena hari indah yang dianugerahkan Tuhan dalam peziarahan Gereja Masehi Injili di Timor di usia ke 68 tahun memasuki etape Sidang Sinode GMIT XXXIII, di pulau paling Selatan Indonesia, di bumi tinggi Ti’i Langga Permai tercinta ini. Tentu wujud syukur terdalam adalah tatkala kita memberi hati untuk diterangi oleh Firman Allah bagi kelanjutan peziarahan Gereja ini selanjutnya. Mengawalinya saya mengajak bersaudara semua untuk menyimak nyanyian Natal yang ditulis oleh seorang muslim terpelajar dari Mesir (dikutip oleh Choan Seng Song dalam bukunya: Yesus dan pemerintahan Allah) demikian:
Kemurahan, keperkasaan, bimbingan dan kerendahan hati, dilahirkan pada saat Yesus dilahirkan;
Seperti terang fajar yang mengalir di jagad raya, demikianlah tanda Yesus mengalir;
Ia memenuhi dunia dengan terang, membuat bumi bercahaya dengan sangat terang;
Tidak ada ancaman, tidak ada tirani, tidak ada pembalasan, tidak ada pedang, tidak ada serangan;
Tidak ada pertumpahan darah yang dipakai-Nya dalam panggilan-Nya kepada iman yang baru;
Ia hidup sebagai seorang Raja di bumi, tetapi karena bosan akan keadaanNya, Ia melepaskan Surga;
Orang-orang bijak tertarik pada iman-Nya, merendahkan hati, tunduk dan lemah di hadapan Dia;
Ketundukan mereka diikuti oleh ketundukan raja-raja, orang-orang biasa dan kaum bijaksana;
Iman-Nya menemukan akar di tiap negeri dan berlabuh di tiap pantai.
Ini sebuah pengakuan yang jernih, bening, kuat dan asli. Ini membuktikan bahwa Yesus Tuhan itu melampaui Gereja. Ia tidak hanya ada sebatas tembok-tembok Gereja; Meskipun yang sering terjadi Ia dipenjarakan di dalam tembok-tembok Gereja, baik oleh orang yang tidak percaya kepada-Nya, juga oleh orang-orang yang dengan bibirnya mengaku percaya pada-Nya.
Nyanyian natal ini juga menyaksikan pada kita, bahwa Yesus menembus realitas kemajemukan agama yang ada di bumi ini. Bagi kaum cerdik pandai, bisa saja meragukan teologi sang Penyair tentang reinkarnasi Yesus, namun jelas terlihat ia mengakui Yesus sebagai: “terang yang menyinari dunia, yang iman-Nya menemukan akar di tiap negeri dan berlabuh di tiap pantai dengan melepaskan surga”. Bukankah ini menangkap jiwa dari nyanyian Gereja mula-mula yang dikutip Paulus dalam nyanyian Kristologinya yang kita baca saat ini? Paling tidak ini memberi petunjuk juga kritik diri bagi Gereja Masehi Injili di Timor dalam peziarahannya bersama bersaudara yang lain, di tengah konteks kemajemukan agama, kemiskinan, globalisasi dan kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah ini karena pengakuan bahwa “Yesus Kristus adalah Tuhan” tidak datang begitu saja. Ia lahir dari pengalaman hidup orang-orang percaya bersama Yesus. Ia lahir dari kesaksian orang-orang yang mengalami Yesus, itu pointnya.
Rasul Paulus bersaksi: “Ia yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraanNya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan samapi mati di kayu salib.” Sungguh pengosongan diri yang total, seperti orang menuangkan air dari wadah sampai habis, tak bersisa. Suatu tindakan pengorbanan yang hidup, sungguh-sungguh hidup! Ia meninggalkan sorga, dengan segenap kuasa kemuliaan, hormat, kedamaian, kepenuhan, kenikmatan dan menjadi manusia dalam keadaan papah, lapar, letih, terhina, berlinangan air mata, terluka, dijauhi orang, disiksa, diludahi bahkan sampai mati tergantung di Salib. Bagi penalaran yang wajar, ini sulit diterima akal, apalagi dengan tuntutan dunia untuk menjadi besar dan utama hari ini.
Bagi GMIT yang mengangkat tema periodik kali ini: “Yesus Kristus adalah Tuhan” ini keberanian tapi juga koreksi bagi peri-hidup bergereja kini. Benarkah Yesus adalah Tuhan bagiku saat ini? Setiap orang juga boleh membatin dan bertanya pada diri sendiri. Benarkah Yesus Kristus adalah Tuhan bagi GMIT dalam seluruh peziarahannya. Ini tentu sama sekali bukan untuk meragukan ke-Tuhan-an Yesus, tentu tidak. Ini justru mempertanyakan kemurnian hidup Gereja ini dalam pengakuannya akan Yesus sebagai Tuhan, Pemilik dan Kepala Gereja. Kata Rasul Paulus: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Yesus”. Hidupmu bersama, tidak terkotak-kotak atau terpecah-pecah, menaruh pikiran dan perasaan Yesus, roh kita/roh gereja satu dengan Roh Yesus. Apa yang Kristus lakukan itulah yang dilakukan Gereja. Seperti kata sang Reformator, Marthen Luther, “Orang percaya harus dapat menampakan Kristus bagi sesama dan juga melihat Kristus dalam diri sesamanya”. Paling tidak warna Kristus itulah yang menjadi warna Gereja.
Ini titik kritisnya apakah tatkala orang melihat saya dan saudara sekalian orang juga telah melihat Kristus? Atau malah Kristus hilang sama sekali dari kehidupan bergereja kita? Karena bagi dunia untuk memperoleh kuasa kemuliaan dan hormat harus dengan cara penaklukan bahkan juga dengan kekerasan dalam berbagai rupa dan bentuk. Pra-pahamnya adalah hanya orang-orang kuat, berani, keras, tangguh, cerdik bahkan licik yang dapat menaklukan lawan dan menjadi yang utama.
Yesus justru menempuh jalan lain, bukan penaklukan, bukan dengan mengalahkan orang lain, tetapi dengan mengalahkan diri sendiri. Mengalahkan ego yang adalah manusia palsu itu. Yesus memilih mengosongkan diriNya dan melepaskan semua kelekatan pada surga dan menjadi sama dengan manusia bahkan mengambil tempat terendah, mati di salib ganti kita. Karena itu bagi gereja, tidak ada jalan lain untuk membuktikan pengakuannya akan Yesus sebagai Tuhan, selain meneladani Yesus dengan hidup selaras dengan pikiran dan perasaan Yesus. Tidak ada jalan lain untuk membuktikan pengakuan itu, selain hidup dengan mengosongkan diri, menyangkal diri dan taat di jalan Allah.
Saudaraku, mengosongkan diri berarti ikhlas melepaskan diri dari berbagai kelekatan kita. Gereja mesti ikhlas dan berani melepaskan diri dari kelekatannya pada uang, harta, kemewahan, kenyamanan, kenikmatan. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu, tetapi berhalanya adalah tatkala kita mati-matian mengejarnya dan berpaut padanya. Bahkan orang rela berlutut agar tidak kehilangan semua itu dan menjadikannya sebagai sembahannya.
Gereja perlu melepaskan diri dari kelekatannya pada orang dan reputasi. Banyak orang berpikir, saya mungkin sanggup melepaskan harta, kenyamanan, uang tetapi tidak keluargaku, nama baikku. Yesus justru melepaskan segalanya. Yesus hidup di jalan Allah BapaNya.
Gereja perlu melepaskan diri dari kelekatan pada rutinitas pelayanannya juga pada gagasan-gagasan tertentu yang disakralkan dan berani menjadi terbuka. Karena gereja tidak harus berpegang pada gagasan-gagasan saja tetapi pada kebenaran hakiki dalam Kristus Yesus.
Gereja perlu melepaskan diri dari kelekatannya pada kepastian-kepastian palsu yang dipandang baku, juga praktik-praktik dari kebiasaan-kebiasaan kultural, religius atau bahkan spiritual yang menjauhkannya dari Yesus Tuhan. Karena apa yang dipastikan hari ini, besok dipertanyakan, apa yang dipandang sahih hari ini besok bisa saja salah. Kepastian hanya ada pada Yesus Tuhan. Gereja bahkan perlu melepaskan dirinya dari kelekatan pada hidup. Karena keabadian hanya ada pada Allah sendiri.
Gereja perlu selalu menyelaraskan pikiran dan perasaannya dengan Kristus Yesus dan mengosongkan diri, berpaut satu pada Yesus Tuhan. Gereja Masehi Injili di Timor mestinya hidup seperti Yesus hidup. Sebab jikalau kita mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan, Pemilik dan Kepala Gereja, itu berarti tidak ada lagi Tuhan yang lain, Pemilik yang lain, Kepala yang lain dalam gereja ini selain Yesus Tuhan. Dengan begitu gereja ini dapat mengakar di setiap pulau dan negeri dan berlabuh di setiap pantai. Amin.
Dikhotbahkan pada Kebaktian Pembukaan Sidang Sinode GMIT XXXIII, Rote, 20 September 2015